Pujian Setelah Adzan: Gema Syiar dan Tradisi Luhur

Ilustrasi gema pujian dari menara masjid Siluet masjid dengan kubah dan menara. Dari puncak menara, keluar gelombang suara yang melambangkan gema pujian atau adzan. Ilustrasi gema pujian dari menara masjid

Di banyak penjuru Nusantara, ada sebuah jeda sakral yang begitu khas. Setelah suara muazin mengumandangkan adzan, memanggil umat untuk menunaikan shalat, suasana tidak langsung hening. Sebaliknya, dari pengeras suara masjid atau mushala, mengalunlah lantunan syahdu berupa syair-syair, shalawat, atau doa. Inilah yang dikenal sebagai pujian setelah adzan, sebuah tradisi yang telah mengakar kuat, menjadi penanda waktu, pengingat kebesaran Ilahi, dan penyejuk kalbu bagi para pendengarnya.

Bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang tumbuh di lingkungan pedesaan atau di sekitar komunitas pesantren, gema pujian ini adalah bagian tak terpisahkan dari ritme kehidupan sehari-hari. Ia menjadi jembatan antara panggilan (adzan) dan pelaksanaan shalat (iqamah), sebuah ruang spiritual untuk mempersiapkan hati dan pikiran agar lebih khusyuk menghadap Sang Pencipta. Namun, lebih dari sekadar pengisi waktu, pujian ini menyimpan kekayaan makna, sejarah panjang, dan nilai-nilai luhur yang menjadikannya sebuah warisan budaya Islam yang unik di Indonesia.

Sejarah dan Asal-Usul Tradisi Pujian

Untuk memahami kedalaman tradisi pujian setelah adzan, kita perlu menelusuri jejak historisnya. Praktik ini bukanlah sesuatu yang secara eksplisit dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW atau para Khulafaur Rasyidin. Tidak ada hadits yang secara spesifik memerintahkan atau melarang pelantunan syair di antara adzan dan iqamah melalui pengeras suara. Oleh karena itu, tradisi ini lebih tepat dipahami sebagai produk ijtihad budaya dan dakwah para ulama di masa-masa berikutnya, khususnya di wilayah Nusantara.

Akar Dakwah Walisongo

Banyak pengamat dan sejarawan Islam di Indonesia meyakini bahwa akar tradisi ini dapat dilacak kembali ke metode dakwah Walisongo di Pulau Jawa. Para wali menyadari betul bahwa untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang sudah memiliki tradisi dan kebudayaan kuat, pendekatan yang kaku dan frontal tidak akan efektif. Mereka memilih jalan dakwah yang akomodatif dan akulturatif, yakni memadukan ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Salah satu medium yang paling efektif adalah seni dan sastra. Walisongo, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, dikenal piawai dalam menciptakan karya seni berupa tembang (kidung), suluk, dan syair-syair berbahasa lokal (Jawa). Karya-karya ini berisi ajaran Islam yang fundamental—tentang keesaan Tuhan, kecintaan kepada Nabi, nasihat tentang kehidupan dan kematian, serta tuntunan ibadah—namun dibungkus dalam format yang akrab di telinga masyarakat. Syair-syair inilah yang menjadi cikal bakal dari lirik-lirik pujian yang kita kenal hari ini. Mereka melantunkannya di surau atau masjid untuk menarik perhatian masyarakat dan menyampaikan pesan dakwah secara halus dan meresap.

Peran Pesantren Sebagai Pusat Pelestarian

Setelah era Walisongo, estafet pelestarian dan pengembangan tradisi ini dilanjutkan oleh pondok pesantren. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan formal, tetapi juga sebagai benteng penjaga tradisi keislaman Nusantara. Di lingkungan pesantren, para santri dibiasakan untuk melantunkan shalawat, nadham (puisi berirama), dan syair-syair nasihat sebelum shalat berjamaah. Tujuannya beragam: untuk melatih hafalan, mengisi waktu tunggu, dan yang terpenting, menanamkan nilai-nilai keislaman secara repetitif sehingga meresap ke dalam jiwa.

Dari pesantren inilah tradisi pujian menyebar luas ke masyarakat. Para santri yang telah lulus dan kembali ke kampung halamannya masing-masing menjadi kiai, ustadz, atau tokoh masyarakat. Mereka kemudian mendirikan mushala atau masjid dan membawa serta tradisi yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun di pesantren. Dengan demikian, gema pujian yang semula hanya terdengar di lingkungan terbatas, kini berkumandang di hampir setiap desa, menjadi bagian dari identitas keislaman komunitas setempat.

