Memahami Makna Qadar
Ilustrasi jalan hidup sebagai perwujudan Qadar Ilahi
Pengantar: Rukun Iman Keenam
Dalam ajaran Islam, pilar-pilar keimanan atau yang dikenal sebagai Rukun Iman menjadi fondasi utama akidah seorang muslim. Terdapat enam pilar yang wajib diyakini dengan sepenuh hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Pilar keenam, yang seringkali menjadi topik perenungan mendalam, adalah iman kepada Qada dan Qadar, atau yang secara umum dikenal sebagai takdir baik dan takdir buruk yang datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Memahami pengertian qadar secara benar adalah kunci untuk membuka ketenangan jiwa, kekuatan dalam menghadapi cobaan, dan kerendahan hati dalam menerima nikmat.
Konsep takdir sering disalahpahami, dianggap sebagai doktrin yang mengebiri kehendak bebas manusia dan mendorong pada kepasrahan buta atau fatalisme. Padahal, pemahaman yang lurus mengenai qadar justru menjadi sumber energi positif yang luar biasa. Ia mengajarkan tentang keseimbangan sempurna antara ikhtiar (usaha) manusia dan tawakal (berserah diri) kepada Allah. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang pengertian qadar, perbedaannya dengan qada, landasan dalilnya, tingkatan-tingkatannya, serta hikmah agung di balik keimanan terhadapnya.
Definisi Mendasar: Membedakan Qada dan Qadar
Meskipun sering disebut bersamaan, istilah 'Qada' dan 'Qadar' memiliki makna yang spesifik namun saling berkaitan erat. Memahami perbedaan keduanya adalah langkah pertama untuk meraih pemahaman yang utuh.
1. Pengertian Qada (القضاء)
Secara etimologi (bahasa), kata qada berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa arti, di antaranya adalah hukum (hukm), ketetapan, keputusan, perintah, atau penyelesaian. Ia merujuk pada sebuah keputusan final yang telah ditetapkan.
Secara terminologi (istilah syar'i), Qada adalah ketetapan atau keputusan Allah yang bersifat azali (ada sejak dahulu tanpa permulaan) terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Qada adalah rencana agung, cetak biru (blueprint) universal yang telah Allah tetapkan di Lauh Al-Mahfuz jauh sebelum alam semesta beserta isinya diciptakan. Ketetapan ini bersifat umum, menyeluruh, dan tidak akan pernah berubah. Ia mencakup segala hal, dari pergerakan atom terkecil hingga rotasi galaksi terbesar, dari kelahiran seorang insan hingga ajalnya, dari sehelai daun yang jatuh hingga peristiwa besar dalam sejarah manusia.
2. Pengertian Qadar (القدر)
Secara etimologi, kata qadar berasal dari bahasa Arab yang berarti ukuran, kadar, batasan, atau ketentuan. Ia merujuk pada implementasi sesuatu sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.
Secara terminologi, Qadar adalah perwujudan atau realisasi dari Qada Allah pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, sesuai dengan ukuran dan kadar yang spesifik. Jika Qada adalah cetak birunya, maka Qadar adalah proses "pembangunan" atau manifestasi dari cetak biru tersebut di alam nyata. Qadar adalah detail-detail spesifik dari ketetapan umum yang ada dalam Qada. Ia adalah kejadian-kejadian yang kita saksikan dan alami setiap saat, yang terjadi persis seperti yang telah Allah ketahui dan tuliskan sebelumnya.
Analogi Sederhana Qada dan Qadar
Untuk mempermudah pemahaman, bayangkan seorang arsitek andal yang akan membangun sebuah gedung pencakar langit.
- Qada adalah seperti desain arsitektur lengkap (blueprint) yang dibuat oleh arsitek tersebut. Di dalam blueprint ini, semua detail telah ditetapkan: jumlah lantai, material yang digunakan, letak setiap ruangan, sistem kelistrikan, hingga jadwal penyelesaian setiap fase. Rencana ini dibuat sebelum satu pun fondasi diletakkan. Rencana ini bersifat final dan menjadi acuan utama.
- Qadar adalah proses konstruksi gedung tersebut hari demi hari. Pemasangan tiang pancang pada hari pertama, pengecoran lantai dasar pada minggu berikutnya, pemasangan dinding di lantai sepuluh pada bulan keenam; semua itu adalah Qadar. Setiap peristiwa dalam proses konstruksi ini terjadi sesuai dengan ukuran, waktu, dan spesifikasi yang telah tertera dalam blueprint (Qada).
