Mengurai Makna Qada dan Qadar: Pilar Keenam Keimanan
Dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, terdapat pilar-pilar fundamental yang menopang bangunan keimanannya. Salah satu pilar yang paling mendalam, terkadang paling menantang untuk dipahami, namun paling membebaskan jika dihayati, adalah iman kepada Qada dan Qadar. Konsep ini sering diterjemahkan sebagai takdir atau ketetapan ilahi. Memahaminya bukan sekadar pengakuan intelektual, melainkan sebuah cara pandang yang membentuk respons kita terhadap setiap suka dan duka, setiap keberhasilan dan kegagalan, serta setiap liku dalam kehidupan.
Manusia secara fitrah selalu bertanya tentang nasib. Mengapa ini terjadi padaku? Apa yang akan terjadi di masa depan? Apakah aku benar-benar mengendalikan hidupku? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini menemukan jawabannya dalam pemahaman yang benar tentang Qada dan Qadar. Ini adalah lensa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada hamba-Nya untuk melihat dunia dengan ketenangan, harapan, dan kepasrahan yang produktif, bukan kepasrahan yang pasif. Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami samudra makna Qada dan Qadar, mengurai perbedaannya, memahami kedudukannya, dan yang terpenting, menemukan hikmah agung di baliknya.
Definisi Mendasar: Membedakan Qada dan Qadar
Meskipun sering disebut sebagai satu kesatuan, para ulama membedakan makna Qada dan Qadar secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi) untuk mempermudah pemahaman. Keduanya saling terkait erat, ibarat dua sisi dari satu koin yang sama, namun memiliki fokus yang berbeda.
1. Makna Qada (القضاء): Ketetapan Agung yang Azali
Secara bahasa, kata Al-Qada' memiliki beberapa arti, di antaranya adalah hukum, ketetapan, perintah, atau penyelesaian. Dalam konteks akidah Islam, Qada adalah ketetapan Allah yang bersifat azali (ada sejak zaman dahulu tanpa permulaan) terhadap segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. Ini adalah rencana induk (master plan) atau cetak biru (blueprint) alam semesta yang sempurna, yang telah Allah putuskan dan tetapkan dalam ilmu-Nya yang Maha Luas, bahkan sebelum alam semesta ini diciptakan.
Qada bersifat umum, global, dan tidak dapat diubah. Ia telah tertulis di Lauh Mahfuz (Papan yang Terpelihara). Ia adalah manifestasi dari kemahatahuan (Al-'Alim) dan kebijaksanaan (Al-Hakim) Allah. Segala peristiwa, besar maupun kecil, dari pergerakan galaksi hingga helaan napas setiap makhluk, semuanya telah ada dalam ketetapan Qada ini.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
QS. Al-Hadid: 22
Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa segala sesuatu, termasuk musibah yang kita alami, telah tercatat dalam sebuah 'kitab' jauh sebelum penciptaan. Inilah yang dimaksud dengan Qada. Analogi sederhananya, Qada adalah seperti seorang arsitek jenius yang telah menyelesaikan seluruh rancangan detail sebuah gedung pencakar langit, lengkap dengan setiap material, ukuran, dan jadwal pembangunan, sebelum satu pun batu fondasi diletakkan.
2. Makna Qadar (القدر): Realisasi Ketetapan dengan Ukuran Tertentu
Secara bahasa, kata Al-Qadar berarti ukuran, kadar, batasan, atau ketentuan. Dalam konteks akidah, Qadar adalah perwujudan atau realisasi dari Qada (ketetapan azali Allah) sesuai dengan ukuran dan ketentuan spesifik yang telah Allah tetapkan. Jika Qada adalah blueprint-nya, maka Qadar adalah proses pembangunan gedung tersebut, bata demi bata, sesuai dengan waktu, ukuran, dan spesifikasi yang ada dalam blueprint.
Qadar adalah detail-detail pelaksanaan dari rencana agung Qada. Ia mencakup sebab-akibat, proses, waktu kejadian, dan semua rincian yang menyertai suatu peristiwa. Qadar menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan dengan presisi yang luar biasa, tidak ada yang serampangan atau kebetulan.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)."
