Di antara surat-surat dalam Al-Quran, terdapat sebuah surat yang singkat namun sarat dengan makna mendalam, sebuah proklamasi kemenangan sekaligus pengingat akan esensi dari kesuksesan sejati. Surat itu adalah An-Nashr, surat ke-110 dalam mushaf Al-Quran. Terdiri dari hanya tiga ayat, surat ini merangkum sebuah fase krusial dalam sejarah Islam dan memberikan pelajaran abadi bagi setiap mukmin. Memahami Quran Surat An-Nashr dan artinya bukan sekadar membaca terjemahan, melainkan menyelami lautan hikmah tentang pertolongan Allah, hakikat kemenangan, dan adab yang harus dimiliki seorang hamba ketika berada di puncak kejayaan.
Surat An-Nashr tergolong sebagai surat Madaniyah, yang berarti diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa surat ini adalah salah satu surat terakhir yang diwahyukan, bahkan ada yang berpendapat inilah surat lengkap yang terakhir turun. Posisinya di akhir periode wahyu memberikan signifikansi yang luar biasa, seolah menjadi penutup dan kesimpulan dari seluruh perjuangan dakwah yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Surat ini bukan hanya kabar gembira, tetapi juga sebuah panduan fundamental tentang bagaimana seharusnya seorang hamba merespons nikmat terbesar dari Tuhannya.
Teks Lengkap Quran Surat An-Nashr, Transliterasi, dan Artinya
Untuk memulai pendalaman kita, marilah kita simak bersama bacaan lengkap dari Surat An-Nashr, beserta transliterasi latin dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Ini adalah fondasi utama sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam tafsir dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Idzaa jaa-a nasrul-laahi wal-fath
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Wa ra-aitan-naasa yadkhuluuna fii diinil-laahi afwaajaa
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah Turunnya Surat An-Nashr
Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat atau surat adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih otentik dan mendalam. Surat An-Nashr sangat erat kaitannya dengan peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini bukanlah sebuah penaklukan militer biasa yang diwarnai pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan, melainkan sebuah kemenangan spiritual dan moral yang puncaknya ditandai dengan kembalinya tauhid ke pusat peribadatan umat manusia, Ka'bah.
Akar Peristiwa: Perjanjian Hudaibiyah
Kisah Fathu Makkah tidak bisa dilepaskan dari Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini, yang pada awalnya terlihat merugikan kaum Muslimin, sesungguhnya adalah sebuah "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina) sebagaimana disebut dalam Surat Al-Fath. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun antara kaum Muslimin Madinah dan kaum Quraisy Makkah. Selain itu, suku-suku Arab lainnya diberi kebebasan untuk bersekutu dengan pihak mana pun yang mereka inginkan. Suku Khuza'ah memilih bersekutu dengan Nabi Muhammad ﷺ, sementara suku Bani Bakr memilih berpihak pada kaum Quraisy.
Selama periode damai ini, dakwah Islam tersebar dengan pesat. Banyak orang yang sebelumnya ragu atau takut, kini bisa melihat ajaran Islam secara lebih terbuka. Namun, kedamaian ini dikhianati. Kaum Quraisy secara diam-diam membantu sekutu mereka, Bani Bakr, untuk menyerang suku Khuza'ah. Mereka tidak hanya memberikan senjata, tetapi beberapa tokoh Quraisy bahkan ikut serta dalam penyerangan di malam hari tersebut. Perbuatan ini jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Perjanjian Hudaibiyah.
Perjalanan Menuju Kemenangan
Kabar pengkhianatan ini sampai ke telinga Rasulullah ﷺ. Beliau merasa wajib membela sekutunya yang terzalimi. Setelah menawarkan beberapa pilihan damai yang ditolak oleh Quraisy, Rasulullah ﷺ pun mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari sepuluh ribu prajurit untuk bergerak menuju Makkah. Pergerakan ini dilakukan dengan sangat rahasia untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Tujuannya bukan untuk balas dendam, melainkan untuk membebaskan Makkah dari cengkeraman kemusyrikan dan mengembalikannya sebagai kota suci yang damai.
