Sang Mutiara dari Tanah Banjar: Membedah Sosok dan Dakwah KH. Muhammad Bakhiet
"Dakwah adalah tentang menyentuh hati, bukan sekadar mengisi kepala."
Di tengah riuhnya zaman yang serba cepat dan sering kali membingungkan, muncul sosok-sosok pencerah yang kehadirannya laksana oasis di tengah gurun. Mereka adalah para pewaris nabi yang dengan sabar dan penuh kasih sayang membimbing umat kembali ke jalan kebenaran. Salah satu dari mutiara berharga itu adalah seorang ulama karismatik dari Kalimantan Selatan, Guru Bakhiet atau Al-Mukarram KH. Muhammad Bakhiet. Nama beliau begitu lekat di hati masyarakat, bukan hanya di tanah Banjar, tetapi gaungnya telah melintasi pulau dan samudra, menyentuh jutaan jiwa melalui rekaman pengajian-pengajiannya yang tersebar luas.
Siapakah sebenarnya sosok Guru Bakhiet? Mengapa dakwahnya begitu mudah diterima dan mampu meresap ke dalam sanubari pendengarnya? Artikel ini akan mencoba mengupas lebih dalam perjalanan hidup, corak dakwah yang khas, pokok-pokok ajaran, serta pengaruh luar biasa yang beliau bawa bagi masyarakat. Ini adalah sebuah upaya untuk mengenal lebih dekat seorang 'alim yang menjadikan cinta sebagai pondasi utama dalam setiap untaian nasihatnya.
Jejak Langkah Sang Pencari Ilmu: Dari Hulu Sungai hingga ke Pelosok Negeri
Akar Keluarga dan Lingkungan yang Religius
Untuk memahami kedalaman ilmu seorang ulama, kita perlu menelusuri akarnya. KH. Muhammad Bakhiet lahir dan dibesarkan di lingkungan yang sangat religius di daerah Hulu Sungai, Kalimantan Selatan. Tanah Banjar sejak lama dikenal sebagai gudangnya para ulama besar, sebuah tradisi keilmuan Islam yang kuat dan mengakar. Beliau berasal dari keluarga yang taat beragama, di mana nilai-nilai Islam bukan hanya diajarkan, tetapi dihidupi dalam setiap tarikan napas kehidupan sehari-hari. Ayah beliau, Tuan Guru Ahmad Mughni, adalah seorang tokoh agama yang dihormati di lingkungannya. Dari sang ayahlah, beliau pertama kali meneguk manisnya ilmu-ilmu agama.
Lingkungan masa kecilnya adalah madrasah pertama yang membentuk karakter dan kecintaannya pada ilmu. Sejak usia dini, beliau telah akrab dengan suasana majelis taklim, lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dan pembahasan kitab-kitab klasik. Lebih dari itu, beliau merupakan keturunan dari seorang ulama legendaris, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan. Nasab mulia ini seakan menjadi penanda bahwa darah dakwah dan kealiman memang mengalir deras dalam dirinya, sebuah amanah besar yang kelak akan beliau emban dengan sangat baik.
Perjalanan Menimba Ilmu (Rihlah Ilmiah)
Sebagaimana tradisi para penuntut ilmu sejati, Guru Bakhiet tidak pernah puas dengan ilmu yang didapatnya di kampung halaman. Beliau memahami bahwa untuk mengisi tempayan ilmunya hingga penuh, ia harus berkelana, mendatangi mata air-mata air ilmu lainnya. Perjalanan intelektual dan spiritualnya dimulai dengan belajar dari para Tuan Guru dan ulama-ulama sepuh di sekitar Kalimantan Selatan. Beliau mendalami berbagai cabang ilmu agama, mulai dari fiqih, tauhid, tafsir, hadis, hingga ilmu alat seperti nahwu dan sharaf, dengan penuh ketekunan.
Namun, dahaganya akan ilmu membawanya merantau lebih jauh. Beliau menyeberangi lautan untuk menimba ilmu di tanah Jawa, pusat pendidikan Islam tradisional yang masyhur dengan pondok pesantrennya. Di sinilah beliau berinteraksi dengan berbagai corak pemikiran dan metodologi pengajaran yang berbeda. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya wawasan keilmuannya, tetapi juga memperluas cakrawala pandangnya. Beliau belajar untuk menghargai perbedaan, memahami konteks, dan menyerap kearifan dari setiap guru yang ditemuinya. Perjalanan panjang dan melelahkan ini menempa dirinya menjadi pribadi yang matang, rendah hati, dan memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa. Setelah merasa cukup dengan perbekalannya, beliau pun kembali ke tanah kelahirannya, siap untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang telah beliau peroleh.
