Kemarahan Seorang Nabi: Mengapa Yunus Meninggalkan Kaumnya?
Dalam hamparan sejarah para nabi dan rasul, setiap kisah membawa pelajaran unik tentang iman, kesabaran, dan hubungan antara hamba dengan Sang Pencipta. Salah satu narasi yang paling dramatis dan sarat akan hikmah adalah kisah Nabi Yunus 'alaihissalam. Kisah ini sering kali diingat karena episode luar biasa di dalam perut ikan raksasa. Namun, peristiwa monumental itu tidak akan terjadi jika bukan karena sebuah momen krusial sebelumnya: momen ketika Nabi Yunus marah terhadap kaumnya karena penolakan mereka yang keras dan berkelanjutan.
Kemarahan ini bukanlah kemarahan biasa. Ia adalah puncak dari rasa frustrasi, keputusasaan, dan kelelahan seorang juru dakwah yang melihat pesannya diabaikan, kebenaran dilecehkan, dan kaumnya terus tenggelam dalam kesesatan. Untuk memahami secara mendalam mengapa kemarahan ini terjadi dan pelajaran apa yang bisa kita petik darinya, kita perlu menelusuri kembali perjalanan dakwah Nabi Yunus di kota Ninawa, sebuah metropolis kuno yang makmur namun rapuh secara spiritual.
Ninawa: Kota Megah yang Tenggelam dalam Kegelapan Syirik
Nabi Yunus bin Matta diutus oleh Allah SWT kepada penduduk Ninawa. Ninawa, yang terletak di wilayah yang kini dikenal sebagai Irak, bukanlah sebuah desa terpencil. Ia adalah sebuah kota besar, pusat peradaban dan perdagangan yang dihuni oleh lebih dari seratus ribu jiwa. Kemegahan arsitekturnya, kesibukan pasarnya, dan kekayaan penduduknya menjadi topeng yang menutupi kekosongan spiritual yang parah. Masyarakat Ninawa telah jauh tersesat dari jalan tauhid. Mereka adalah penyembah berhala yang fanatik. Patung-patung yang mereka pahat dengan tangan mereka sendiri, mereka sembah dengan penuh khusyuk, memohon pertolongan, rezeki, dan perlindungan.
Kehidupan mereka dipenuhi dengan ritual-ritual syirik. Mereka percaya bahwa dewa-dewa palsu inilah yang memberikan mereka kemakmuran dan menjaga kota dari malapetaka. Kearifan lokal yang seharusnya mengarah pada pengenalan Sang Pencipta justru telah dibelokkan menjadi takhayul dan penyembahan makhluk. Kemakmuran material yang mereka nikmati tidak membuat mereka bersyukur kepada Allah, melainkan justru menambah kesombongan dan keyakinan mereka pada jalan sesat yang diwarisi dari nenek moyang. Inilah ladang dakwah yang harus digarap oleh Nabi Yunus, sebuah tanah gersang yang dipenuhi bebatuan kesombongan dan kekafiran.
Seruan Lembut di Tengah Telinga yang Tuli
Nabi Yunus memulai misinya dengan penuh semangat dan harapan. Sebagaimana para nabi sebelumnya, ia menggunakan pendekatan yang logis, penuh kasih sayang, dan persuasif. Ia berjalan di antara keramaian pasar, mendatangi para pemuka kaum, dan berbicara kepada rakyat jelata. Pesannya sederhana, jelas, dan merupakan inti dari ajaran semua nabi: "Wahai kaumku, sembahlah Allah semata. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tinggalkanlah berhala-berhala yang tidak bisa memberi manfaat maupun mudarat ini. Takutlah kalian akan azab-Nya jika terus menerus dalam pembangkangan, dan berharaplah akan rahmat-Nya jika kalian bertaubat."
Ia menjelaskan betapa tidak masuk akalnya menyembah benda mati yang dibuat oleh tangan manusia. Ia mengingatkan mereka tentang nikmat Allah yang tak terhingga: langit yang menaungi, bumi yang menghampar, hujan yang menyuburkan, dan rezeki yang melimpah. Semua ini, katanya, berasal dari satu sumber, yaitu Allah Yang Maha Esa, bukan dari patung-patung bisu yang mereka agungkan. Ia juga membawa kabar menakutkan tentang azab yang telah menimpa kaum-kaum terdahulu yang menolak seruan para rasul, seperti kaum Nuh, 'Ad, dan Tsamud. Namun, semua argumen logis dan peringatan keras itu seakan membentur dinding tebal keangkuhan.