Ketika pasukan Muslimin tiba di dekat Makkah, para pemimpin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, terkejut melihat kekuatan yang begitu besar. Mereka menyadari bahwa perlawanan adalah hal yang sia-sia dan hanya akan membawa kehancuran. Melalui serangkaian peristiwa, Abu Sufyan akhirnya menyerah dan memeluk Islam. Rasulullah ﷺ kemudian memberikan sebuah jaminan keamanan yang luar biasa: "Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, maka ia aman."
Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah
Rasulullah ﷺ memasuki kota kelahirannya, Makkah, bukan dengan kepala tegak penuh kesombongan, melainkan dengan kepala tertunduk penuh rasa syukur dan kerendahan hati. Beliau memasuki kota yang dulu telah mengusir, menyiksa, dan memeranginya, dengan membawa panji-panji perdamaian. Terjadi sedikit perlawanan di beberapa titik, namun secara keseluruhan, penaklukan Makkah berlangsung dengan sangat damai.
Tindakan pertama yang beliau lakukan adalah membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang berjumlah 360 buah. Sambil menghancurkan setiap berhala dengan tongkatnya, beliau membacakan firman Allah: "Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." (QS. Al-Isra: 81). Setelah itu, beliau memberikan pidato di hadapan kaum Quraisy yang berkumpul dengan rasa cemas. Beliau bertanya, "Wahai kaum Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Yang baik, wahai saudara yang mulia, putra dari saudara yang mulia." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Pergilah kalian semua, kalian bebas." Sebuah pengampunan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Inilah konteks turunnya Surat An-Nashr. Surat ini diwahyukan setelah peristiwa agung ini sebagai konfirmasi dari Allah bahwa janji-Nya telah terpenuhi. "Pertolongan Allah" (Nashrullah) dan "Kemenangan" (Al-Fath) telah benar-benar datang.
Tafsir Mendalam Quran Surat An-Nashr Ayat per Ayat
Setelah memahami latar belakang sejarahnya, kita dapat menyelami makna setiap ayat dengan lebih jernih. Setiap kata dalam surat ini dipilih dengan sangat teliti oleh Allah untuk menyampaikan pesan yang padat dan kuat.
Ayat 1: إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat pertama ini membuka surat dengan kata "Iżā" (إِذَا), yang dalam bahasa Arab sering digunakan untuk menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Ini bukanlah "jika" yang mengandung keraguan, melainkan "ketika" atau "apabila" yang menyiratkan kepastian. Sejak awal, Allah telah memberikan janji yang pasti kepada Nabi-Nya dan kaum mukminin.
Makna "Nashrullah" (Pertolongan Allah)
Kata "Nashr" (نَصْر) berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kepada kemenangan. Namun, ketika disandarkan kepada Allah menjadi "Nashrullah", maknanya menjadi jauh lebih agung. Ini bukan sembarang pertolongan. Ini adalah pertolongan ilahi yang menentukan, yang datang pada saat yang tepat, dengan cara yang paling sempurna, dan melampaui segala perhitungan manusiawi. Perjuangan kaum Muslimin selama bertahun-tahun, kesabaran mereka dalam menghadapi penindasan, strategi perang, dan diplomasi, semuanya adalah bagian dari ikhtiar. Akan tetapi, faktor penentu keberhasilan pada akhirnya adalah "Nashrullah". Tanpa pertolongan dari Allah, semua usaha manusia tidak akan berarti apa-apa. Ini adalah penegasan fundamental dari konsep tauhid, bahwa segala daya dan kekuatan hanya bersumber dari Allah semata.
