Pergulatan Dakwah: Membedah Figur Musuh Nabi Muhammad

Cahaya di Tengah Kegelapan Ilustrasi simbolis cahaya kebenaran yang dikelilingi oleh kegelapan permusuhan dan kejahiliyahan.

Akar Permusuhan di Jantung Mekkah

Kisah perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tidak terlepas dari tantangan, rintangan, dan permusuhan yang sengit. Untuk memahami esensi dari perjuangan ini, penting untuk menelusuri akar mengapa pesan tauhid yang dibawanya memicu reaksi keras dari masyarakat Quraisy di Mekkah. Permusuhan ini bukanlah sekadar kebencian personal, melainkan benturan fundamental antara sebuah tatanan baru yang adil dan egaliter dengan sistem lama yang sarat dengan kesombongan, paganisme, dan ketidakadilan sosial.

Mekkah pada masa itu adalah pusat spiritual dan ekonomi Jazirah Arab. Ka'bah, yang dihormati sebagai rumah suci, dikelilingi oleh ratusan berhala yang menjadi sesembahan berbagai kabilah. Para pemuka Quraisy, sebagai penjaga Ka'bah, menikmati status sosial yang tinggi dan keuntungan ekonomi yang melimpah dari tradisi paganisme ini. Mereka adalah aristokrat yang kekuasaan dan kekayaannya dibangun di atas fondasi sistem jahiliyah. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad—yang menekankan penyembahan hanya kepada satu Tuhan, Allah SWT—secara langsung mengancam seluruh struktur kekuasaan ini. Menghilangkan berhala berarti menghilangkan sumber legitimasi dan pendapatan mereka.

Selain faktor ekonomi dan religius, ada pula faktor sosial dan kebanggaan kesukuan (asabiyah). Masyarakat Arab pra-Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan suku dan leluhur. Ajaran Islam datang membawa konsep revolusioner: bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari keturunan atau kekayaan, melainkan dari ketakwaannya. Konsep ini menantang hierarki sosial yang telah mapan. Para bangsawan Quraisy tidak bisa menerima bahwa mereka harus setara dengan budak atau orang-orang miskin yang memeluk Islam. Mereka memandang risalah kenabian yang diterima oleh Muhammad, seorang anak yatim dari klan Bani Hasyim, sebagai ancaman terhadap supremasi klan-klan dominan lainnya.

Tokoh-Tokoh Sentral Penentang Dakwah

Di tengah gelombang penolakan ini, muncul beberapa figur yang menjadi motor penggerak utama permusuhan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Mereka menggunakan segala cara, mulai dari cemoohan, fitnah, intimidasi, penyiksaan fisik, hingga boikot ekonomi dan rencana pembunuhan. Kisah mereka adalah cerminan dari kegelapan hati yang menolak cahaya kebenaran karena terbelenggu oleh keangkuhan dan kepentingan duniawi.

Abu Lahab: Permusuhan dari Kerabat Terdekat

Nama aslinya adalah Abdul Uzza ibn Abdul Muthalib. Ia adalah paman kandung Nabi Muhammad. Ironisnya, permusuhan paling tajam justru datang dari lingkaran keluarga terdekat. Sejak awal dakwah secara terang-terangan, Abu Lahab menjadi penentang nomor satu. Ketika Nabi mengumpulkan kaum kerabatnya di bukit Shafa untuk menyampaikan risalah, Abu Lahab dengan angkuh memotong pembicaraan dan berkata, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Sikapnya tidak hanya sebatas kata-kata. Ia secara aktif mengikuti Nabi ke mana pun beliau berdakwah, terutama saat musim haji, untuk mendustakan dan mencelanya di hadapan para peziarah dari berbagai kabilah. Ia akan berteriak di belakang Nabi, "Jangan dengarkan dia, dia seorang pendusta dan penyihir!" Tujuannya jelas: menghalangi siapa pun dari luar Mekkah untuk tertarik pada ajaran Islam.

Permusuhan Abu Lahab begitu hebatnya sehingga namanya diabadikan dalam Al-Qur'an melalui Surah Al-Masad, sebuah celaan abadi atas penolakannya yang membabi buta. Surah ini juga menyebutkan istrinya, Umm Jamil, yang turut serta dalam menyakiti Nabi dengan menyebarkan duri di jalan yang biasa dilalui oleh Rasulullah.

