Ilustrasi azab kaum Sodom: kota yang dijungkirbalikkan dan dihujani batu. Ilustrasi azab kaum Sodom: kota yang dijungkirbalikkan dan dihujani batu.

Kisah Nabi Luth Diutus untuk Kaum Sodom yang Ingkar

Dalam lipatan sejarah kemanusiaan, terukir kisah-kisah yang menjadi ibrah atau pelajaran abadi. Salah satu yang paling mengguncang dan sarat makna adalah riwayat tentang diutusnya seorang nabi yang mulia kepada suatu kaum yang telah terjerumus ke dalam palung kenistaan yang tak pernah ada sebelumnya. Inilah kisah Nabi Luth ‘alaihissalam, seorang hamba Allah yang sabar dan teguh, yang diutus untuk kaum Sodom. Kisah ini bukan sekadar catatan tentang dosa dan azab, melainkan sebuah epik tentang perjuangan kebenaran melawan kebatilan, kesucian melawan kekejian, dan kesabaran seorang dai dalam menghadapi penolakan yang paling ekstrem.

Nabi Luth bukanlah sosok asing dalam silsilah para nabi. Beliau adalah keponakan dari Khalilullah, Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi. Luth bin Haran bin Tarih (Azar) tumbuh di bawah naungan dan bimbingan pamannya yang agung. Ia beriman kepada risalah yang dibawa Ibrahim, bahkan turut serta dalam perjalanan hijrah yang monumental, meninggalkan negeri Ur di Mesopotamia yang penuh dengan penyembahan berhala, menuju tanah yang diberkahi, Syam. Perjalanan ini menempa jiwa Luth, mempersiapkannya untuk sebuah tugas besar yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Ketika tiba masanya, atas perintah Allah, Ibrahim menetap di Palestina, sementara Luth melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju sebuah lembah yang subur dan makmur di dekat Laut Mati. Di sanalah berdiri kota-kota yang kelak menjadi medan dakwahnya: Sodom dan Gomora.

Peradaban di Tepi Jurang Kehancuran

Kota Sodom dan kota-kota di sekitarnya adalah gambaran kemakmuran duniawi pada puncaknya. Tanah mereka hijau dan subur, dialiri oleh banyak mata air, menghasilkan panen yang melimpah ruah. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan menjadikannya pusat ekonomi yang ramai, tempat para kafilah dari berbagai penjuru singgah dan berniaga. Kekayaan material mengalir deras, membangun gedung-gedung megah dan menciptakan gaya hidup yang mewah. Namun, di balik fasad kemewahan tersebut, sebuah kanker moral yang ganas sedang menggerogoti jiwa masyarakatnya hingga ke akar-akarnya.

Kemakmuran yang tidak diiringi dengan rasa syukur justru melahirkan kesombongan dan keangkuhan. Mereka merasa tidak lagi membutuhkan Tuhan. Hati mereka menjadi keras, dan nurani mereka menjadi buta. Dari kebutaan inilah lahir sebuah perbuatan keji (fahisyah) yang belum pernah dilakukan oleh satu pun makhluk di alam semesta sebelum mereka. Al-Qur'an mengabadikan keunikan dosa mereka ini dengan firman-Nya:

"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?'" (QS. Al-A'raf: 80)

Dosa itu adalah penyimpangan fitrah paling mendasar: kaum lelaki mendatangi sesama lelaki untuk melampiaskan syahwat mereka, dan meninggalkan para wanita yang telah Allah ciptakan sebagai pasangan mereka. Perbuatan ini bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena rasa malu, tetapi telah menjadi kebiasaan yang dipertontonkan secara terang-terangan, bahkan menjadi bagian dari budaya dan kebanggaan mereka. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebagai sebuah kenormalan yang harus diterima.

Namun, kebejatan mereka tidak berhenti di situ saja. Penyimpangan seksual ini hanyalah puncak dari gunung es kebobrokan moral mereka. Mereka adalah kaum perampok dan begal. Jalanan tidak lagi aman karena ulah mereka yang kerap mengganggu dan merampas harta para musafir yang melintas. Mereka melakukan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan umum tanpa rasa malu sedikit pun, menjadikan ruang publik sebagai arena untuk memuaskan hawa nafsu dan melakukan perbuatan sia-sia. Keramahan terhadap tamu, sebuah nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh Nabi Ibrahim, justru menjadi hal yang asing dan tercela di mata mereka. Tamu dan orang asing dipandang dengan penuh curiga dan niat jahat. Inilah potret sebuah peradaban yang secara lahiriah tampak maju, namun secara batiniah telah runtuh dan membusuk.