Bagaimana respons kaum Ninawa? Mereka tertawa. Mereka mencemooh. Mereka menuduh Nabi Yunus sebagai seorang pendusta, orang gila, atau seseorang yang haus akan kekuasaan dan ingin mengubah tatanan sosial yang sudah mapan. "Apakah engkau hendak melarang kami menyembah apa yang telah disembah oleh bapak-bapak kami?" tanya mereka dengan sinis. "Lihatlah, dewa-dewa kami telah memberikan kemakmuran ini. Jika ajaranmu benar, mengapa kami hidup dalam kelimpahan?" Logika mereka terbalik. Mereka menjadikan nikmat Allah sebagai dalih untuk mengingkari-Nya.
Puncak Kesabaran dan Ledakan Kemarahan
Dakwah Nabi Yunus bukanlah proyek sehari dua hari. Ia berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan ada yang menyebutkan puluhan tahun. Bayangkan, setiap hari selama bertahun-tahun, ia harus menghadapi wajah-wajah yang sama, cemoohan yang sama, penolakan yang sama. Kesabarannya, setebal apapun itu sebagai seorang nabi, memiliki batas manusiawi. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga, pikiran, dan waktunya untuk menyeru mereka ke jalan kebenaran, namun yang ia dapatkan hanyalah penolakan mentah-mentah.
Di sinilah letak inti permasalahannya. Nabi Yunus marah terhadap kaumnya karena mereka menunjukkan tingkat pembangkangan yang luar biasa. Bukan hanya tidak mau beriman, mereka juga secara aktif melecehkan dan menghina risalah yang dibawanya. Mereka menantangnya untuk mendatangkan azab yang ia ancamkan. "Jika engkau memang benar seorang utusan Tuhan, datangkanlah siksa itu kepada kami!" tantang mereka dengan penuh kesombongan. Tantangan ini adalah puncak dari penghinaan mereka, seolah-olah mereka meremehkan kekuasaan Allah SWT.
Rasa lelah, putus asa, dan amarah bercampur menjadi satu dalam diri Nabi Yunus. Ia merasa telah melakukan semua yang ia bisa. Ia telah menyampaikan amanah dakwah. Ia telah memberikan peringatan yang jelas. Baginya, kaum ini sudah tidak bisa lagi diharapkan. Mereka telah mengunci hati, telinga, dan mata mereka dari kebenaran. Dalam puncak kemarahannya, ia mengambil sebuah keputusan drastis. Ia mengancam mereka dengan azab yang akan datang dalam waktu tiga hari, lalu ia pergi meninggalkan kota Ninawa. Ia pergi dengan keyakinan bahwa tugasnya telah selesai dan kaumnya pantas menerima hukuman dari Allah.
"Laa ilaaha illaa Anta, subhaanaka, innii kuntu minadz dzaalimiin."
(Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.)
Inilah titik kritis dalam kisah Nabi Yunus. Ia pergi karena marah dan putus asa, namun ia pergi tanpa menunggu perintah eksplisit dari Allah SWT untuk melakukannya. Dalam pandangannya, ia telah menunaikan kewajiban. Namun, dalam ilmu Allah Yang Maha Luas, masih ada skenario lain yang tidak ia ketahui. Kepergiannya ini, yang didasari oleh amarah, menjadi sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya kesabaran total dan penyerahan diri mutlak kepada kehendak Allah, bahkan ketika situasi tampak tanpa harapan.
Tanda-Tanda Azab dan Taubat yang Belum Pernah Terjadi
Setelah Nabi Yunus pergi, langit di atas Ninawa mulai menunjukkan perubahan yang menakutkan. Awan hitam pekat mulai menggumpal, menutupi cahaya matahari dan mengubah siang menjadi seperti malam yang kelam. Angin bertiup kencang membawa debu dan hawa yang dingin mencekam. Wajah-wajah penduduk yang tadinya sombong dan penuh cemoohan, kini mulai pucat pasi. Mereka melihat ternak-ternak mereka gelisah, anak-anak menangis ketakutan, dan suasana kota yang tadinya riuh rendah menjadi senyap dalam ketegangan.
Mereka mulai sadar. Peringatan Nabi Yunus bukanlah omong kosong. Ciri-ciri azab yang ia gambarkan mulai menjadi kenyataan di depan mata mereka. Mereka saling berpandangan dengan penuh ketakutan. "Yunus tidak pernah sekalipun berbohong kepada kita," mungkin begitu bisik salah seorang dari mereka. Kesadaran kolektif pun muncul. Mereka tahu, satu-satunya jalan keluar adalah bertaubat kepada Tuhannya Yunus.