Umm Jamil, yang juga saudara perempuan Abu Sufyan, adalah representasi dari kebencian yang mendarah daging. Ia dikenal sebagai pembawa kayu bakar, sebuah kiasan untuk perannya sebagai penyebar fitnah yang membakar api permusuhan. Kebencian pasangan ini buta, tidak terhalang oleh ikatan darah sekalipun. Mereka adalah contoh nyata bagaimana kesombongan dan kekafiran dapat memutuskan tali persaudaraan yang paling erat.

Abu Jahal: Firaun Umat Ini

Amr ibn Hisham dari klan Bani Makhzum adalah musuh bebuyutan Islam yang paling brutal dan arogan. Karena kebodohan dan kebenciannya yang ekstrem terhadap kebenaran, ia dijuluki oleh kaum Muslimin sebagai "Abu Jahal" (Bapak Kebodohan), sebuah antitesis dari julukan aslinya di kalangan Quraisy, "Abu al-Hakam" (Bapak Kebijaksanaan). Abu Jahal adalah representasi sempurna dari tirani intelektual dan fisik. Ia cerdas dalam strategi, berpengaruh di kalangan para pembesar, namun menggunakan kecerdasannya untuk memadamkan cahaya Islam.

Kebenciannya didasari oleh persaingan kesukuan. Ia pernah berkata bahwa klannya, Bani Makhzum, telah bersaing dalam segala hal dengan Bani Hasyim (klan Nabi). Ketika Bani Hasyim mengklaim memiliki seorang nabi, Abu Jahal tidak bisa menerimanya karena itu akan memberikan keunggulan mutlak bagi klan saingannya. Baginya, ini bukan tentang kebenaran atau kebatilan, melainkan tentang gengsi dan kekuasaan.

Abu Jahal adalah otak di balik banyak penyiksaan terhadap kaum Muslimin yang lemah. Ia secara pribadi menyiksa keluarga Yasir. Ia menikam Sumayyah, ibu dari Ammar bin Yasir, hingga syahid. Sumayyah pun tercatat sebagai syahidah pertama dalam sejarah Islam, sebuah simbol kekejaman Abu Jahal yang tak mengenal batas. Ia juga merupakan inisiator utama pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib selama bertahun-tahun, sebuah tindakan keji yang menyebabkan kelaparan dan penderitaan hebat.

Puncak dari permusuhannya adalah ketika ia mengusulkan dalam pertemuan di Dar an-Nadwa agar setiap klan mengirim seorang pemuda kuat untuk bersama-sama membunuh Nabi Muhammad. Dengan cara ini, tanggung jawab akan terbagi rata dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut balas kepada semua klan. Rencana licik ini berhasil digagalkan oleh Allah dengan peristiwa Hijrah. Keangkuhan Abu Jahal akhirnya berakhir secara hina di medan Perang Badr. Ia tewas di tangan dua pemuda Anshar, sebuah akhir yang simbolis di mana tirani besar tumbang oleh kekuatan yang sebelumnya ia remehkan.

Abu Sufyan ibn Harb: Pemimpin Oposisi yang Akhirnya Tunduk

Sebagai pemimpin klan Bani Umayyah, Abu Sufyan adalah salah satu tokoh Quraisy yang paling berpengaruh dan kaya raya. Awalnya, ia tidak seekstrem Abu Jahal, namun setelah kekalahan Quraisy di Badr dan tewasnya para pemimpin senior, Abu Sufyan naik menjadi komandan tertinggi pasukan Mekkah. Permusuhannya lebih bersifat strategis dan politis. Ia memandang Nabi Muhammad sebagai ancaman serius terhadap hegemoni politik dan jalur perdagangan Quraisy.

Di bawah kepemimpinannya, pasukan Quraisy melancarkan Perang Uhud sebagai ajang balas dendam atas kekalahan di Badr. Ia juga menjadi arsitek utama koalisi besar dalam Perang Khandaq (Perang Parit), di mana ia berhasil mengumpulkan ribuan pasukan dari berbagai kabilah Arab dan Yahudi untuk mengepung Madinah. Kegagalan pengepungan ini menjadi titik balik yang melemahkan posisi Quraisy secara signifikan.

