Representasi visual perjanjian informal
PPJB atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah sebuah kesepakatan awal antara penjual dan pembeli mengenai transaksi properti, baik itu tanah, rumah, maupun apartemen, sebelum akta jual beli definitif (AJB) dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Istilah "di bawah tangan" merujuk pada perjanjian yang dibuat dan ditandatangani hanya oleh para pihak (penjual dan pembeli) tanpa melibatkan notaris atau PPAT sebagai saksi atau legalisasi resmi.
Dalam konteks hukum Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan properti, perjanjian yang sah dan mengikat secara penuh untuk pemindahan hak milik haruslah dibuat secara otentik, yaitu melalui AJB di hadapan PPAT. Namun, dalam praktiknya, PPJB di bawah tangan sering digunakan untuk mengamankan transaksi secara cepat, terutama saat proses kepemilikan sertifikat masih bermasalah atau pembeli memerlukan waktu untuk mengumpulkan dana pelunasan.
Penggunaan PPJB di bawah tangan memiliki beberapa daya tarik. Keuntungan utamanya adalah kecepatan dan kemudahan dalam penyusunan. Tidak ada biaya notaris yang besar pada tahap awal, dan kesepakatan bisa langsung mengikat secara perdata antara kedua belah pihak. Ini sering menjadi solusi sementara untuk menahan properti dari calon pembeli lain.
Namun, risiko yang menyertainya jauh lebih signifikan daripada kemudahannya. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mensyaratkan empat syarat sahnya perjanjian: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. PPJB di bawah tangan memenuhi syarat perdata ini, artinya ia mengikat para pihak. Akan tetapi, ia tidak memiliki kekuatan pembuktian yang kuat (otentik) di mata hukum publik, khususnya dalam sengketa kepemilikan tanah.
Kelemahan terbesar PPJB di bawah tangan adalah ketika salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji). Jika penjual tiba-tiba menjual properti tersebut kepada pihak ketiga yang sah (membuat AJB), pembeli pertama (yang hanya memiliki PPJB di bawah tangan) akan sangat kesulitan membuktikan kepemilikannya di pengadilan. Dasar hukum PPJB ini adalah perdata, sementara pemindahan hak atas tanah memerlukan formalitas publik (AJB) agar memiliki kekuatan hukum kebendaan (hak atas tanah).
Bagi pembeli, risiko terbesar adalah kehilangan uang muka dan kesulitan menuntut pembatalan jual beli karena dokumen tersebut hanya menunjukkan janji untuk menjual, bukan penyerahan hak yang sah. Sebaliknya, bagi penjual, meskipun PPJB ini mengikat, pembeli yang jujur mungkin menuntut pelaksanaan perjanjian, yang berarti penjual tetap terikat untuk menandatangani AJB saat syarat terpenuhi.
Jika terpaksa menggunakan PPJB di bawah tangan, sangat disarankan untuk menambahkan beberapa elemen penguat untuk memitigasi risiko. Meskipun tidak sekuat akta notaris, langkah-langkah ini dapat meningkatkan kekuatan pembuktian perdata Anda.
PPJB di bawah tangan adalah jalan pintas yang sering diambil karena kepraktisan dan biaya awal yang lebih rendah. Namun, dalam dunia properti yang memerlukan kepastian hukum mutlak, perjanjian ini adalah janji yang belum memiliki perlindungan hukum publik yang kuat. Ia hanya mengikat secara pribadi antara dua pihak yang bertransaksi. Menghindari jebakan "PPJB di bawah tangan" tanpa mengantisipasi langkah legal selanjutnya dapat menempatkan investasi besar Anda dalam risiko yang tidak perlu. Selalu prioritaskan legalitas dan otentikasi melalui PPAT untuk pemindahan hak properti yang sah.