Memaknai Sifat Wajah Allah Sesuai Keagungan-Nya
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan salah satu pilar utama dalam akidah seorang muslim. Di antara sifat-sifat yang Allah sebutkan untuk Diri-Nya dalam Al-Qur'an dan lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sifat Wajah atau yang terkadang diterjemahkan sebagai muka Allah. Topik ini seringkali menjadi titik perdebatan karena sensitivitasnya dan potensi kesalahpahaman yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya (tasybih) atau penolakan sifat-Nya (ta'thil). Oleh karena itu, pendekatan yang benar dalam memahami sifat ini adalah dengan merujuk kepada pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi'in, dan para ulama yang mengikuti jejak mereka dengan lurus.
Prinsip dasar yang harus dipegang teguh adalah mengimani dan menetapkan apa yang Allah tetapkan bagi Diri-Nya dan apa yang Rasulullah tetapkan bagi-Nya, tanpa melampaui batas. Sifat wajah bagi Allah adalah sifat yang hakiki, yang benar-benar ada, namun dengan cara yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Wajah-Nya tidak serupa dengan wajah makhluk manapun, sebagaimana Dzat-Nya tidak serupa dengan dzat makhluk manapun. Inilah kaidah emas yang disimpulkan dari firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
QS. Asy-Syura: 11
Ayat ini merupakan fondasi utama dalam memahami seluruh sifat Allah. Bagian pertama ayat, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia," menolak segala bentuk penyerupaan (tamtsil dan tasybih). Sementara bagian kedua, "dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat," menetapkan bahwa Allah memiliki sifat (itsbat). Kombinasi antara penafian keserupaan dan penetapan sifat inilah yang menjadi manhaj (metodologi) Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dengan demikian, kita menetapkan adanya muka Allah, namun menafikan keserupaannya dengan muka para makhluk-Nya.
Dalil Penetapan Sifat Wajah Allah dalam Al-Qur'an
Al-Qur'anul Karim, sebagai sumber utama akidah Islam, menyebutkan sifat Wajah Allah di banyak ayat. Setiap penyebutan memiliki konteks yang memperkaya pemahaman kita tentang keagungan sifat ini. Ayat-ayat ini secara tegas menetapkan adanya Wajah bagi Allah, dan para ulama salaf memahaminya secara hakiki sesuai dengan kebesaran-Nya.
1. Kekekalan Wajah Allah
Salah satu dalil yang paling terkenal adalah firman Allah dalam Surah Ar-Rahman. Dalam konteks menjelaskan kefanaan seluruh makhluk di bumi, Allah menegaskan kekekalan Dzat-Nya yang disifati dengan Wajah yang Mulia.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan."
QS. Ar-Rahman: 26-27
Ayat ini dengan sangat jelas membedakan antara makhluk yang bersifat fana (binasa) dengan Sang Pencipta yang bersifat baqa' (kekal). Kekekalan ini dinisbatkan kepada "Wajah Tuhanmu". Para ulama menjelaskan bahwa penyebutan Wajah di sini menunjukkan penetapan sifat tersebut bagi Allah. Keseluruhan Dzat Allah adalah kekal, dan penyebutan Wajah secara khusus adalah untuk menegaskan keberadaan sifat ini, sekaligus menunjukkan bahwa Wajah adalah bagian dari Dzat-Nya yang paling mulia. Sifat "Dzul Jalali wal Ikram" (Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan) yang mengikuti kata "Wajah" semakin menguatkan bahwa muka Allah adalah sifat yang agung dan mulia, jauh dari bayangan kekurangan atau keserupaan dengan makhluk.
2. Tujuan Amal Ibadah adalah Wajah Allah
Dalam banyak ayat, Al-Qur'an mengaitkan amal saleh dengan niat untuk mencari "Wajah Allah". Ini menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari setiap perbuatan seorang hamba adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya dan memandang Wajah-Nya di akhirat kelak.
وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ
"Dan tidaklah kamu menafkahkan sesuatu melainkan karena mencari Wajah Allah."