QS. Al-Qamar: 49
Ayat ini menunjukkan bahwa penciptaan Allah tidak acak, melainkan terukur dan presisi. Matahari tidak terbit dari barat secara tiba-tiba, air tidak mengalir ke atas, dan seorang anak tidak lahir tanpa proses kehamilan. Semua berjalan sesuai dengan sistem, hukum alam (sunnatullah), dan ukuran yang merupakan bagian dari Qadar Allah. Qadar inilah yang kita saksikan dan alami setiap hari dalam kehidupan kita.
Jadi, secara ringkas, Qada adalah ketetapan global yang telah ada sejak azali, sementara Qadar adalah pelaksanaan rinci dari ketetapan tersebut di alam ciptaan. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Setiap Qadar yang terjadi pasti bersumber dari Qada yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kedudukan Iman kepada Qada dan Qadar dalam Islam
Beriman kepada Qada dan Qadar bukanlah sekadar pengetahuan tambahan atau anjuran, melainkan merupakan salah satu dari enam pilar (rukun) iman yang wajib diyakini oleh setiap Muslim. Tanpa keyakinan ini, keimanan seseorang dianggap tidak sempurna, bahkan bisa menjadi batal. Kedudukannya yang fundamental ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, yaitu Hadis Jibril.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang manusia dan bertanya tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Ketika bertanya tentang Iman, Rasulullah ﷺ menjawab:
"Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk (qadarihi khairihi wa syarrihi)."
HR. Muslim
Penyebutan iman kepada takdir (Qadar) yang baik dan yang buruk sebagai pilar keenam menunjukkan betapa krusialnya konsep ini. Mengapa ia begitu penting? Karena iman kepada Qada dan Qadar adalah konsekuensi logis dan puncak dari keimanan kepada sifat-sifat Allah yang lain, khususnya:
- Ilmu Allah (Al-'Ilm): Percaya bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, yang telah lalu, yang sedang terjadi, dan yang akan datang, tanpa ada satu pun yang terlewat.
- Kehendak Allah (Al-Masyi'ah): Percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini, baik gerakan maupun diam, kecuali atas izin dan kehendak-Nya.
- Kekuasaan Allah (Al-Qudrah): Percaya bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Dialah Sang Pencipta (Al-Khaliq) tunggal bagi seluruh makhluk dan perbuatan mereka.
- Hikmah Allah (Al-Hikmah): Percaya bahwa setiap ketetapan-Nya, baik yang terlihat baik maupun buruk di mata manusia, pasti mengandung hikmah yang agung dan keadilan yang sempurna.
Oleh karena itu, menolak Qada dan Qadar sama saja dengan meragukan kesempurnaan ilmu, kehendak, kekuasaan, dan hikmah Allah. Inilah mengapa para ulama salaf sangat tegas terhadap kelompok yang mengingkari takdir, seperti Qadariyah (yang menolak bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah) dan Jabariyah (yang menolak adanya kehendak dan pilihan bagi manusia sama sekali).
Empat Tingkatan Iman kepada Qada dan Qadar
Untuk memahami konsep ini secara lebih utuh dan sistematis, para ulama seperti Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah merincikan bahwa iman kepada Qada dan Qadar harus mencakup empat tingkatan atau martabat. Keimanan seseorang baru dianggap lengkap jika ia meyakini keempat tingkatan ini secara menyeluruh.
Tingkat Pertama: Al-'Ilm (Ilmu)
Tingkatan pertama adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara rinci dan total. Ilmu-Nya bersifat azali dan abadi. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Bahkan, Dia juga mengetahui apa yang tidak terjadi, dan bagaimana jadinya seandainya itu terjadi. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur, tidak ada setetes air hujan pun yang jatuh, dan tidak ada bisikan hati pun di dalam dada manusia yang luput dari ilmu-Nya yang Maha Meliputi.
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)."
