Perintah Agung di Tengah Kebatilan: Kisah Nabi Nuh dan Pembangunan Bahtera
Dalam bentangan sejarah kemanusiaan, terdapat kisah-kisah yang tidak lekang oleh waktu, menjadi suluh penerang dan sumber hikmah bagi generasi-generasi sesudahnya. Salah satu epik yang paling monumental adalah kisah Nabi Nuh 'alaihissalam, seorang rasul yang teguh pendirian, yang kesabarannya teruji melampaui batas kemampuan manusia biasa. Puncak dari perjuangannya adalah ketika Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah untuk membuat sebuah bahtera raksasa, sebuah perintah yang pada masanya terdengar mustahil, namun menjadi penentu antara keselamatan dan kebinasaan.
Kisah ini bukan sekadar narasi tentang banjir besar. Ia adalah sebuah mozaik yang tersusun dari kepingan-kepingan keimanan, ketabahan, penolakan, keadilan ilahi, dan rahmat yang tak terhingga. Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu menyelami konteks zaman di mana Nabi Nuh diutus, memahami dalamnya jurang kesesatan kaumnya, dan merasakan beratnya amanah yang dipikul di pundaknya selama ratusan tahun.
Kondisi Umat Manusia di Zaman Nabi Nuh
Sebelum diutusnya Nabi Nuh, umat manusia pada mulanya hidup dalam tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Adam. Namun, seiring berjalannya waktu dan tipu daya iblis yang tak kenal lelah, benih-benih kesyirikan mulai tumbuh. Awal mula penyimpangan ini, sebagaimana dikisahkan dalam riwayat, berasal dari sikap berlebihan dalam menghormati orang-orang saleh yang telah wafat. Nama-nama seperti Wadd, Suwa', Yaghuth, Ya'uq, dan Nasr, yang semula adalah orang-orang taat, dibuatkan patung oleh kaumnya untuk mengenang kesalehan mereka dan sebagai pendorong semangat ibadah.
Generasi pertama hanya memandang patung-patung itu sebagai pengingat. Namun, ketika generasi ini berlalu dan ilmu tentang tujuan asli pembuatan patung itu memudar, iblis membisikkan kepada generasi berikutnya bahwa nenek moyang mereka dahulu menyembah patung-patung tersebut. Dari sinilah penyembahan berhala pertama kali terjadi di muka bumi. Kehidupan masyarakat pun terjerumus dalam kegelapan. Mereka tidak hanya menyekutukan Allah, tetapi juga tenggelam dalam berbagai kemaksiatan. Kesombongan, kezaliman terhadap yang lemah, penindasan, dan hedonisme menjadi pemandangan sehari-hari. Mereka menuhankan materi dan hawa nafsu, melupakan Pencipta mereka.
Di tengah masyarakat yang telah rusak parah inilah, Allah dengan rahmat-Nya mengutus seorang hamba pilihan, Nuh bin Lamik bin Matusyalakh, dari keturunan Nabi Syits bin Adam. Nuh adalah seorang yang cerdas, fasih berbicara, dan memiliki akhlak yang mulia. Ia diutus untuk menjadi peringatan dan membawa kembali kaumnya ke jalan yang lurus.
Dakwah Penuh Kesabaran Selama Ratusan Tahun
Nabi Nuh memulai dakwahnya dengan penuh semangat dan harapan. Ia menyeru kaumnya siang dan malam, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Ia gunakan segala metode yang bisa ia tempuh untuk menyentuh hati mereka. Ia mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat Allah: langit yang terbentang, bumi yang terhampar, hujan yang menyuburkan, dan rezeki yang melimpah. Ia mengajak mereka untuk kembali menyembah Allah semata, memohon ampunan-Nya, dan meninggalkan berhala-berhala yang tak mampu memberi manfaat maupun mudarat.
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)."
Namun, apa yang ia terima sebagai balasan? Penolakan, cemoohan, dan hinaan. Para pemuka kaumnya, yang merasa terancam kedudukan dan kekuasaan mereka, menjadi provokator utama. Mereka menuduh Nabi Nuh sebagai manusia biasa yang hanya ingin mencari pengikut dan kekuasaan. Mereka menuduhnya gila, sesat, dan pendusta.
Setiap kali Nabi Nuh berbicara, mereka menyumbat telinga dengan jari-jari mereka dan menutupkan pakaian ke wajah mereka, sebagai tanda penolakan ekstrem. Mereka berkata, "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuth, Ya'uq dan Nasr." Mereka menjadikan kebatilan sebagai sebuah tradisi yang harus dipertahankan.