QS. Al-Baqarah: 272
Juga dalam kisah para ahli surga yang memberi makan orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, mereka menegaskan keikhlasan niat mereka:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan (Wajah) Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih."
QS. Al-Insan: 9
Frasa "ibtigha'a wajhillah" (mencari Wajah Allah) adalah ungkapan yang sangat dalam. Ia menandakan tingkat keikhlasan tertinggi. Seorang hamba tidak beramal karena ingin dilihat manusia, tidak pula karena mengharap imbalan duniawi, bahkan tidak semata-mata karena takut akan neraka atau ingin akan surga dalam artian kenikmatan fisiknya. Tujuan puncaknya adalah Allah itu sendiri, keridhaan-Nya, dan kenikmatan tertinggi yaitu memandang Wajah-Nya. Ini menunjukkan bahwa Wajah Allah adalah sesuatu yang nyata, yang menjadi puncak kerinduan dan harapan kaum beriman. Menginterpretasikan "wajah" di sini hanya sebagai "pahala" akan mengurangi kedalaman makna ikhlas ini. Sebab, pahala adalah ciptaan Allah, sedangkan Wajah adalah sifat-Nya. Tentu, mencari Wajah-Nya akan mendatangkan pahala, tetapi tujuan utamanya jauh lebih mulia dari sekadar ciptaan-Nya.
3. Keberadaan Allah di Setiap Arah
Ayat lain yang sering dikutip dalam pembahasan ini adalah firman-Nya mengenai arah kiblat.
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."
QS. Al-Baqarah: 115
Ayat ini turun dalam konteks tertentu, ada yang mengatakan terkait shalat sunnah di atas kendaraan saat safar, atau ketika seseorang berijtihad menentukan arah kiblat namun keliru. Makna "di situlah Wajah Allah" dipahami oleh para ulama salaf sebagai penetapan sifat Wajah, dan juga bermakna bahwa arah yang dituju dalam shalat tersebut adalah arah yang diridhai Allah. Imam Mujahid, murid dari Ibnu Abbas, menafsirkan "Wajah Allah" di sini sebagai "Kiblat Allah". Namun, penafsiran ini tidak menafikan penetapan sifat Wajah itu sendiri. Justru, karena Allah memiliki Wajah yang hakiki, maka arah yang Dia perintahkan untuk menghadap menjadi mulia. Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu, kekuasaan, dan rahmat-Nya. Kemanapun seorang hamba menghadap dengan perintah-Nya, ia sedang menghadap kepada Allah dan mencari Wajah-Nya. Ini menunjukkan kebesaran Allah yang tidak dibatasi oleh arah tertentu, meskipun Dia berada tinggi di atas 'Arsy-Nya, sesuai dengan dalil-dalil lainnya.
Dalil dari As-Sunnah yang Menetapkan Sifat Muka Allah
Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penjelas Al-Qur'an, juga dipenuhi dengan hadits-hadits yang secara eksplisit menetapkan sifat Wajah bagi Allah. Hadits-hadits ini semakin memperkuat keyakinan kita dan memberikan gambaran yang lebih rinci tentang keagungan sifat ini.
1. Doa Perlindungan dengan Wajah-Nya yang Mulia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali berdoa dan berlindung dengan menyebut sifat-sifat Allah, termasuk Wajah-Nya. Salah satu doa yang masyhur adalah:
"أَعُوذُ بِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ"
"Aku berlindung dengan Wajah-Mu yang Mulia."
Dalam doa lainnya ketika menghadapi kesulitan, beliau mengucapkan:
"اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ"
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang karenanya segala kegelapan menjadi terang, dan menjadi baik karenanya urusan dunia dan akhirat."