QS. Al-An'am: 59
Tingkat Kedua: Al-Kitabah (Penulisan)
Tingkatan kedua adalah keyakinan bahwa Allah telah menuliskan segala sesuatu yang telah Dia ketahui itu di dalam sebuah kitab agung yang disebut Lauh Mahfuz (Papan yang Terpelihara). Penulisan ini terjadi 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Allah telah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi."
HR. Muslim
Penulisan ini adalah bukti dari kerapian dan keteraturan ciptaan-Nya. Tidak ada yang terjadi secara acak atau di luar rencana. Semua berjalan sesuai dengan skenario yang telah tertulis dengan sempurna. Ini memberikan ketenangan bahwa alam semesta berada dalam kendali yang mutlak dan teratur.
Tingkat Ketiga: Al-Masyi'ah (Kehendak)
Tingkatan ketiga adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, tanpa terkecuali, adalah atas kehendak (masyi'ah) Allah yang pasti terlaksana. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Kehendak Allah bersifat mutlak dan mencakup segala hal, baik itu perbuatan-Nya sendiri maupun perbuatan makhluk-Nya, termasuk perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam."
QS. At-Takwir: 29
Penting untuk dipahami bahwa kehendak Allah di sini ada dua macam: kehendak kauni (universal) yang pasti terjadi meskipun tidak selalu Dia cintai (seperti adanya kekafiran dan kemaksiatan), dan kehendak syar'i (legislatif) yang Dia cintai dan ridhai, meskipun tidak semua manusia melaksanakannya (seperti perintah untuk beriman dan beramal saleh). Adanya kejahatan di dunia terjadi atas kehendak kauni Allah untuk sebuah hikmah (seperti ujian), namun Allah tidak mencintai dan tidak meridhai perbuatan jahat itu.
Tingkat Keempat: Al-Khalq (Penciptaan)
Tingkatan keempat adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta (Al-Khaliq). Dia menciptakan segala sesuatu, termasuk zat, sifat, dan perbuatan para makhluk-Nya. Ini adalah poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan.
Meyakini bahwa Allah adalah pencipta perbuatan hamba bukan berarti manusia dipaksa dan tidak punya pilihan. Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa manusia memiliki kehendak (masyi'ah) dan kemampuan (qudrah) untuk melakukan perbuatannya. Perbuatan itu dinisbahkan kepada manusia karena dialah yang melakukan, memilih, dan berkehendak. Namun, Dzat yang menciptakan manusia, menciptakan kehendak dalam diri manusia, dan menciptakan kemampuan untuk berbuat adalah Allah. Jadi, Allah adalah Pencipta, dan manusia adalah pelaku.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."
QS. Ash-Shaffat: 96
Inilah titik tengah yang adil antara pandangan Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah yang menafikan penciptaan Allah atas perbuatan hamba. Manusia bertanggung jawab atas pilihannya, dan oleh karena itu, ia akan dihisab dan diberi balasan.
Paradoks Takdir dan Kehendak Bebas: Peran Ikhtiar, Doa, dan Tawakal
Salah satu pertanyaan terbesar yang muncul dari pembahasan Qada dan Qadar adalah: "Jika semuanya sudah ditakdirkan, lalu untuk apa kita berusaha, berdoa, dan berikhtiar?" Ini adalah kesalahpahaman yang sangat fatal. Islam tidak mengajarkan fatalisme atau kepasrahan buta yang mematikan semangat. Justru, pemahaman yang benar akan menyeimbangkan antara keyakinan pada takdir dengan kewajiban untuk berusaha.
Ikhtiar (Usaha): Kewajiban Manusia
Ikhtiar adalah usaha maksimal yang dilakukan oleh manusia dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan. Islam memerintahkan kita untuk berikhtiar. Seorang petani harus mencangkul, menanam, dan mengairi sawahnya. Seorang pelajar harus belajar dan mengerjakan tugasnya. Seorang yang sakit harus mencari obat dan berobat ke dokter.