Maka, terjadilah sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah sebagai salah satu taubat massal paling luar biasa. Dipimpin oleh raja atau tokoh bijak mereka, seluruh penduduk Ninawa, dari yang tua hingga yang muda, laki-laki dan perempuan, keluar dari rumah-rumah mereka menuju tanah lapang. Mereka menanggalkan pakaian kebesaran mereka dan mengenakan kain kasar sebagai tanda penyesalan. Mereka bahkan memisahkan induk ternak dari anak-anaknya, sehingga suara lenguhan dan embikan hewan-hewan yang saling merindukan itu menambah suasana pilu dan mengharukan. Mereka menangis, meraung, dan berdoa dengan penuh ketulusan, "Kami beriman kepada Tuhannya Yunus! Kami menyesali perbuatan kami! Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, ampunilah kami dan janganlah Engkau timpakan azab-Mu kepada kami!"
Doa yang dipanjatkan dari puluhan ribu hati yang hancur dan tulus itu menembus langit. Allah SWT, Yang Maha Mendengar lagi Maha Penerima Taubat, melihat ketulusan mereka. Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah pun mengangkat azab yang sudah di ambang pintu itu dari atas mereka. Langit kembali cerah, angin kembali tenang, dan kehidupan kembali normal, namun dengan hati dan jiwa yang telah terlahir kembali dalam iman.
Ujian di Lautan dan Kegelapan Perut Ikan
Sementara kaumnya bertaubat, Nabi Yunus telah berjalan jauh menuju pantai. Hatinya masih dipenuhi amarah dan keyakinan bahwa Ninawa akan segera hancur lebur. Ia menumpang sebuah kapal yang sudah penuh muatan untuk berlayar menyeberangi lautan, menjauh sejauh mungkin dari kaum yang telah menyakitinya.
Di tengah lautan yang luas, tiba-tiba badai dahsyat mengamuk. Ombak setinggi gunung menggulung kapal, angin menderu-deru, dan langit gelap oleh petir yang menyambar. Para awak kapal yang berpengalaman pun panik. Menurut kepercayaan mereka, badai seganas ini pasti disebabkan oleh adanya seorang hamba yang melarikan diri dari tuannya di atas kapal. Untuk meringankan beban kapal dan menenangkan badai, mereka memutuskan untuk membuang satu orang ke laut. Undian pun dilakukan untuk menentukan siapa orang yang bernasib malang itu.
Anehnya, undian pertama jatuh pada nama Yunus. Merasa tidak mungkin seorang yang tampak saleh seperti dia menjadi penyebabnya, mereka mengulang undian. Nama Yunus keluar lagi. Hingga ketiga kalinya, nama yang sama yang muncul. Saat itulah Nabi Yunus sadar, ini bukanlah kebetulan. Ini adalah teguran langsung dari Allah SWT. Ia pun mengaku, "Akulah hamba yang melarikan diri itu." Ia sadar bahwa ia telah "melarikan diri" dari tugasnya di Ninawa tanpa izin Tuhannya. Tanpa ragu, ia pun menceburkan dirinya ke dalam lautan yang bergelora.
Saat tubuhnya ditelan ombak, Allah SWT memerintahkan seekor ikan raksasa (Ikan Nun) untuk menelannya bulat-bulat, bukan untuk mencelakainya, melainkan untuk menjadi penjara sementara yang akan memberinya pelajaran berharga. Di dalam perut ikan, dalam tiga lapis kegelapan—kegelapan perut ikan, kegelapan lautan dalam, dan kegelapan malam—Nabi Yunus terisolasi dari dunia. Di sanalah, dalam kesendirian dan keheningan total, ia melakukan introspeksi mendalam. Ia menyadari kesalahannya. Kemarahannya telah membuatnya bertindak gegabah dan mendahului ketetapan Allah.
Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia memanjatkan sebuah doa yang kelak menjadi doa agung bagi umat manusia yang ditimpa kesulitan. Ia mengakui keesaan dan kesucian Allah, serta mengakui kesalahannya sendiri: "Laa ilaaha illaa Anta, subhaanaka, innii kuntu minadz dzaalimiin" (Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim). Doa ini adalah manifestasi puncak dari penyesalan, kerendahan hati, dan pengakuan total akan kekuasaan Allah. Dan Allah, Yang Maha Mendengar, mengabulkan doanya.
