Laa Ilaaha Illallah: Makna Mendalam di Balik Kalimat Agung
Di jantung ajaran Islam, bersemayam sebuah kalimat yang singkat namun memiliki bobot yang melebihi langit dan bumi. Kalimat tersebut adalah "Laa ilaaha illallah" (لَا إِلٰهَ إِلَّا الله). Ini bukan sekadar rangkaian kata yang diucapkan lisan, melainkan sebuah proklamasi agung, pilar utama akidah, pondasi seluruh amal, dan kunci pembuka gerbang surga. Setiap Muslim mengucapkannya berkali-kali dalam shalat, dzikir, dan adzan yang berkumandang lima kali sehari. Namun, sudahkah kita benar-benar meresapi makna dan konsekuensi dari kalimat yang mulia ini? Memahami "Laa ilaaha illallah artinya" bukan hanya tentang mengetahui terjemahan literalnya, tetapi menyelami lautan makna yang terkandung di dalamnya, yang akan mengubah cara kita memandang dunia, kehidupan, dan Sang Pencipta.
Secara harfiah, kalimat ini sering diterjemahkan sebagai "Tidak ada Tuhan selain Allah." Terjemahan ini benar, tetapi belum sepenuhnya menangkap kedalaman maknanya. Kata "Tuhan" dalam bahasa Indonesia seringkali dipahami secara pasif. Sementara kata "ilaah" dalam bahasa Arab memiliki makna yang jauh lebih aktif dan komprehensif. Sebuah "ilaah" adalah segala sesuatu yang disembah, ditaati secara mutlak, dicintai dengan puncak kecintaan, ditakuti, dan menjadi sandaran harapan tertinggi. Oleh karena itu, terjemahan yang lebih presisi adalah "Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah."
Artikel ini akan mengajak kita untuk melakukan perjalanan mendalam, mengurai setiap kata dari kalimat tauhid ini, memahami rukun-rukunnya, syarat-syarat diterimanya, keutamaan-keutamaan agung yang dijanjikan, hingga bagaimana kalimat ini seharusnya merevolusi kehidupan seorang hamba dalam setiap detiknya. Ini adalah perjalanan untuk menemukan esensi dari keberislaman kita.
Kaligrafi kalimat "Laa ilaaha illallah".
Mengurai Makna Kata demi Kata: Sebuah Bedah Linguistik dan Teologis
Untuk memahami keagungan kalimat tauhid, kita harus membedahnya menjadi empat komponen utama: Laa, ilaaha, illa, dan Allah. Setiap kata memiliki peran krusial dalam membangun sebuah pernyataan yang paling fundamental dalam Islam.
1. "Laa" (لَا) - Negasi Universal
Kata pertama, "Laa", adalah partikel negasi yang berarti "tidak ada". Namun, ini bukan sekadar negasi biasa. Dalam konteks kalimat ini, ia adalah Laa an-nafiyah lil jins, yaitu sebuah negasi yang meniadakan seluruh jenis atau esensi dari apa yang datang setelahnya. Artinya, "Laa ilaaha" tidak hanya berarti "tidak ada satu tuhan" atau "tidak ada beberapa tuhan", melainkan menolak secara total dan absolut keberadaan segala jenis sesembahan.
Ini adalah langkah pertama yang radikal: membersihkan hati dan pikiran dari segala bentuk ilah-ilah palsu. Sebelum kita menetapkan satu-satunya yang berhak disembah, kita harus terlebih dahulu meruntuhkan semua berhala, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Berhala ini bisa berupa patung dari batu, pohon keramat, atau kuburan yang diagungkan. Namun, di zaman modern, berhala bisa menjelma dalam bentuk yang lebih halus: hawa nafsu yang dituhankan, materi dan kekayaan yang menjadi tujuan hidup, jabatan dan kekuasaan yang dipuja, ideologi atau isme yang ditaati secara membabi buta, bahkan ego dan diri sendiri yang merasa paling benar. "Laa" adalah palu godam Ibrahim yang menghancurkan semua itu tanpa sisa.
