Nabi Saleh: Jejak Keturunan Mulia dan Seruan Kebenaran di Lembah Batu
Dalam lipatan sejarah kemanusiaan, terukir kisah-kisah para nabi yang diutus sebagai pelita di tengah kegelapan zaman. Mereka datang membawa pesan tauhid, mengajak umat manusia kembali ke jalan yang lurus, menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Di antara deretan nama mulia tersebut, tersebutlah kisah Nabi Saleh 'alaihissalam, seorang utusan yang ditugaskan kepada kaumnya, Kaum Tsamud. Kisahnya bukan sekadar cerita tentang mukjizat dan azab, melainkan sebuah epik yang mendalam tentang nasab yang terhormat, peradaban yang canggih, kesombongan yang membinasakan, dan kebenaran yang tak lekang oleh waktu. Nabi Saleh keturunan nabi, membawa warisan kenabian dalam darahnya, sebuah fakta yang menggarisbawahi betapa mulia tugas yang diembannya.
Kisah ini bermula di sebuah lembah bernama Al-Hijr, sebuah kawasan yang diapit oleh jajaran pegunungan batu yang megah. Di sanalah Kaum Tsamud membangun sebuah peradaban yang luar biasa. Mereka bukanlah bangsa primitif, melainkan masyarakat yang memiliki keahlian arsitektur dan seni pahat yang tiada duanya. Tangan-tangan terampil mereka mampu mengubah gunung-gunung batu yang keras menjadi istana-istana megah, rumah-rumah yang nyaman, dan benteng-benteng yang kokoh. Kemakmuran melimpah ruah, kebun-kebun menghijau, dan mata air memancar deras. Namun, di tengah kemegahan materi tersebut, jiwa mereka kering dan tersesat. Mereka telah melupakan ajaran tauhid yang diwariskan oleh leluhur mereka dan tenggelam dalam penyembahan berhala.
Garis Keturunan Mulia: Silsilah Nabi Saleh
Untuk memahami kedudukan Nabi Saleh, penting untuk menelusuri garis keturunannya. Beliau bukanlah sosok yang muncul tiba-tiba. Nasabnya bersambung kepada para manusia pilihan. Silsilahnya tercatat sebagai Saleh bin Ubaid bin Asif bin Masih bin Ubaid bin Hadir bin Tsamud. Nama "Tsamud" sendiri merujuk kepada leluhur besar mereka, yang merupakan keturunan dari Sam bin Nuh. Ini adalah poin krusial; Sam adalah salah satu putra Nabi Nuh 'alaihissalam yang diselamatkan dari bencana banjir besar. Dengan demikian, garis keturunan Nabi Saleh secara langsung terhubung dengan salah satu nabi besar (Ulul Azmi), yaitu Nabi Nuh. Ini menegaskan bahwa beliau adalah Nabi Saleh keturunan nabi, pembawa estafet dakwah dari generasi sebelumnya.
Kaum Tsamud sendiri adalah penerus dari Kaum 'Ad, umat Nabi Hud 'alaihissalam. Setelah Kaum 'Ad dibinasakan karena kesombongan mereka, sisa-sisa pengikut Nabi Hud dan keturunan mereka membangun kembali peradaban, yang kemudian dikenal sebagai Kaum Tsamud. Mereka mewarisi bumi yang subur dan diberikan kekuatan fisik serta kecerdasan yang luar biasa oleh Allah. Namun, sebagaimana siklus yang sering berulang dalam sejarah, generasi-generasi berikutnya mulai melupakan ajaran lurus dari nenek moyang mereka. Kemewahan dan kekuatan yang seharusnya menjadi sarana untuk bersyukur justru menjadi pemicu kesombongan dan kekufuran. Mereka mulai memahat patung-patung dari batu, memberinya nama, dan menyembahnya sebagai tuhan-tuhan yang mereka yakini dapat memberi manfaat dan menolak mudarat.
