Qidam Artinya: Memahami Sifat Wajib Allah yang Maha Awal

Dalam lautan perenungan, akal manusia seringkali terhenti pada satu pertanyaan fundamental: "Dari mana semua ini berasal?" Pertanyaan ini membawa kita pada sebuah rantai sebab-akibat yang tak berujung. Namun, adakah titik awal dari segala permulaan? Di sinilah akidah Islam memberikan jawaban yang menenangkan dan memuaskan akal, yaitu melalui pengenalan terhadap sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT, salah satunya adalah sifat Qidam.

Ilustrasi abstrak sifat Qidam Allah yang tanpa permulaan Tanpa Titik Awal yang Terdefinisi

Memahami qidam artinya bukan sekadar menghafal satu dari dua puluh sifat wajib bagi Allah. Ia adalah kunci untuk membuka gerbang pemahaman tentang hakikat ketuhanan yang sesungguhnya. Sifat ini secara fundamental membedakan antara Sang Pencipta (Al-Khaliq) dengan ciptaan (makhluk). Jika ciptaan memiliki titik awal, tanggal lahir, atau momen penciptaan, maka Sang Pencipta justru sebaliknya. Dia ada tanpa pernah diawali oleh ketiadaan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna, dalil, serta implikasi dari sifat Qidam dalam membentuk pondasi keimanan seorang muslim.

Pengertian Qidam: Tinjauan Bahasa dan Istilah

Untuk memahami sebuah konsep teologis secara utuh, kita perlu meninjaunya dari dua sisi: makna kebahasaan (etimologi) dan makna istilah (terminologi) yang digunakan oleh para ulama akidah. Keduanya saling melengkapi untuk memberikan gambaran yang jernih dan komprehensif.

Makna Qidam Secara Bahasa (Etimologi)

Kata "Qidam" (قِدَم) berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yaitu Qaf-Dal-Mim (ق-د-م). Akar kata ini memiliki beberapa makna dasar yang saling berkaitan, di antaranya adalah:

Dari makna-makna bahasa ini, kita dapat menangkap esensi utama dari kata Qidam, yaitu konsep keawalan, kedahuluan, dan eksistensi yang telah berlangsung lama. Namun, ketika istilah ini dibawa ke dalam ranah pembahasan sifat Allah, maknanya menjadi jauh lebih absolut dan transenden, melampaui pemahaman kita tentang "awal" dalam kerangka waktu.

Makna Qidam Secara Istilah (Terminologi Akidah)

Dalam ilmu akidah atau ilmu kalam, Qidam artinya adalah sifat yang menetapkan bahwa wujud (keberadaan) Allah SWT tidak memiliki permulaan. Para ulama merumuskannya dengan ungkapan yang sangat presisi:

"Wujud Allah SWT tidak didahului oleh ‘adam (ketiadaan)."

Ini adalah definisi yang sangat penting. Sifat Qidam menafikan adanya satu momen pun di mana Allah tidak ada. Tidak ada "sebelum" bagi wujud Allah. Dia tidak diciptakan, tidak dilahirkan, dan tidak berasal dari apapun. Eksistensi-Nya bersifat azali, yaitu ada tanpa diawali oleh ketiadaan.

Sifat ini merupakan lawan dari sifat huduts (حُدُوث), yang berarti "baru" atau "memiliki permulaan". Sifat huduts adalah ciri fundamental dari segala sesuatu selain Allah (yaitu alam semesta dan seluruh isinya, termasuk waktu, ruang, dan materi). Manusia memiliki permulaan, yaitu saat ia dilahirkan. Planet bumi memiliki permulaan, yaitu saat ia terbentuk. Alam semesta pun memiliki permulaan, seperti yang kini diakui oleh sains modern. Semua yang memiliki permulaan disebut sebagai hadits (jamak: hawadits).

Jadi, secara ringkas, Sifat Qidam menegaskan:

Pemahaman ini menjadi fondasi bagi sifat-sifat lainnya, karena Dzat yang tidak memiliki awal pastilah memiliki konsekuensi logis pada sifat-sifat kesempurnaan lainnya.

