Kisah Menjelang Pertolongan: Latar Belakang Mendalam Sebelum Surat An-Nasr

Gerbang Kemenangan Ilustrasi gerbang kemenangan yang melambangkan Fathu Makkah sebagai pintu menuju tersebarnya Islam secara luas.

Surat An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah salah satu surat terakhir yang diturunkan dalam Al-Qur'an. Meskipun singkat, hanya terdiri dari tiga ayat, kandungannya sangat padat makna dan merupakan sebuah proklamasi ilahi atas kemenangan besar yang telah tiba. Ayat-ayatnya berbicara tentang pertolongan Allah, kemenangan yang nyata, dan pemandangan luar biasa di mana manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah. Untuk memahami kedalaman makna surat ini, kita tidak bisa hanya membacanya secara terpisah. Kita harus menyelami konteks sejarah yang melingkupinya, sebuah periode krusial yang penuh dengan strategi, kesabaran, dan diplomasi tingkat tinggi yang menjadi fondasi bagi kemenangan gemilang tersebut. Periode sebelum Surat An-Nasr diturunkan adalah epilog dari perjuangan panjang dan klimaks dari sebuah misi kenabian.

Perjalanan ini tidak dimulai dari derap langkah pasukan menuju Makkah, melainkan dari sebuah peristiwa yang pada awalnya tampak seperti sebuah kekalahan diplomatik: Perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini menjadi titik balik yang fundamental, mengubah dinamika kekuatan di Jazirah Arab dan membuka jalan bagi tersebarnya Islam dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Memahami Hudaibiyah adalah kunci untuk memahami mengapa Fathu Makkah bisa terjadi dengan begitu damai dan mengapa manusia kemudian masuk Islam secara massal.

Titik Balik Strategis: Perjanjian Hudaibiyah

Semuanya berawal dari kerinduan yang mendalam. Kerinduan kaum Muslimin, khususnya Rasulullah SAW dan para Muhajirin, untuk kembali mengunjungi tanah kelahiran mereka, Makkah, dan melaksanakan ibadah umrah di Baitullah. Setelah bertahun-tahun di Madinah, mimpi Rasulullah SAW menjadi pemicu perjalanan bersejarah ini. Beliau melihat dalam mimpinya bahwa beliau dan para sahabat memasuki Masjidil Haram dengan aman, mencukur rambut, dan menyelesaikan ibadah mereka. Mimpi seorang nabi adalah wahyu, dan ini menjadi sinyal ilahi bahwa waktunya telah tiba.

Berita ini menyebar dengan cepat dan disambut dengan antusiasme luar biasa. Sekitar 1.400 Muslim bersiap untuk berangkat. Penting untuk dicatat bahwa perjalanan ini murni bertujuan untuk ibadah. Mereka tidak membawa persenjataan perang, hanya pedang yang tersarung dalam sarungnya, sebagaimana layaknya musafir pada zaman itu untuk perlindungan diri. Mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan kurban (hadyu) untuk disembelih di Makkah, sebuah tanda yang jelas bagi siapa pun yang melihatnya bahwa niat mereka adalah damai.

Stagnasi di Perbatasan Makkah

Ketika rombongan Muslim mendekati Makkah dan tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, kabar kedatangan mereka telah sampai ke telinga kaum Quraisy. Ego dan permusuhan yang telah mendarah daging membuat mereka panik dan marah. Mereka menganggap kedatangan Muhammad dan pengikutnya, meskipun untuk tujuan ibadah, sebagai sebuah penghinaan dan ancaman terhadap otoritas mereka. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan kaum Muslimin memasuki kota Makkah, apa pun yang terjadi.

Kaum Quraisy mengirimkan pasukan kavaleri di bawah pimpinan Khalid bin Walid (yang saat itu belum memeluk Islam) untuk menghadang laju kaum Muslimin. Mengetahui hal ini, Rasulullah SAW dengan bijaksana mengambil rute alternatif yang lebih sulit untuk menghindari konfrontasi langsung. Akhirnya, unta beliau, yang bernama Al-Qaswa, berhenti dan berlutut di Hudaibiyah. Para sahabat mencoba membuatnya berdiri, namun unta itu tidak bergeming. Rasulullah SAW bersabda, "Bukanlah ia membangkang, tetapi ia ditahan oleh (kekuasaan) yang menahan gajah." Ini merujuk pada peristiwa tentara gajah Abrahah yang dihentikan oleh Allah saat hendak menghancurkan Ka'bah. Ini adalah isyarat ilahi bahwa di sinilah urusan ini akan diselesaikan.