Di tengah masyarakat yang telah rusak akidahnya inilah, Allah dengan rahmat-Nya memilih seorang pria dari kalangan mereka sendiri. Pria itu adalah Saleh. Sebelum diangkat menjadi nabi, Saleh telah dikenal luas di kalangan Kaum Tsamud sebagai pribadi yang luhur. Beliau terkenal karena kejujurannya, kecerdasannya, kebijaksanaannya, dan akhlaknya yang mulia. Beliau adalah sosok yang dihormati dan disegani, bahkan para pemuka kaum menaruh harapan besar padanya untuk menjadi pemimpin mereka di masa depan. Pemilihan Saleh dari suku mereka sendiri merupakan salah satu sunnatullah dalam pengutusan rasul, agar tidak ada alasan bagi kaumnya untuk menolak dengan dalih bahwa sang utusan adalah orang asing yang tidak memahami adat dan keadaan mereka.
Dakwah Lembut di Jantung Peradaban Batu
Ketika wahyu turun kepadanya, Nabi Saleh memulai misinya. Misi yang diembannya sederhana namun fundamental: mengajak Kaum Tsamud untuk kembali menyembah Allah semata, Tuhan yang telah menciptakan mereka, memberikan mereka rezeki, dan menganugerahkan segala kelebihan yang mereka miliki. Beliau mendatangi kaumnya dengan tutur kata yang lembut dan penuh hikmah.
"Wahai kaumku," seru Nabi Saleh, "sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Dakwah Nabi Saleh mengguncang zona nyaman para pemuka dan pembesar Kaum Tsamud. Mereka yang selama ini menikmati status sosial dan kekuasaan yang ditopang oleh sistem kepercayaan pagan merasa terancam. Ajaran tauhid yang dibawa Saleh dianggap sebagai serangan terhadap tradisi leluhur dan ancaman bagi tatanan sosial yang telah mapan. Mereka memandang Saleh dengan penuh keheranan dan kekecewaan.
"Wahai Saleh," jawab mereka, "sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan. Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami."
Respons mereka menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman tradisi buta (taqlid) dalam pikiran mereka. Logika mereka tumpul; argumen utama mereka bukanlah kebenaran ajaran, melainkan fakta bahwa itu berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Inilah penyakit yang sering menjangkiti umat-umat terdahulu: ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari kebiasaan lama yang salah, meskipun kebenaran telah datang dengan bukti yang jelas. Di sisi lain, seruan Nabi Saleh mendapat sambutan dari segelintir orang, terutama dari kalangan yang lemah dan tertindas. Mereka inilah yang dengan hati bersih mampu melihat cahaya kebenaran dalam ajakan sang nabi.
Para pemuka kaum tidak tinggal diam. Mereka melancarkan berbagai tuduhan untuk mendiskreditkan Nabi Saleh. Mereka menuduhnya sebagai orang yang terkena sihir, orang gila, atau seorang pendusta yang hanya ingin mencari pengaruh dan kekuasaan. Namun, Nabi Saleh tetap teguh pendirian. Dengan sabar, beliau terus-menerus mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Beliau menunjuk pada istana-istana yang mereka pahat di gunung, kebun-kebun yang rimbun, dan mata air yang mengalir. Semua itu adalah bukti nyata kekuasaan dan kemurahan Allah, bukan berhala-berhala bisu yang mereka ciptakan dengan tangan mereka sendiri. Namun, hati yang telah mengeras laksana batu sulit untuk menerima nasihat.
Tantangan dan Lahirnya Mukjizat Agung
Semakin gigih Nabi Saleh berdakwah, semakin keras pula penolakan dari kaumnya. Merasa argumen mereka tidak mampu mematahkan logika tauhid yang disampaikan Saleh, para pemuka Kaum Tsamud akhirnya menempuh jalan lain. Mereka menantang Nabi Saleh untuk menunjukkan bukti nyata kenabiannya, sebuah mukjizat yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Mereka ingin sebuah tanda yang melampaui batas nalar dan kemampuan mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka berkumpul di sebuah tempat pertemuan, para pembesar kaum itu berkata kepada Nabi Saleh dengan nada mengejek, "Jika engkau memang seorang rasul, datangkanlah kepada kami sebuah bukti yang nyata." Mereka kemudian menunjuk ke sebuah batu besar yang kokoh dan terpencil seraya berkata, "Keluarkanlah untuk kami dari batu besar ini seekor unta betina yang sedang bunting sepuluh bulan, yang memiliki ciri-ciri tertentu sesuai keinginan kami."