Seruan Suci di Lembah Dosa: Nabi Luth Diutus untuk Kaumnya

Di tengah kegelapan pekat inilah, Allah dengan rahmat-Nya tidak serta-merta menurunkan azab. Dia mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yaitu Nabi Luth. Misi yang diembannya teramat berat. Nabi Luth diutus untuk kaum yang hatinya telah membatu dan akal sehatnya telah tertawan oleh syahwat. Tugasnya adalah menyalakan kembali pelita tauhid dan fitrah di sebuah lembah yang telah dikuasai oleh dosa.

Dengan penuh hikmah dan kesabaran, Nabi Luth memulai dakwahnya. Ia tidak datang dengan cacian, melainkan dengan nasihat yang tulus. Ia mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang melimpah, yang seharusnya mereka syukuri, bukan malah digunakan untuk bermaksiat. Ia mengajak mereka untuk kembali kepada tujuan penciptaan, menyembah Allah semata dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran.

Pesan utama dakwahnya terangkum dalam tiga pilar fundamental yang selalu dibawa oleh para nabi: bertakwa kepada Allah, menaati rasul-Nya, dan meninggalkan perbuatan dosa yang spesifik pada kaum tersebut. Ia berkata kepada mereka, sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (QS. Asy-Syu'ara: 162-164)

Nabi Luth menegaskan bahwa misinya murni karena perintah Allah dan kasih sayang kepada mereka, tanpa ada kepentingan pribadi atau keinginan untuk mencari imbalan duniawi. Ia kemudian langsung menuju ke jantung permasalahan kaumnya, mengkritik perbuatan keji yang menjadi ciri khas mereka. "Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu? Bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Asy-Syu'ara: 165-166). Ia berusaha menyadarkan mereka betapa perbuatan itu bertentangan dengan akal sehat, fitrah kemanusiaan, dan hukum alam yang telah Allah tetapkan.

Bagaimana respons kaum Sodom terhadap seruan yang lembut namun tegas ini? Mereka tidak menyambutnya dengan diskusi atau perenungan. Sebaliknya, mereka menanggapinya dengan ejekan, cemoohan, dan arogansi. Mereka memandang Nabi Luth sebagai seorang pendatang yang sok suci, yang mencoba mengusik tradisi dan gaya hidup yang telah mereka nikmati. Mereka tidak melihat keburukan dalam perbuatan mereka, justru mereka melihat kesucian yang dibawa Nabi Luth sebagai sesuatu yang aneh dan mengganggu. Logika mereka telah terbalik. Mereka tidak berusaha membersihkan diri dari kotoran, malah ingin mengusir orang yang bersih dari tengah-tengah mereka.

Perjuangan dalam Kesendirian

Dakwah Nabi Luth adalah sebuah maraton panjang yang penuh onak dan duri. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ia terus menyeru tanpa lelah. Namun, semakin gencar ia berdakwah, semakin keras pula penolakan yang diterimanya. Tidak ada seorang pun dari kaumnya yang beriman, kecuali anggota keluarganya sendiri, yaitu putri-putrinya. Ia berdiri seorang diri di tengah lautan manusia yang menentangnya. Sebuah ujian kesabaran dan keteguhan iman yang luar biasa.

Penolakan kaum Sodom tidak hanya berhenti pada lisan. Mereka mulai melancarkan intimidasi dan ancaman. Mereka merasa terganggu dengan keberadaan Nabi Luth dan keluarganya yang dianggap sebagai anomali di tengah masyarakat mereka yang bejat. Puncak dari ancaman mereka adalah keinginan untuk mengusir sang nabi dari tanah airnya. Mereka berkata:

"Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." (QS. An-Naml: 56)

Sungguh sebuah ironi yang tragis. Kesucian dianggap sebagai sebuah kejahatan, dan orang yang menyerukan kebaikan justru dituduh sebagai pengganggu. Inilah cerminan dari hati yang telah tertutup rapat dari hidayah. Mereka bahkan menantang Nabi Luth untuk mendatangkan azab yang selalu ia peringatkan. "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar!" (QS. Al-Ankabut: 29). Tantangan ini adalah puncak dari keangkuhan dan pembangkangan mereka, sebuah deklarasi perang terbuka terhadap Tuhan semesta alam.