Makna "Al-Fath" (Kemenangan)
Kata "Al-Fath" (ٱلْفَتْحُ) secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks ini, ia merujuk pada Fathu Makkah, terbukanya kota Makkah bagi Islam. Ini bukan sekadar kemenangan militer, tetapi pembukaan hati, pembukaan pikiran, dan pembukaan jalan bagi tersebarnya hidayah Allah ke seluruh Jazirah Arab dan dunia. Makkah adalah pusat spiritual, budaya, dan ekonomi Jazirah Arab. Dengan jatuhnya Makkah ke dalam pangkuan Islam secara damai, benteng utama kemusyrikan telah runtuh. Pintu-pintu yang selama ini tertutup bagi dakwah kini terbuka lebar. Oleh karena itu, Al-Fath di sini adalah kemenangan yang bersifat transformatif dan membawa dampak jangka panjang yang luar biasa.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat kedua ini menggambarkan buah langsung dari "Nashrullah" dan "Al-Fath" yang disebutkan di ayat pertama. Kata "ra'aita" (رَأَيْتَ) yang berarti "engkau melihat" adalah sapaan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ, seolah Allah berfirman, "Lihatlah, wahai Muhammad, saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri buah dari kesabaran dan perjuanganmu."
Fenomena "Afwājā" (Berbondong-bondong)
Sebelum Fathu Makkah, orang-orang yang masuk Islam seringkali melakukannya secara individu atau dalam kelompok kecil, bahkan banyak yang sembunyi-sembunyi karena takut akan tekanan dari kaum Quraisy. Suku-suku Arab lainnya mengambil sikap menunggu. Mereka berkata, "Biarkan saja Muhammad dan kaumnya (Quraisy). Jika dia menang atas kaumnya, berarti dia memang seorang nabi." Bagi mereka, Quraisy adalah tolok ukur kekuatan dan kebenaran.
Setelah Fathu Makkah, segalanya berubah. Runtuhnya kekuasaan Quraisy tanpa pertumpahan darah yang berarti menjadi bukti nyata bagi suku-suku Arab bahwa Muhammad ﷺ memang didukung oleh kekuatan ilahi. Mereka melihat keagungan akhlak beliau saat memaafkan musuh-musuhnya. Ini menghancurkan keraguan mereka. Akibatnya, mereka datang dari berbagai penjuru Jazirah Arab untuk menyatakan keislaman mereka, bukan lagi satu per satu, melainkan "afwājā" (أَفْوَاجًا) – dalam rombongan besar, kabilah demi kabilah, suku demi suku. Periode setelah Fathu Makkah dikenal sebagai "'Am al-Wufud" atau "Tahun Delegasi", di mana Madinah dibanjiri oleh delegasi dari seluruh Arab yang datang untuk belajar Islam dan berbaiat kepada Rasulullah ﷺ.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ini adalah puncak dari surat An-Nashr dan inti dari pelajarannya. Setelah Allah menggambarkan nikmat pertolongan dan kemenangan yang luar biasa, Dia tidak memerintahkan untuk berpesta pora, berbangga diri, atau membalas dendam. Sebaliknya, Allah mengajarkan adab tertinggi dalam merespons kesuksesan. Terdapat tiga perintah utama dalam ayat ini:
1. Tasbih (فَسَبِّحْ - Fasabbih)
Tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Ketika kemenangan diraih, ada potensi besar bagi manusia untuk merasa bahwa kemenangan itu adalah hasil dari kehebatan, kecerdasan, atau kekuatannya sendiri. Perintah untuk bertasbih adalah pengingat instan: "Sucikan Allah dari anggapan bahwa pertolongan-Nya membutuhkan bantuanmu atau strategimu. Kemenangan ini murni karena kehendak dan kekuatan-Nya." Ini adalah cara untuk menundukkan ego dan mengembalikan segala pujian kepada sumbernya yang hakiki.
2. Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Bihamdi Rabbika)
Perintah tasbih digandengkan dengan tahmid, yaitu memuji Allah. "Bihamdi Rabbika" berarti bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu. Jika tasbih adalah menafikan kekurangan, maka tahmid adalah menetapkan segala kesempurnaan dan pujian bagi-Nya. Ini adalah ekspresi rasa syukur yang mendalam atas segala nikmat, karunia, dan pertolongan yang telah diberikan. Kombinasi tasbih dan tahmid (Subhanallahi wa bihamdih) adalah bentuk zikir yang sempurna, mengakui kesucian Allah sekaligus mensyukuri kebaikan-Nya. Respon terhadap kemenangan bukanlah arogansi, melainkan zikir dan syukur.