Corak Dakwah yang Unik: Menyentuh Hati dengan Bahasa Rakyat
Salah satu faktor utama yang membuat dakwah Guru Bakhiet begitu fenomenal adalah gaya penyampaiannya yang unik dan sangat khas. Beliau mampu menerjemahkan konsep-konsep tasawuf dan akidah yang rumit menjadi bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari jamaahnya. Beliau adalah seorang maestro dalam meramu dalil-dalil yang kuat dengan analogi-analogi yang cerdas dan menyentuh.
Bahasa Banjar yang Merakyat
Guru Bakhiet secara konsisten menggunakan bahasa Banjar dalam sebagian besar pengajiannya. Pilihan ini bukanlah tanpa alasan. Dengan menggunakan bahasa ibu para jamaahnya, beliau berhasil meruntuhkan dinding formalitas antara seorang guru dan murid. Pesan-pesan agama terasa lebih dekat, lebih personal, dan lebih meresap ke dalam hati. Tidak ada jarak intelektual yang menakutkan. Setiap orang, dari petani, pedagang pasar, hingga pejabat, merasa bahwa nasihat itu ditujukan langsung kepada mereka. Beliau seolah sedang berbicara dari hati ke hati, layaknya seorang ayah yang menasihati anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Humor yang Cerdas dan Mendidik
Ciri khas lain yang sangat melekat pada dakwah Guru Bakhiet adalah selipan humornya yang segar dan cerdas. Beliau bukanlah tipe penceramah yang kaku dan membuat dahi berkerut. Justru, di tengah-tengah pembahasan yang serius mengenai hakikat dosa atau pentingnya ikhlas, beliau sering kali melemparkan lelucon atau cerita lucu yang relevan. Humor ini berfungsi sebagai jembatan. Ia mampu mencairkan suasana, membuat jamaah tetap terjaga dan fokus, serta yang terpenting, membuat pesan yang berat menjadi lebih mudah diterima tanpa mengurangi esensinya. Humornya bukan sekadar tawa kosong, melainkan tawa yang membawa perenungan. Setelah tertawa, jamaah diajak untuk kembali merenungi hikmah di balik cerita lucu tersebut.
Fokus pada Tasawuf dan Akhlak
Jika kita membedah materi dakwahnya, akan kita temukan bahwa inti dari ajaran Guru Bakhiet berpusat pada tasawuf amali, yaitu penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan perbaikan akhlak. Beliau tidak banyak berkutat pada perdebatan fiqih yang bersifat khilafiyah atau isu-isu politik yang memecah belah. Fokusnya jelas: bagaimana memperbaiki hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dan hubungan seorang hamba dengan sesama makhluk. Beliau sering kali mengupas tuntas kitab-kitab tasawuf klasik seperti "Ihya' Ulumiddin" karya Imam Al-Ghazali atau "Al-Hikam" karya Ibnu Atha'illah As-Sakandari. Namun, kehebatannya terletak pada kemampuannya menyajikan isi kitab-kitab berat tersebut dalam format yang "siap santap" bagi masyarakat awam.
"Hati itu ibarat cermin. Jika ia kotor oleh debu maksiat seperti sombong, iri, dan dengki, bagaimana ia bisa memantulkan cahaya keindahan Allah? Tugas kita seumur hidup adalah menggosok cermin ini hingga kembali bening."
Analogi seperti di atas adalah contoh bagaimana beliau menyederhanakan konsep tazkiyatun nafs. Beliau mengajak jamaah untuk melakukan introspeksi diri, mengenali penyakit-penyakit hati yang sering kali tidak disadari, dan kemudian menawarkan resep-resep penyembuhannya yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, seperti memperbanyak zikir, tafakur, dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Pokok-Pokok Ajaran Utama: Membangun Fondasi Spiritual yang Kokoh
Di balik gaya penyampaiannya yang santai dan merakyat, ajaran yang disampaikan oleh Guru Bakhiet memiliki kedalaman dan substansi yang sangat kuat. Beliau membangun kerangka pemahaman agama yang utuh, dimulai dari pondasi yang paling dasar hingga ke puncaknya.