Hubungan keduanya tak terpisahkan. Qadar adalah eksekusi dari Qada. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah Qadar yang berjalan sesuai dengan Qada Allah SWT.
Dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah
Keimanan kepada Qada dan Qadar bukanlah hasil pemikiran filosofis semata, melainkan berakar kuat pada wahyu Allah, baik dalam Al-Qur'an maupun melalui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalil dari Al-Qur'an
Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menegaskan tentang ilmu, ketetapan, dan kehendak Allah yang mutlak atas segala sesuatu. Di antaranya adalah:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)." (QS. Al-Qamar: 49)
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa segala ciptaan, tanpa terkecuali, diciptakan dengan ukuran, kadar, dan ketentuan yang presisi dari Allah. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan atau serampangan.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)
Ayat ini memberikan penegasan yang sangat kuat bahwa setiap musibah, baik yang berskala besar di bumi maupun yang menimpa diri pribadi, telah tercatat dalam sebuah "kitab" sebelum entitas itu sendiri diciptakan. Ini menunjukkan betapa ilmu dan tulisan Allah mendahului segala peristiwa.
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Al-An'am: 59)
Ayat mulia ini menggambarkan cakupan ilmu Allah yang tak terbatas. Dari hal-hal gaib hingga peristiwa paling sepele seperti daun yang gugur atau biji di dalam tanah, semuanya berada dalam pengetahuan dan catatan-Nya.
Dalil dari As-Sunnah
Hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan yang rinci mengenai Qadar. Yang paling fundamental adalah Hadis Jibril yang masyhur, ketika Malaikat Jibril datang dalam wujud seorang manusia dan bertanya kepada Nabi tentang Islam, Iman, dan Ihsan.
Ketika ditanya tentang Iman, Rasulullah menjawab: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk." (HR. Muslim)
Hadis ini secara tegas menempatkan iman kepada Qadar sebagai pilar keenam yang tak terpisahkan dari keimanan seorang hamba.
Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan tentang proses pencatatan takdir:
Rasulullah bersabda: "Allah telah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi." (HR. Muslim)
Hadis ini memberikan gambaran tentang betapa primordialnya ketetapan Allah, mendahului eksistensi ruang dan waktu yang kita kenal. Ini menegaskan konsep Qada sebagai ketetapan azali.
Tingkatan (Maratib) Iman kepada Qadar
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah merincikan bahwa keimanan yang benar kepada Qadar harus mencakup keyakinan terhadap empat tingkatan atau pilar utama. Keimanan seseorang tidak akan sempurna hingga ia meyakini keempat-empatnya.
1. Al-'Ilm (العلم) - Ilmu Allah yang Meliputi Segala Sesuatu
Tingkatan pertama adalah keyakinan bahwa ilmu Allah bersifat azali, abadi, dan meliputi segala sesuatu secara total. Allah mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, apa yang akan terjadi, dan bahkan apa yang tidak terjadi, Dia tahu bagaimana jika itu terjadi. Tidak ada satu pun partikel di alam raya ini yang luput dari ilmu-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang besar maupun yang kecil. Ilmu-Nya sempurna, tidak didahului oleh kebodohan dan tidak akan disusul oleh kelupaan.
2. Al-Kitabah (الكتابة) - Pencatatan di Lauh Al-Mahfuz
Tingkatan kedua adalah keyakinan bahwa Allah telah menuliskan dan mencatat segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat di dalam sebuah kitab yang mulia, yaitu Lauh Al-Mahfuz (Kitab yang Terpelihara). Hal ini didasarkan pada dalil-dalil seperti QS. Al-Hadid: 22 yang telah disebutkan sebelumnya, serta hadis tentang "Al-Qalam" (Pena).
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah Al-Qalam (Pena). Lalu Allah berfirman kepadanya: ‘Tulislah!’ Pena itu menjawab: ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman: ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga datangnya hari kiamat.’" (HR. Abu Daud, Tirmidzi. Sahih)
3. Al-Masyi'ah (المشيئة) - Kehendak Allah yang Berlaku Mutlak
Tingkatan ketiga adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik itu gerakan, diam, ketaatan, kemaksiatan, keimanan, kekufuran, kehidupan, maupun kematian, semuanya terjadi atas kehendak (Masyi'ah) dan izin Allah. Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di luar kehendak-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi. Kehendak Allah ini bersifat نافذة (nafidzah), yaitu pasti terlaksana dan tidak ada yang bisa menghalanginya.