3. Istighfar (وَٱسْتَغْفِرْهُ - Wastaghfirh)
Ini adalah bagian yang paling menyentuh dan mendalam. Mengapa pada saat kemenangan besar justru diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat indah:
- Untuk menyempurnakan syukur: Sebesar apa pun usaha kita untuk bersyukur, kita tidak akan pernah bisa mensyukuri nikmat Allah secara sempurna. Istighfar adalah pengakuan atas kelemahan dan kekurangan kita dalam menunaikan hak-hak Allah, termasuk hak untuk disyukuri.
- Untuk membersihkan niat: Dalam perjuangan yang panjang, mungkin ada niat-niat tersembunyi, rasa bangga, atau kelalaian yang menyelinap ke dalam hati. Istighfar membersihkan semua itu, memastikan bahwa kemenangan tersebut diterima dengan hati yang murni.
- Sebagai tanda kerendahan hati: Istighfar adalah puncak dari kerendahan hati. Ia adalah pengakuan bahwa "Ya Allah, kemenangan ini bukan karena aku hebat, bahkan dalam perjuanganku ini pun pasti banyak sekali kekurangan dan dosa. Ampunilah aku." Ini adalah antitesis dari kesombongan.
- Sebagai isyarat tugas telah selesai: Sebagaimana akan dijelaskan nanti, istighfar di sini juga dipahami oleh para sahabat sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah ﷺ di dunia akan segera berakhir.
Ayat ini ditutup dengan kalimat "Innahuu kaana tawwaabaa" (إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا) – "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Ini adalah sebuah penegasan yang menenangkan dan penuh harapan. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk memohon ampun, tetapi Dia juga meyakinkan kita bahwa Dia senantiasa, dan akan selalu, membuka pintu tobat-Nya lebar-lebar. Nama "At-Tawwab" menunjukkan bahwa Allah sangat suka menerima tobat hamba-Nya dan berulang kali memberikan ampunan.
Surat An-Nashr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah ﷺ
Salah satu penafsiran yang paling masyhur dan menyentuh terkait Surat An-Nashr adalah bahwa surat ini merupakan isyarat dekatnya ajal Rasulullah ﷺ. Pemahaman ini terutama datang dari sahabat-sahabat senior dan para ahli tafsir terkemuka seperti Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis shahih, ketika surat ini turun, Rasulullah ﷺ membacakannya kepada para sahabat. Banyak di antara mereka yang bergembira karena melihatnya sebagai kabar kemenangan. Namun, beberapa sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Al-Abbas justru menangis. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab, "Ini adalah pertanda wafatnya Rasulullah ﷺ."
Logikanya sederhana dan sangat mendalam. Misi utama Rasulullah ﷺ adalah menyampaikan risalah, menegakkan agama Allah, dan membersihkan Ka'bah dari kemusyrikan. Ketika pertolongan Allah telah datang secara sempurna (Nashrullah), kemenangan terbesar telah diraih (Al-Fath), dan manusia telah berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah (Afwaja), maka itu berarti tugas beliau di dunia telah paripurna. Misi telah selesai. Dan jika tugas seorang utusan telah selesai, maka sudah tiba waktunya bagi sang utusan untuk kembali kepada Yang Mengutusnya.
Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar di akhir surat juga menguatkan penafsiran ini. Itu adalah persiapan spiritual untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa setelah turunnya surat ini, Rasulullah ﷺ sering sekali membaca dalam rukuk dan sujudnya, "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai pengamalan dari perintah dalam surat ini.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nashr
Meskipun Surat An-Nashr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pelajarannya bersifat universal dan abadi. Setiap individu, komunitas, atau bangsa akan mengalami fase-fase kemenangan dan kesuksesan dalam skala yang berbeda. Surat ini memberikan panduan ilahi tentang bagaimana cara menyikapinya.