Ma'rifatullah: Mengenal Allah dengan Hati
Puncak dari segala ilmu menurut Guru Bakhiet adalah ma'rifatullah, yaitu mengenal Allah. Namun, "mengenal" di sini bukan sekadar pengetahuan teoretis di otak tentang sifat-sifat Allah. Lebih dari itu, ia adalah sebuah pengenalan yang lahir dari hati yang bersih, sebuah kesadaran akan keagungan, keindahan, dan kehadiran Allah dalam setiap detik kehidupan. Beliau menekankan pentingnya merasakan pengawasan Allah (muraqabah) dalam setiap perbuatan. Sebelum berbuat sesuatu, seorang mukmin diajak untuk bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah Allah rida dengan perbuatan ini?" Kesadaran inilah yang menjadi rem paling ampuh dari perbuatan maksiat.
Beliau sering mengumpamakan hubungan hamba dengan Allah seperti hubungan seorang pecinta dengan yang dicintainya. Seorang pecinta akan selalu merindukan, selalu ingin berdekatan, dan selalu berusaha melakukan apa pun yang membuat kekasihnya senang. Demikian pula seharusnya hubungan kita dengan Allah. Shalat, zikir, dan ibadah lainnya harus dimaknai bukan sebagai kewajiban yang memberatkan, melainkan sebagai momen-momen indah untuk "berduaan" dengan Sang Kekasih Sejati.
Mahabbatun Nabi: Kunci Membuka Pintu Cinta Ilahi
Jalan untuk mencapai cinta Allah, menurut Guru Bakhiet, tidak lain adalah melalui pintu kecintaan kepada Rasulullah SAW. Beliau menempatkan mahabbatun nabi (cinta kepada Nabi) pada posisi yang sangat sentral dalam ajarannya. Cinta ini bukan sekadar pengakuan lisan, melainkan harus dibuktikan dengan tiga hal utama: memperbanyak shalawat, mempelajari dan meneladani sirah (perjalanan hidup) dan syamail (sifat-sifat fisik dan akhlak) Nabi, serta menghidupkan sunnah-sunnahnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam majelisnya, pembacaan shalawat dan syair-syair pujian kepada Nabi (seperti maulid) menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hal ini bertujuan untuk senantiasa menumbuhkan dan menyuburkan benih-benih cinta di dalam hati jamaah. Beliau mengajarkan bahwa dengan sering menyebut dan memuji Nabi, hati akan terpaut kepadanya. Dan ketika hati sudah terpaut, maka meneladani akhlak dan mengikuti ajarannya akan terasa ringan dan indah.
Tazkiyatun Nafs: Perang Melawan Musuh dalam Diri
Inilah mungkin inti dari seluruh dakwah Guru Bakhiet. Beliau secara konsisten dan berulang-ulang menekankan pentingnya perjuangan menyucikan jiwa. Menurutnya, musuh terbesar manusia bukanlah yang ada di luar, melainkan yang ada di dalam dirinya sendiri, yaitu hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati. Beliau dengan sangat detail menguraikan satu per satu penyakit hati yang berbahaya ini.
Mengikis Kesombongan (Kibr)
Sombong, menurut beliau, adalah induk dari segala dosa. Iblis terusir dari surga karena kesombongan. Beliau mendefinisikan sombong sebagai menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Obatnya adalah dengan menyadari hakikat diri kita yang lemah dan fana. "Dari mana kita datang? Dari setetes air yang hina. Akan ke mana kita pergi? Menjadi bangkai yang busuk. Apa yang kita bawa di antara keduanya? Kotoran. Lantas, apa yang pantas untuk kita sombongkan?" Nasihat tajam seperti ini sering beliau sampaikan untuk meruntuhkan tembok keangkuhan dalam diri.