Ujian bagi Nabi Luth tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam rumahnya sendiri. Istrinya, yang seharusnya menjadi pendamping dan penguat perjuangannya, justru berkhianat. Ia tidak pernah benar-benar beriman kepada risalah suaminya. Hatinya lebih condong kepada kaumnya yang durhaka. Secara diam-diam, ia mendukung perbuatan mereka dan seringkali membocorkan rahasia atau rencana Nabi Luth kepada para pembesar kaum Sodom. Ia menjadi mata-mata di dalam benteng pertahanan terakhir sang nabi. Keberadaan istri yang durhaka ini menjadi ujian batin yang teramat berat, menambah kesendirian dan beban penderitaan yang dipikul oleh Nabi Luth.

Meskipun dikepung oleh permusuhan dari segala penjuru, Nabi Luth tidak pernah menyerah. Ia terus berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah. Ia mengadukan kelemahan dirinya dan kezaliman kaumnya kepada satu-satunya penolong yang hakiki. Doanya adalah senjata terakhirnya, sebuah permohonan agar Allah memberikan keputusan antara dirinya dan kaumnya yang telah melampaui batas.

Tamu Agung dan Ujian Terberat

Ketika kezaliman telah mencapai puncaknya dan penolakan sudah total, maka tibalah saatnya bagi ketetapan Allah untuk berlaku. Namun, sebelum azab diturunkan, Allah mengirimkan beberapa malaikat yang menyamar sebagai pemuda-pemuda yang sangat tampan. Ini adalah babak terakhir dari ujian bagi kaum Sodom, sekaligus menjadi penyelamatan bagi Nabi Luth.

Para malaikat ini terlebih dahulu singgah di kediaman Nabi Ibrahim. Mereka datang membawa dua kabar: kabar gembira tentang kelahiran seorang putra yang cerdas bernama Ishaq, dan kabar buruk tentang kebinasaan yang akan menimpa kaum Luth. Mendengar kabar kedua, hati Nabi Ibrahim yang penuh kasih sayang merasa iba. Ia mencoba berdialog dan memohon kepada para malaikat, berharap agar azab itu bisa ditangguhkan. "Sesungguhnya di kota itu ada Luth," ujar Ibrahim. Para malaikat menjawab, "Kami lebih mengetahui siapa yang ada di sana. Kami pasti akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali istrinya." Dialog ini menunjukkan betapa luhurnya akhlak Nabi Ibrahim, namun ketetapan Allah sudah tidak dapat diubah lagi karena kaum tersebut telah melewati batas yang tidak bisa ditoleransi.

Setelah dari kediaman Ibrahim, para malaikat melanjutkan perjalanan menuju Sodom. Mereka tiba di kota itu pada sore hari. Orang pertama yang melihat mereka adalah Nabi Luth. Seketika, hatinya diliputi kecemasan dan kesedihan yang mendalam. Ia tahu betul bagaimana tabiat kaumnya. Melihat para pemuda dengan paras yang begitu rupawan, ia khawatir mereka akan menjadi korban kebejatan penduduk Sodom. Ia merasa bingung dan sempit dadanya, seraya berkata dalam hati, "Ini adalah hari yang amat sulit."

Nabi Luth berusaha menyambut tamunya secara diam-diam, berharap tidak ada seorang pun yang mengetahui kedatangan mereka. Ia membawa mereka pulang melalui jalan yang sepi. Namun, pengkhianatan datang dari orang terdekat. Istrinya, yang melihat kedatangan para tamu istimewa itu, segera berlari dan menyebarkan berita kepada kaumnya. "Di rumah Luth ada tamu-tamu lelaki yang belum pernah aku lihat wajah setampan mereka!"