Proses Negosiasi dan Bai'at ar-Ridwan

Dimulailah proses negosiasi yang alot. Rasulullah SAW mengirimkan utusan untuk menegaskan niat damai mereka, namun kaum Quraisy tetap bersikeras. Beberapa tokoh Quraisy datang untuk berunding, termasuk Urwah bin Mas'ud ats-Tsaqafi. Ia kembali kepada kaumnya dengan kesan yang mendalam, "Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada para raja, kepada Kaisar, Kisra, dan Najasyi. Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh para pengikutnya sebagaimana para sahabat Muhammad mengagungkannya. Jika ia berwudhu, mereka hampir berebut sisa air wudhunya. Jika ia berbicara, mereka merendahkan suara mereka, dan mereka tidak menajamkan pandangan kepadanya karena pengagungan mereka." Kesaksian ini menunjukkan betapa solid dan loyalnya barisan kaum Muslimin.

Puncak ketegangan terjadi ketika Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan sebagai delegasi karena statusnya yang terhormat di kalangan Quraisy. Namun, Utsman ditahan lebih lama dari yang diperkirakan, dan tersiar kabar bohong bahwa ia telah dibunuh. Berita ini menyulut kemarahan dan kesedihan di kalangan kaum Muslimin. Dalam situasi genting ini, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabatnya di bawah sebatang pohon dan meminta mereka untuk bersumpah setia (bai'at) untuk tidak lari dari medan perang dan akan berjuang sampai mati. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai Bai'at ar-Ridwan (Sumpah Setia di Bawah Keridhaan Allah), yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Sumpah setia ini menunjukkan kepada Quraisy bahwa kaum Muslimin adalah kekuatan yang bersatu dan tidak bisa diremehkan.

Melihat determinasi yang luar biasa ini, kaum Quraisy merasa gentar. Mereka segera membebaskan Utsman dan mengirimkan utusan mereka, Suhail bin Amr, untuk merumuskan sebuah perjanjian damai. Negosiasi berjalan alot, terutama karena Suhail menolak banyak istilah yang diajukan kaum Muslimin, termasuk penulisan "Bismillahirrahmanirrahim" dan "Muhammad Rasulullah". Demi tercapainya perdamaian, Rasulullah SAW menunjukkan kelapangan dada yang luar biasa dan menyetujui tuntutan tersebut.

Butir Perjanjian yang Terlihat Merugikan

Hasil akhir dari negosiasi adalah Perjanjian Hudaibiyah, yang isinya secara sekilas tampak sangat merugikan pihak Muslim:

  1. Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun.
  2. Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah pada tahun itu dan baru boleh melaksanakan umrah pada tahun berikutnya, dengan syarat hanya boleh tinggal di Makkah selama tiga hari dan tidak membawa senjata selain pedang dalam sarungnya.
  3. Siapa pun dari pihak Quraisy yang datang kepada kaum Muslimin di Madinah tanpa izin walinya, harus dikembalikan ke Makkah.
  4. Sebaliknya, siapa pun dari pihak Muslimin yang kembali ke Quraisy di Makkah, tidak akan dikembalikan ke Madinah.
  5. Suku-suku Arab lainnya bebas untuk bersekutu dengan pihak Muslimin atau pihak Quraisy.

Butir ketiga dan keempat terasa sangat tidak adil dan berat bagi para sahabat. Umar bin Khattab, dengan semangatnya yang membara, mendatangi Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memprotes perjanjian tersebut. Ia merasa kaum Muslimin berada di atas kebenaran, mengapa harus menerima syarat-syarat yang menghinakan? Namun, Rasulullah SAW dengan tenang menegaskan bahwa ini adalah perintah Allah dan beliau tidak akan menentangnya. Abu Bakar pun memberikan jawaban yang serupa, menenangkan Umar dengan keyakinan penuh pada kebijaksanaan Rasulullah.