4. Al-Khalq (الخلق) - Penciptaan Allah atas Segala Sesuatu
Tingkatan keempat adalah keyakinan bahwa Allah adalah Sang Pencipta (Al-Khaliq) segala sesuatu. Tidak ada pencipta selain Dia. Ini mencakup penciptaan zat-zat (entitas) dan juga sifat-sifatnya, termasuk perbuatan para hamba-Nya. Allah menciptakan hamba dan juga menciptakan perbuatan yang dilakukan oleh hamba tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. Ash-Shaffat: 96)
Ini adalah poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan, yang akan kita bahas lebih lanjut dalam hubungan antara takdir dan kehendak bebas manusia.
Antara Takdir Ilahi dan Kehendak Bebas Manusia
Jika semua telah ditakdirkan dan diciptakan oleh Allah, di manakah letak tanggung jawab dan kehendak bebas manusia? Pertanyaan ini telah menjadi perdebatan teologis sepanjang sejarah Islam. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengambil jalan tengah di antara dua pandangan ekstrem.
Pandangan Ekstrem: Jabariyah dan Qadariyah
- Jabariyah: Kelompok ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak atau pilihan. Manusia diibaratkan seperti kapas yang diterbangkan angin, sepenuhnya dipaksa (majbur) oleh takdir. Pandangan ini menafikan keadilan Allah, karena bagaimana mungkin Allah menghukum seseorang atas perbuatan yang dipaksakan kepadanya?
- Qadariyah: Kelompok ini berpendapat sebaliknya. Mereka meyakini bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri secara independen, terlepas dari kehendak dan ciptaan Allah. Pandangan ini menafikan kemahakuasaan dan keluasan ciptaan Allah, seolah-olah ada "pencipta" lain di dalam kerajaan-Nya.
Pandangan Jalan Tengah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba. Namun, manusia diberikan kehendak (iradah) dan kemampuan untuk memilih (ikhtiar) yang nyata dan sejati. Manusia bukanlah robot yang diprogram.
Konsep kuncinya adalah Al-Kasb (الكسب) atau usaha. Allah menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang melakukan, mengusahakan, dan memilih perbuatan tersebut. Oleh karena pilihan dan usaha inilah, manusia dimintai pertanggungjawaban. Ia akan diberi pahala atas pilihan ketaatannya dan akan diberi ganjaran atas pilihan kemaksiatannya.
Contohnya: Di hadapan seseorang ada dua gelas, satu berisi air putih dan satu lagi berisi minuman keras. Allah menciptakan kemampuan pada tangan orang itu untuk bergerak, menciptakan kedua minuman tersebut, dan mengetahui secara azali pilihan apa yang akan diambil orang itu. Namun, orang itulah yang dengan kehendak dan pilihannya sendiri memutuskan untuk menggerakkan tangannya mengambil air putih (ketaatan) atau minuman keras (kemaksiatan). Pilihan inilah yang menjadi dasar hisab.
Buah dan Manfaat Beriman kepada Qadar
Iman kepada Qadar yang benar bukanlah keyakinan yang pasif dan statis. Sebaliknya, ia adalah sumber kekuatan, ketenangan, dan motivasi yang sangat dinamis. Di antara buah manisnya adalah:
- Ketenangan Jiwa yang Hakiki: Seseorang yang yakin bahwa segala sesuatu berjalan sesuai ketetapan Allah tidak akan dilanda kecemasan berlebihan terhadap masa depan atau penyesalan mendalam atas masa lalu. Ia tahu bahwa apa yang menimpanya tidak akan mungkin meleset, dan apa yang luput darinya tidak akan pernah bisa ia raih. Ini membawa kedamaian dan meredakan stres.
- Menumbuhkan Keberanian dan Keteguhan: Keyakinan pada takdir membebaskan seseorang dari rasa takut kepada selain Allah. Ia akan berani menyuarakan kebenaran dan menghadapi tantangan, karena ia tahu bahwa hidup dan matinya, rezeki dan nasibnya, ada di tangan Allah semata. Tidak ada makhluk yang bisa memberinya mudarat atau manfaat di luar izin dan ketetapan Allah.
- Mencegah Sifat Sombong dan Putus Asa: Ketika meraih kesuksesan, ia tidak akan sombong karena sadar bahwa itu semua adalah karunia dan takdir baik dari Allah. Sebaliknya, ketika mengalami kegagalan atau musibah, ia tidak akan putus asa atau menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, karena ia paham bahwa ini adalah ujian dan ketetapan yang pasti mengandung hikmah.
