Perjalanan Agung Sang Pembawa Risalah

Kelahiran Cahaya di Jantung Padang Pasir

Di tengah-tengah Jazirah Arab, sebuah daratan yang diselimuti padang pasir dan tradisi kesukuan yang kental, terhampar sebuah kota bernama Mekkah. Kota ini bukan sekadar oase di tengah gurun, melainkan pusat spiritual dan perdagangan bagi suku-suku di sekitarnya. Di jantung kota itu berdiri Ka'bah, bangunan suci yang telah lama menjadi tujuan para peziarah. Namun, seiring berjalannya waktu, kesuciannya ternoda oleh berhala-berhala yang memenuhi sekelilingnya, cerminan dari masyarakat yang tenggelam dalam kegelapan spiritual, yang dikenal sebagai zaman Jahiliyah. Ketidakadilan merajalela, pertikaian antar suku menjadi pemandangan biasa, dan martabat manusia seringkali diabaikan.

Dalam kondisi inilah, takdir Illahi mempersiapkan kelahiran seorang insan yang akan mengubah arah sejarah. Dari garis keturunan yang mulia, Bani Hasyim dari suku Quraisy yang terhormat, seorang anak laki-laki yatim piatu ditakdirkan untuk lahir. Ayahnya, Abdullah, telah berpulang ke Rahmatullah sebelum sempat menatap wajah putranya. Ibunya, Aminah, seorang wanita mulia, melahirkannya dalam suasana yang penuh keajaiban. Peristiwa kelahirannya diiringi dengan tanda-tanda kebesaran, seolah alam semesta turut menyambut kedatangan sang pembawa cahaya. Peristiwa besar yang menandai masa menjelang kelahirannya adalah serbuan tentara bergajah yang hendak menghancurkan Ka'bah, namun digagalkan oleh kekuasaan Tuhan, sebuah pertanda bahwa tempat suci itu dilindungi untuk sebuah tujuan yang lebih agung.

Ilustrasi Ka'bah di Mekkah

Anak itu diberi nama Muhammad, sebuah nama yang berarti "Yang Terpuji". Kehidupan masa kecilnya penuh dengan ujian yang membentuk karakternya. Sebagai seorang yatim, ia merasakan betul arti kehilangan dan ketergantungan hanya kepada Sang Pencipta. Setelah ibunya wafat, ia diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, seorang pemimpin Quraisy yang sangat menyayanginya. Namun, kebersamaan itu pun tidak berlangsung lama. Kakeknya pun wafat, dan tanggung jawab pengasuhan beralih ke pundak pamannya, Abu Thalib. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Abu Thalib mencurahkan kasih sayang yang luar biasa kepada keponakannya, melindunginya seolah anak kandungnya sendiri.

Di bawah asuhan pamannya, Muhammad tumbuh menjadi seorang pemuda yang berbeda dari rekan-rekan sebayanya. Ia tidak pernah ikut serta dalam kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat Jahiliyah. Sejak belia, ia sudah dikenal karena kejujurannya yang tiada tara, tutur katanya yang lembut, dan perilakunya yang luhur. Ia menghabiskan masa mudanya dengan menggembalakan kambing, sebuah pekerjaan yang mengajarinya tentang kesabaran, kepemimpinan, dan tanggung jawab. Kejujurannya dalam berdagang saat menemani pamannya dalam perjalanan ke Syam membuatnya mendapatkan gelar yang tersemat abadi: Al-Amin, Sang Terpercaya. Gelar ini bukan diberikan oleh para pengikutnya kelak, melainkan oleh masyarakat Mekkah sendiri, jauh sebelum risalah kenabian turun kepadanya.

Menjelang Kenabian: Pencarian Hakikat

Reputasi Muhammad sebagai Al-Amin sampai ke telinga seorang wanita saudagar yang kaya raya, cerdas, dan terhormat bernama Khadijah. Terkesan dengan integritas dan kemampuannya, Khadijah memercayakan urusan perdagangannya kepada Muhammad. Hasilnya sungguh luar biasa. Keuntungan yang dibawa pulang jauh melebihi ekspetasi, namun yang lebih mengesankan Khadijah adalah laporan dari pelayannya tentang akhlak mulia, kejujuran, dan amanah yang ditunjukkan Muhammad selama perjalanan dagang. Kekaguman ini berujung pada sebuah ikatan suci. Khadijah, melalui perantaranya, melamar Muhammad. Pernikahan antara dua insan mulia ini menjadi sebuah oase ketenangan dan dukungan yang tak ternilai bagi perjalanan hidup Muhammad selanjutnya. Khadijah bukan hanya seorang istri, tetapi juga sahabat, penasihat, dan orang pertama yang akan membenarkan risalahnya.