2. "Ilaaha" (إِلٰهَ) - Objek Penyembahan
Kata kedua, "ilaaha", adalah kunci untuk memahami kedalaman kalimat ini. Seperti yang telah disinggung, menerjemahkannya sekadar sebagai "Tuhan" dapat mengurangi maknanya. Akar kata 'ilah' dalam bahasa Arab (a-la-ha) berputar pada makna ibadah, penyembahan, ketundukan, dan cinta yang mendalam. Sebuah 'ilah' adalah:
- Al-Ma'bud (المعبود): Sesuatu yang disembah dan diibadahi. Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin. Ini termasuk shalat, puasa, zakat, haji, doa, nadzar, rasa takut (khauf), harapan (raja'), dan cinta (mahabbah).
- Al-Mahbub (المحبوب): Sesuatu yang dicintai dengan puncak kecintaan, yang mengalahkan cinta kepada apa pun dan siapa pun.
- Al-Marghub (المرغوب): Sesuatu yang kepadanya harapan tertinggi disandarkan.
- Al-Marhub (المرهوب): Sesuatu yang paling ditakuti, baik siksa-Nya maupun murka-Nya.
- Al-Mutha' (المطاع): Sesuatu yang ditaati perintah dan larangannya secara mutlak.
Dengan demikian, ketika kita mengucapkan "Laa ilaaha", kita sedang menyatakan penolakan total untuk menjadikan apa pun selain Allah sebagai objek dari semua hal di atas. Kita menolak untuk menyembah, menuhankan, menaati secara absolut, atau mencintai secara tertinggi selain Dia.
3. "Illa" (إِلَّا) - Pengecualian dan Penetapan
Kata ketiga, "illa", adalah partikel pengecualian yang berarti "kecuali". Ini adalah jembatan yang menghubungkan antara penolakan total dengan penetapan absolut. Setelah pikiran dan hati dibersihkan oleh "Laa ilaaha", "illa" datang untuk mengisi kekosongan itu dengan satu-satunya kebenaran. Tanpa "illa", kalimat ini akan menjadi pernyataan nihilisme, sebuah penolakan tanpa tujuan. Namun dengan "illa", penolakan tersebut menjadi bermakna karena ia membuka jalan untuk sebuah penetapan yang agung.
4. "Allah" (الله) - Nama Sang Pencipta
Kata terakhir dan puncak dari kalimat ini adalah "Allah". Ini adalah nama diri (ismul a'zham) bagi satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Nama "Allah" bersifat unik. Ia tidak memiliki bentuk jamak (plural) dan tidak memiliki jenis kelamin (gender), berbeda dengan kata "god" yang bisa menjadi "gods" atau "goddess". Ini menegaskan keesaan-Nya yang mutlak (Al-Ahad).
Dengan menyebut nama "Allah", kita menetapkan bahwa seluruh makna 'ilah' yang telah kita pahami sebelumnya—hak untuk disembah, ditaati, dicintai, ditakuti, dan diharapkan—hanyalah milik-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah esensi dari Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadahan.
Dua Rukun Utama Kalimat Tauhid
Dari analisis kata per kata di atas, para ulama menyimpulkan bahwa kalimat "Laa ilaaha illallah" tegak di atas dua rukun (pilar) yang tidak dapat dipisahkan. Siapa pun yang hanya memegang salah satunya, maka tauhidnya tidaklah sah.
Rukun Pertama: An-Nafyu (النفي) - Penolakan
Rukun ini terkandung dalam bagian pertama kalimat: "Laa ilaaha". Ini adalah pilar penolakan, negasi, dan pengingkaran terhadap segala bentuk kesyirikan dan sesembahan selain Allah. Ini adalah deklarasi perang terhadap thaghut, yaitu segala sesuatu yang melampaui batas dengan disembah, ditaati, atau diikuti selain Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“...Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus...” (QS. Al-Baqarah: 256)
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa ingkar kepada thaghut (An-Nafyu) harus mendahului iman kepada Allah (Al-Itsbat). Seseorang tidak bisa disebut beriman kepada Allah jika ia masih mencampurkan imannya dengan penyembahan atau ketundukan kepada selain-Nya. Hati ibarat sebuah bejana. Sebelum diisi dengan air yang jernih (tauhid), ia harus terlebih dahulu dikosongkan dan dibersihkan dari segala kotoran (syirik). Inilah fungsi dari rukun An-Nafyu.
Rukun Kedua: Al-Itsbat (الإثبات) - Penetapan
Rukun ini terkandung dalam bagian kedua kalimat: "illallah". Ini adalah pilar penetapan, afirmasi, dan pengakuan bahwa satu-satunya yang berhak menyandang status sebagai 'ilah' adalah Allah semata. Setelah menolak semua sesembahan palsu, kita menetapkan dengan seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah-lah tujuan ibadah kita.
