Pertanyaan mengenai siapa sebenarnya Sayyidina Ali adalah sebuah pembahasan mendalam yang melintasi sejarah, spiritualitas, dan kepemimpinan umat Islam. Beliau, Ali bin Abi Thalib, bukan sekadar nama dalam catatan sejarah; beliau adalah pilar penting dalam fondasi ajaran Islam, dikenal karena keberaniannya yang tak tertandingi, kecerdasannya yang tajam, dan kedalaman ilmunya yang luar biasa. Beliau adalah sepupu Nabi Muhammad SAW sekaligus menantunya, menikahi putri tercinta Rasulullah, Fatimah az-Zahra.
Riwayat hidup Sayyidina Ali adalah dimulai sejak masa kanak-kanak. Beliau adalah salah satu orang pertama yang menerima Islam, sering disebut sebagai "karramallahu wajhah" (semoga Allah memuliakan wajahnya) karena tidak pernah melihat aurat. Kedekatannya dengan Nabi Muhammad SAW sejak dini menempatkannya di garis depan perkembangan dakwah Islam di Makkah.
Peranannya dalam Hijrah ke Madinah adalah bukti loyalitas mutlaknya. Ketika kaum Quraisy mengepung rumah Rasulullah dengan niat jahat, Ali dengan gagah berani menempati ranjang Nabi, sebuah tindakan pengorbanan tertinggi yang memastikan keselamatan Rasulullah SAW untuk melanjutkan perjalanan hijrah. Tindakan ini saja sudah mengukuhkan posisi Ali sebagai pelindung sejati Islam.
Bagi mereka yang bertanya Sayyidina Ali adalah dalam konteks peperangan, jawabannya terletak pada setiap medan pertempuran besar. Ali dikenal sebagai "Asadullah" (Singa Allah). Dalam setiap pertempuran kritis—Badr, Uhud, Khaibar, dan Khandaq—keberanian Ali menjadi penentu kemenangan. Di Khaibar, misalnya, ia sendirian berhasil merobohkan gerbang benteng yang sangat kokoh, sebuah legenda yang menunjukkan kekuatan fisik dan mentalnya yang luar biasa.
Namun, kekuatan fisiknya selalu diimbangi dengan kebijaksanaan. Ia tidak pernah haus darah; tindakannya selalu berdasarkan perintah ilahi dan demi menjaga kehormatan Islam.
Salah satu aspek paling menonjol dari Sayyidina Ali adalah kedudukannya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." Hadis ini menekankan betapa luasnya pemahaman Ali terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.
Setelah wafatnya Nabi, Ali menjadi rujukan utama bagi para sahabat senior ketika menghadapi masalah hukum yang rumit atau penafsiran ayat-ayat yang sulit. Kumpulan perkataannya, yang kemudian dikodifikasi dalam kitab Nahj al-Balaghah (Jalan Kebenaran), adalah warisan abadi yang berisi hikmah mendalam tentang etika, spiritualitas, pemerintahan, dan sifat-sifat kemanusiaan. Dari ungkapan filosofis hingga nasihat praktis, perkataan Ali tetap relevan hingga kini.
Peran final Sayyidina Ali adalah sebagai Khalifah keempat umat Islam. Kepemimpinannya dimulai dalam masa yang penuh tantangan, di mana umat Islam tengah menghadapi perpecahan internal. Meskipun demikian, Ali memerintah dengan integritas yang tinggi, berpegang teguh pada prinsip keadilan. Ia menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih, di mana setiap individu, tanpa memandang status sosial, harus tunduk pada hukum yang sama.
Masa kekhalifahannya menguji kesabaran dan keteguhannya dalam menegakkan syariat. Fokus utamanya adalah menyatukan kembali umat dan mengembalikan fokus pada ajaran murni Islam. Meskipun masa pemerintahannya singkat, warisan moralnya sebagai pemimpin yang adil dan sederhana terus dikenang.
Secara ringkas, Sayyidina Ali adalah perpaduan sempurna antara keberanian militer, keluasan ilmu, kedalaman spiritual, dan integritas kepemimpinan. Ia adalah teladan paripurna bagi setiap Muslim yang mencari sosok ideal dalam pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya. Kehidupan beliau adalah pelajaran hidup tentang bagaimana menjadi seorang pejuang yang berilmu, seorang pemimpin yang adil, dan seorang hamba yang tulus.