Meskipun hidupnya mapan dan dihormati oleh masyarakatnya, jiwa Muhammad semakin resah. Hatinya tidak bisa menerima praktik penyembahan berhala yang membatu, ketidakadilan sosial yang mencengkeram kaum lemah, dan kebobrokan moral yang dianggap biasa. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih agung, sebuah kebenaran hakiki yang tersembunyi di balik semua ini. Kerinduan spiritual ini mendorongnya untuk mencari kesendirian, menjauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi Mekkah. Ia sering menyendiri di sebuah gua di puncak Jabal Nur, yang dikenal sebagai Gua Hira.

Ilustrasi Gua Hira tempat wahyu pertama turun

Di dalam keheningan Gua Hira, ia akan ber-tahannuts—berkontemplasi dan beribadah—selama berhari-hari, merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi, tentang tujuan hidup manusia, dan tentang Tuhan Yang Maha Esa. Di sinilah jiwanya ditempa, dipersiapkan untuk menerima tugas terberat dan termulia yang pernah diembankan kepada seorang manusia. Bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu dalam pencarian ini, hingga usianya mendekati empat puluh, usia kematangan sempurna bagi seorang manusia. Langit dan bumi seakan menanti sebuah peristiwa agung yang akan mengubah segalanya.

Wahyu Pertama dan Dakwah dalam Senyap

Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saat Muhammad sedang tenggelam dalam kontemplasinya di Gua Hira, sebuah peristiwa luar biasa terjadi. Sosok agung yang belum pernah ia lihat sebelumnya tiba-tiba muncul dan mendekapnya dengan sangat erat. Sosok itu adalah Malaikat Jibril. Dalam dekapan yang kuat, Jibril memerintahkan, "Iqra!" (Bacalah!). Muhammad, yang tidak bisa membaca dan menulis, menjawab dengan gemetar, "Aku tidak bisa membaca."

Dekapan itu diulangi tiga kali, setiap kali terasa semakin kuat, hingga akhirnya Jibril melepaskannya dan menyampaikan wahyu pertama dari Tuhan semesta alam: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."

Kalimat-kalimat itu menggetarkan seluruh jiwa dan raganya. Pengalaman itu begitu dahsyat, membuatnya pulang dalam keadaan ketakutan dan menggigil. Ia segera menemui istrinya, Khadijah, dan berkata, "Selimuti aku, selimuti aku!" Khadijah, dengan kebijaksanaan dan ketenangannya, menenangkan suaminya. Ia tidak meragukan sedikit pun cerita suaminya. Ia berkata dengan keyakinan penuh, "Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah menghinakanmu. Engkau senantiasa menyambung tali silaturahmi, menolong yang lemah, memberi kepada yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang yang memperjuangkan kebenaran."

Keyakinan Khadijah menjadi penopang pertama bagi Muhammad. Ia adalah orang pertama yang beriman pada risalah yang dibawanya. Untuk mencari peneguhan lebih lanjut, Khadijah membawa suaminya bertemu dengan sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani yang telah tua dan memahami kitab-kitab suci terdahulu. Setelah mendengar cerita Muhammad, Waraqah berkata, "Itulah Namus (Jibril) yang pernah datang kepada Musa. Andai saja aku masih muda dan kuat saat kaummu akan mengusirmu." Perkataan Waraqah ini mengonfirmasi bahwa apa yang dialami Muhammad adalah benar-benar wahyu kenabian, sekaligus memberikan gambaran tentang tantangan berat yang akan dihadapinya.