Perjuangan dakwah ini berlangsung selama 950 tahun. Sebuah rentang waktu yang luar biasa panjang, menguji kesabaran hingga ke titik puncaknya. Bayangkan, selama hampir satu milenium, ia harus menghadapi generasi demi generasi yang mewarisi kekafiran dan kebencian yang sama. Anak-anak diajari oleh orang tua mereka untuk tidak mendengarkan Nuh. Selama itu pula, pengikutnya hanya segelintir orang, yang mayoritas berasal dari kalangan miskin dan lemah yang selalu dipandang rendah oleh para pembesar kaum.
Meski demikian, Nabi Nuh tidak pernah menyerah. Ia terus berdakwah dengan argumen yang kuat dan kelembutan, berharap ada secercah hidayah yang masuk ke dalam hati kaumnya. Namun, penolakan mereka semakin menjadi-jadi, bahkan mereka menantangnya untuk segera mendatangkan azab yang dijanjikannya jika ia memang orang yang benar.
Perintah Ilahi yang Agung: Membangun Bahtera
Setelah berdakwah selama berabad-abad tanpa hasil yang signifikan dan melihat penolakan kaumnya yang sudah mencapai puncaknya, Nabi Nuh memanjatkan doa kepada Tuhannya. Doa ini bukanlah doa keputusasaan, melainkan sebuah pengaduan seorang hamba yang telah mengerahkan segala daya upayanya. Ia berdoa agar Allah tidak membiarkan seorang pun dari orang-orang kafir itu tinggal di muka bumi, karena jika mereka dibiarkan, mereka hanya akan menyesatkan hamba-hamba-Nya yang lain dan hanya akan melahirkan keturunan yang kafir dan durhaka.
Allah SWT mengabulkan doa Nabi-Nya. Tibalah saatnya bagi keadilan ilahi untuk ditegakkan. Allah mewahyukan kepada Nuh bahwa tidak akan ada lagi dari kaumnya yang akan beriman selain mereka yang telah beriman. Oleh karena itu, ia tidak perlu bersedih atas apa yang mereka perbuat. Kemudian, datanglah sebuah perintah yang luar biasa, sebuah perintah yang menjadi inti dari kisah ini: Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat sebuah bahtera.
"Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan."
Perintah ini sungguh di luar nalar manusia pada saat itu. Mengapa harus membuat sebuah kapal raksasa di tengah daratan yang kering kerontang, jauh dari lautan atau sungai besar? Ini adalah sebuah ujian keimanan yang mutlak. Perintah ini tidak hanya ditujukan untuk membangun alat transportasi, tetapi untuk membangun monumen ketaatan, sebuah simbol nyata dari pemisahan antara barisan orang beriman dan barisan orang kafir.
Tanpa bertanya, tanpa ragu, Nabi Nuh segera melaksanakan perintah tersebut. Ia tahu bahwa perintah Allah mengandung hikmah yang tak terjangkau oleh akal manusia. Ia mulai mengumpulkan kayu-kayu terbaik, menebang pohon-pohon besar, dan bersama para pengikutnya yang setia, memulai proyek konstruksi terbesar yang belum pernah ada sebelumnya.
Proses Pembangunan di Tengah Gelombang Cemoohan
Proses pembangunan bahtera ini menjadi babak baru dalam penderitaan dan ujian bagi Nabi Nuh dan pengikutnya. Jika sebelumnya mereka dicemooh karena dakwahnya, kini mereka dicemooh karena pekerjaannya. Setiap kali para pembesar kaumnya yang sombong melewati lokasi pembangunan, mereka tertawa terbahak-bahak.
Mereka melontarkan ejekan yang menyakitkan. "Wahai Nuh! Dulu engkau mengaku sebagai nabi, sekarang engkau menjadi tukang kayu? Apakah kenabianmu sudah tidak laku?"
"Untuk apa kapal sebesar ini di tengah padang pasir? Apakah engkau akan mendorongnya sampai ke laut, atau engkau berharap angin akan menerbangkannya?"
"Lihatlah orang gila itu, membangun kapal di daratan. Dia pasti sudah kehilangan akalnya."
Cemoohan ini tidak hanya datang dari orang dewasa, tetapi juga dari anak-anak yang telah didoktrin oleh orang tua mereka. Nabi Nuh dan pengikutnya bekerja di bawah terik matahari, diiringi tawa dan hinaan yang tak henti-hentinya. Namun, hati mereka telah diteguhkan oleh Allah. Iman mereka tidak goyah sedikit pun. Menghadapi ejekan tersebut, Nabi Nuh menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, sebuah jawaban yang mengandung ancaman yang mengerikan bagi mereka:
"Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan ditimpa azab yang kekal."