Memadamkan Api Iri dan Dengki (Hasad)
Penyakit hati lainnya yang sering beliau bahas adalah hasad, yaitu perasaan tidak senang melihat orang lain mendapatkan nikmat dan berharap nikmat itu hilang darinya. Beliau menggambarkan hasad seperti api yang membakar kayu bakar; ia akan menghanguskan seluruh amal kebaikan kita. Cara mengobatinya adalah dengan melatih diri untuk rida terhadap takdir Allah dan mendoakan kebaikan bagi orang yang kita dengki. Dengan mendoakannya, kita sedang memaksa hati kita untuk mengakui bahwa nikmat itu datangnya dari Allah dan Allah berhak memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Menjaga Keikhlasan (Ikhlas)
Ikhlas menjadi pondasi diterimanya sebuah amal. Beliau mengajarkan bahwa setiap amal ibadah, sekecil apa pun, harus dimurnikan niatnya semata-mata karena Allah. Bukan karena ingin dipuji manusia, ingin mendapatkan keuntungan duniawi, atau bahkan ingin mendapatkan surga. Puncak keikhlasan adalah beribadah karena cinta dan rasa syukur kepada Allah. Beliau sering mengingatkan, "Periksa terus hatimu sebelum, saat, dan sesudah beramal. Apakah ada 'selain Allah' yang menyelinap di dalamnya?"
Pengaruh dan Warisan: Cahaya yang Terus Menerangi
Dakwah yang disampaikan dengan tulus dari hati yang bersih pasti akan meninggalkan jejak yang mendalam. Pengaruh Guru Bakhiet tidak dapat diukur hanya dari jumlah jamaah yang memadati majelisnya, yang konon bisa mencapai puluhan ribu orang setiap kali pengajian. Pengaruhnya jauh lebih dalam, merasuk ke dalam tatanan sosial dan spiritual masyarakat.
Majelis Ta'lim Nurul Muhibbin sebagai Pusat Pencerahan
Majelis Ta'lim Nurul Muhibbin yang beliau pimpin telah menjadi sebuah institusi dakwah yang luar biasa. Ia bukan sekadar tempat pengajian rutin, melainkan telah menjadi pusat pencerahan, tempat di mana hati-hati yang gersang menemukan kesejukan, jiwa-jiwa yang resah menemukan ketenangan, dan pikiran-pikiran yang bingung menemukan petunjuk. Majelis ini terbuka untuk siapa saja, tanpa memandang status sosial, latar belakang pendidikan, atau afiliasi organisasi. Semua datang dengan niat yang sama: mencari rida Allah melalui bimbingan sang guru.
Transformasi Sosial dan Spiritual
Banyak kesaksian dari para jamaah tentang bagaimana pengajian Guru Bakhiet telah mengubah hidup mereka. Preman yang bertobat, pedagang yang menjadi lebih jujur, suami yang menjadi lebih penyayang kepada keluarganya, dan pemuda yang meninggalkan pergaulan bebas. Ajaran beliau tentang akhlak dan penyucian jiwa secara langsung berdampak pada perbaikan perilaku sosial. Beliau tidak hanya mengajarkan teori, tetapi memberikan contoh nyata melalui kepribadiannya yang tawadhu, santun, dan penuh kasih sayang. Beliau telah berhasil menanamkan nilai-nilai spiritualitas di tengah masyarakat yang semakin materialistis.
Dakwah Melintasi Batas Ruang dan Waktu
Di era digital, dakwah Guru Bakhiet tidak lagi terbatas di majelis fisiknya. Melalui rekaman audio dan video yang diunggah ke berbagai platform media sosial seperti YouTube, pesonanya menyebar ke seluruh penjuru Indonesia, bahkan hingga ke mancanegara. Orang-orang yang belum pernah bertemu langsung dengannya pun bisa merasakan sentuhan dakwahnya. Suaranya yang khas, gaya bicaranya yang jenaka namun berisi, terus menginspirasi jutaan orang. Ini adalah bukti bahwa ketika dakwah disampaikan dengan ikhlas, Allah sendiri yang akan melapangkan jalannya dan menyebarkan manfaatnya seluas mungkin.
KH. Muhammad Bakhiet adalah anugerah bagi umat. Beliau adalah potret seorang ulama yang berhasil memadukan kedalaman ilmu warisan salafus shalih dengan kearifan lokal dan pendekatan yang relevan dengan zaman. Beliau tidak membangun menara gading keilmuan yang jauh dari umat, sebaliknya, beliau turun dan merangkul semua kalangan, berbicara dengan bahasa mereka, dan menyentuh persoalan-persoalan hati mereka. Beliau adalah bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta, damai, dan rahmat. Warisannya bukanlah gedung yang megah atau harta yang melimpah, melainkan cahaya ilmu dan akhlak yang terus menyala di dalam hati para murid dan pecinta beliau, menjadi penerang jalan di tengah kegelapan.