Beriman kepada takdir bukan berarti duduk diam menunggu nasib. Justru, usaha atau ikhtiar itu sendiri adalah bagian dari takdir. Allah telah menakdirkan bahwa hasil akan datang melalui sebab. Allah menakdirkan rasa kenyang datang melalui sebab makan. Allah menakdirkan kesembuhan datang melalui sebab berobat. Meninggalkan sebab adalah bentuk penentangan terhadap sunnatullah (hukum alam) yang juga merupakan bagian dari Qadar-Nya.
Ketika Umar bin Khattab hendak memasuki wilayah Syam yang sedang dilanda wabah tha'un, beliau memutuskan untuk kembali dan tidak jadi masuk. Seseorang bertanya, "Apakah engkau lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?" Umar menjawab dengan jawaban yang sangat cerdas, "Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain."
Artinya, keputusan untuk tidak masuk ke daerah wabah (ikhtiar untuk selamat) juga merupakan takdir Allah, sebagaimana keputusan untuk masuk (yang berisiko tertular) juga takdir Allah. Kita diperintahkan untuk mengambil sebab-sebab yang membawa kepada kebaikan.
Doa: Senjata Orang Beriman
Doa adalah inti dari ibadah dan merupakan bentuk ikhtiar batin. Sebagian orang mungkin berpikir, "Jika sesuatu sudah ditakdirkan, mengapa harus berdoa?" Jawabannya adalah karena doa itu sendiri bisa menjadi sebab yang telah Allah takdirkan untuk mengubah suatu keadaan atau mendatangkan suatu kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidak ada yang bisa menolak takdir (qadha) kecuali doa."
HR. Tirmidzi
Para ulama menjelaskan hadis ini bahwa doa dapat mengubah takdir yang disebut takdir mu'allaq (takdir yang digantungkan pada suatu sebab). Misalnya, telah ditakdirkan seseorang akan sakit, namun karena ia berdoa, maka Allah takdirkan ia menjadi sehat. Proses ini—sakit, berdoa, lalu sehat—seluruhnya sudah ada dalam ilmu Allah dan tertulis di Lauh Mahfuz. Doa menjadi bagian integral dari skenario takdir itu sendiri. Berdoa adalah perintah Allah, dan mengabulkan doa adalah janji-Nya. Keduanya adalah bagian dari sistem Qada dan Qadar.
Tawakal: Kepasrahan Setelah Berusaha
Setelah melakukan ikhtiar maksimal (lahir dan batin), maka langkah selanjutnya adalah tawakal. Tawakal adalah menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah dalam meraih manfaat dan menolak mudarat, disertai keyakinan penuh bahwa hanya Dia yang mampu mewujudkan itu semua. Tawakal adalah buah dari ikhtiar, bukan penggantinya.
Tawakal yang benar adalah seperti seorang petani yang telah membajak sawahnya, menabur benih terbaik, dan mengairinya dengan cukup. Setelah itu, ia menyerahkan urusan tumbuhnya padi, cuaca, dan hasil panen kepada Allah. Ia tidak lagi cemas berlebihan karena ia tahu telah melakukan bagiannya, dan sisanya ada di tangan Yang Maha Kuasa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang."
HR. Tirmidzi
Hadis ini tidak mengajarkan kita untuk diam seperti burung di sarang, tetapi mencontohkan burung yang "pergi di pagi hari" (berikhtiar) lalu "kembali di sore hari" dengan hasil, semua itu dengan hati yang bersandar penuh pada Allah. Jadi, formula yang benar adalah: Ikhtiar + Doa + Tawakal.
Hikmah dan Buah Manis Iman kepada Qada dan Qadar
Memahami dan menghayati pilar keimanan ini akan mendatangkan banyak sekali manfaat dan buah manis dalam kehidupan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Ia bukanlah konsep teoretis yang kaku, melainkan sumber kekuatan spiritual yang luar biasa.