Pengaruh Shalawat Tarhim dari Mesir

Salah satu jenis pujian yang paling populer, khususnya sebelum adzan Subuh, adalah Shalawat Tarhim. Lantunan ini memiliki melodi yang sangat khas, menyentuh, dan mampu membangunkan jiwa. Menariknya, Shalawat Tarhim ini bukanlah berasal dari tradisi Nusantara murni, melainkan dari Mesir. Shalawat ini diciptakan oleh Syaikh Mahmud Khalil Al-Husary, seorang qari' kenamaan Mesir.

Popularitasnya di Indonesia meledak pada era 1960-an berkat Radio Republik Indonesia (RRI). Saat itu, RRI sering memutar rekaman suara Syaikh Al-Husary melantunkan Shalawat Tarhim ini menjelang waktu Subuh. Suara merdunya yang menggema ke seluruh pelosok negeri melalui siaran radio membuat shalawat ini begitu dicintai dan kemudian diadopsi oleh banyak masjid di Indonesia sebagai bagian dari ritual pujian sebelum adzan Subuh. Ini adalah contoh bagaimana tradisi dapat berkembang melalui interaksi global dan teknologi media.

Makna, Tujuan, dan Fungsi Pujian Setelah Adzan

Tradisi pujian setelah adzan bukanlah sekadar ritual tanpa makna. Di baliknya terkandung berbagai tujuan dan fungsi yang sangat relevan, baik secara spiritual, sosial, maupun edukatif.

Fungsi Spiritual: Mempersiapkan Jiwa Menuju Shalat

Tujuan utama dari pujian adalah sebagai persiapan spiritual. Jeda waktu antara adzan dan iqamah adalah momen krusial. Adzan adalah panggilan fisik, sementara pujian adalah panggilan jiwa. Lirik-lirinya yang berisi sanjungan kepada Allah SWT, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta pengingat akan kematian dan akhirat, berfungsi untuk melembutkan hati yang mungkin masih keras oleh urusan duniawi.

Dengan mendengarkan atau turut melantunkan pujian, seorang jamaah diajak untuk perlahan-lahan melepaskan kesibukan pikirannya, memfokuskan hatinya kepada Allah, dan membangun suasana khusyuk. Ini adalah proses transisi yang indah, dari hiruk pikuk dunia menuju keheningan dan kekhidmatan shalat. Gema pujian seolah-olah "membersihkan" ruang batin agar siap untuk berkomunikasi secara intim dengan Sang Khaliq.

Fungsi Sosial: Penanda Waktu dan Perekat Komunitas

Secara sosial, pujian memiliki fungsi yang sangat praktis. Ia berfungsi sebagai penanda waktu tambahan. Adzan menandakan masuknya waktu shalat, sementara pujian yang berkumandang setelahnya memberi sinyal bahwa shalat berjamaah akan segera dimulai. Ini memberikan kelonggaran waktu bagi masyarakat yang rumahnya agak jauh dari masjid untuk bersiap-siap, berwudhu, dan berjalan menuju masjid tanpa tergesa-gesa.

Di banyak komunitas, suara pujian menjadi penanda ritme aktivitas. Para petani yang masih di sawah tahu bahwa mereka harus segera pulang. Para pedagang di pasar mulai bersiap untuk menutup lapaknya sejenak. Ibu-ibu di rumah segera menyelesaikan pekerjaan dapurnya. Dengan demikian, pujian membantu menyinkronkan aktivitas komunal di sekitar waktu shalat, memperkuat ikatan sosial dan rasa kebersamaan dalam menjalankan ibadah.

Fungsi Edukatif: Media Pembelajaran yang Efektif

Pujian adalah sebuah madrasah (sekolah) yang bersuara. Lirik-lirinya sering kali merupakan rangkuman dari ajaran-ajaran Islam yang penting. Melalui syair yang indah dan mudah dihafal, masyarakat, terutama anak-anak, dapat belajar tentang banyak hal:

Bagi anak-anak yang tumbuh mendengarkan pujian ini setiap hari, ajaran-ajaran tersebut akan tertanam kuat di alam bawah sadar mereka, membentuk fondasi moral dan spiritual yang kokoh.

Ragam Bentuk dan Lirik Pujian yang Populer

Kekayaan tradisi pujian tercermin dari keragaman lirik dan langgamnya, yang sering kali berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Namun, secara umum, kontennya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori utama.

1. Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW

Ini adalah bentuk pujian yang paling umum. Bershalawat kepada Nabi adalah perintah Allah dalam Al-Qur'an dan merupakan wujud cinta umat kepada Rasul-Nya. Beberapa shalawat yang sering dilantunkan antara lain:

Shalawat Tarhim

Seperti yang telah disebutkan, shalawat ini sangat populer menjelang Subuh. Liriknya sangat puitis dan mendalam, berisi seruan dan doa yang menyentuh.

الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَاإمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ ۞ يَارَسُوْلَ اللهْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَانَاصِرَ اْلهُدَى ۞ يَاخَيْرَ خَلْقِ اللهْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَانَاصِرَ الْحَقِّ يَارَسُوْلَ اللهْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَامَنْ اَسْرَى بِكَ مُهَيْمِنُ لَيْلًا ۞ نِلْتَ مَانِلْتَ وَالْاَنَامُ نِيَامْ وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى ۞ كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاَنْتَ الْاِمَامْ وَاِلَى الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا ۞ وَ سَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَامْ يَاكَرِيْمَ الْاَخْلَاقِ ۞ يَارَسُوْلَ اللهْ ۞ صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى اَلِكَ وَاَصْحَابِكَ اَجْمَعِيْنَ "Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ imâmal mujâhidîn, yâ Rasûlallâh. Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ nâshiral hudâ, yâ khayra khalqillâh. Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ nâshiral haqqi yâ Rasûlallâh. Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, yâ man asrâ bikal muhayminu laylan, nilta mâ nilta wal-anâmu niyâm. Wa taqaddamta lish-shalâti fa shallâ, kullu man fis-samâi wa antal imâm. Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman, wa sami’ta nidâ’an ‘alaykas salâm. Yâ karîmal akhlâq, yâ Rasûlallâh. Shallallâhu ‘alayka, wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în." "Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah. Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai penolong petunjuk ilahi, wahai makhluk yang terbaik. Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai pembela kebenaran, ya Rasulullah. Rahmat dan keselamatan semoga tercurah kepadamu, wahai yang diperjalankan oleh Allah pada malam hari, engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur. Engkau maju untuk memimpin shalat, dan semua yang di langit pun shalat di belakangmu, dan engkaulah imamnya. Engkau diangkat ke Sidratul Muntaha dengan mulia, dan engkau mendengar seruan keselamatan atasmu. Wahai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah. Semoga rahmat Allah tercurah kepadamu, keluargamu, dan seluruh sahabatmu."

Shalawat Badar

Shalawat ini berisi tawasul (permohonan melalui perantara) dengan para pejuang Badar, memohon keselamatan dan terhindar dari mara bahaya.

صَـلاَةُ اللهِ سَـلاَمُ اللهِ ۞ عَلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ صَـلاَةُ اللهِ سَـلاَمُ اللهِ ۞ عَلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ تَوَسَّلْنَا بِـبِـسْـمِ اللهِ ۞ وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ وَ كُــلِّ مُجَـاهِـدٍ لِلّهِ ۞ بِأَهْـلِ الْبَـدْرِ يَا اَللهُ "Shalâtullâh salâmullâh, 'alâ Thâha Rasûlillâh. Shalâtullâh salâmullâh, 'alâ Yâsîn Habîbillâh. Tawassalnâ bi-Bismillâh, wa bil-hâdî Rasûlillâh. Wa kulli mujâhidin lillâh, bi ahlil-badri yâ Allâh." "Rahmat Allah, keselamatan Allah, semoga tercurah kepada Thaha (Muhammad), utusan Allah. Rahmat Allah, keselamatan Allah, semoga tercurah kepada Yasin (Muhammad), kekasih Allah. Kami bertawasul dengan nama Allah, dan dengan pemberi petunjuk, utusan Allah. Dan dengan setiap pejuang di jalan Allah, karena ahli Badar, ya Allah."

2. Syair Tauhid dan Aqidah

Bentuk pujian ini bertujuan untuk menguatkan keyakinan akan keesaan dan kebesaran Allah. Contoh yang sangat populer adalah syair yang mengajarkan Sifat 20 bagi Allah.

"Wujud, Qidam, Baqa', Mukhalafatu lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyat, Qudrat, Iradat, 'Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan, 'Aliman, Hayyan, Sami'an, Bashiran, Mutakalliman." "(Syair yang melantunkan 20 Sifat Wajib bagi Allah). Ada, Terdahulu, Kekal, Berbeda dengan makhluk-Nya, Berdiri sendiri, Esa, Kuasa, Berkehendak, Mengetahui, Hidup, Mendengar, Melihat, Berfirman, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berfirman."