Seluruh ibadah, baik yang besar maupun yang kecil, yang terlihat maupun yang tersembunyi, harus dipersembahkan hanya untuk-Nya. Doa, shalat, kurban, tawakal, cinta, dan takut harus murni ditujukan kepada Allah. Inilah makna dari ikhlas, yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Kedua rukun ini, penolakan dan penetapan, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya harus ada secara bersamaan untuk mewujudkan tauhid yang sempurna.
Syarat-Syarat Diterimanya "Laa Ilaaha Illallah"
Mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan adalah pintu gerbang menuju Islam. Namun, para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah menjelaskan bahwa kalimat ini memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ia bermanfaat bagi pengucapnya di dunia dan di akhirat. Mengucapkannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya ibarat memiliki kunci tanpa gigi; ia tidak akan bisa membuka gembok surga. Berikut adalah tujuh syarat utama:
1. Al-'Ilm (العلم) - Ilmu dan Pengetahuan
Syarat pertama adalah mengetahui maknanya dengan benar, baik makna penolakan (An-Nafyu) maupun penetapan (Al-Itsbat). Seseorang tidak bisa mengimani sesuatu yang ia tidak pahami. Mengucapkan "Laa ilaaha illallah" tanpa tahu artinya adalah ucapan kosong tanpa ruh. Orang tersebut harus tahu bahwa kalimat ini menuntutnya untuk meninggalkan segala bentuk peribadahan kepada selain Allah dan mengkhususkan seluruh ibadah hanya untuk Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah...” (QS. Muhammad: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan perintah untuk "mengetahui" (فَاعْلَمْ), yang menunjukkan bahwa ilmu adalah pondasi utama. Lawan dari ilmu adalah kebodohan (Al-Jahl). Banyak orang terjerumus dalam kesyirikan karena kebodohan mereka terhadap makna kalimat tauhid ini.
2. Al-Yaqin (اليقين) - Keyakinan yang Mantap
Syarat kedua adalah meyakini kandungan kalimat ini dengan keyakinan yang 100%, tanpa ada sedikit pun keraguan atau kebimbangan di dalam hati. Keyakinan ini harus sekokoh batu karang, tidak goyah oleh syubhat (kerancuan pemikiran) atau syahwat (godaan hawa nafsu).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu Allah dengan membawa kedua kalimat ini tanpa ada keraguan di dalamnya, melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Lawan dari yakin adalah keraguan (Asy-Syakk). Orang-orang munafik di zaman Nabi mengucapkan kalimat ini dengan lisan mereka, tetapi hati mereka penuh dengan keraguan. Oleh karena itu, ucapan mereka tidak bermanfaat dan mereka ditempatkan di kerak neraka yang paling bawah.
3. Al-Qabul (القبول) - Penerimaan Sepenuh Hati
Syarat ketiga adalah menerima semua konsekuensi dari kalimat ini dengan hati dan lisan, tanpa menolak atau menyombongkan diri terhadapnya. Ini berarti menerima semua ajaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti.
Kisah kaum-kaum terdahulu yang menolak dakwah para nabi adalah contoh nyata dari pelanggaran syarat ini. Ketika para nabi mengajak mereka untuk mengucapkan "Laa ilaaha illallah", mereka menolaknya dengan kesombongan.
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: 'Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?'” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Lawan dari penerimaan adalah penolakan (Ar-Radd). Seseorang yang menerima sebagian ajaran Islam namun menolak sebagian lainnya karena tidak sesuai dengan akal atau hawa nafsunya, berarti ia belum memenuhi syarat Al-Qabul.
4. Al-Inqiyad (الانقياد) - Ketundukan dan Kepatuhan
Syarat keempat adalah tunduk, patuh, dan berserah diri secara lahiriah terhadap tuntutan kalimat ini. Jika Al-Qabul adalah penerimaan di dalam hati, maka Al-Inqiyad adalah manifestasinya dalam bentuk perbuatan. Ini berarti melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seseorang yang mengucapkan "Laa ilaaha illallah" tetapi secara sadar dan sengaja menolak untuk shalat, enggan membayar zakat, atau terang-terangan menentang hukum Allah, maka ketundukannya kepada kalimat ini patut dipertanyakan. Iman bukanlah angan-angan, melainkan apa yang terpatri di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya (aslimuu lahu)...” (QS. Az-Zumar: 54)
Lawan dari Al-Inqiyad adalah meninggalkan atau menentang (At-Tark).
