Hukum waris Islam, atau yang dalam literatur Arab dikenal sebagai Ilmu al-Fara'id atau Mawarith, merupakan salah satu cabang penting dalam ajaran Islam yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Prinsip dasarnya adalah keadilan dan ketelitian dalam membagikan warisan kepada ahli waris yang berhak, sesuai dengan ketentuan syariat. Memahami hukum waris Islam tidak hanya sekadar mengetahui aturan pembagian, tetapi juga mendalami filosofi di baliknya yang mencerminkan nilai-nilai keharmonisan keluarga dan tanggung jawab sosial.
Para ahli hukum Islam telah menguraikan dan memberikan definisi yang komprehensif mengenai hukum waris. Secara umum, hukum waris Islam adalah ilmu yang membahas tentang penentuan siapa-siapa yang berhak menerima harta peninggalan, berapa bagian masing-masing, dan bagaimana cara membagikannya. Definisi ini menekankan pada aspek identifikasi ahli waris, penetapan hak mereka, dan mekanisme pelaksanaannya.
Berbagai ulama dan ahli fiqih memberikan pandangan mereka terhadap hukum waris Islam. Salah satu tokoh terkemuka dalam bidang ini adalah **Imam Syafi'i**. Beliau dalam karyanya menguraikan secara rinci kaidah-kaidah pembagian warisan, menekankan pentingnya nasab (garis keturunan) sebagai dasar utama penetapan ahli waris. Menurut Imam Syafi'i, hukum waris adalah hak yang ditentukan oleh Allah SWT semata, yang ditetapkan melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak dapat diubah oleh manusia.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh **Imam Abu Hanifah**. Beliau lebih menekankan pada aspek kekerabatan dan hubungan yang terjalin erat, serta peran sosial seseorang dalam keluarga. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum waris bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga dan mencegah terjadinya perselisihan di antara mereka. Fokusnya lebih kepada bagaimana harta warisan dapat termanfaatkan secara optimal untuk kebaikan penerusnya.
Sementara itu, para ulama kontemporer seperti **Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili** dalam kitabnya yang monumental, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, mendefinisikan hukum waris sebagai ilmu yang mempelajari hak-hak orang yang memiliki hubungan nasab, perkawinan, atau pembebasan budak terhadap harta peninggalan seseorang yang telah meninggal. Ia juga menjelaskan bahwa tujuan utama hukum waris adalah menegakkan keadilan, mempererat tali persaudaraan, dan mencegah timbulnya keserakahan serta perselisihan dalam masyarakat. Beliau membagi ahli waris menjadi tiga kategori utama: ahli waris berdasarkan nasab (keturunan), ahli waris berdasarkan perkawinan (suami/istri), dan ahli waris berdasarkan pemerdekaan budak (pada masa lalu).
Dalam konteks Indonesia, para ahli hukum Islam seperti **Prof. Dr. H. Abdul Ghofur Anshori** juga banyak berkontribusi dalam menjelaskan hukum waris Islam. Beliau menekankan bahwa hukum waris Islam merupakan bagian integral dari hukum keluarga Islam yang berlaku di Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi umat Islam dalam urusan harta peninggalan. Beliau menyoroti bahwa implementasi hukum waris Islam di Indonesia seringkali menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi pemahaman masyarakat maupun dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut para ahli, hukum waris Islam berlandaskan pada beberapa prinsip dasar, antara lain:
Hikmah di balik pengaturan hukum waris Islam sangatlah mendalam. Para ahli menyoroti bahwa pengaturan ini bertujuan untuk:
Dengan demikian, pengertian hukum waris Islam menurut para ahli tidak hanya sebatas pada teknis pembagian harta, melainkan juga mencakup filosofi, tujuan, dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Pemahaman yang komprehensif ini penting agar umat Islam dapat menjalankan kewajiban syariat ini dengan benar dan penuh kesadaran.