Dengan melantunkannya setiap hari, konsep-konsep teologis yang mendasar ini menjadi akrab dan terpatri dalam benak jamaah.

3. Syair Nasihat (Akhlak dan Tasawuf)

Ini adalah kategori yang paling luas dan beragam, sering kali menggunakan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura, dll.) agar pesannya lebih mengena. Liriknya berisi pengingat tentang hakikat kehidupan.

Contoh Syair Jawa "Eling-Eling"

Syair ini sangat populer di Jawa, mengingatkan manusia akan asal-usul dan tujuan hidupnya, serta pentingnya ibadah.

"Eling-eling siro manungso, temenono anggonmu ngaji. Mumpung durung katekanan, malaikat juru pati." "Ingat-ingatlah wahai manusia, bersungguh-sungguhlah dalam mengaji (belajar agama). Mumpung belum kedatangan, malaikat pencabut nyawa." "Urip ning dunyo ora suwe, ayo podo golek sangu. Sangu kanggo akhirat, ojo lali marang kuwajibanmu." "Hidup di dunia tidaklah lama, mari kita semua mencari bekal. Bekal untuk akhirat, jangan lupa pada kewajibanmu."

Syair-syair semacam ini berfungsi sebagai refleksi harian, sebuah alarm spiritual yang membangunkan kesadaran dari kelalaian duniawi.

4. Syair Fiqih Ibadah

Pujian juga menjadi media untuk menghafal dasar-dasar fiqih. Misalnya, syair tentang rukun wudhu atau syarat sah shalat.

"Fardhune wudhu iku ono enem, siji niat mbasuh rai kaping pindo. Kaping telu mbasuh tangan loro, nganti teko sikute. Kaping papat ngusap sebagian sirah, kaping limo mbasuh sikil loro, nganti polok loro. Kaping enem tertib, kang wis kasebut." "Fardhu wudhu itu ada enam, pertama niat, kedua membasuh wajah. Ketiga membasuh kedua tangan, hingga siku. Keempat mengusap sebagian kepala, kelima membasuh kedua kaki, hingga mata kaki. Keenam tertib, sesuai yang telah disebutkan."

Metode ini terbukti sangat efektif untuk mengajarkan dasar-dasar ibadah kepada masyarakat awam dan anak-anak dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan.

Pandangan Ulama dan Hukum Pujian Setelah Adzan

Sebagai sebuah praktik yang tidak ada pada zaman Nabi, tradisi pujian setelah adzan tentu saja memunculkan diskusi di kalangan para ulama mengenai hukumnya. Pandangan ini umumnya terbagi menjadi dua, yang masing-masing memiliki dasar argumentasinya.

Pandangan yang Membolehkan (Bid'ah Hasanah)

Mayoritas ulama di Nusantara, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), memandang tradisi pujian setelah adzan sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Argumentasi mereka didasarkan pada beberapa poin:

  1. Substansi yang Baik: Isi dari pujian tersebut adalah hal-hal yang dianjurkan dalam agama, seperti dzikir, shalawat, doa, dan nasihat kebaikan. Tidak ada konten yang bertentangan dengan syariat.
  2. Tujuan yang Mulia: Tujuannya adalah untuk syiar Islam, mengingatkan orang akan waktu shalat, dan mempersiapkan hati untuk ibadah. Ini sejalan dengan prinsip maslahah mursalah (kepentingan umum yang tidak diatur secara spesifik oleh dalil).
  3. Waktu Pelaksanaan: Pujian dilakukan pada waktu luang antara adzan dan iqamah, sebuah waktu yang memang dianjurkan untuk diisi dengan doa dan dzikir. Pujian tidak mengubah lafadz adzan atau iqamah, juga tidak dianggap sebagai bagian dari ritual shalat itu sendiri.
  4. Kaidah Fiqih: Mengacu pada kaidah "Al-ashlu fil-asy-yâ'i al-ibâhah hattâ yadulla ad-dalîlu 'alâ at-tahrîm" (Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya). Selama tidak ada larangan yang jelas, dan praktik tersebut membawa kebaikan, maka ia diperbolehkan.

Para ulama pendukung tradisi ini melihatnya sebagai kreativitas dakwah yang positif, sebuah cara yang bijaksana untuk mengisi ruang dan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat bagi keimanan masyarakat.