Jawaban ini menunjukkan betapa yakinnya Nabi Nuh akan janji Allah. Ia tahu bahwa tawa mereka saat itu akan segera berganti dengan tangisan penyesalan yang tiada guna. Pembangunan terus berjalan, papan-papan kayu disambung dengan pasak, dan seluruh permukaannya dilapisi dengan ter (getah pohon) agar kedap air. Setiap palu yang dipukul, setiap papan yang terpasang, adalah langkah mendekati hari pembalasan sekaligus hari penyelamatan.
Struktur dan Desain Bahtera Keselamatan
Bahtera yang dibangun oleh Nabi Nuh bukanlah perahu biasa. Ia adalah sebuah kapal raksasa yang dirancang khusus oleh Allah SWT untuk menahan amukan air bah yang paling dahsyat. Meskipun Al-Qur'an tidak merinci ukurannya secara spesifik, riwayat-riwayat menyebutkan bahwa kapal ini sangat besar, mampu menampung Nabi Nuh, keluarganya yang beriman, para pengikutnya, serta sepasang dari setiap jenis binatang.
Struktur bahtera ini terdiri dari tiga tingkat atau geladak. Setiap tingkat memiliki fungsi yang berbeda-beda:
- Tingkat paling bawah: Dikhususkan untuk hewan-hewan liar, hewan melata, dan serangga.
- Tingkat tengah: Ditempati oleh manusia (Nabi Nuh, keluarganya yang beriman, dan para pengikutnya), serta tempat penyimpanan persediaan makanan dan minuman yang cukup untuk waktu yang lama.
- Tingkat paling atas: Diperuntukkan bagi berbagai jenis burung.
Pembagian ini menunjukkan sebuah desain yang terorganisir dan efisien, memastikan semua makhluk dapat hidup berdampingan selama pelayaran tanpa saling mengganggu. Bahtera ini dibangun dengan material terbaik, dari kayu-kayu pilihan yang kuat dan tahan lama. Setiap detail konstruksinya berada di bawah pengawasan dan petunjuk langsung dari Allah. Ini bukan sekadar hasil karya pertukangan manusia, tetapi sebuah mahakarya ilahiah yang diwujudkan melalui tangan seorang nabi yang taat.
Mengumpulkan Penumpang: Perintah Membawa Makhluk Berpasangan
Ketika pembangunan bahtera telah selesai, Allah memberikan perintah selanjutnya. Nabi Nuh diperintahkan untuk mengumpulkan keluarganya, kecuali mereka yang telah ditakdirkan untuk binasa (yaitu istri dan salah seorang putranya yang bernama Kan'an). Ia juga diperintahkan untuk membawa serta orang-orang yang beriman. Dan yang paling menakjubkan, ia diperintahkan untuk membawa sepasang (jantan dan betina) dari setiap jenis makhluk hidup.
Ini adalah sebuah tugas logistik yang mustahil dilakukan oleh manusia tanpa pertolongan Allah. Bagaimana cara mengumpulkan semua binatang dari seluruh penjuru bumi? Namun, dengan kekuasaan Allah, segala sesuatu menjadi mungkin. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengumpulkan binatang-binatang itu dan menundukkan mereka sehingga mereka datang kepada Nabi Nuh dengan damai dan teratur. Mereka masuk ke dalam bahtera tanpa perlawanan, dipandu oleh insting yang Allah tanamkan dalam diri mereka.
Momen ini menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa, sebuah bukti nyata akan kekuasaan Allah di hadapan mata orang-orang kafir. Namun, hati mereka telah tertutup. Mereka mungkin melihatnya sebagai sihir atau keanehan belaka, tanpa mau mengambil pelajaran. Saat semua penumpang—manusia dan hewan—telah berada di dalam bahtera, pintu keselamatan pun bersiap untuk ditutup.
Saatnya Tiba: Air Memancar dan Bahtera Mulai Berlayar
Allah telah memberikan sebuah tanda kepada Nabi Nuh kapan azab itu akan dimulai. Tanda itu adalah ketika "tannur" (sebuah tungku atau dapur) telah memancarkan air. Ketika tanda itu tiba, Nabi Nuh segera memerintahkan semua pengikutnya untuk naik ke bahtera. Ia mengucapkan doa yang diajarkan Allah, sebuah doa penuh tawakal dan penyerahan diri:
"Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Saat pintu bahtera ditutup rapat, langit mulai berubah gelap. Hujan turun dengan derasnya, bukan seperti hujan biasa, melainkan seolah seluruh pintu langit dicurahkan. Pada saat yang bersamaan, dari perut bumi, mata air memancar dengan dahsyat. Dua sumber air raksasa—dari langit dan dari bumi—bertemu, menciptakan banjir terbesar dalam sejarah dunia.