5. As-Sidq (الصدق) - Kejujuran
Syarat kelima adalah mengucapkan kalimat ini dengan jujur, di mana lisan selaras dengan hati. Hatinya membenarkan apa yang diucapkan oleh lisannya. Ini adalah kebalikan dari sifat orang-orang munafik, yang mengucapkannya di lisan tetapi hati mereka mendustakannya.
Allah berfirman tentang kaum munafik:
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah akan mengharamkannya dari api neraka.” (HR. Bukhari & Muslim)
Lawan dari As-Sidq adalah kedustaan dan kemunafikan (Al-Kadzib wan Nifaq).
6. Al-Ikhlas (الإخلاص) - Keikhlasan
Syarat keenam adalah ikhlas, yaitu memurnikan niat dalam mengucapkan dan mengamalkan kalimat ini hanya untuk mencari wajah Allah semata, bukan karena tujuan duniawi seperti ingin dipuji, mencari kedudukan, atau melindungi harta dan darah. Seluruh amal ibadah yang dibangun di atas pondasi tauhid ini harus bersih dari noda-noda syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil (seperti riya' atau pamer).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, "Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia dan kesyirikannya." (HR. Muslim).
Lawan dari ikhlas adalah syirik.
7. Al-Mahabbah (المحبة) - Cinta
Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat ini, mencintai maknanya, dan mencintai segala konsekuensinya. Ia harus mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Ia juga harus mencintai para ahli tauhid (orang-orang yang menegakkan kalimat ini) dan membenci para pelaku kesyirikan (orang-orang yang membatalkan kalimat ini).
Cinta ini harus menjadi pendorong utama dalam ketaatan. Seseorang beribadah bukan hanya karena takut akan neraka atau berharap surga, tetapi karena cinta yang tulus kepada Allah.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Lawan dari Al-Mahabbah adalah kebencian (Al-Karahiyyah) atau ketidakpedulian terhadap kalimat tauhid dan para pengembannya.
Keutamaan Agung Kalimat "Laa Ilaaha Illallah"
Kalimat tauhid ini memiliki keutamaan dan fadhilah yang sangat besar, yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Ia adalah poros kebahagiaan di dunia dan akhirat. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Kunci Surga
Keutamaan paling utama adalah bahwa "Laa ilaaha illallah" merupakan kunci surga. Tidak ada seorang pun yang dapat memasukinya tanpa kunci ini. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah 'Laa ilaaha illallah', maka dia akan masuk surga." (HR. Abu Daud). Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kalimat ini hingga akhir hayat.
2. Kalimat yang Paling Berat di Timbangan Amal
Pada hari kiamat, ketika seluruh amal manusia ditimbang, kalimat tauhid ini akan menjadi pemberat timbangan kebaikan yang paling dahsyat. Hal ini dikisahkan dalam sebuah hadits yang terkenal dengan sebutan "Hadits Al-Bithaqah" (Hadits Kartu). Dikisahkan akan didatangkan seorang pria yang memiliki 99 gulungan catatan dosa, setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang. Lalu ia ditanya, "Apakah engkau mengingkari semua ini?" Ia menjawab, "Tidak, wahai Rabb." Kemudian ditanya lagi, "Apakah engkau punya uzur atau kebaikan?" Ia pun ketakutan dan berkata, "Tidak ada."
Lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami, dan engkau tidak akan dizalimi." Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu kecil (bithaqah) yang bertuliskan "Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh". Pria itu berkata, "Wahai Rabb, apa artinya kartu ini dibandingkan dengan gulungan dosa yang begitu banyak?" Allah berfirman, "Engkau tidak akan dizalimi."
Maka diletakkanlah 99 gulungan dosa di satu sisi timbangan, dan kartu kecil itu di sisi lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda, "Maka gulungan-gulungan dosa itu pun melayang ringan, dan kartu itu menjadi sangat berat. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi beratnya nama Allah." (HR. Tirmidzi & Ibnu Majah).
3. Dzikir yang Paling Utama
Di antara semua kalimat dzikir, "Laa ilaaha illallah" menempati posisi yang paling tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda, "Dzikir yang paling utama adalah 'Laa ilaaha illallah', dan doa yang paling utama adalah 'Alhamdulillah'." (HR. Tirmidzi). Mengucapkannya secara rutin akan membersihkan hati, menenangkan jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah.