Dalil-Dalil yang Menguatkan Sifat Qidam

Keyakinan terhadap sifat Qidam tidaklah dibangun di atas asumsi kosong, melainkan berdasarkan pada landasan yang kokoh, baik dari wahyu (dalil naqli) maupun dari penalaran akal sehat (dalil aqli). Keduanya saling mendukung dan memperkuat satu sama lain.

Dalil Naqli (Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits)

Wahyu yang diturunkan Allah memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai keazalian-Nya.

1. Dalil dari Al-Qur'an

Ayat yang paling utama dan sering dijadikan rujukan untuk sifat Qidam adalah firman Allah dalam Surah Al-Hadid:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Dialah Yang Awal (Al-Awwal) dan Yang Akhir (Al-Akhir), Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Hadid: 3)

Dalam ayat ini, Allah menamakan diri-Nya sebagai "Al-Awwal" (Yang Maha Awal). Tafsir dari nama ini sangat dalam. Rasulullah SAW sendiri menjelaskannya dalam sebuah doa, "Engkaulah Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu." Ini adalah penegasan paling eksplisit bahwa tidak ada eksistensi apapun yang mendahului Allah. Keawalan-Nya adalah keawalan yang absolut, bukan relatif. Jika dikatakan si Fulan adalah orang pertama yang datang, keawalannya bersifat relatif karena masih ada waktu dan ruang sebelum kedatangannya. Namun, keawalan Allah bersifat mutlak; tidak ada "sebelum" bagi-Nya.

Selain itu, Surah Al-Ikhlas, yang disebut sebagai sepertiga Al-Qur'an, juga mengandung isyarat kuat tentang sifat Qidam:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

"Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia'." (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Frasa "lam yulad" (tidak pula diperanakkan) secara logis menafikan adanya permulaan. Sesuatu yang "diperanakkan" atau "dilahirkan" pasti memiliki awal dan didahului oleh sesuatu yang melahirkannya. Dengan menafikan hal ini dari diri-Nya, Allah menegaskan bahwa Dia tidak berasal dari apapun, yang berarti wujud-Nya tidak memiliki titik mula.

2. Dalil dari Hadits

Sebagaimana telah disinggung, Rasulullah SAW memberikan penjelasan yang sangat indah dan lengkap mengenai makna "Al-Awwal" dalam sebuah doa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ...

"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Awal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu. Dan Engkaulah Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu pun setelah-Mu..." (HR. Muslim)

Doa ini adalah tafsir kenabian yang paling otoritatif. Ungkapan "falaisa qablaka syai'" (maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu) menutup segala kemungkinan adanya entitas, waktu, atau ketiadaan yang mendahului Allah SWT. Ini adalah penegasan mutlak akan sifat Qidam.

Dalil Aqli (Berdasarkan Logika Akal Sehat)

Islam adalah agama yang sangat menghargai akal sehat. Para ulama kalam telah merumuskan argumen-argumen logis yang sangat kuat untuk membuktikan keniscayaan sifat Qidam bagi Tuhan. Argumen ini penting untuk menjawab keraguan dan memperkuat keyakinan.

Argumen Kausalitas (Mustahilnya Rantai Sebab-Akibat Tak Terhingga)

Ini adalah argumen yang paling klasik dan kuat. Logikanya berjalan sebagai berikut:

  1. Premis 1: Segala sesuatu yang baru (hadits) atau memiliki permulaan, pasti membutuhkan penyebab (pencipta) yang membuatnya ada. Alam semesta ini jelas bersifat baru, karena ia terdiri dari peristiwa-peristiwa yang silih berganti.
  2. Premis 2: Jika kita mengasumsikan Tuhan (sebagai penyebab alam semesta) juga baru dan memiliki permulaan, maka Dia pun pasti membutuhkan penyebab lain untuk menciptakan-Nya.
  3. Premis 3: Penyebab-Nya itu, jika ia juga baru, akan membutuhkan penyebab lain lagi, dan begitu seterusnya.
  4. Konsekuensi: Proses ini akan menciptakan sebuah rantai sebab-akibat yang mundur ke belakang tanpa akhir. Dalam filsafat dan ilmu kalam, ini disebut sebagai tasalsul (regresi tak terhingga).
  5. Kesimpulan Logis: Rantai sebab-akibat yang tak terhingga ke belakang adalah suatu kemustahilan secara akal (absurd). Bayangkan sebuah kereta api dengan gerbong tak terhingga; kereta itu tidak akan pernah bisa bergerak karena tidak ada lokomotif pertama yang menariknya. Demikian pula, alam semesta tidak akan pernah ada jika rantai penciptanya tidak berhenti pada satu titik.
  6. Solusi: Oleh karena itu, rantai sebab-akibat ini harus berhenti pada satu Penyebab Pertama yang Tidak Disebabkan (Uncaused First Cause). Penyebab Pertama inilah yang kita sebut Tuhan. Karena Dia adalah Penyebab Pertama, Dia sendiri tidak boleh memiliki permulaan. Dengan kata lain, Dia wajib bersifat Qidam.

