Dalam ajaran Islam, sistem kewarisan diatur dengan sangat rinci untuk memastikan keadilan dan kehati-hatian dalam pembagian harta peninggalan. Selain ahli waris yang memiliki hubungan nasab langsung seperti anak, orang tua, dan saudara, terdapat pula kelompok ahli waris yang disebut Dzawil Arham. Mereka adalah kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, namun tidak termasuk dalam golongan ahli waris ashabah (yang mendapatkan bagian tertentu atau sisa harta) maupun dzawil furudh (yang mendapatkan bagian pasti). Pemahaman mengenai kewarisan Dzawil Arham sangat penting karena mereka memiliki peran dalam pembagian warisan ketika tidak ada ahli waris dari golongan lain yang berhak.
Secara etimologis, "Dzawil Arham" berasal dari bahasa Arab yang berarti "pemilik rahim" atau "kerabat yang memiliki hubungan darah". Dalam terminologi fikih mawaris (ilmu waris), Dzawil Arham merujuk pada kerabat pewaris yang tidak memiliki hak waris langsung (seperti anak dan orang tua) atau hak waris pasti (dzawil furudh) seperti istri, ibu, atau anak perempuan, tetapi masih memiliki hubungan kekerabatan yang kuat.
Kelompok ini umumnya muncul ketika pewaris tidak meninggalkan ahli waris dari kalangan ashabah (misalnya, anak laki-laki, ayah, kakek) atau dzawil furudh yang masih hidup. Dalam kondisi seperti ini, harta warisan akan dialihkan kepada Dzawil Arham sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan hubungan kekerabatan dan berusaha agar harta tidak jatuh kepada pihak yang tidak berhak atau kembali kepada Baitul Mal tanpa adanya perhatian terhadap kerabat terdekat yang mungkin tidak tergolong ahli waris utama.
Klasifikasi Dzawil Arham dapat bervariasi sedikit antar mazhab fikih, namun secara umum kelompok ini meliputi:
Penting untuk dicatat bahwa urutan pembagian hak waris di antara Dzawil Arham memiliki prioritas. Kaidah umumnya adalah mengutamakan hubungan yang lebih dekat kepada pewaris. Jika ada dua orang kerabat yang sama-sama memiliki hubungan, maka dilihat dari sisi siapa yang lebih dekat nasabnya. Misalnya, cucu dari anak perempuan lebih dekat daripada anak dari saudara laki-laki. Namun, dalam beberapa kondisi, prioritas bisa dilihat dari sisi jalur nasab (misalnya, dari sisi ayah lebih diutamakan daripada ibu, kecuali dalam kasus tertentu).
Dzawil Arham hanya berhak menerima warisan dalam kondisi-kondisi spesifik, yaitu:
Dalam mazhab Hanafi, Dzawil Arham memiliki kedudukan yang lebih kuat dan dapat mewarisi meskipun ada ahli waris yang lebih jauh dari kalangan ashabah. Namun, dalam mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, Dzawil Arham biasanya baru berhak mewarisi jika tidak ada ahli waris dari golongan ashabah maupun dzawil furudh.
Pembagian harta warisan kepada Dzawil Arham umumnya mengikuti prinsip-prinsip berikut:
Proses penentuan dan pembagian warisan untuk Dzawil Arham seringkali memerlukan kajian mendalam dan musyawarah dari para ahli fikih atau lembaga yang berwenang untuk memastikan kebenaran urutan dan kadar bagian masing-masing.
Memahami konsep Dzawil Arham bukan hanya sekadar pengetahuan teoritis, tetapi memiliki implikasi praktis yang signifikan. Hal ini membantu dalam:
Meskipun tampak kompleks, kewarisan Dzawil Arham adalah bagian integral dari sistem waris Islam yang menjaga keberlangsungan harta keluarga dan penghargaan terhadap ikatan darah yang lebih jauh.