Setelah wahyu pertama, terjadi jeda beberapa waktu. Wahyu tidak turun lagi, membuat Muhammad merasakan kerinduan dan kegelisahan yang mendalam. Namun, periode ini justru semakin menguatkan mentalnya. Kemudian, wahyu kedua pun turun, menandai dimulainya sebuah misi besar: "Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu!"

Perintah ini menjadi titik awal dakwah. Selama tiga tahun pertama, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terbatas pada lingkaran terdekat. Selain Khadijah, orang-orang pertama yang menyambut seruan tauhid ini adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu beliau yang masih belia; Zaid bin Haritsah, mantan budak yang telah dianggap anak sendiri; dan sahabat karibnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang pedagang terpandang yang jujur dan dihormati. Melalui Abu Bakar, sejumlah tokoh Quraisy lainnya pun memeluk Islam. Pusat dakwah rahasia ini adalah di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, tempat para pengikut awal ini belajar tentang ajaran Islam, memperkuat iman, dan membangun fondasi persaudaraan yang kokoh.

Perjuangan di Mekkah: Ujian Iman dan Kesabaran

Setelah fondasi komunitas Muslim awal terbentuk, turunlah perintah dari Allah untuk memulai dakwah secara terbuka. Nabi Muhammad mengumpulkan kaumnya di Bukit Shafa dan menyerukan kepada mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala. Reaksi pertama datang dari pamannya sendiri, Abu Lahab, yang mencela dengan kasar. Sejak saat itu, dimulailah babak baru yang penuh dengan perlawanan, intimidasi, dan penganiayaan.

Para pembesar Quraisy menentang keras ajaran baru ini karena berbagai alasan. Pertama, ajaran tauhid mengancam posisi dan kekuasaan mereka sebagai penjaga Ka'bah dan tradisi nenek moyang. Kedua, larangan menyembah berhala berpotensi merusak ekonomi Mekkah yang bergantung pada para peziarah yang datang untuk menyembah berhala-berhala tersebut. Ketiga, ajaran Islam tentang kesetaraan manusia di hadapan Tuhan meruntuhkan struktur sosial berbasis kasta dan kesukuan yang telah mereka anut selama berabad-abad. Mereka tidak bisa menerima bahwa seorang budak bisa memiliki kedudukan yang sama dengan seorang majikan di mata Tuhan.

Penentangan ini tidak hanya berupa cemoohan dan propaganda. Mereka melancarkan penyiksaan fisik yang brutal terhadap para pengikut Nabi, terutama mereka yang berasal dari kalangan lemah dan tidak memiliki perlindungan suku. Bilal bin Rabah, seorang budak, disiksa di bawah terik matahari dengan batu besar di dadanya, namun dari bibirnya hanya terucap "Ahad, Ahad" (Yang Maha Esa). Keluarga Yasir menjadi syuhada pertama dalam sejarah Islam; Sumayyah, ibunya, ditikam hingga wafat, dan Yasir, ayahnya, juga gugur karena siksaan.

Nabi Muhammad sendiri tidak luput dari perlakuan keji. Ia dilempari kotoran saat sedang beribadah, jalan di depan rumahnya dipenuhi duri, dan ia dicaci maki sebagai penyihir, orang gila, atau penyair. Namun, ia selalu dilindungi oleh pamannya, Abu Thalib, yang meskipun tidak memeluk Islam, berdiri kokoh sebagai perisai bagi keponakannya karena ikatan keluarga dan rasa hormatnya.

Ketika tekanan semakin memuncak, Nabi mengizinkan sebagian pengikutnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia), sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Kristen yang adil. Ini adalah hijrah pertama dalam Islam, sebuah upaya untuk mencari suaka dan menyelamatkan akidah. Puncak dari penindasan Quraisy adalah pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, klan Nabi Muhammad. Selama tiga tahun, mereka diisolasi di sebuah lembah, dilarang melakukan jual beli, pernikahan, atau interaksi sosial apa pun dengan klan lain di Mekkah. Mereka menderita kelaparan yang parah hingga harus memakan dedaunan. Namun, ujian berat ini justru semakin memperkokoh iman dan solidarita di antara mereka.