Air naik dengan cepat, menenggelamkan daratan, rumah-rumah, dan segala kecongkakan kaum Nabi Nuh. Di tengah amukan air bah yang bergelombang setinggi gunung, bahtera itu berlayar dengan tenang di bawah penjagaan Allah. Orang-orang kafir yang tadinya tertawa, kini menjerit ketakutan. Mereka mencoba lari ke tempat yang lebih tinggi, bahkan ke puncak-puncak gunung, namun sia-sia. Air menutupi segalanya.
Dalam momen yang paling dramatis, Nabi Nuh melihat putranya, Kan'an, yang menolak untuk beriman, berusaha menyelamatkan diri. Dengan hati seorang ayah, ia memanggilnya, "Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Namun, kesombongan telah membutakan mata hati Kan'an. Ia menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah ini." Nabi Nuh berkata, "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang." Gelombang besar datang memisahkan mereka, dan Kan'an pun ikut tenggelam bersama orang-orang kafir lainnya.
Hikmah Abadi dari Kisah Bahtera Nabi Nuh
Kisah tentang perintah pembuatan bahtera ini sarat dengan pelajaran yang relevan sepanjang zaman. Di antara hikmah-hikmah agung tersebut adalah:
1. Ketaatan Mutlak Tanpa Keraguan
Perintah membangun kapal di darat adalah ujian ketaatan tertinggi. Nabi Nuh tidak mempertanyakan logika di baliknya. Ia hanya mendengar dan taat. Ini mengajarkan kita bahwa inti dari keimanan adalah kepasrahan total terhadap perintah Allah, bahkan ketika akal kita tidak mampu memahaminya.
2. Pentingnya Ikhtiar dan Tawakal
Allah Maha Kuasa untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya tanpa perlu membangun bahtera. Namun, Allah memerintahkannya untuk berusaha (ikhtiar) dengan membangun kapal. Ini mengajarkan kita prinsip keseimbangan antara usaha maksimal yang kita lakukan dan penyerahan diri (tawakal) sepenuhnya kepada Allah untuk hasilnya. Keselamatan datang dari Allah, tetapi ia harus dijemput dengan usaha.
3. Kesabaran adalah Kunci Kemenangan
Kesabaran Nabi Nuh selama 950 tahun adalah teladan luar biasa. Ia sabar dalam berdakwah, sabar menghadapi cemoohan, dan sabar dalam menjalankan perintah Allah. Kemenangan dan pertolongan Allah datang kepada mereka yang sabar dalam menegakkan kebenaran.
4. Ikatan Iman Lebih Kuat dari Ikatan Darah
Kisah istri dan anak Nabi Nuh yang binasa menjadi bukti nyata bahwa keselamatan di sisi Allah tidak didasarkan pada hubungan nasab atau kekerabatan, melainkan pada ikatan iman dan takwa. Seseorang tidak bisa mengandalkan kesalehan keluarganya untuk selamat.
5. Sunnatullah: Keadilan dan Rahmat Allah
Kisah ini menunjukkan Sunnatullah (ketetapan Allah) yang berlaku. Allah tidak akan mengazab suatu kaum sebelum mengutus seorang rasul untuk memberi peringatan. Azab adalah bentuk keadilan Allah atas penolakan dan kezaliman yang melampaui batas, sementara bahtera adalah wujud nyata dari rahmat Allah yang menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Pada akhirnya, setelah air bah menutupi bumi dan membinasakan semua kezaliman, Allah memerintahkan langit untuk berhenti hujan dan bumi untuk menyerap airnya. Bahtera itu pun berlabuh dengan selamat di atas Gunung Judi. Nabi Nuh dan para pengikutnya turun untuk memulai peradaban baru di muka bumi, sebuah peradaban yang didasarkan pada tauhid dan ketaatan kepada Allah SWT. Kisah tentang bagaimana Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah untuk membuat bahtera akan selamanya menjadi pengingat bahwa di tengah badai kehidupan yang paling dahsyat sekalipun, selalu ada bahtera keselamatan bagi mereka yang berpegang teguh pada tali Allah.