Berita itu menyebar secepat kilat. Nafsu hewani yang telah menguasai kaum Sodom seketika bergejolak. Mereka datang berbondong-bondong dari segala penjuru kota, mengepung rumah Nabi Luth dengan sorak-sorai penuh gairah durjana. Mereka menggedor-gedor pintu, menuntut agar Luth menyerahkan tamu-tamunya kepada mereka.

Ini adalah momen paling kritis dalam kehidupan Nabi Luth. Ia berdiri di ambang pintu, seorang diri, mencoba melindungi kehormatan tamunya dari amukan massa yang telah gila. Dengan suara yang bergetar menahan amarah dan kesedihan, ia memohon kepada mereka:

"Wahai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hud: 78)

Tawaran "putri-putriku" ini, menurut para ulama tafsir, bisa berarti putri kandungnya atau para wanita dari kaumnya secara umum (karena seorang nabi adalah bapak bagi umatnya). Maksudnya adalah ajakan untuk kembali kepada jalan yang lurus dan halal melalui pernikahan yang sah. Namun, mata hati mereka telah buta. Mereka menjawab dengan congkak, "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki."

Pada titik inilah, Nabi Luth merasa putus asa dari pertolongan manusia. Ia merasa begitu lemah dan tak berdaya. Dalam puncak keputusasaannya, ia berseru, "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)." Ia merindukan kekuatan fisik atau dukungan kaum yang bisa membelanya.

Fajar Kebinasaan: Azab yang Dijanjikan Tiba

Ketika pintu pertobatan telah tertutup rapat oleh tangan kaum Sodom sendiri, dan ketika Nabi Luth telah sampai pada batas kesabarannya, barulah pertolongan Allah datang dengan cara yang tak terduga. Para tamu itu akhirnya membuka jati diri mereka. "Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu," kata mereka.

Melihat massa yang semakin beringas dan mencoba mendobrak pintu, salah satu malaikat, Jibril, keluar dan dengan satu kibasan sayapnya, ia membutakan mata semua orang yang berada di luar. Seketika mereka kalang kabut, saling bertabrakan, meraba-raba dalam kegelapan tanpa bisa menemukan jalan atau pintu rumah. Ini adalah mukadimah azab yang mereka terima di dunia.

Para malaikat kemudian memberikan instruksi yang jelas kepada Nabi Luth. "Maka pergilah kamu di akhir malam beserta keluargamu... dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?" (QS. Hud: 81).

Perintah untuk tidak menoleh ke belakang adalah sebuah simbol. Simbol untuk memutuskan segala ikatan, baik ikatan emosional, kekerabatan, maupun kenangan dengan negeri yang penuh dosa itu. Menoleh ke belakang berarti ada keraguan, simpati, atau keterikatan hati yang tersisa, yang dapat menghalangi proses penyelamatan. Istrinya, karena hatinya masih terpaut pada kaumnya yang durhaka, ditakdirkan untuk menoleh dan binasa bersama mereka.

Di keheningan akhir malam, Nabi Luth beserta kedua putrinya berjalan cepat meninggalkan kota Sodom. Mereka berjalan dalam diam, dengan hati yang berdebar, menaati perintah untuk tidak sekali pun melihat ke belakang. Di belakang mereka, tertinggal sebuah peradaban yang sedang menghitung detik-detik terakhir menuju kebinasaannya. Istri Nabi Luth berjalan di belakang rombongan. Ketika suara gemuruh azab mulai terdengar, ia tidak kuasa menahan diri. Ia menoleh ke belakang, dan seketika itu pula ia menjadi bagian dari azab yang turun.

Tepat ketika fajar menyingsing, azab yang dijanjikan itu pun tiba dengan dahsyat. Dimulai dengan sebuah suara teriakan yang mengguntur (ash-shayhah) yang memekakkan telinga dan menghancurkan organ dalam mereka. Kemudian, dengan kekuasaan-Nya, Allah membalikkan negeri mereka. Bagian atas kota diangkat tinggi ke langit, lalu dijungkirbalikkan sehingga bagian bawahnya berada di atas. Gedung-gedung megah, pasar-pasar yang ramai, dan segala kemewahan yang mereka banggakan hancur lebur dalam sekejap.