Meskipun para sahabat merasa kecewa, mereka tetap taat. Namun, Allah segera menurunkan penegasan-Nya. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah Surat Al-Fath (Kemenangan), yang dimulai dengan ayat, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." Ini adalah konfirmasi ilahi bahwa Perjanjian Hudaibiyah, yang tampak seperti kekalahan, pada hakikatnya adalah sebuah Fathan Mubina, kemenangan yang jelas dan strategis.

Dampak Hudaibiyah: Buah Manis dari Kesabaran

Surat Al-Fath tidak hanya menenangkan hati para sahabat, tetapi juga memberikan perspektif jangka panjang. Kemenangan yang dimaksud bukanlah kemenangan militer, melainkan kemenangan strategis, diplomatik, dan dakwah. Bagaimana perjanjian yang tampak berat sebelah ini berubah menjadi keuntungan besar bagi Islam?

Terbukanya Pintu Dakwah yang Luas

Gencatan senjata selama sepuluh tahun adalah anugerah terbesar dari perjanjian ini. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, peperangan dan konflik terbuka dengan Quraisy berhenti. Ini memberikan ruang dan keamanan bagi Rasulullah SAW dan para sahabat untuk fokus pada penyebaran risalah Islam tanpa gangguan dari musuh utama mereka. Rasulullah SAW memanfaatkan periode damai ini untuk mengirimkan surat-surat kepada para penguasa dan raja di seluruh dunia, seperti Kaisar Heraklius dari Romawi, Kisra dari Persia, Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia), dan Muqawqis dari Mesir. Dakwah Islam kini beralih dari skala lokal menjadi skala internasional.

Selain itu, dengan tidak adanya permusuhan terbuka, interaksi antara kaum Muslimin di Madinah dan penduduk Makkah menjadi lebih cair. Orang-orang dapat bepergian dengan aman di antara dua kota. Hal ini memungkinkan mereka yang masih musyrik di Makkah untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat Muslim, akhlak mereka, keadilan, dan persaudaraan mereka. Mereka mendengar Al-Qur'an dibacakan dan melihat keindahan ajaran Islam dalam praktik sehari-hari. Kontak langsung ini jauh lebih efektif daripada seribu pertempuran. Banyak tokoh penting Quraisy, termasuk Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, dua ahli strategi militer terhebat Quraisy, memeluk Islam pada periode ini justru karena mereka dapat mengamati Islam dari dekat tanpa tekanan perang.

Abu Bashir dan Bumerang Perjanjian

Salah satu butir perjanjian yang paling ditentang, yaitu kewajiban mengembalikan orang Makkah yang masuk Islam ke Madinah, justru menjadi bumerang bagi Quraisy. Kisah Abu Bashir adalah contoh paling gamblang. Setelah perjanjian ditandatangani, Abu Bashir, seorang Muslim yang ditindas di Makkah, berhasil melarikan diri ke Madinah. Sesuai perjanjian, Quraisy mengirim dua orang untuk menjemputnya. Rasulullah SAW, dengan berat hati namun memegang teguh janji, menyerahkan Abu Bashir.

Namun, di tengah perjalanan kembali ke Makkah, Abu Bashir dengan cerdik berhasil merebut pedang salah satu penjaganya, membunuhnya, sementara yang satu lagi lari ketakutan kembali ke Madinah. Abu Bashir kembali menghadap Rasulullah SAW, tetapi beliau berkata, "Engkau telah menyulut api perang." Beliau tidak dapat menerimanya di Madinah karena terikat perjanjian. Memahami hal ini, Abu Bashir tidak kembali ke Makkah, melainkan pergi ke pesisir Laut Merah, di jalur kafilah dagang Quraisy.