Ini adalah sebuah permintaan yang mustahil menurut akal manusia. Bagaimana mungkin sebuah benda padat dan mati seperti batu dapat mengeluarkan makhluk hidup? Tantangan ini mereka ajukan dengan keyakinan penuh bahwa Saleh tidak akan mampu memenuhinya. Dengan kegagalan itu, mereka berharap dapat mempermalukan Saleh di hadapan para pengikutnya dan mengakhiri dakwahnya untuk selamanya.
Menghadapi tantangan yang luar biasa ini, Nabi Saleh tidak gentar. Beliau tahu bahwa segala sesuatu berada dalam kuasa Allah. Beliau terlebih dahulu meminta janji dari kaumnya; jika Allah mengabulkan permintaan mereka, apakah mereka akan beriman kepadanya? Dengan penuh kesombongan dan keyakinan bahwa hal itu tidak akan terjadi, mereka serempak menjawab, "Ya, kami akan beriman."
Nabi Saleh kemudian menyingkir ke tempat yang sunyi dan memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan kepada Allah. Beliau memohon agar Allah menunjukkan tanda kebesaran-Nya, bukan untuk dirinya, tetapi agar kaumnya dapat melihat kebenaran dan kembali ke jalan yang lurus. Dan Allah, Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa, menjawab permohonan hamba-Nya.
Di hadapan mata seluruh Kaum Tsamud, peristiwa yang mengguncang akal pun terjadi. Batu besar yang mereka tunjuk itu mulai bergetar hebat. Terdengar suara gemuruh dari dalamnya, seolah-olah ada kekuatan dahsyat yang hendak keluar. Perlahan tapi pasti, batu itu terbelah. Dari celah batu yang menganga, muncullah seekor unta betina yang sangat besar dan megah, persis seperti ciri-ciri yang mereka minta. Unta itu sedang bunting tua. Tak lama setelah keluar, unta ajaib itu melahirkan anaknya. Seluruh kaum yang hadir terperangah. Mulut mereka terkunci, mata mereka terbelalak menyaksikan keajaiban yang terjadi di depan mereka. Sebuah mukjizat yang tak terbantahkan.
Unta Betina Allah: Ujian Iman dan Kesabaran
Kehadiran unta betina itu, yang kemudian dikenal sebagai "Naqatullah" (Unta Betina Allah), menjadi ujian nyata bagi Kaum Tsamud. Nabi Saleh kemudian menyampaikan amanat dari Allah terkait unta tersebut. "Wahai kaumku," kata Saleh, "inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang membuktikan kebenaran) untukmu. Sebab itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat."
Unta tersebut memiliki beberapa keistimewaan. Ia minum dari sumber air mereka pada hari tertentu, dan pada hari berikutnya, giliran seluruh penduduk dan ternak mereka yang minum. Meskipun demikian, pada hari ketika unta itu minum, ia menghasilkan susu yang begitu melimpah sehingga cukup untuk diminum oleh seluruh penduduk. Ini adalah berkah tambahan yang Allah berikan. Unta itu dibiarkan bebas berkeliaran dan merumput di mana saja ia suka. Ia menjadi simbol hidup dari kekuasaan Allah dan kebenaran risalah Nabi Saleh.
Awalnya, banyak dari Kaum Tsamud yang takjub dan sebagian kecil dari mereka pun beriman. Namun, bagi para pembesar yang hatinya telah dipenuhi kedengkian dan kesombongan, mukjizat ini justru menjadi sumber kebencian baru. Kehadiran unta itu setiap hari menjadi pengingat yang menyakitkan akan kekalahan mereka dalam berargumen dan kebenaran Nabi Saleh. Mereka merasa terganggu dengan keberadaan unta itu. Mereka menganggapnya sebagai penghalang, terutama terkait pembagian air, meskipun mereka telah mendapatkan kompensasi berupa susu yang melimpah.
