Dalam ajaran Islam, waris atau pewarisan adalah salah satu aspek fundamental yang mengatur bagaimana harta peninggalan seorang Muslim dibagikan kepada ahli warisnya. Prinsip pembagian waris dalam Islam sangat adil dan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun, ada kalanya seseorang yang seharusnya berhak menerima warisan justru terhalang karena adanya faktor-faktor tertentu yang dikenal sebagai penghalang waris. Memahami penghalang waris ini penting untuk memastikan pembagian harta berjalan sesuai syariat dan menghindari potensi perselisihan di antara keluarga.
Penghalang waris (mahjub) adalah kondisi di mana seseorang, meskipun memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, tidak berhak mendapatkan bagian warisan sama sekali atau mendapatkan bagian yang lebih kecil karena adanya ahli waris lain yang lebih berhak. Ada dua jenis penghalang waris, yaitu mahjub hirman (terhalang sama sekali) dan mahjub nushan (terhalang sebagian atau berkurang bagiannya).
Para ulama telah mengidentifikasi beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seseorang terhalang dari hak warisnya. Faktor-faktor ini sebagian besar bersifat umum dan berlaku bagi semua aliran mazhab, meskipun terdapat perbedaan rincian dalam beberapa kasus. Berikut adalah beberapa penghalang waris yang paling umum dikenal:
Ini adalah penghalang waris yang paling fundamental dan disepakati oleh seluruh umat Islam. Seorang Muslim tidak berhak mewarisi harta dari orang tua atau kerabatnya yang non-Muslim, begitu pula sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan agama menjadi pemutus hubungan waris secara syar'i.
Seorang anak yang membunuh orang tuanya sendiri, meskipun dalam keadaan sadar atau tidak sadar, tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya yang ia bunuh. Prinsip ini didasarkan pada kaidah fiqh bahwa "pembunuh tidak mewarisi orang yang dibunuhnya." Tujuannya adalah untuk mencegah seseorang mendapatkan keuntungan dari perbuatan dosa besar dan untuk menjaga kehormatan serta hak hidup.
Dalam konteks sejarah Islam, perbudakan pernah menjadi suatu realitas. Seorang budak (abd) tidak memiliki hak waris, baik dari tuannya maupun dari kerabatnya yang bebas. Namun, perlu dicatat bahwa perbudakan telah dihapuskan di seluruh dunia, sehingga penghalang waris ini tidak relevan lagi di zaman modern.
Dalam Islam, nasab (garis keturunan) sangat penting untuk menentukan hak waris. Keturunan yang tidak sah, seperti anak hasil zina, secara syar'i tidak mewarisi dari ayah biologisnya, namun ia berhak mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya. Sebaliknya, ia tidak mewarisi dari ayah biologisnya karena tidak ada hubungan nasab yang diakui syariat dengannya.
Islam tidak mengenal konsep adopsi dalam arti yang memberikan status anak kandung sepenuhnya dalam masalah waris. Anak angkat tidak berhak mewarisi harta dari orang tua angkatnya kecuali jika orang tua angkat tersebut memberikan hibah atau wasiat kepadanya. Namun, anak angkat tetap berhak mewarisi dari orang tua kandungnya.
Ada beberapa ahli waris yang paling sering mengalami kondisi terhalang waris, baik hirman maupun nushan, karena kehadiran ahli waris lain yang kedudukannya lebih kuat:
Memahami penghalang waris dan hukum waris Islam secara umum sangat krusial. Ini bukan hanya soal pembagian harta, tetapi juga menjaga keharmonisan keluarga dan memenuhi kewajiban syariat. Jika ada keraguan atau kondisi yang kompleks terkait pembagian waris, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum Islam atau lembaga keagamaan yang terpercaya. Dengan pemahaman yang benar, kita dapat memastikan bahwa hak-hak setiap ahli waris terpenuhi sesuai dengan ajaran Islam yang penuh keadilan.