Kabar tentang Abu Bashir menyebar. Setiap Muslim Makkah yang berhasil melarikan diri tidak lagi pergi ke Madinah, melainkan bergabung dengan Abu Bashir. Mereka membentuk sebuah kelompok gerilya kecil yang efektif, mencegat dan merampas kafilah dagang Quraisy yang lewat. Aktivitas mereka sangat merugikan perekonomian Makkah. Akhirnya, kaum Quraisy sendiri yang tidak tahan. Mereka mengirim surat kepada Rasulullah SAW, memohon agar beliau mau menerima para pengikut Abu Bashir di Madinah dan membatalkan butir perjanjian yang merugikan mereka itu. Sebuah klausul yang awalnya dibuat untuk menekan kaum Muslimin, kini justru Quraisy sendiri yang memohon untuk menghapusnya. Ini adalah bukti nyata bagaimana ketetapan Allah bekerja dengan cara yang tidak terduga.

Ledakan Jumlah Pengikut Islam

Sejarah mencatat bahwa jumlah orang yang masuk Islam dalam dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah jauh lebih banyak daripada jumlah seluruh pemeluk Islam sejak awal kenabian hingga saat itu. Saat berangkat ke Hudaibiyah, jumlah kaum Muslimin adalah sekitar 1.400 orang. Dua tahun kemudian, saat Fathu Makkah, Rasulullah SAW memimpin pasukan yang berjumlah 10.000 orang. Pertumbuhan eksponensial ini adalah buah langsung dari iklim damai yang diciptakan oleh perjanjian tersebut, yang memungkinkan dakwah menyebar tanpa hambatan. Perjanjian Hudaibiyah benar-benar sebuah "kemenangan yang nyata".

Pelanggaran Janji: Pemicu Fathu Makkah

Kondisi damai dan pertumbuhan pesat Islam ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Sesuai perjanjian, suku-suku Arab bebas memilih aliansi. Bani Khuza'ah, sebuah suku yang telah lama memiliki hubungan baik dengan Bani Hasyim, memilih untuk bersekutu dengan Rasulullah SAW. Sementara itu, musuh bebuyutan mereka, Bani Bakar, memilih untuk bersekutu dengan Quraisy.

Ketegangan lama antara dua suku ini akhirnya meledak. Di suatu malam, Bani Bakar, dengan dukungan persenjataan dan personil dari beberapa tokoh Quraisy secara sembunyi-sembunyi, melancarkan serangan mendadak terhadap Bani Khuza'ah di sebuah tempat bernama Al-Watir. Banyak anggota Bani Khuza'ah yang terbunuh, bahkan ketika mereka mencoba mencari perlindungan di dekat Tanah Haram Makkah.

Tindakan ini adalah pelanggaran yang sangat jelas dan fatal terhadap Perjanjian Hudaibiyah. Quraisy tidak hanya gagal mencegah sekutunya menyerang sekutu Muslim, tetapi mereka juga terlibat aktif dalam serangan tersebut. Ini adalah pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah mereka buat.

Amr bin Salim Al-Khuza'i, pemimpin Bani Khuza'ah, segera berangkat ke Madinah. Ia berdiri di hadapan Rasulullah SAW di dalam masjid dan membacakan syair yang mengharukan, menceritakan pengkhianatan Bani Bakar dan Quraisy, serta memohon pertolongan sesuai dengan perjanjian aliansi mereka. Wajah Rasulullah SAW memerah karena marah mendengar kabar tersebut. Beliau berdiri dan berkata, "Engkau akan ditolong, wahai Amr bin Salim!" Keputusan telah dibuat. Pelanggaran ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Menyadari kesalahan fatal yang telah mereka perbuat dan memahami konsekuensinya, para pemimpin Quraisy panik. Mereka mengutus pemimpin tertinggi mereka, Abu Sufyan bin Harb, untuk pergi ke Madinah guna mencoba memperbaiki keadaan dan memperbarui perjanjian. Namun, nasi telah menjadi bubur. Abu Sufyan mencoba berbicara dengan Rasulullah SAW, tetapi beliau tidak memberikan jawaban. Ia kemudian mendatangi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib untuk meminta bantuan mediasi, tetapi semua menolaknya. Mereka tahu bahwa Quraisy telah melanggar batas. Pintu diplomasi telah tertutup oleh pengkhianatan mereka sendiri. Abu Sufyan kembali ke Makkah dengan tangan hampa dan perasaan cemas yang luar biasa, membawa kabar bahwa Madinah sedang bersiap untuk sesuatu yang besar.