Argumen Reductio ad Absurdum (Pembuktian dengan Kemustahilan Lawannya)

Argumen ini bekerja dengan cara membuktikan bahwa lawan dari sifat Qidam adalah suatu hal yang mustahil.

Dengan demikian, baik dalil naqli maupun aqli sama-sama mengarah pada satu kesimpulan yang tak terbantahkan: Tuhan Yang Maha Esa wajib bersifat Qidam. Wujud-Nya adalah wujud yang niscaya, tanpa permulaan dan tanpa sebab.

Keterkaitan Sifat Qidam dengan Sifat Wajib Lainnya

Sifat-sifat Allah bukanlah entitas yang terpisah-pisah, melainkan sebuah jalinan kesempurnaan yang saling terkait dan saling menguatkan. Sifat Qidam menjadi dasar atau prasyarat bagi banyak sifat wajib lainnya.

1. Hubungan dengan Sifat Baqa’ (Kekal)

Qidam adalah ketiadaan permulaan, sedangkan Baqa’ adalah ketiadaan akhir. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama: keabadian. Secara logis, Dzat yang wujud-Nya tidak disebabkan oleh apapun (implikasi Qidam), maka wujud-Nya tidak bergantung pada apapun untuk terus ada. Ketiadaan tidak pernah mendahului-Nya, dan ketiadaan juga tidak akan pernah menimpa-Nya. Sesuatu hancur atau berakhir karena sebab tertentu (misalnya, komponennya rusak atau sumber energinya habis). Allah, sebagai Dzat yang wujud-Nya niscaya dan tidak tersusun dari komponen apapun, mustahil mengalami kerusakan atau akhir. Oleh karena itu, setiap yang Qadim (tanpa awal) pastilah Baqi (tanpa akhir).

2. Hubungan dengan Sifat Mukhalafatu lil Hawadits (Berbeda dengan Makhluk)

Sifat Qidam adalah pembeda paling fundamental antara Al-Khaliq (Pencipta) dan makhluk. Ciri utama dari segala sesuatu yang diciptakan (hawadits) adalah memiliki permulaan (huduts). Manusia, jin, malaikat, langit, bumi, waktu, dan ruang, semuanya memiliki titik awal. Dengan bersifat Qidam, Allah secara esensial berbeda total dari segala ciptaan-Nya. Dia tidak terikat oleh batasan waktu, karena waktu itu sendiri adalah ciptaan-Nya yang memiliki permulaan. Memahami Qidam membantu kita untuk tidak menyerupakan Allah dengan makhluk dalam aspek apapun.

3. Hubungan dengan Sifat Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri)

Qiyamuhu bi Nafsihi berarti Allah berdiri sendiri, tidak membutuhkan tempat untuk bersemayam dan tidak membutuhkan Dzat lain yang mewujudkan-Nya. Sifat Qidam adalah bukti logis dari sifat ini. Karena wujud-Nya tidak berawal, maka jelas Dia tidak membutuhkan pencipta (Dzat lain) untuk mengadakan-Nya. Eksistensi-Nya berasal dari diri-Nya sendiri, sebuah eksistensi yang wajib (Wajibul Wujud). Sebaliknya, makhluk tidak bisa berdiri sendiri; ia butuh pencipta untuk memulainya dan butuh hukum alam (sunnatullah) untuk menopangnya.