Belum cukup sampai di situ, Allah kemudian menghujani mereka dengan batu-batu dari tanah liat yang terbakar (sijjil), yang turun bertubi-tubi tanpa henti. Setiap batu telah ditandai secara khusus oleh Tuhan untuk menyasar para pelaku kejahatan. Langit menjadi gelap oleh hujan batu yang mematikan, menuntaskan kehancuran total bagi kaum yang telah menentang Tuhan mereka. Tidak ada satu pun yang tersisa. Tempat yang tadinya merupakan lembah hijau yang subur, berubah menjadi danau mati yang airnya sangat asin dan berbau busuk, sebagai monumen abadi atas kebinasaan mereka.

Cermin Abadi bagi Umat Manusia

Kisah tentang Nabi Luth diutus untuk kaum Sodom bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah sebuah cermin besar yang diletakkan Allah di hadapan seluruh umat manusia, agar mereka dapat berkaca dan mengambil pelajaran darinya. Allah berfirman, "Maka Kami jadikan (negeri kaum Luth) itu sebagai pelajaran bagi orang-orang pada masanya dan bagi mereka yang datang sesudahnya, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 66).

Banyak sekali hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari tragedi kaum Sodom. Pertama, ia menunjukkan betapa berbahayanya sebuah dosa ketika ia telah dianggap normal dan dilegalkan oleh masyarakat. Ketika kemungkaran tidak lagi dianggap mungkar, bahkan dirayakan, maka saat itulah sebuah komunitas sedang berjalan menuju jurang kehancurannya sendiri. Kisah ini menjadi peringatan keras akan pentingnya menjaga fitrah kemanusiaan yang luhur.

Kedua, kisah ini menyoroti pentingnya institusi keluarga sebagai benteng pertahanan moral. Dosa kaum Sodom adalah serangan langsung terhadap kesucian institusi pernikahan dan keluarga yang telah Allah tetapkan sebagai fondasi masyarakat yang sehat. Ketika fondasi ini dirusak, maka seluruh bangunan masyarakat akan ikut runtuh.

Ketiga, kita belajar tentang kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan seorang juru dakwah. Nabi Luth menghadapi penolakan total, intimidasi, pengkhianatan dari dalam, dan kesendirian yang mutlak. Namun, ia tidak pernah berhenti menyampaikan kebenaran. Ini adalah teladan bagi setiap orang yang menyeru kepada kebaikan, bahwa hasil akhir ada di tangan Allah, sementara kewajiban kita hanyalah menyampaikan dengan cara terbaik.

Keempat, kisah ini adalah bukti nyata akan keadilan dan kekuasaan Allah yang mutlak. Rahmat Allah sangatlah luas, dan Dia selalu memberi kesempatan untuk bertaubat. Namun, ketika sebuah kaum secara sadar dan sombong memilih untuk terus berada dalam kemaksiatan dan menantang azab-Nya, maka keadilan-Nya pasti akan tegak. Azab-Nya sangatlah pedih dan tak dapat ditolak oleh siapa pun.

Terakhir, kisah ini mengajarkan tentang pentingnya hijrah, baik secara fisik maupun maknawi. Ketika sebuah lingkungan sudah terlalu rusak dan tidak mungkin lagi untuk diperbaiki, serta dapat membahayakan keimanan diri dan keluarga, maka menjauhkan diri dari lingkungan tersebut adalah sebuah keharusan. Seperti halnya Nabi Luth yang diperintahkan untuk meninggalkan kotanya sebelum fajar, seorang mukmin harus senantiasa menjaga jarak dari sumber-sumber kemaksiatan yang dapat membinasakan.

Kisah diutusnya Nabi Luth untuk kaum Sodom akan selamanya menjadi pengingat yang kuat. Bahwa kemajuan material dan kemakmuran ekonomi tidak akan ada artinya jika tidak diimbangi dengan akhlak dan spiritualitas yang luhur. Sebuah peradaban hanya akan kokoh berdiri di atas pilar-pilar ketakwaan, bukan di atas fondasi syahwat dan penentangan terhadap hukum Tuhan. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari reruntuhan kota Sodom, dan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang diridhai oleh Allah, Tuhan semesta alam.

🏠 Homepage