Mobilisasi Senyap Menuju Kemenangan Puncak

Rasulullah SAW kini mulai mempersiapkan ekspedisi terbesar dalam sejarah Islam hingga saat itu. Namun, beliau melakukannya dengan sangat rahasia. Tujuannya bukanlah untuk menumpahkan darah di kota suci Makkah, melainkan untuk menciptakan efek kejut yang begitu besar sehingga Quraisy tidak punya pilihan selain menyerah tanpa perlawanan. Sebuah penaklukan tanpa pertumpahan darah adalah tujuan utamanya.

Beliau mengirimkan utusan ke suku-suku sekutu di sekitar Madinah untuk bergabung, tanpa memberitahukan tujuan pastinya. Beliau juga berdoa, "Ya Allah, butakanlah mata-mata dan informan Quraisy sehingga kami bisa mendatangi mereka secara tiba-tiba." Perintah untuk berkumpul dikeluarkan, dan dalam waktu singkat, terkumpullah pasukan raksasa yang terdiri dari 10.000 prajurit yang setia.

Ujian Kesetiaan: Kisah Hatib bin Abi Balta'ah

Di tengah kerahasiaan yang dijaga ketat ini, terjadi sebuah insiden yang menguji kebijaksanaan Rasulullah SAW. Seorang sahabat veteran Perang Badar, Hatib bin Abi Balta'ah, melakukan kesalahan besar. Ia menulis surat kepada Quraisy untuk memberitahukan tentang persiapan kaum Muslimin. Ia memberikan surat itu kepada seorang wanita untuk diselundupkan ke Makkah. Namun, wahyu dari Allah memberitahukan rencana ini kepada Rasulullah SAW.

Beliau segera mengutus Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lainnya untuk mencegat wanita tersebut. Setelah didesak, wanita itu akhirnya mengeluarkan surat yang disembunyikannya di gelungan rambutnya. Surat itu dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Umar bin Khattab sangat marah dan meminta izin untuk memenggal kepala Hatib yang dianggapnya telah berkhianat.

Namun, Rasulullah SAW menunjukkan sifat welas asihnya. Beliau bertanya kepada Hatib, "Apa yang mendorongmu melakukan ini?" Hatib menjawab dengan jujur, "Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad atau berubah. Aku hanya seorang yang tidak memiliki keluarga kuat di Makkah, sementara sahabat Muhajirin lainnya memiliki kerabat yang melindungi keluarga dan harta mereka di sana. Aku ingin mendapatkan jasa di mata Quraisy agar mereka melindungi keluargaku. Aku tahu bahwa pertolongan Allah pasti akan datang dan suratku tidak akan membahayakanmu."

Mendengar pengakuan yang jujur ini, Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, "Dia telah berkata jujur kepada kalian." Beliau kemudian mengingatkan Umar, "Tidakkah engkau tahu, wahai Umar, bahwa Allah telah melihat para pejuang Badar dan berfirman, 'Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian'?" Air mata Umar pun berlinang. Insiden ini menunjukkan betapa Rasulullah SAW mampu membedakan antara pengkhianatan yang lahir dari kebencian dan kesalahan yang lahir dari kelemahan manusiawi. Kerahasiaan misi pun tetap terjaga.

Perang Psikologis di Marr Az-Zahran

Pasukan besar itu bergerak menuju Makkah. Ketika mereka tiba di sebuah lembah dekat Makkah yang bernama Marr Az-Zahran, mereka berkemah di sana pada malam hari. Untuk memberikan tekanan psikologis kepada Quraisy, Rasulullah SAW memerintahkan setiap prajurit untuk menyalakan api unggun sendiri. Sepuluh ribu api unggun menyala serentak, menerangi lembah dan langit malam, menciptakan pemandangan yang spektakuler dan menakutkan bagi siapa pun yang melihatnya dari Makkah.