Tahun Kesedihan dan Perjalanan ke Langit

Pemboikotan akhirnya berakhir, tetapi ujian berat lainnya telah menanti. Tak lama setelah keluar dari isolasi, Nabi Muhammad harus menghadapi dua kehilangan terbesar dalam hidupnya. Pertama, wafatnya sang paman, Abu Thalib, perisai pelindungnya dari kekejaman Quraisy. Dengan kepergian Abu Thalib, kaum kafir Mekkah semakin berani dan leluasa mengganggu dakwah Nabi. Kedua, selang beberapa waktu kemudian, wafat pula istri tercinta, Khadijah, sumber kekuatan emosional dan dukungan finansialnya. Khadijah adalah orang yang selalu ada untuk menenangkannya, membenarkannya, dan mengorbankan segalanya untuk perjuangan suaminya. Kehilangan dua sosok pilar ini dalam waktu yang berdekatan membuat tahun itu dikenang sebagai 'Amul Huzn, Tahun Kesedihan.

Di tengah duka dan semakin sempitnya ruang gerak di Mekkah, Nabi mencari harapan baru di kota Thaif. Ia berjalan kaki menempuh perjalanan yang jauh dengan harapan penduduk Thaif mau menerima dakwahnya. Namun, yang ia dapatkan adalah penolakan yang lebih kejam daripada di Mekkah. Para pemimpin Thaif menghasut anak-anak dan orang-orang bodoh untuk melempari beliau dengan batu hingga kakinya berdarah. Dalam keadaan terluka fisik dan batin, ia berlindung di sebuah kebun. Di sanalah ia memanjatkan salah satu doa yang paling menyentuh dalam sejarah, mengadukan kelemahannya hanya kepada Allah, tanpa sedikit pun mengeluh atas takdir-Nya.

Ilustrasi simbolis Peristiwa Isra' Mi'raj Mekkah Yerusalem

Sebagai penghiburan dari Allah atas segala kesedihan dan kesulitan yang dialaminya, terjadilah sebuah peristiwa mukjizat yang agung: Isra' dan Mi'raj. Dalam satu malam, Nabi Muhammad diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina (Isra'). Dari sana, ia diangkat naik ke langit tertinggi, Sidratul Muntaha (Mi'raj). Dalam perjalanan ini, ia bertemu dengan para nabi terdahulu dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang luar biasa. Puncak dari perjalanan spiritual ini adalah saat ia menerima perintah langsung dari Allah untuk melaksanakan shalat lima waktu, yang menjadi tiang agama bagi umatnya.

Keesokan harinya, ketika Nabi menceritakan pengalaman ini kepada penduduk Mekkah, mereka menanggapinya dengan cemoohan dan tuduhan gila. Peristiwa ini menjadi ujian keimanan yang besar. Namun, bagi sahabat setianya, Abu Bakar, tidak ada keraguan sedikit pun. Ketika orang-orang bertanya kepadanya, ia menjawab, "Jika Muhammad yang mengatakannya, maka itu pasti benar." Karena keyakinannya yang mutlak inilah ia mendapat gelar Ash-Shiddiq (Yang Membenarkan).

Hijrah ke Madinah: Fajar Baru Peradaban

Harapan baru mulai terbit dari arah utara, dari sebuah kota bernama Yatsrib. Beberapa peziarah dari suku Aus dan Khazraj di Yatsrib bertemu dengan Nabi di Mekkah. Setelah mendengar ajaran beliau, mereka menyadari bahwa inilah sosok nabi yang sering disebut dalam kitab suci kaum Yahudi yang tinggal di kota mereka. Mereka memeluk Islam dan berjanji akan menyebarkan ajaran ini di kota mereka. Pertemuan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya dengan ikrar yang lebih kuat, yang dikenal sebagai Perjanjian Aqabah I dan II. Dalam perjanjian kedua, mereka bersumpah untuk melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka sendiri, dan mengundangnya untuk hijrah ke Yatsrib.

Melihat perkembangan ini, para pemimpin Quraisy merasa terancam. Mereka khawatir jika Muhammad berhasil membangun basis kekuatan di Yatsrib, ia akan kembali untuk membalas mereka. Mereka pun merencanakan konspirasi paling jahat: membunuh Nabi Muhammad secara serentak dengan melibatkan pemuda dari setiap klan agar Bani Hasyim tidak bisa menuntut balas. Namun, Allah Maha Mengetahui rencana mereka. Wahyu turun memberitahukan rencana tersebut dan memberikan izin kepada Nabi untuk berhijrah.