1. Hakikat Kemenangan adalah dari Allah
Pelajaran pertama dan utama adalah atribusi kesuksesan. Surat ini mengajarkan kita untuk selalu menyandarkan setiap keberhasilan kepada Allah. Baik itu lulus ujian, mendapatkan pekerjaan, berhasil dalam proyek, atau mencapai tujuan hidup lainnya, semua itu adalah "Nashrullah". Kesadaran ini akan melindungi kita dari penyakit hati yang paling berbahaya, yaitu kesombongan dan keangkuhan.
2. Respon Terbaik terhadap Nikmat adalah Syukur, Bukan Euforia
Masyarakat modern sering merayakan kesuksesan dengan pesta yang berlebihan dan euforia yang melupakan batas. Islam mengajarkan cara yang berbeda. Respon terbaik saat nikmat datang adalah meningkatkan ibadah dan kedekatan kepada Sang Pemberi Nikmat. Perbanyak zikir (tasbih, tahmid) dan introspeksi diri (istighfar). Jadikan kesuksesan sebagai momentum untuk lebih taat, bukan lebih lalai.
3. Pentingnya Kerendahan Hati di Puncak Kejayaan
Perintah untuk beristighfar di saat menang adalah pelajaran agung tentang kerendahan hati (tawadhu). Orang yang benar-benar bijak adalah orang yang semakin sukses, semakin merasa rendah hati. Ia sadar bahwa kesuksesannya adalah amanah dan ujian. Ia memohon ampun atas segala kekurangan dalam menjalankan amanah tersebut. Sikap inilah yang akan membuat nikmat menjadi berkah dan bertahan lama.
4. Setiap Misi Memiliki Akhir
Sebagaimana surat ini menjadi isyarat berakhirnya misi kenabian, ia juga menjadi pengingat bagi kita bahwa setiap tugas dan tanggung jawab di dunia ini memiliki batas waktu. Jabatan, kekuasaan, masa muda, dan bahkan hidup itu sendiri akan berakhir. Kesadaran ini mendorong kita untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan mempersiapkan diri untuk "melapor" kembali kepada Allah SWT.
5. Optimisme dan Janji Allah yang Pasti
Bagi mereka yang sedang berjuang di jalan kebaikan, surat ini memberikan suntikan optimisme yang luar biasa. Ia menegaskan bahwa selama kita berada di jalan Allah, pertolongan-Nya pasti akan datang. Mungkin tidak secepat yang kita inginkan, atau tidak dalam bentuk yang kita bayangkan, tetapi janji Allah tentang kemenangan bagi orang-orang yang beriman dan sabar adalah sebuah kepastian.
Kesimpulan: Sebuah Peta Jalan Menuju Kesuksesan Hakiki
Quran Surat An-Nashr dan artinya menawarkan sebuah paradigma kesuksesan yang revolusioner. Ia membalik logika duniawi yang mengukur kemenangan dari materi dan kekuasaan. Menurut Al-Quran, kemenangan sejati adalah ketika pertolongan Allah datang, membuka jalan bagi tersebarnya kebenaran, dan puncaknya adalah kemampuan untuk merespons kemenangan itu dengan tasbih, tahmid, dan istighfar.
Surat yang terdiri dari tiga ayat singkat ini adalah sebuah manifesto kerendahan hati, sebuah ode syukur, dan sebuah pengingat bahwa tujuan akhir dari setiap perjuangan adalah kembali kepada-Nya dalam keadaan diampuni dan diridhai. Dengan memahami dan mengamalkan pesan-pesan agung di dalamnya, kita tidak hanya belajar bagaimana cara meraih kemenangan, tetapi yang lebih penting, kita belajar bagaimana menjadi hamba yang pantas menerima kemenangan itu dari Allah, Sang Maha Penerima Tobat.