Doa-doa ini memiliki implikasi akidah yang sangat kuat. Seseorang tidak boleh berlindung kepada makhluk dalam perkara yang hanya mampu dilakukan oleh Allah. Ketika Rasulullah, manusia paling bertauhid, berlindung kepada "Wajah Allah" dan "cahaya Wajah-Nya", ini menunjukkan bahwa Wajah adalah sifat Dzat yang hakiki milik Allah, bukan makhluk atau sesuatu yang terpisah dari-Nya. Ini adalah dalil tak terbantahkan bahwa muka Allah adalah sifat yang nyata, agung, dan menjadi tempat bergantung serta berlindung bagi hamba-hamba-Nya.
2. Hijab (Tabir) Allah adalah Cahaya
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menggambarkan keagungan Wajah Allah yang tak terbayangkan. Dari Abu Musa Al-Asy'ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ، وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ، يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ، يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ، حِجَابُهُ النُّورُ - وفي رواية: النَّارُ - لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ"
"Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak tidur dan tidak pantas bagi-Nya untuk tidur. Dia merendahkan dan meninggikan timbangan (keadilan). Diangkat kepada-Nya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam. Hijab-Nya adalah cahaya—dalam riwayat lain: api. Seandainya Dia menyingkap hijab tersebut, niscaya kemegahan Wajah-Nya akan membakar seluruh makhluk-Nya sejauh pandangan-Nya mencapai."
(HR. Muslim)
Hadits ini memberikan gambaran yang membuat hati bergetar akan keperkasaan dan keagungan Allah. "Subuhatul Wajh" diterjemahkan sebagai kemegahan, keindahan, atau cahaya Wajah-Nya. Kekuatan cahaya dari muka Allah ini sedemikian dahsyatnya hingga tak ada satu pun makhluk yang sanggup menahannya. Ini adalah penetapan sifat Wajah yang paling jelas, sekaligus penafian total terhadap segala bentuk penyerupaan. Wajah makhluk mana yang memiliki cahaya yang bisa membakar seluruh alam semesta? Hadits ini mengajarkan kita untuk mengagungkan Allah dan memahami betapa lemah dan hinanya kita di hadapan-Nya.
3. Memandang Wajah Allah sebagai Nikmat Tertinggi di Surga
Puncak dari segala kenikmatan bagi penduduk surga, yang melebihi segala keindahan sungai, bidadari, dan istana, adalah kesempatan untuk memandang Wajah Allah secara langsung. Ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang didasarkan pada dalil-dalil yang sangat banyak (mutawatir).
Allah berfirman:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ. إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat."
QS. Al-Qiyamah: 22-23
Dalam sebuah hadits dari Shuhaib Ar-Rumi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa setelah penduduk surga masuk surga, Allah akan bertanya, "Apakah kalian menginginkan tambahan sesuatu?" Mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?" Lalu Nabi bersabda, "Maka Allah pun menyingkap hijab-Nya. Dan tidaklah mereka diberi suatu kenikmatan yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada Rabb mereka." (HR. Muslim). Inilah makna dari "ziyadah" (tambahan) dalam firman Allah di Surah Yunus ayat 26.
Keyakinan akan melihat wajah Allah di akhirat ini merupakan motivasi terbesar bagi seorang mukmin untuk terus beribadah, bersabar di atas ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan. Kerinduan untuk bertemu dan memandang Sang Pencipta menjadi bahan bakar semangat dalam menjalani kehidupan dunia yang penuh ujian. Ini juga sekali lagi menegaskan bahwa muka Allah adalah sifat yang hakiki, karena sesuatu yang tidak ada tentu tidak bisa dilihat.
Metodologi Ahlus Sunnah dalam Memahami Sifat Wajah
Menghadapi dalil-dalil yang begitu banyak dan jelas, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, para ulama salafush shalih (generasi terdahulu yang saleh) merumuskan sebuah kaidah yang aman dan selamat dalam memahami sifat-sifat Allah, termasuk sifat muka Allah. Kaidah ini berdiri di atas pilar-pilar yang menjaga seorang muslim dari penyimpangan, baik ke arah penyerupaan (tasybih) maupun penolakan (ta'thil).