Kisah Abu Sufyan menarik karena perjalanannya tidak berakhir dalam kekafiran. Ia adalah musuh yang cerdik dan pragmatis. Ketika ia melihat kekuatan Islam tumbuh tak terbendung dan menyadari bahwa perlawanan lebih lanjut akan sia-sia, terutama saat peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah), ia memilih untuk memeluk Islam. Meskipun ada perdebatan mengenai ketulusan awalnya, Nabi Muhammad tetap menghormatinya. Beliau bahkan memberikan kehormatan dengan mengumumkan, "Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, ia aman." Sikap lapang dada Nabi ini menunjukkan bahwa pintu taubat selalu terbuka, bahkan untuk musuh terbesar sekalipun.

Umayyah ibn Khalaf: Tiran Para Budak

Umayyah ibn Khalaf adalah seorang majikan yang kejam dari klan Bani Jumah. Ia adalah simbol penindasan kelas sosial yang dilawan oleh Islam. Musuh utamanya bukanlah Nabi secara langsung, melainkan prinsip kesetaraan yang diajarkan oleh Islam. Ia tidak bisa menerima bahwa budaknya, Bilal bin Rabah, berani memeluk agama baru yang menyetarakan derajat mereka di hadapan Tuhan.

Penyiksaan yang dilakukan Umayyah terhadap Bilal adalah salah satu kisah paling memilukan sekaligus inspiratif dalam sejarah awal Islam. Setiap hari di tengah terik matahari padang pasir, Bilal dibaringkan di atas pasir panas, lalu sebuah batu besar diletakkan di atas dadanya. Umayyah terus-menerus memaksanya untuk meninggalkan Islam dan kembali menyembah Latta dan Uzza. Namun, dari lisan Bilal yang tertindih hanya keluar satu kata: "Ahad, Ahad" (Yang Maha Esa, Yang Maha Esa). Keteguhan iman Bilal di hadapan siksaan brutal menunjukkan kekuatan akidah yang tidak bisa dihancurkan oleh kekerasan fisik.

Takdir mempertemukan Umayyah dengan Bilal sekali lagi di Perang Badr. Namun, kali ini posisinya terbalik. Umayyah menjadi tawanan, sementara Bilal adalah seorang pejuang Muslim yang merdeka. Meskipun ada upaya untuk melindunginya sebagai tawanan, kemarahan para sahabat yang mengingat kekejamannya di Mekkah tak terbendung. Umayyah akhirnya tewas di tangan orang-orang yang dulu ia tindas, sebuah keadilan ilahi atas tiraninya.

Al-Walid ibn al-Mughirah: Penolakan karena Kesombongan Intelektual

Al-Walid adalah seorang tokoh yang sangat dihormati di Mekkah. Ia dikenal karena kekayaan, kebijaksanaan, dan kepiawaiannya dalam sastra Arab. Berbeda dengan Abu Jahal yang penolakannya emosional, Al-Walid pada awalnya mengakui keindahan dan kekuatan Al-Qur'an. Ia pernah mendengarkan bacaan Nabi dan berkata, "Demi Tuhan, perkataan yang ia ucapkan memiliki kemanisan, dan darinya terpancar keindahan. Akarnya menghujam kuat dan cabangnya menjulang tinggi."

Pengakuannya ini membuat para pemuka Quraisy khawatir. Mereka takut jika seorang sekelas Al-Walid memeluk Islam, maka banyak orang akan mengikutinya. Mereka mendesaknya untuk mengatakan sesuatu yang buruk tentang Al-Qur'an. Setelah berpikir panjang, didorong oleh gengsi dan tekanan sosial, Al-Walid akhirnya membuat pernyataan yang akan menghantuinya. Ia berkata, "Ini tidak lain adalah sihir yang dipelajari (dari orang lain)."

Kisah Al-Walid adalah tragedi seorang intelektual yang mengakui kebenaran tetapi menolaknya karena kesombongan. Ia tidak ingin kehilangan statusnya sebagai orang bijak di kalangan kaumnya. Penolakannya bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena keengganan untuk tunduk pada kebenaran yang datang dari orang yang dianggapnya tidak selevel dengannya.

Oposisi dari Luar Mekkah: Munafik dan Pelanggar Perjanjian

Setelah Hijrah ke Madinah, bentuk permusuhan yang dihadapi Nabi Muhammad menjadi lebih kompleks. Selain ancaman eksternal dari Quraisy Mekkah, muncul pula musuh dari dalam selimut dan dari kalangan non-Arab yang sebelumnya terikat perjanjian.