- Mendorong Ikhtiar Maksimal dan Tawakal Sempurna: Ini adalah buah terpenting. Iman pada qadar tidak berarti meninggalkan usaha. Justru sebaliknya, seorang mukmin diperintahkan untuk melakukan ikhtiar (usaha) terbaik dalam segala hal. Ia belajar, bekerja, berobat, dan merencanakan. Namun, setelah usaha maksimal itu dilakukan, ia menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah (tawakal). Inilah kombinasi sempurna yang melahirkan produktivitas tanpa stres.
- Sumber Kekuatan dalam Menghadapi Musibah: Dengan iman kepada qadar, setiap musibah dipandang sebagai bagian dari skenario ilahi yang penuh hikmah. Ini melahirkan kesabaran, ridha, dan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari setiap kejadian pahit.
Meluruskan Kesalahpahaman Umum tentang Takdir
Beberapa konsep seringkali disalahartikan dan perlu diluruskan agar pemahaman tentang qadar menjadi sempurna.
Takdir Mubram dan Takdir Mu'allaq
Sebagian ulama membagi takdir menjadi dua jenis untuk mempermudah pemahaman, meskipun pada hakikatnya semua kembali pada ilmu dan tulisan Allah di Lauh Al-Mahfuz.
- Takdir Mubram: Adalah takdir yang pasti terjadi dan tidak bisa diubah oleh usaha manusia. Contohnya adalah kelahiran, kematian, jenis kelamin, atau terbitnya matahari dari timur. Ini adalah ranah absolut ketetapan Allah.
- Takdir Mu'allaq: Secara harfiah berarti "takdir yang digantungkan". Maksudnya, takdir ini seolah-olah digantungkan pada sebab-sebab yang dilakukan oleh hamba. Misalnya, rezeki digantungkan pada usaha (ikhtiar), kesehatan digantungkan pada pola hidup sehat, dan panjangnya umur bisa dipengaruhi oleh silaturahmi. Doa adalah salah satu sebab terkuat yang bisa "berinteraksi" dengan takdir mu'allaq ini.
Penting untuk dipahami bahwa pembagian ini hanya dari sudut pandang manusia. Dari sudut pandang ilmu Allah yang azali, hasil akhir dari takdir mu'allaq pun sudah diketahui dan tertulis. Namun, Allah menjadikan usaha dan doa kita sebagai bagian dari sebab-akibat yang Dia tetapkan dalam sistem takdir-Nya.
"Untuk Apa Berusaha Jika Semua Sudah Ditakdirkan?"
Ini adalah syubhat (kerancuan berpikir) klasik. Jawabannya adalah karena kita tidak tahu apa takdir kita. Kita diperintahkan untuk menempuh sebab, bukan untuk merisaukan hasil. Rasulullah tidak mengajarkan para sahabat untuk duduk berdiam diri, tetapi Beliau memimpin mereka dalam berdakwah, berdagang, dan berperang. Kewajiban kita adalah berikhtiar, dan takdir adalah urusan Allah.
Menyalahkan Takdir atas Kemaksiatan
Ini adalah argumen Iblis dan kaum musyrikin. Mereka menyalahkan takdir atas kesesatan mereka. Seorang mukmin sejati, ketika berbuat salah, akan meniru Nabi Adam 'alaihissalam yang segera mengakui kesalahan dan bertaubat: "Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Al-A'raf: 23). Kita berbuat maksiat karena pilihan kita, bukan karena paksaan takdir.
Kesimpulan
Iman kepada qadar adalah pilar keenam keimanan yang menjadi penyeimbang dan penyempurna bagi seorang muslim. Pengertian qadar secara esensial adalah perwujudan dari ketetapan (Qada) Allah yang azali, yang terjadi di alam nyata sesuai ukuran, waktu, dan tempat yang telah Dia tentukan. Keyakinan ini mencakup empat tingkatan: ilmu Allah yang Maha Meliputi, pencatatan di Lauh Al-Mahfuz, kehendak-Nya yang mutlak, dan status-Nya sebagai Pencipta segala sesuatu.
Pemahaman yang benar terhadap qadar tidak akan membawa pada kepasrahan yang fatalistik, melainkan melahirkan pribadi yang dinamis, tangguh, dan optimis. Ia adalah pribadi yang menggabungkan ikhtiar terbaiknya dengan tawakal yang paling tulus. Ia menjadi pemberani karena tidak takut pada selain Allah, menjadi tenang karena tidak cemas akan dunia, menjadi rendah hati saat sukses, dan sabar saat diuji. Ia menyadari bahwa setiap detail kehidupannya berjalan dalam koridor pengetahuan, kebijaksanaan, dan rahmat dari Rabb semesta alam.