Pada malam yang telah ditentukan, para pengepung telah bersiaga di luar rumah Nabi. Dengan pertolongan Allah, Nabi berhasil keluar dari rumahnya tanpa terlihat. Ia telah meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di ranjangnya demi mengelabui para pembunuh. Bersama sahabatnya yang paling setia, Abu Bakar, ia memulai perjalanan hijrah yang penuh marabahaya. Mereka bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur. Di saat para pengejar sudah berada di mulut gua, Abu Bakar merasa khawatir. Namun, Nabi menenangkannya dengan kalimat yang diabadikan dalam Al-Qur'an: "Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." Dengan mukjizat-Nya, Allah melindungi mereka dengan sarang laba-laba dan sepasang merpati yang bersarang di mulut gua, membuat para pengejar yakin tidak ada seorang pun di dalamnya.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, melintasi padang pasir yang ganas sambil terus menghindari kejaran, Nabi Muhammad dan Abu Bakar akhirnya tiba di Quba, sebuah desa di pinggiran Yatsrib. Di sana, beliau mendirikan masjid pertama dalam sejarah Islam, Masjid Quba. Beberapa hari kemudian, beliau memasuki Yatsrib dengan sambutan yang luar biasa meriah. Seluruh penduduk, tua-muda, laki-laki dan perempuan, keluar rumah dengan lantunan syair dan kegembiraan, menyambut kedatangan sang Nabi yang telah lama mereka nantikan. Sejak saat itu, nama Yatsrib diubah menjadi Madinah An-Nabawiy (Kota Nabi) atau Madinah Al-Munawwarah (Kota yang Bercahaya). Hijrah ini bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan sebuah titik balik yang menandai dimulainya era baru: era pembangunan masyarakat dan negara Islam.

Membangun Masyarakat Madani

Di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya bertindak sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai negarawan ulung. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, kegiatan sosial, dan bahkan markas militer. Ia menjadi jantung dari komunitas yang baru terbentuk.

Langkah brilian berikutnya adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin (para pendatang dari Mekkah) dengan kaum Anshar (penduduk asli Madinah yang menolong). Setiap Muhajirin dipasangkan dengan seorang Anshar dalam ikatan persaudaraan yang lebih kuat dari ikatan darah. Kaum Anshar menunjukkan kedermawanan yang luar biasa, dengan ikhlas berbagi rumah, harta, dan pekerjaan mereka dengan saudara-saudara baru mereka. Inilah fondasi solidaritas sosial yang menopang negara Madinah.

Ilustrasi Masjid Nabawi di Madinah

Untuk mengatur kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk, yang terdiri dari Muslim, Yahudi, dan suku-suku Arab lainnya, Nabi Muhammad menyusun sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia, yang dikenal sebagai Piagam Madinah. Dokumen luar biasa ini menetapkan hak dan kewajiban setiap warga negara, menjamin kebebasan beragama, dan menegaskan bahwa semua kelompok adalah satu umat (ummah) yang harus saling membela dalam menghadapi musuh dari luar. Piagam Madinah menjadi cetak biru bagi sebuah negara madani yang adil, toleran, dan berlandaskan hukum.

Dalam beberapa tahun, Madinah berubah menjadi sebuah negara yang terorganisir dengan baik. Nabi meletakkan dasar-dasar sistem ekonomi yang adil dengan melarang riba dan mendorong zakat, infak, dan sedekah. Ia membangun pasar yang diatur dengan prinsip kejujuran. Ia juga membentuk sistem pertahanan untuk melindungi negara dari ancaman eksternal, terutama dari kaum Quraisy Mekkah yang masih menyimpan dendam dan terus berupaya menghancurkan komunitas Muslim.

Mempertahankan Umat: Era Peperangan

Ancaman dari Quraisy Mekkah tidak bisa dihindari. Mereka tidak rela melihat Islam berkembang pesat di Madinah. Peperangan pun menjadi suatu keniscayaan, bukan untuk agresi, melainkan untuk membela diri, melindungi komunitas, dan menjamin kebebasan berdakwah. Perang dalam Islam memiliki etika yang ketat: dilarang membunuh wanita, anak-anak, orang tua, rohaniwan, serta merusak tanaman dan tempat ibadah.