Hari demi hari, kebencian itu semakin memuncak. Para pemuka kaum yang kafir mulai berbisik-bisik, menyebar fitnah, dan menghasut masyarakat. Mereka menggambarkan unta itu sebagai bencana dan sumber masalah. Mereka tidak mampu melihatnya sebagai rahmat dan tanda kebesaran Tuhan, melainkan sebagai ancaman bagi gaya hidup dan kebebasan mereka.
Konspirasi jahat pun mulai dirancang. Sekelompok orang, yang digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai "sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak melakukan perbaikan," menjadi motor penggerak rencana keji ini. Mereka adalah para pemuda durhaka dari kalangan elit yang paling vokal menentang Nabi Saleh. Mereka merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan pengaruh Saleh adalah dengan melenyapkan bukti kenabiannya: sang unta betina.
Puncak Kedurhakaan dan Tiga Hari Penangguhan
Para konspirator itu, dipimpin oleh seorang pria paling celaka di antara mereka bernama Qudar bin Salif, mengintai unta betina tersebut. Pada suatu hari yang telah mereka tentukan, ketika sang unta sedang minum di sumber air, mereka melancarkan serangan pengecut. Satu orang memanahnya, kemudian Qudar bin Salif maju dengan pedangnya dan menebas kaki unta itu hingga rubuh. Dengan kejam, mereka kemudian menyembelih unta itu beramai-ramai, sebuah tindakan yang menunjukkan puncak pembangkangan dan penghinaan terhadap perintah Allah dan rasul-Nya.
Dengan bangga dan mabuk oleh kemenangan semu mereka, mereka mendatangi Nabi Saleh. "Wahai Saleh! Datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar!" tantang mereka dengan penuh keangkuhan. Mereka merasa telah berhasil membungkam kebenaran dengan melenyapkan simbolnya.
Melihat kedurhakaan kaumnya yang telah melampaui batas, wajah Nabi Saleh memancarkan kesedihan yang mendalam. Beliau tahu bahwa dengan terbunuhnya unta itu, pintu ampunan telah tertutup bagi mereka. Kesempatan yang diberikan Allah telah mereka sia-siakan dengan cara yang paling hina. Dengan suara yang berat, Nabi Saleh menyampaikan ultimatum terakhir dari Allah: "Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari. Itulah janji yang tidak dapat didustakan."
Tiga hari itu adalah masa penangguhan, kesempatan terakhir yang sama sekali tidak mereka manfaatkan untuk bertaubat. Sebaliknya, mereka terus dalam kesesatan, bahkan merencanakan untuk membunuh Nabi Saleh dan keluarganya di malam hari. Mereka tidak menyadari bahwa azab Allah jauh lebih dekat daripada yang mereka bayangkan.
Hari-hari penantian itu dipenuhi dengan tanda-tanda yang menakutkan. Pada hari pertama, wajah mereka semua berubah menjadi kuning pucat. Ketakutan mulai merayap ke dalam hati mereka, namun kesombongan masih menutupi akal sehat mereka. Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah padam, seolah-olah darah hendak menyembur keluar. Kepanikan mulai melanda, tetapi mereka masih belum mau tunduk. Pada hari ketiga, wajah mereka berubah menjadi hitam kelam, seolah-olah hangus terbakar. Pada titik ini, mereka akhirnya sadar bahwa ancaman Nabi Saleh bukanlah bualan. Kematian sudah di ambang pintu, dan tidak ada lagi jalan untuk lari atau bertaubat.
Azab yang Mematikan dan Pelajaran Abadi
Sebelum azab itu turun, Allah memerintahkan Nabi Saleh dan para pengikutnya yang beriman untuk segera meninggalkan negeri itu. Mereka adalah golongan yang diselamatkan karena ketaatan dan keimanan mereka. Mereka pergi di kegelapan malam, menjauh dari lembah yang akan segera menjadi kuburan massal bagi orang-orang yang durhaka.