Empat Pilar Utama Manhaj Salaf
Metodologi ini dapat dirangkum dalam empat poin utama yang harus dipegang teguh secara bersamaan:
- Itsbat (Menetapkan): Kita wajib menetapkan dan mengimani bahwa Allah memiliki Wajah, karena Dia sendiri yang memberitakannya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Menolak atau mengingkari sifat ini berarti mendustakan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
- Bilaa Takyif (Tanpa Bertanya 'Bagaimana'): Kita dilarang keras untuk membayangkan atau bertanya tentang kaifiyah (hakikat bentuk atau 'bagaimana'-nya) dari sifat Allah. Akal manusia yang terbatas tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat dan sifat Sang Pencipta yang tidak terbatas. Ketika Imam Malik ditanya tentang bagaimana Allah bersemayam (istiwa'), beliau menjawab, "Istiwa' itu maklum (maknanya diketahui), kaifiyah-nya majhul (tidak diketahui), mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." Kaidah emas ini berlaku untuk semua sifat Allah, termasuk sifat muka Allah.
- Bilaa Tamtsil (Tanpa Menyerupakan): Kita wajib menafikan segala bentuk penyerupaan antara Wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. Wajah Allah agung, mulia, bercahaya, dan kekal, sesuai dengan kebesaran-Nya. Sedangkan wajah makhluk penuh dengan kekurangan, fana, dan terbatas. Menyerupakan Wajah Allah dengan wajah makhluk adalah kekufuran yang nyata, karena menyamakan Pencipta dengan ciptaan-Nya. Landasannya adalah QS. Asy-Syura: 11.
- Bilaa Ta'wil dan Ta'thil (Tanpa Menyelewengkan Makna dan Menolak): Kita tidak boleh menyelewengkan makna lafaz "Wajah" kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh dalil, seperti menafsirkannya sebagai "Dzat", "pahala", atau "rahmat" secara mutlak. Meskipun dalam beberapa konteks bahasa Arab kata "wajah" bisa digunakan secara majas, namun pada dasarnya ia adalah sifat Dzat. Menyelewengkan semua dalil tentang sifat muka Allah kepada makna lain adalah bentuk ta'thil (pengosongan atau penolakan sifat) yang tersembunyi. Ahlus Sunnah menetapkan makna hakiki dari lafaz tersebut, yaitu Wajah yang sesungguhnya, namun dengan pemahaman bahwa hakikatnya tidak kita ketahui dan tidak serupa dengan makhluk.
Jalan Tengah di Antara Kelompok yang Menyimpang
Dengan manhaj yang lurus ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah berada di posisi pertengahan di antara dua kelompok ekstrem.
Di satu sisi adalah kelompok Musyabbihah atau Mujassimah, yaitu mereka yang menetapkan sifat Allah namun kebablasan hingga menyerupakan-Nya dengan makhluk. Mereka berkata, "Allah punya wajah seperti wajah kita," atau membayangkan bentuk tertentu bagi muka Allah. Ini adalah kesesatan yang nyata karena melanggar prinsip "Laisa kamitslihi syai'un".
Di sisi lain adalah kelompok Mu'attilah, yaitu mereka yang menolak dan mengingkari sifat-sifat Allah. Mereka terbagi lagi menjadi beberapa golongan. Ada yang menolak secara total seperti Jahmiyyah. Ada pula yang menolaknya dengan cara menyelewengkan maknanya (ta'wil), seperti sebagian kelompok Asy'ariyah dan Maturidiyah. Alasan mereka melakukan ta'wil adalah untuk lari dari tasybih (penyerupaan). Mereka khawatir jika menetapkan sifat muka Allah secara hakiki, maka akan terjerumus pada penyerupaan dengan makhluk. Namun, niat baik ini tidak diiringi dengan metode yang benar. Mereka seolah-olah tidak mampu menggabungkan antara penetapan sifat dengan penafian keserupaan, padahal Al-Qur'an telah menggabungkannya dalam satu ayat (QS. Asy-Syura: 11).
