Ilustrasi visualisasi keteguhan hati dan ikatan batin.
Saad bin Abi Waqqash adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling terkemuka dan sangat dihormati. Dikenal sebagai pemanah ulung yang tidak pernah meleset (dianggap sebagai satu-satunya pemanah yang membuat Nabi terkesan), keberaniannya di medan perang sangat legendaris. Namun, di balik kegagahan seorang pejuang yang ditakuti musuh, tersimpan kisah emosional yang menyoroti betapa Islam mengajarkan prioritas tertinggi: keimanan di atas segalanya, bahkan di atas ikatan darah terkuat sekalipun, yaitu hubungan dengan ibu.
Kisah ini berpusat pada periode awal Islam, ketika Saad bin Abi Waqqash baru saja memeluk Islam. Pada masa itu, Islam masih dipandang sebagai ancaman oleh kaum Quraisy di Makkah. Keputusan memeluk agama baru sering kali membawa konsekuensi sosial dan bahkan fisik yang berat, terutama dari keluarga yang masih memegang teguh tradisi paganisme lama.
Saad adalah salah satu pemuda yang cepat dan mantap dalam menerima ajaran tauhid. Ketika ibunya, yang bernama Umamah binti Abd Manaf, mengetahui keislaman putranya, ia marah besar. Umamah adalah sosok wanita terpandang di sukunya dan sangat memegang adat istiadat Makkah. Ia tidak rela putranya meninggalkan jalan leluhur.
Reaksi Umamah sangat ekstrem. Ia bersumpah tidak akan makan, minum, atau berteduh di bawah naungan matahari sampai Saad meninggalkan Muhammad dan kembali kepada agama nenek moyangnya. Ia benar-benar melakukan mogok makan dan minum sebagai bentuk tekanan emosional dan demonstrasi kekecewaan publik.
Berita mengenai pemogokan ibunya sampai ke telinga Saad. Ini adalah ujian iman yang paling personal dan menyakitkan. Saad sangat mencintai ibunya; ia dikenal sebagai anak yang berbakti. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan antara ketaatan mutlak kepada Allah dan pemenuhan keinginan ibunya yang bersifat menentang syariat, pilihan Saad menjadi jelas.
Saad mendatangi ibunya, berusaha membujuk, mengingatkan akan hakikat hidup dan mati. Ia menjelaskan bahwa keimanan yang ia anut adalah kebenaran sejati. Melihat keteguhan hati putranya, Umamah semakin kuat dalam pendiriannya.
Ketika Saad kembali mendapati ibunya masih dalam kondisi lemah karena puasa dan dahaga, ia merasa sangat tertekan. Ia kemudian memanggil para sahabat dan meminta makanan serta minuman, namun ibunya menolak memakannya. Pada titik inilah, turunlah wahyu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang kemudian menjadi dasar hukum Islam mengenai masalah ini.
Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa meskipun orang tua harus dihormati dan diperlakukan dengan baik (birrul walidain), ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya harus didahulukan. Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak boleh menaati ciptaan (termasuk orang tua) dalam urusan maksiat kepada Sang Pencipta.
Setelah ayat ini turun, Saad mendapatkan pembenaran ilahi atas tindakannya. Ia tetap berpegang teguh pada keimanannya, meskipun ia tetap menunjukkan rasa hormat dan kepeduliannya sebagai seorang anak.
Akhirnya, setelah melihat kesungguhan dan keteguhan hati Saad, serta mungkin karena melihat tubuhnya yang semakin melemah dan kesadaran bahwa tindakannya tidak akan mengubah pendirian putranya, Umamah menyerah. Ia akhirnya mau makan dan minum kembali. Tindakan Umamah yang menyerah ini sering kali disebut sebagai momen kemenangan iman atas tekanan keluarga yang ekstrem.
Kisah Saad bin Abi Waqqash dan ibunya menjadi pilar dalam ajaran Islam tentang etika dalam beragama. Ini mengajarkan bahwa ada batasan dalam berbakti. Kita wajib berbakti kepada orang tua selama mereka tidak memerintahkan hal yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Sebaliknya, bagi orang tua, kisah ini memberikan pelajaran bahwa cinta kasih tidak boleh menjadi penghalang bagi anak untuk memeluk kebenaran.
Saad bin Abi Waqqash, yang dihormati sebagai salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga (Al-Asyara Al-Mubasysyarun bil Jannah), membuktikan bahwa keberanian terbesarnya bukan hanya saat memegang pedang, tetapi saat ia memilih teguh di jalan Allah, bahkan saat menghadapi ratapan dan mogok makan dari wanita yang paling ia cintai di dunia ini. Keteguhan hati inilah yang menjadikannya pahlawan sejati, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhannya. Kisahnya abadi sebagai contoh keseimbangan antara rasa cinta keluarga dan kesetiaan absolut kepada Aqidah.