4. Hubungan dengan Sifat Wahdaniyyah (Maha Esa)

Sifat Qidam juga memperkuat keesaan Allah. Jika kita membayangkan ada dua atau lebih tuhan yang sama-sama bersifat Qadim (tanpa permulaan), ini akan menimbulkan kekacauan logis. Siapa yang mengatur alam semesta? Jika kehendak mereka selalu sama, maka salah satunya menjadi tidak fungsional. Jika kehendak mereka berbeda, maka akan terjadi konflik dan kehancuran, yang berarti mereka tidak Mahakuasa. Konsep satu-satunya Dzat yang Qadim, sebagai Penyebab Pertama yang tunggal, adalah konsep yang paling koheren secara rasional dan menopang pilar Tauhid (Wahdaniyyah).

Implikasi Iman kepada Sifat Qidam dalam Kehidupan Muslim

Memahami bahwa qidam artinya Allah Maha Awal bukanlah sekadar latihan intelektual. Keyakinan ini memiliki dampak yang sangat mendalam dan transformatif bagi jiwa, pandangan hidup, dan perilaku seorang mukmin.

1. Mengokohkan Fondasi Tauhid dan Membersihkan dari Syirik

Inti dari Tauhid adalah mengesakan Allah dalam segala hal. Sifat Qidam memotong akar segala bentuk syirik. Dengan meyakini hanya Allah yang Qadim, kita secara otomatis menafikan ketuhanan dari segala sesuatu yang lain. Matahari, bintang, pohon, patung, nabi, atau wali sekalipun, semuanya adalah makhluk yang bersifat hadits (baru). Mereka semua memiliki permulaan dan pernah tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang pernah tiada disembah bersama atau selain Dzat yang wujud-Nya tanpa permulaan? Keyakinan ini membersihkan hati dari pengagungan yang salah dan memurnikan ibadah hanya untuk Allah, Al-Awwal.

2. Menumbuhkan Ketenangan Jiwa dan Tawakal Hakiki

Dunia yang kita tinggali penuh dengan perubahan, ketidakpastian, dan kefanaan. Semua yang kita cintai—keluarga, harta, bahkan diri kita sendiri—akan berlalu. Di tengah badai kefanaan ini, iman kepada Allah yang Qadim dan Baqi menjadi sauh yang menenangkan jiwa. Kita menyandarkan hidup kita bukan pada sesuatu yang fana, melainkan pada Dzat yang Abadi, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada dan akan tetap ada setelah segala sesuatu tiada. Ini melahirkan rasa tawakal yang luar biasa. Urusan kita, masa depan kita, kita serahkan kepada Dzat yang Rencana-Nya telah ada sejak azali. Ini memberikan kedamaian yang tidak bisa ditawarkan oleh dunia.

3. Menanamkan Sifat Tawadhu’ (Rendah Hati)

Merenungi sifat Qidam Allah akan menyadarkan kita akan hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita adalah makhluk yang berasal dari ketiadaan. "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS. Al-Insan: 1). Kesadaran ini akan mengikis sifat sombong dan angkuh. Betapa kecil dan barunya kita di hadapan Dzat yang wujud-Nya tak berpermulaan. Semua kekuatan, kecerdasan, dan pencapaian yang kita miliki adalah pinjaman sesaat dari-Nya. Perenungan ini melahirkan rasa syukur dan kerendahan hati yang tulus.

4. Meluruskan Cara Pandang terhadap Dunia

Keyakinan ini mengubah cara kita memandang dunia. Kita sadar bahwa dunia dan segala isinya adalah panggung yang sementara. Tujuan hidup kita bukanlah untuk mengumpulkan hal-hal yang fana, melainkan untuk mengabdi kepada Dzat yang Abadi. Orientasi hidup bergeser dari duniawi menjadi ukhrawi. Prioritas kita disusun ulang berdasarkan apa yang bernilai di sisi Allah yang Qadim, bukan berdasarkan tren sesaat dari dunia yang hadits.

Menjawab Pertanyaan dan Kerancuan Seputar Sifat Qidam

Sebagai konsep yang berada di luar jangkauan pengalaman indrawi manusia, sifat Qidam terkadang memunculkan beberapa pertanyaan filosofis. Akal yang jujur akan mencari jawaban, dan Islam menyediakan jawaban yang memuaskan.

Tanya: "Jika segala sesuatu butuh pencipta, siapa yang menciptakan Tuhan?"