Kelahiran Kembali dan Hikmah yang Terungkap
Atas perintah Allah, ikan raksasa itu berenang ke pesisir dan memuntahkan Nabi Yunus di sebuah pantai yang tandus. Kondisinya sangat lemah, kulitnya melepuh seperti bayi yang baru lahir. Namun, rahmat Allah tidak berhenti sampai di situ. Allah menumbuhkan sejenis pohon labu (yaqthin) di dekatnya, yang daunnya yang lebar memberinya naungan dari terik matahari dan buahnya menjadi makanan untuk memulihkan kekuatannya.
Setelah pulih, Allah memerintahkannya untuk kembali ke Ninawa. Mungkin ada sedikit keraguan di hatinya, membayangkan akan menemukan kota yang telah hancur. Namun, betapa terkejutnya ia ketika memasuki gerbang kota. Ia tidak menemukan puing-puing, melainkan sebuah kota yang hidup dalam damai dan iman. Ia melihat orang-orang beribadah kepada Allah, menyebut nama-Nya dengan penuh takzim. Kaum yang dulu mencemoohnya kini menyambutnya dengan penuh hormat dan cinta sebagai nabi mereka. Lebih dari seratus ribu jiwa telah beriman.
Di saat itulah Nabi Yunus memahami pelajaran agung di balik semua peristiwa ini. Kemarahannya, meskipun beralasan dari sudut pandang manusia, telah membuatnya tidak sabar terhadap rencana Allah. Ia ingin kaumnya segera dihukum, padahal Allah dengan rahmat-Nya justru memberi mereka kesempatan untuk bertaubat di saat-saat terakhir. Allah ingin menunjukkan kepadanya bahwa hidayah adalah mutlak milik-Nya, dan tugas seorang rasul adalah terus menyampaikan, bukan menentukan hasil akhir.
Pelajaran Abadi dari Kemarahan Nabi Yunus
Kisah ini memberikan kita pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Alasan utama Nabi Yunus marah terhadap kaumnya karena penolakan total dan kesombongan mereka. Namun, pelajaran terbesarnya justru terletak pada responsnya terhadap situasi tersebut. Kisah ini mengajarkan kita tentang:
- Bahaya Ketergesa-gesaan dan Amarah dalam Dakwah: Kemarahan, bahkan yang bersifat "lillah" (karena Allah), jika tidak dikelola dengan kesabaran dan kebijaksanaan, dapat mengarah pada keputusan yang salah. Kisah ini mengingatkan para juru dakwah dan siapa pun yang menyeru pada kebaikan untuk tidak pernah putus asa dan tidak mendahului ketetapan Allah.
- Pentingnya Kesabaran Hingga Titik Akhir: Nabi Yunus sudah sangat sabar, namun ujiannya adalah untuk tetap berada di posnya bahkan ketika harapan tampak sirna. Allah menuntut kesabaran yang absolut, karena hanya Dia yang tahu apa yang ada di dalam hati manusia dan kapan hidayah akan turun.
- Kekuatan Taubat yang Tulus: Kisah kaum Ninawa adalah bukti paling nyata bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni jika disertai dengan taubat yang nasuha (tulus). Pintu rahmat Allah selalu terbuka bagi mereka yang kembali kepada-Nya dengan penyesalan yang sungguh-sungguh.
- Keagungan Doa Nabi Yunus: Tasbih yang diucapkannya di perut ikan menjadi senjata spiritual bagi umat Islam. Doa ini mengandung tiga pilar utama: pengakuan tauhid, penyucian Allah (tasbih), dan pengakuan atas kesalahan diri sendiri. Ini adalah formula sempurna untuk memohon pertolongan di saat paling sulit sekalipun.
- Rencana Allah Lebih Indah: Manusia sering kali melihat sesuatu dari sudut pandang yang terbatas. Nabi Yunus melihat kaum yang pantas dibinasakan. Allah melihat kaum yang di ambang taubat massal. Ini mengajarkan kita untuk selalu berbaik sangka kepada Allah dan meyakini bahwa di balik setiap kesulitan atau situasi yang tampak buntu, ada hikmah dan rencana-Nya yang jauh lebih besar dan lebih baik.
Kisah Nabi Yunus bukanlah sekadar cerita tentang seorang nabi yang ditelan ikan. Ini adalah sebuah epik tentang emosi manusiawi, kesabaran ilahiah, kekuatan penyesalan, dan luasnya rahmat Tuhan. Kemarahannya kepada kaum Ninawa menjadi titik awal dari sebuah perjalanan spiritual luar biasa yang pada akhirnya tidak hanya menyelamatkan kaumnya, tetapi juga memberikan pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia tentang hakikat penyerahan diri kepada Sang Pencipta.