Di era serba instan ini, di mana rice cooker modern hadir dengan berbagai fitur canggih, ada baiknya kita menengok kembali ke masa lalu. Memasak nasi jaman dulu, sebuah praktik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menawarkan pengalaman kuliner yang jauh lebih mendalam. Lebih dari sekadar menyiapkan makanan pokok, proses ini menyimpan nilai-nilai kesabaran, kehati-hatian, dan apresiasi terhadap bahan makanan. Aroma nasi yang dimasak secara tradisional memiliki cita rasa khas yang sulit ditandingi oleh teknologi terkini.
Metode memasak nasi jaman dulu sangat bervariasi tergantung pada daerah dan kearifan lokal, namun umumnya melibatkan beberapa tahapan kunci. Semuanya berawal dari pemilihan beras yang berkualitas. Beras yang baik, bersih, dan memiliki tekstur yang pas adalah fondasi utama untuk menghasilkan nasi yang pulen dan lezat. Setelah beras dipilih, langkah selanjutnya adalah mencucinya. Proses mencuci ini bukan hanya untuk menghilangkan kotoran, tetapi juga untuk menghilangkan sebagian pati yang berlebih, yang dapat membuat nasi menjadi terlalu lengket. Air cucian pertama biasanya dibuang segera, lalu beras dicuci kembali hingga airnya jernih.
Periuk tanah liat atau gerabah adalah salah satu alat masak paling ikonik untuk nasi jaman dulu. Bahan alami dari tanah liat dipercaya dapat memberikan kehangatan dan kelembapan yang merata, menghasilkan nasi yang lembut dan beraroma khas. Prosesnya membutuhkan perhatian ekstra.
Tungku kayu bakar memberikan aroma asap yang samar namun khas pada nasi, yang menambah sensasi kenikmatan. Panas yang dihasilkan dari kayu bakar cenderung lebih merata dan memberikan kontrol suhu yang baik jika dilakukan dengan terampil.
Metode ini umum dijumpai di beberapa daerah, melibatkan proses pengukusan beras yang belum matang sempurna, lalu dikukus lagi. Ini memastikan nasi matang merata hingga ke bagian dalam.
Setiap metode memasak nasi jaman dulu mengajarkan kita tentang kesabaran. Tidak ada tombol otomatis yang bisa ditekan. Kita harus benar-benar terlibat dalam setiap langkah, merasakan bagaimana panas api berinteraksi dengan beras, dan mencium aroma yang perlahan menguar. Ini adalah bentuk meditasi kuliner yang mengembalikan kita pada akar.
Selain itu, penggunaan alat masak tradisional seperti periuk tanah liat atau panci besi yang diletakkan di atas tungku kayu bakar juga dipercaya memberikan nutrisi tambahan atau setidaknya tidak mengurangi nutrisi alami beras. Lingkungan memasak yang lebih alami ini membedakannya dari penggunaan panci modern yang terbuat dari bahan sintetis.
Memasak nasi jaman dulu bukan sekadar tentang hasil akhir nasi di piring, tetapi tentang perjalanan menemukannya. Ini adalah ritual yang menghubungkan kita dengan masa lalu, dengan nenek moyang yang telah menguasai seni sederhana namun penuh makna ini. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kembali ke akar dan menikmati kelezatan nasi yang dimasak dengan sepenuh hati adalah pengingat yang indah akan kesederhanaan dan kehangatan yang seringkali kita lupakan.