Perang besar pertama adalah Perang Badar. Pasukan Muslim yang hanya berjumlah sekitar tiga ratus orang, dengan perlengkapan seadanya, harus menghadapi pasukan Quraisy yang berjumlah seribu orang dengan persenjataan lengkap. Dengan keyakinan penuh pada pertolongan Allah dan strategi perang yang cerdas dari Nabi, kaum Muslimin meraih kemenangan yang gemilang. Kemenangan Badar ini sangat meningkatkan moral kaum Muslimin dan mengukuhkan posisi mereka sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan di Jazirah Arab.

Dendam atas kekalahan di Badar membuat Quraisy kembali dengan pasukan yang lebih besar dalam Perang Uhud. Pada awalnya, kaum Muslimin berada di atas angin. Namun, sebuah kesalahan fatal dilakukan oleh pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit. Tergiur oleh harta rampasan perang, mereka meninggalkan posisi strategis mereka, mengabaikan perintah tegas Nabi untuk tidak turun apa pun yang terjadi. Kelalaian ini dimanfaatkan oleh pasukan berkuda musuh untuk menyerang dari belakang. Situasi berbalik, kaum Muslimin terdesak, dan banyak yang gugur. Nabi sendiri terluka parah dalam pertempuran ini. Perang Uhud menjadi pelajaran pahit namun berharga tentang pentingnya disiplin dan ketaatan pada pemimpin.

Ujian terbesar datang dalam Perang Khandaq (Parit). Kaum Quraisy berhasil membentuk koalisi besar yang terdiri dari berbagai suku untuk menyerbu Madinah. Menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya puluhan ribu, kaum Muslimin berada dalam posisi sulit. Atas usulan seorang sahabat dari Persia, Salman Al-Farisi, Nabi menyetujui strategi pertahanan yang belum pernah dikenal di Arab: menggali parit besar di sekeliling sisi terbuka kota Madinah. Strategi ini terbukti sangat efektif. Musuh tidak bisa menembus pertahanan dan terpaksa melakukan pengepungan yang panjang. Di tengah pengepungan, kaum Muslimin juga diuji oleh pengkhianatan dari dalam. Namun, dengan kesabaran, kegigihan, dan pertolongan Allah berupa badai yang memorak-porandakan perkemahan musuh, pengepungan itu akhirnya gagal total.

Beberapa waktu setelah Perang Khandaq, Nabi dan para sahabat berniat untuk melaksanakan ibadah umrah ke Mekkah. Mereka datang dengan damai tanpa membawa senjata. Namun, di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, mereka dihadang oleh kaum Quraisy. Setelah negosiasi yang alot, lahirlah Perjanjian Hudaibiyah. Secara sepintas, isi perjanjian ini tampak merugikan kaum Muslimin. Namun, Nabi dengan visi kenabiannya melihatnya sebagai sebuah kemenangan besar. Gencatan senjata selama sepuluh tahun yang disepakati dalam perjanjian ini memberikan kesempatan emas bagi Islam untuk menyebar secara damai dan pesat ke seluruh Jazirah Arab. Banyak tokoh besar Quraisy, seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, memeluk Islam pada periode ini.

Puncak Kemenangan dan Misi yang Sempurna

Perjanjian Hudaibiyah tidak berlangsung lama. Kaum Quraisy dan sekutunya melanggar perjanjian tersebut dengan menyerang suku sekutu kaum Muslimin. Pelanggaran ini memberikan alasan yang sah bagi Nabi untuk mengambil tindakan. Beliau pun mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah ada, bergerak menuju Mekkah. Namun, tujuan utamanya bukanlah balas dendam atau pertumpahan darah.

Peristiwa ini dikenal sebagai Fathu Makkah, Pembebasan Kota Mekkah. Pasukan Muslim memasuki kota Mekkah nyaris tanpa perlawanan. Nabi Muhammad, yang dulu diusir dan disakiti, kembali ke kampung halamannya sebagai seorang pemenang. Namun, ia tidak menunjukkan kesombongan sedikit pun. Ia masuk kota dengan kepala tertunduk, penuh rasa tawadhu' di hadapan Allah.