Abdullah ibn Ubayy ibn Salul: Pemimpin Kaum Munafik

Di Madinah, Islam diterima dengan tangan terbuka oleh suku Aus dan Khazraj. Namun, tidak semua orang tulus. Abdullah ibn Ubayy adalah seorang tokoh terkemuka dari suku Khazraj yang hampir dinobatkan menjadi raja Yatsrib (nama Madinah sebelum Hijrah). Kedatangan Nabi Muhammad dan penyebaran Islam menggagalkan ambisinya. Karena tidak berani menentang secara terbuka akibat kuatnya dukungan rakyat Madinah terhadap Islam, ia memilih jalan kemunafikan.

Ia berpura-pura memeluk Islam, namun hatinya penuh dengan kedengkian. Ia menjadi pemimpin bagi sekelompok orang yang disebut "munafiqun". Mereka shalat bersama kaum Muslimin, tetapi di belakang mereka menyebar fitnah, merencanakan perpecahan, dan bekerja sama dengan musuh-musuh Islam.

Beberapa tindakan khianatnya yang terkenal antara lain:

Meskipun kebusukannya berulang kali terungkap, Nabi Muhammad selalu menanganinya dengan kesabaran luar biasa. Beliau tidak pernah memerintahkan untuk membunuhnya, dengan alasan agar orang tidak berkata "Muhammad membunuh sahabatnya sendiri." Sikap ini menunjukkan kebijaksanaan politik dan akhlak mulia Nabi dalam menghadapi musuh internal yang paling berbahaya sekalipun.

Kabilah-Kabilah Yahudi di Madinah

Setibanya di Madinah, salah satu langkah pertama Nabi Muhammad adalah menyusun Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang mengatur kehidupan bersama antara kaum Muslimin, Yahudi, dan kelompok lain. Piagam ini menjamin kebebasan beragama dan hak-hak setiap komunitas, dengan syarat semua pihak harus bersatu mempertahankan Madinah dari serangan luar.

Namun, beberapa kabilah Yahudi—terutama Banu Qaynuqa, Banu Nadhir, dan Banu Qurayzah—berulang kali melanggar perjanjian ini. Permusuhan mereka didasari oleh beberapa faktor, termasuk arogansi rasial karena merasa sebagai "umat pilihan", dan kecemburuan ekonomi serta politik atas meningkatnya pengaruh kaum Muslimin. Mereka tidak bisa menerima bahwa nabi terakhir yang ditunggu-tunggu ternyata datang dari kalangan bangsa Arab, bukan dari keturunan Bani Israil.

Pengkhianatan mereka terjadi dalam beberapa peristiwa kunci:

Kesimpulan: Kemenangan Moral Atas Permusuhan

Kisah para musuh Nabi Muhammad adalah pelajaran abadi tentang sifat manusia. Permusuhan mereka lahir dari kesombongan, ketakutan akan kehilangan status, fanatisme kesukuan, dan keengganan untuk melepaskan tradisi jahiliyah yang menguntungkan mereka. Mereka bukanlah musuh personal Nabi, melainkan musuh dari nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan tauhid yang beliau bawa.

Namun, yang lebih menakjubkan dari sengitnya permusuhan ini adalah cara Nabi Muhammad menghadapinya. Beliau membalas cemoohan dengan kesabaran, boikot dengan keteguhan, dan pengkhianatan dengan kewaspadaan namun tetap membuka pintu maaf. Puncak dari kemenangan moral ini terjadi pada peristiwa Fathu Makkah. Ketika beliau memasuki kota kelahirannya sebagai pemenang mutlak, beliau tidak melakukan balas dendam. Kepada para musuhnya yang telah menyiksa, mengusir, dan memeranginya selama bertahun-tahun, beliau bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Kebaikan, wahai saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia."

Nabi pun bersabda, "Pergilah, kalian semua bebas." Pengampunan massal ini menghancurkan sendi-sendi permusuhan dan menunjukkan bahwa tujuan akhir dari dakwahnya bukanlah untuk menaklukkan manusia, tetapi untuk membebaskan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari permusuhan menuju persaudaraan. Inilah kemenangan sejati yang gemanya masih terasa hingga hari ini.

🏠 Homepage