Jalan yang selamat adalah jalan para salaf: kita tetapkan adanya muka Allah karena dalilnya ada, dan pada saat yang sama kita yakini bahwa muka Allah tidak sama dengan muka makhluk. Selesai. Kita tidak perlu membebani akal kita dengan sesuatu yang tidak akan mampu dijangkaunya. Inilah puncak dari penyerahan diri dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Buah Keimanan Terhadap Sifat Wajah Allah
Mengimani sifat muka Allah dengan benar bukan sekadar perdebatan teologis yang kering. Keimanan ini, jika meresap ke dalam hati, akan menghasilkan buah-buah manis yang akan tercermin dalam sikap, perkataan, dan perbuatan seorang hamba.
Pertama, memurnikan keikhlasan. Ketika seorang hamba memahami bahwa tujuan tertinggi dari amalnya adalah "mencari Wajah Allah", maka ia akan berusaha membersihkan niatnya dari segala bentuk riya' (pamer), sum'ah (ingin didengar), dan tujuan duniawi lainnya. Ia sadar bahwa pujian manusia akan sirna, harta benda akan lenyap, tetapi Wajah Allah kekal. Amal yang dilakukan demi Wajah-Nya inilah yang akan abadi dan diterima di sisi-Nya.
Kedua, menumbuhkan rasa tawakkal dan zuhud. Keyakinan bahwa "semua yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Wajah Tuhanmu" akan membuat seorang hamba tidak terlalu terikat dengan dunia. Ia menyadari bahwa segala gemerlap dunia ini fana. Jabatan, kekayaan, dan segala yang ia kejar akan musnah. Hanya Allah dan apa yang ada di sisi-Nya yang kekal. Kesadaran ini menumbuhkan sikap zuhud (tidak rakus dunia) dan tawakkal (bersandar hanya kepada Allah) dalam hatinya.
Ketiga, meningkatkan rasa cinta dan rindu kepada Allah. Mengetahui bahwa nikmat terbesar di surga adalah memandang Wajah Allah akan menumbuhkan benih-benih cinta dan kerinduan yang mendalam di hati seorang mukmin. Ia akan merindukan perjumpaan dengan Rabb-nya. Kerinduan inilah yang akan membuatnya ringan dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menghadapi musibah. Setiap shalatnya adalah momen untuk "bertemu", dan setiap doanya adalah ungkapan kerinduan untuk memandang Wajah-Nya yang Mulia kelak.
Keempat, melahirkan pengagungan dan rasa takut. Hadits tentang hijab cahaya yang jika tersingkap akan membakar seluruh makhluk sejauh pandangan-Nya, menanamkan rasa takjub, pengagungan (ta'zhim), dan rasa takut yang berlandaskan cinta (khauf) kepada Allah. Hamba menjadi sadar betapa Agung dan Perkasa Rabb yang ia sembah. Pengagungan ini akan mencegahnya dari meremehkan perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya.
Kesimpulan
Sifat Wajah atau muka Allah adalah sifat Dzat yang hakiki, yang telah ditetapkan oleh Allah untuk Diri-Nya di dalam Al-Qur'an dan melalui lisan Rasul-Nya dalam As-Sunnah. Kewajiban kita adalah mengimaninya sebagaimana datangnya dalil, tanpa mengubah maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta'thil), tanpa bertanya-tanya tentang hakikatnya (takyif), dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil). Wajah Allah adalah sifat kesempurnaan, kemuliaan, dan keagungan yang sesuai dengan kebesaran-Nya.
Memahami sifat ini dengan benar akan menyelamatkan kita dari penyimpangan akidah, sekaligus akan membuahkan hasil yang positif dalam kehidupan kita sehari-hari, mulai dari memurnikan niat, menumbuhkan rasa cinta dan takut, hingga menjadikan keridhaan dan perjumpaan dengan-Nya sebagai tujuan hidup tertinggi. Semoga Allah menganugerahkan kita nikmat untuk dapat memandang Wajah-Nya yang Mulia di surga kelak, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Pemberi karunia.