1. Memberikan Ketenangan Jiwa yang Hakiki
Orang yang beriman pada takdir akan memiliki hati yang lapang dan jiwa yang tenang. Ia tidak akan dilanda kecemasan berlebihan terhadap masa depan, karena ia tahu masa depannya ada di tangan Allah Yang Maha Bijaksana. Ia juga tidak akan tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan mendalam atas apa yang telah terjadi di masa lalu, karena ia yakin bahwa apa yang menimpanya tidak mungkin meleset, dan apa yang luput darinya tidak mungkin menimpanya. Ini membebaskan manusia dari belenggu "seandainya" yang destruktif.
2. Menumbuhkan Keberanian dan Menghilangkan Rasa Takut
Keyakinan bahwa ajal, rezeki, dan nasib telah diatur oleh Allah akan menumbuhkan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup dan dalam memperjuangkan kebenaran. Ia tidak akan takut kepada manusia atau makhluk lain, karena ia tahu mereka tidak dapat memberinya mudarat atau manfaat sedikit pun kecuali dengan izin Allah. Rasa takutnya hanya terpusat kepada Sang Pencipta, bukan kepada ciptaan.
3. Mencegah Sifat Sombong dan Putus Asa
Ketika meraih kesuksesan, harta, atau jabatan, orang yang beriman pada takdir tidak akan sombong. Ia sadar bahwa semua itu adalah karunia dan ketetapan dari Allah, bukan semata-mata karena kehebatan dirinya. Sebaliknya, ketika mengalami kegagalan, musibah, atau kesulitan, ia tidak akan berputus asa. Ia memandangnya sebagai ujian dari Allah yang pasti mengandung hikmah, dan ia akan bersabar serta terus berusaha mencari jalan keluar dengan pertolongan-Nya.
4. Mendorong Sikap Syukur dan Sabar
Iman kepada Qada dan Qadar membentuk dua sikap utama dalam diri seorang mukmin: syukur dan sabar. Jika ia mendapat nikmat (takdir yang baik), ia akan bersyukur. Jika ia ditimpa musibah (takdir yang buruk menurut pandangannya), ia akan bersabar. Rasulullah ﷺ mengagumi keadaan orang mukmin karena seluruh urusannya adalah baik. Inilah buah dari memandang segala peristiwa sebagai bagian dari ketetapan Allah yang Maha Adil.
5. Memurnikan Tauhid dan Kebergantungan kepada Allah
Pada akhirnya, iman kepada Qada dan Qadar akan memurnikan tauhid seorang hamba. Ia akan benar-benar menyadari bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah (Laa hawla wa laa quwwata illa billah). Kebergantungannya hanya kepada Allah, harapannya hanya kepada Allah, dan rasa takutnya hanya kepada Allah. Ini adalah esensi dari penghambaan yang sejati.
Kesimpulan: Menavigasi Kehidupan dengan Peta Takdir
Iman kepada Qada dan Qadar bukanlah sebuah doktrin yang mengajak pada kepasifan. Sebaliknya, ia adalah sebuah peta dan kompas spiritual yang paling canggih untuk menavigasi lautan kehidupan yang penuh ombak dan badai. Ia memberi tahu kita bahwa ada Sang Nahkoda Agung yang mengendalikan segalanya dengan ilmu, hikmah, dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
Qada adalah ketetapan agung-Nya di Lauh Mahfuz, dan Qadar adalah realisasinya yang presisi di alam nyata. Keduanya adalah manifestasi dari sifat-sifat kesempurnaan Allah. Tugas kita sebagai hamba bukanlah mencoba menebak atau meratapi isi peta takdir yang gaib, melainkan fokus pada apa yang ada di tangan kita: kewajiban untuk berikhtiar sekuat tenaga, mengangkat tangan untuk berdoa dengan penuh harap, dan kemudian menambatkan hati dengan tawakal yang kokoh kepada-Nya.
Dengan pemahaman ini, setiap langkah menjadi lebih ringan, setiap musibah menjadi pelajaran, dan setiap nikmat menjadi ladang kesyukuran. Inilah cara pandang yang membebaskan jiwa, menguatkan hati, dan mengantarkan seorang hamba pada ridha Tuhannya, dalam setiap keadaan dan ketetapan-Nya.