Pada pagi hari keempat, ketika matahari mulai terbit, datanglah azab yang dijanjikan. Dari atas, langit bergemuruh dengan suara petir yang dahsyat dan memekakkan telinga, sebuah teriakan mengguntur (As-Saihah) yang merobek jantung siapa pun yang mendengarnya. Dari bawah, bumi berguncang dengan gempa yang amat kuat (Ar-Rajfah). Kombinasi dua kekuatan penghancur ini melenyapkan Kaum Tsamud dalam sekejap.
Mereka mati bergelimpangan di dalam rumah-rumah batu mereka yang megah. Istana-istana yang mereka pahat dengan penuh kebanggaan kini menjadi nisan-nisan bisu dari sebuah peradaban yang dihancurkan oleh kesombongannya sendiri. Kemewahan, kekuatan, dan keahlian mereka tidak mampu menolong sedikit pun dari ketetapan Allah. Mereka menjadi seperti "rerumputan kering yang dikumpulkan oleh pembuat kandang ternak," sebuah perumpamaan yang menggambarkan betapa hina dan tidak berartinya mereka setelah dibinasakan.
Kisah Nabi Saleh dan Kaum Tsamud, yang berawal dari penegasan bahwa Nabi Saleh keturunan nabi, bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah cermin besar bagi umat manusia di setiap zaman. Di dalamnya terkandung pelajaran yang sangat mendalam.
Pertama, tentang bahaya kesombongan. Kaum Tsamud dibinasakan bukan karena mereka bodoh atau miskin, tetapi karena mereka sombong. Mereka sombong dengan kekuatan fisik, keahlian arsitektur, dan kemakmuran mereka. Kesombongan inilah yang membuat mereka menolak kebenaran, meremehkan utusan Allah, dan pada akhirnya menantang kekuasaan Allah secara terang-terangan.
Kedua, tentang konsekuensi mengingkari nikmat. Allah telah memberikan segala-galanya kepada Kaum Tsamud: tanah yang subur, keamanan, dan kecerdasan. Namun, alih-alih bersyukur, mereka justru kufur. Mereka menggunakan nikmat itu untuk berbuat maksiat dan menyekutukan-Nya. Kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap nikmat adalah ujian; ia bisa menjadi jalan menuju surga jika disyukuri, atau menjadi jalan menuju kebinasaan jika diingkari.
Ketiga, tentang pentingnya mengikuti bukti dan kebenaran, bukan sekadar tradisi buta. Alasan utama Kaum Tsamud menolak Nabi Saleh adalah karena ajarannya bertentangan dengan tradisi nenek moyang mereka. Mereka lebih memilih untuk melestarikan kebiasaan yang salah daripada membuka hati untuk kebenaran yang datang dengan bukti nyata berupa mukjizat yang luar biasa.
Keempat, tentang kepastian janji Allah. Janji Allah tentang pahala bagi orang beriman dan azab bagi orang kafir adalah sebuah kepastian. Penangguhan selama tiga hari menunjukkan betapa sabarnya Allah, namun ketika batas waktu itu habis, azab-Nya datang dengan tepat dan tidak dapat dielakkan.
Peninggalan arkeologis di Al-Hijr, yang kini dikenal sebagai Mada'in Saleh (Kota-kota Saleh) di Arab Saudi, berdiri hingga hari ini sebagai saksi bisu dari kebenaran kisah ini. Reruntuhan rumah-rumah yang terpahat di gunung batu menjadi pengingat fisik bagi siapa saja yang melewatinya tentang nasib sebuah peradaban yang pernah jaya namun kemudian lenyap ditelan murka Tuhan karena kedurhakaan mereka.
Kisah Nabi Saleh, sang utusan yang merupakan keturunan nabi, akan terus bergema sepanjang zaman. Ia adalah seruan abadi agar manusia senantiasa rendah hati, bersyukur atas segala karunia, menggunakan akal untuk mencari kebenaran, dan yang terpenting, menyembah hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang di tangan-Nya tergenggam nasib setiap peradaban.