Ini adalah pertanyaan yang sangat umum, namun didasarkan pada premis yang keliru. Kekeliruannya terletak pada generalisasi yang salah. Pernyataan yang benar bukanlah "segala sesuatu butuh pencipta", melainkan "segala sesuatu *yang memiliki permulaan* (hadits) butuh pencipta (muhdits)".

Sebuah kursi membutuhkan tukang kayu karena kursi itu memiliki permulaan; ia pernah tidak ada lalu menjadi ada. Alam semesta membutuhkan pencipta karena ia memiliki permulaan (Big Bang, misalnya). Kaidah ini hanya berlaku untuk kategori ciptaan.

Adapun Tuhan, berdasarkan definisi-Nya, adalah Dzat yang bersifat Qidam (tidak memiliki permulaan). Karena Dia tidak pernah "mulai ada", maka Dia tidak termasuk dalam kategori yang membutuhkan pencipta. Menanyakan "siapa pencipta Tuhan?" sama tidak logisnya dengan menanyakan "apa warna dari angka lima?" atau "siapa suami dari seorang bujangan?". Pertanyaan itu sendiri mengandung kontradiksi internal, karena menerapkan aturan bagi makhluk kepada Sang Khaliq.

Tanya: "Bagaimana akal bisa membayangkan sesuatu yang tanpa awal?"

Penting untuk membedakan antara membayangkan (takhayyul) dan memahami secara konseptual (ta'aqqul). Akal manusia memang terbatas. Imajinasi kita terikat pada ruang dan waktu, sehingga kita tidak akan pernah bisa *membayangkan* atau *memvisualisasikan* ketiadaan permulaan.

Namun, ketidakmampuan membayangkan bukan berarti ketidakmampuan memahami secara logis. Kita tidak bisa membayangkan angka tak terhingga (infinity), tetapi kita bisa memahaminya sebagai sebuah konsep matematis dan menggunakannya dalam perhitungan. Kita tidak bisa membayangkan ruang empat dimensi, tetapi fisika teoretis bisa menjelaskannya secara matematis.

Demikian pula dengan sifat Qidam. Kita mungkin tidak bisa membayangkannya, tetapi kita bisa *memahami* keniscayaannya melalui dalil aqli (logika) yang telah dipaparkan. Akal kita mampu menyimpulkan bahwa harus ada Penyebab Pertama yang tidak berawal, meskipun imajinasi kita gagal melukiskan seperti apa wujud tanpa awal itu.

Klarifikasi Istilah: Qadim, Azali, dan Abadi

Dalam literatur Islam, seringkali ditemui istilah-istilah yang maknanya berdekatan.

Jadi, ketika kita mengatakan Allah bersifat Qidam, maksudnya adalah Dzat-Nya bersifat Azali, dan konsekuensi logisnya adalah Dzat-Nya juga bersifat Abadi.

Kesimpulan: Keagungan Allah Al-Awwal

Sifat Qidam bukanlah sekadar satu dari dua puluh sifat. Ia adalah gerbang utama untuk memahami transendensi Allah SWT. Qidam artinya adalah penegasan bahwa Allah adalah sumber dari segala permulaan, namun Dia sendiri tidak pernah bermula. Dia adalah realitas absolut yang keberadaan-Nya niscaya, tidak bergantung pada apapun, dan melampaui seluruh kerangka ciptaan, termasuk waktu itu sendiri.

Keyakinan ini, yang ditopang oleh dalil wahyu yang terang dan argumen akal yang kokoh, membawa seorang hamba pada puncak pengagungan, ketundukan, dan kepasrahan. Dalam dunia yang serba baru dan fana, hati seorang mukmin menemukan ketenangan abadi dengan bersandar pada Al-Awwal, Dzat Yang Maha Awal, yang wujud-Nya tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak akan diakhiri oleh kebinasaan.

Maka, dengan merenungi sifat Qidam, lisan dan hati kita serentak bergetar, mengakui kelemahan diri dan mengagungkan kebesaran-Nya: Engkaulah Yang Maha Awal, maka tiada sesuatu pun sebelum-Mu. Segala puji hanya bagi-Mu, Tuhan semesta alam.

🏠 Homepage