Di hadapan Ka'bah, ia berhadapan dengan orang-orang yang dulu menyiksanya, memboikotnya, dan berkomplot untuk membunuhnya. Mereka semua menanti dengan cemas hukuman apa yang akan dijatuhkan. Namun, dari lisan mulia sang Nabi, keluarlah kalimat yang menggetarkan sejarah: "Pergilah kalian semua, kalian bebas!" Ia memberikan ampunan massal, sebuah contoh agung tentang belas kasih dan kebesaran jiwa. Setelah itu, ia membersihkan Ka'bah dari 360 berhala yang ada di sekelilingnya, mengembalikan kesucian rumah Allah itu kepada ajaran tauhid Nabi Ibrahim.

Ilustrasi kitab suci Al-Qur'an yang telah sempurna

Beberapa waktu setelah Fathu Makkah, ketika Islam telah menyebar luas, Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji yang terakhir, yang dikenal sebagai Haji Wada' (Haji Perpisahan). Di Padang Arafah, di hadapan lebih dari seratus ribu jamaah, beliau menyampaikan khutbahnya yang terakhir. Khutbah ini merupakan rangkuman dari seluruh ajaran Islam, sebuah manifesto universal tentang hak asasi manusia. Beliau berbicara tentang kesucian hidup dan harta, penghapusan riba dan balas dendam jahiliyah, pentingnya berlaku baik terhadap perempuan, persaudaraan sesama Muslim, dan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.

"Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu satu dan nenek moyangmu satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas Arab, kecuali dengan takwa."

Pada saat itulah turun wahyu terakhir yang menegaskan kesempurnaan risalah: "...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu..." Misi telah selesai. Risalah telah disampaikan dengan sempurna.

Wafatnya Sang Teladan Umat

Setelah kembali dari Haji Wada', tanda-tanda bahwa akhir hayat Rasulullah sudah dekat mulai tampak. Beliau jatuh sakit. Demam tinggi menyerang tubuh mulianya. Selama sakit, beliau memilih untuk dirawat di rumah istrinya, Aisyah. Meskipun dalam keadaan lemah, pikirannya tetap tertuju pada umatnya. Beliau menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam shalat, sebuah isyarat tentang siapa yang akan memimpin umat setelahnya.

Pada hari-hari terakhirnya, beliau terus memberikan wasiat kepada umatnya, mengingatkan mereka untuk menjaga shalat dan berlaku baik kepada hamba sahaya. Beliau juga memperingatkan agar tidak menjadikan kuburannya sebagai tempat pemujaan. Menjelang detik-detik terakhir, beliau memandang ke arah langit-langit, bibirnya bergerak lirih, dan beliau pun berpulang ke haribaan Sang Kekasih Tertinggi, Allah SWT.

Berita wafatnya Nabi mengguncang seluruh Madinah. Para sahabat dilanda kesedihan yang tak terkira. Umar bin Khattab, dengan perawakannya yang gagah, bahkan tidak bisa menerima kenyataan itu dan mengancam akan menebas siapa pun yang mengatakan Rasulullah telah wafat. Di tengah kekacauan emosional itu, tampillah Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan ketenangan dan kebijaksanaan yang luar biasa. Ia naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya yang abadi: "Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati."

Nabi Muhammad SAW telah tiada secara fisik, tetapi warisannya abadi. Perjalanan hidupnya, dari seorang anak yatim di Mekkah hingga menjadi pemimpin spiritual dan negarawan yang menyatukan seluruh Jazirah Arab, adalah sebuah epik tentang iman, kesabaran, keberanian, kebijaksanaan, dan kasih sayang. Ia bukan hanya menyampaikan risalah, tetapi ia hidup dengan risalah itu. Seluruh hidupnya adalah teladan agung (uswatun hasanah) bagi seluruh umat manusia, sebuah cahaya yang tak akan pernah padam, yang terus menerangi jalan bagi miliaran manusia hingga akhir zaman. Perjalanannya adalah perjalanan rahmat bagi seluruh alam.

🏠 Homepage