Pembaiatan Ali bin Abi Thalib: Titik Balik Sejarah Islam

Pembaiatan Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu peristiwa penting dan sering menjadi subjek diskusi dalam sejarah Islam. Peristiwa ini terkait erat dengan kepemimpinan dan penerus spiritual setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai sepupu sekaligus menantu Nabi, memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan beliau sejak masa awal dakwah Islam.

Ali

Ilustrasi simbolis kepemimpinan dan penetapan.

Latar Belakang Kedekatan Ali dengan Nabi

Ali bin Abi Thalib tumbuh di bawah naungan langsung Nabi Muhammad SAW. Ia adalah salah satu orang pertama yang menerima Islam, sering disebut sebagai assabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama kali beriman). Kedekatan fisik—tinggal di rumah yang sama dengan Nabi—serta ikatan keluarga (Ali menikahi Fatimah az-Zahra, putri Nabi) menempatkan posisinya secara unik di kalangan sahabat lainnya. Keberanian dan kecerdasannya dalam medan perang maupun dalam memahami ajaran Islam juga diakui secara luas.

Narasi mengenai pembaiatan atau penetapan kepemimpinan Ali sering kali merujuk pada beberapa momen kunci. Meskipun pandangan Sunni dan Syiah mengenai implikasi peristiwa ini berbeda, fokus utama dari diskusi historis adalah pengakuan atas jasa dan kedudukannya.

Peristiwa Ghadir Khum: Titik Sentral

Peristiwa yang paling sering dikaitkan dengan penunjukan Ali adalah saat kepulangan Nabi Muhammad SAW dari Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, Nabi dilaporkan mengumpulkan para sahabat dalam jumlah besar. Dalam pidatonya, Nabi mengucapkan kalimat yang menjadi landasan interpretasi tentang status kepemimpinan Ali.

Kalimat yang terkenal adalah: "Man kuntu maulahu fa 'Aliyyun maulahu" (Barangsiapa menganggapku sebagai maula-nya, maka Ali juga adalah maula-nya). Kata 'maula' ini memiliki berbagai makna dalam bahasa Arab, mulai dari teman, kekasih, pelindung, hingga pemimpin. Bagi sebagian besar sejarawan dan sumber Syiah, ini adalah penetapan eksplisit bahwa Ali adalah penerus kepemimpinan umat setelah Nabi. Bagi Sunni, ini dipahami sebagai penekanan pada kecintaan dan penghormatan terhadap Ali, serta pengangkatannya sebagai pemimpin wilayah tertentu dalam perjalanan saat itu.

Kontekstualisasi Pasca-Wafatnya Nabi

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, komunitas Muslim menghadapi krisis suksesi. Pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah menghasilkan pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama. Keputusan ini kemudian diikuti dengan proses bai’at (sumpah setia) oleh para sahabat senior.

Mengenai pembaiatan Ali sendiri, terdapat berbagai narasi. Sebagian besar riwayat Sunni menyebutkan bahwa Ali membaiat Abu Bakar setelah beberapa waktu, ketika ketegangan mereda, demi menjaga persatuan umat Islam. Sementara itu, interpretasi lain menyoroti penundaan bai'at tersebut sebagai bentuk penegasan bahwa Ali memiliki klaim atas kepemimpinan yang lebih utama berdasarkan penunjukan Nabi sebelumnya.

Implikasi dan Warisan Historis

Pembaiatan Ali, dalam berbagai konteksnya, menegaskan perannya yang sentral dalam sejarah Islam awal. Ali kemudian menjadi Khalifah keempat, setelah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Masa kekhalifahannya ditandai oleh tantangan internal yang signifikan, termasuk fitnah dan perang saudara yang pertama (Fitnah Kubra).

Terlepas dari perbedaan pandangan teologis tentang siapa yang seharusnya memimpin setelah Nabi, tidak ada keraguan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah figur kunci. Peristiwa yang berkaitan dengan penetapannya—baik di Ghadir Khum maupun dalam proses suksesi pasca-Nabi—tetap menjadi tonggak yang membentuk dua mazhab utama dalam Islam, yaitu Sunni dan Syiah, hingga hari ini. Mempelajari pembaiatan Ali adalah menyelami upaya awal umat Islam dalam mendefinisikan struktur kepemimpinan politik dan spiritual mereka.

Pentingnya Memahami Perspektif Berbeda

Studi tentang pembaiatan Ali menuntut pembaca untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber Sunni menekankan pada konsensus sahabat di Saqifah, sementara sumber Syiah berfokus pada otoritas ilahiyah yang diturunkan melalui Nabi kepada Ali. Pemahaman yang seimbang memerlukan pengakuan atas validitas narasi dari kedua belah pihak sebagai bagian integral dari warisan sejarah Islam yang kaya dan kompleks.

🏠 Homepage