4. Pelindung dari Api Neraka
Selama seseorang meninggal dunia di atas tauhid yang murni dan memenuhi syarat-syaratnya, ia dijamin tidak akan kekal di dalam neraka. Bahkan, jika ia tidak memiliki dosa besar, ia akan langsung masuk surga. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi siapa saja yang mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' dengan ikhlas hanya mengharap wajah Allah." (HR. Bukhari).
5. Sebab Diperolehnya Syafa'at Nabi ﷺ
Orang yang paling berhak dan paling bahagia mendapatkan syafa'at (pertolongan) dari Nabi Muhammad ﷺ pada hari kiamat adalah mereka yang paling ikhlas dalam tauhidnya. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Nabi, "Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafa'atmu pada hari kiamat?" Beliau menjawab, "Orang yang mengucapkan 'Laa ilaaha illallah' dengan ikhlas dari hatinya." (HR. Bukhari).
6. Pondasi Diterimanya Seluruh Amal
Tidak ada satu pun amal ibadah, sebesar apa pun itu, yang akan diterima oleh Allah jika tidak dilandasi oleh tauhid yang benar. Tauhid adalah syarat sah diterimanya amal. Amal yang dicampuri kesyirikan akan menjadi sia-sia seperti debu yang beterbangan. Allah berfirman, "Dan jika mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 88).
Konsekuensi "Laa Ilaaha Illallah" dalam Kehidupan
Memahami arti "Laa ilaaha illallah" bukan sekadar teori, tetapi harus melahirkan perubahan total dalam cara kita hidup. Ia adalah sebuah worldview, sebuah paradigma yang membentuk setiap keputusan, sikap, dan tindakan.
Pertama, pembebasan sejati. Kalimat ini membebaskan manusia dari perbudakan terhadap sesama makhluk. Ia membebaskan kita dari penghambaan kepada materi, jabatan, popularitas, hawa nafsu, dan segala bentuk thaghut modern. Satu-satunya perbudakan yang membebaskan adalah perbudakan kepada Allah, Sang Pencipta. Ketika seseorang hanya takut dan berharap kepada Allah, ia tidak akan lagi gentar menghadapi tekanan dari makhluk.
Kedua, tujuan hidup yang jelas. Kalimat ini memberikan jawaban atas pertanyaan fundamental manusia: "Untuk apa aku hidup?" Jawabannya adalah untuk beribadah kepada Allah semata, sebagaimana firman-Nya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56). Hidup bukan lagi tentang mengumpulkan harta atau mengejar kenikmatan fana, melainkan tentang mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat.
Ketiga, sumber ketenangan jiwa. Dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah (tawakal), hati menjadi tenang dan damai. Keyakinan bahwa tidak ada yang bisa memberi manfaat atau mudharat kecuali atas izin Allah akan menghilangkan rasa cemas, takut, dan iri dengki. Ketenangan sejati hanya ditemukan dalam mengingat Allah.
Keempat, standar moral yang absolut. "Laa ilaaha illallah" menetapkan bahwa sumber hukum dan standar baik-buruk tertinggi adalah wahyu dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah), bukan akal manusia yang terbatas atau kesepakatan masyarakat yang bisa berubah-ubah. Seorang Muslim menjadikan syariat sebagai panduan dalam seluruh aspek kehidupannya.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Kembali
Kalimat "Laa ilaaha illallah" adalah esensi dari seluruh risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, dari Adam hingga Muhammad ﷺ. Ia adalah kalimat yang memisahkan antara keimanan dan kekufuran, antara tauhid dan syirik, antara ahli surga dan ahli neraka. Artinya jauh lebih dalam dari sekadar "tidak ada Tuhan selain Allah"; ia adalah deklarasi penolakan total terhadap segala sesembahan palsu dan penetapan mutlak bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah dengan segala bentuk ibadah.
Ia adalah sebuah ikrar yang menuntut ilmu, keyakinan, penerimaan, ketundukan, kejujuran, keikhlasan, dan cinta. Ia bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah manhaj (metodologi) kehidupan yang lengkap. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk memahami, meyakini, mengamalkan, dan meninggal di atas kalimat yang agung ini, serta mengumpulkan kita bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Aamiin.