Pandangan yang Tidak Menganjurkan atau Melarang

Di sisi lain, sebagian kalangan ulama, sering kali dari kelompok yang lebih puritan atau tekstualis, memandang praktik ini sebagai bid'ah yang tercela dan harus dihindari. Alasan mereka adalah:

  1. Tidak Ada Contoh dari Nabi: Argumen utamanya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal ini. Segala bentuk ibadah yang tidak dicontohkan oleh mereka dianggap sebagai penambahan dalam agama.
  2. Potensi Gangguan: Mengeraskan suara pujian melalui pengeras suara dianggap dapat mengganggu orang lain. Mungkin ada orang yang sedang shalat sunnah qabliyah, membaca Al-Qur'an, atau berdzikir secara pribadi di dalam masjid. Suara pujian yang keras dapat memecah konsentrasi mereka.
  3. Menyerupai Adzan Kedua: Ada kekhawatiran bahwa praktik ini bisa disalahpahami sebagai "adzan kedua" atau menjadi sebuah ritual baru yang dianggap wajib oleh masyarakat awam, padahal ia tidak memiliki dasar syariat yang kuat.

Perbedaan pandangan ini adalah hal yang wajar dalam khazanah intelektual Islam. Penting bagi masyarakat untuk menyikapinya dengan bijaksana, saling menghormati, dan tidak menjadikan perbedaan furu'iyah (cabang) ini sebagai sumber perpecahan.

Pujian di Era Modern: Tantangan dan Relevansi

Di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi pujian setelah adzan menghadapi tantangan sekaligus menunjukkan relevansinya yang abadi.

Tantangan di Era Modern

Salah satu tantangan terbesar adalah perdebatan mengenai penggunaan pengeras suara. Di lingkungan perkotaan yang padat dan heterogen, suara pujian yang terlalu keras terkadang menimbulkan keluhan. Hal ini menuntut kearifan dari para takmir masjid untuk mengatur volume suara agar tetap dapat berfungsi sebagai syiar tanpa menjadi polusi suara yang mengganggu.

Tantangan lainnya adalah mulai terkikisnya tradisi ini di beberapa tempat. Generasi muda yang kurang terhubung dengan lingkungan pesantren atau pendidikan agama tradisional mungkin menganggapnya sebagai sesuatu yang kuno. Selain itu, maraknya penggunaan rekaman kaset atau MP3 terkadang mengurangi "ruh" dari pujian itu sendiri, yang sejatinya lebih syahdu ketika dilantunkan secara langsung dengan penuh penghayatan oleh muazin atau jamaah setempat.

Relevansi yang Tetap Kuat

Meskipun demikian, tradisi pujian tetap memiliki relevansi yang kuat di zaman ini. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, bising, dan sering kali membuat stres, gema pujian menawarkan sebuah oase ketenangan. Ia adalah jeda yang memaksa kita untuk berhenti sejenak dari kesibukan dunia dan kembali mengingat tujuan hidup yang hakiki.

Pujian juga berfungsi sebagai penanda identitas budaya Islam Nusantara yang ramah, puitis, dan damai. Ia menunjukkan wajah Islam yang tidak hanya terpaku pada aspek legal-formal, tetapi juga kaya akan ekspresi seni dan spiritualitas yang mendalam. Melestarikan tradisi ini berarti merawat salah satu akar kearifan lokal yang telah terbukti efektif dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan dari generasi ke generasi.

Kesimpulan: Gema yang Merawat Jiwa Bangsa

Pujian setelah adzan lebih dari sekadar alunan suara dari menara masjid. Ia adalah gema dari sejarah panjang dakwah yang bijaksana, sebuah melodi yang merangkai ajaran luhur agama dalam bahasa yang dipahami hati. Ia adalah jembatan spiritual yang menghubungkan panggilan Ilahi dengan kesiapan jiwa untuk menghadap-Nya.

Sebagai warisan takbenda, pujian ini memegang peranan penting dalam membentuk karakter spiritual dan sosial masyarakat Muslim di Nusantara. Ia adalah pengingat harian akan kebesaran Tuhan, cinta kepada Rasul, dan nasihat tentang kehidupan yang fana. Dalam setiap bait syairnya, terkandung kearifan para ulama dan leluhur yang terus relevan melintasi zaman.

Melestarikan tradisi pujian setelah adzan, dengan segala kearifan dalam praktiknya, adalah sebuah upaya untuk merawat jiwa bangsa. Ia adalah cara kita menjaga agar gema syiar Islam yang damai, sejuk, dan merangkul terus berkumandang, mengisi ruang-ruang batin kita di antara panggilan dan pengabdian.

🏠 Homepage