Abu Sufyan, yang dengan cemas keluar dari Makkah untuk mencari informasi, terkejut melihat lautan api tersebut. Ia tidak pernah membayangkan kekuatan sebesar ini. Pada saat itulah, ia bertemu dengan Al-Abbas, paman Rasulullah SAW, yang telah memeluk Islam sebelumnya. Al-Abbas, yang mengkhawatirkan nasib kaumnya, menasihati Abu Sufyan untuk segera menghadap Rasulullah SAW dan memohon keamanan sebelum pasukan memasuki Makkah.

Al-Abbas membawa Abu Sufyan ke perkemahan Muslim. Ketika Umar bin Khattab melihat Abu Sufyan, musuh lama Islam, ia segera meminta izin untuk membunuhnya. Namun, Al-Abbas menyatakan bahwa ia telah memberikan perlindungan kepadanya. Abu Sufyan akhirnya dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Terjadilah dialog yang menentukan nasib Makkah. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Celakalah engkau, wahai Abu Sufyan! Tidakkah sudah saatnya engkau mengetahui bahwa tidak ada tuhan selain Allah?" Abu Sufyan menjawab, "Betapa pemurah, penyantun, dan baiknya engkau. Aku sudah menduga jika ada tuhan lain selain Allah, tentu ia akan menolongku." Rasulullah kembali bertanya, "Tidakkah sudah saatnya engkau mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?" Abu Sufyan masih ragu, namun atas desakan Al-Abbas, ia akhirnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Keesokan harinya, untuk memastikan penyerahan total Makkah, Rasulullah SAW memerintahkan Al-Abbas untuk menahan Abu Sufyan di sebuah tempat yang sempit di jalan masuk Makkah agar ia bisa menyaksikan sendiri parade pasukan Muslim yang lewat. Suku-suku yang datang dengan panji-panji mereka berbaris dengan gagah. Abu Sufyan gemetar melihat kekuatan yang tidak mungkin dilawan. Ia berkata kepada Al-Abbas, "Sungguh, kerajaan keponakanmu telah menjadi sangat besar." Al-Abbas mengoreksinya, "Ini adalah kenabian."

Setelah itu, Rasulullah SAW memberikan sebuah kehormatan kepada Abu Sufyan untuk meredam egonya dan memastikan penaklukan berjalan damai. Beliau mengumumkan, "Barangsiapa memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, maka ia aman." Abu Sufyan segera bergegas kembali ke Makkah dan berteriak sekuat tenaga, mengumumkan jaminan keamanan tersebut. Pengumumannya mematahkan sisa-sisa semangat perlawanan yang mungkin masih ada. Makkah telah siap untuk ditaklukkan tanpa pertempuran.

Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Tetesan Darah

Pada pagi hari yang cerah, pasukan Muslim yang besar memasuki kota suci Makkah dari empat penjuru berbeda. Rasulullah SAW memimpin pasukan utama, memasuki kota dengan kepala tertunduk di atas untanya, sebuah gestur kerendahan hati yang luar biasa di puncak kemenangan. Beliau tidak memasuki Makkah sebagai seorang penakluk yang angkuh, tetapi sebagai hamba Allah yang bersyukur.

Perintahnya sangat jelas dan tegas: jangan ada pertumpahan darah. Jangan membunuh siapa pun kecuali mereka yang menyerang terlebih dahulu. Sebagian besar penduduk Makkah mematuhi seruan Abu Sufyan dan berlindung di rumah mereka atau di Masjidil Haram. Hanya ada sedikit perlawanan kecil di salah satu sisi kota yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal, yang dengan cepat dapat diatasi. Secara keseluruhan, penaklukan Makkah, atau Fathu Makkah, adalah sebuah kemenangan damai yang fenomenal.

Pembersihan Ka'bah dari Berhala

Tujuan pertama Rasulullah SAW setibanya di Makkah adalah Masjidil Haram. Di sekeliling Ka'bah, berdiri tegak 360 berhala yang telah disembah oleh kaum Arab selama berabad-abad, mencemari rumah yang pertama kali dibangun untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Dengan tongkat di tangannya, Rasulullah SAW mulai menunjuk satu per satu berhala tersebut sambil membacakan firman Allah dari Surat Al-Isra', "Dan katakanlah, 'Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sungguh, yang batil itu pasti lenyap." Setiap kali ujung tongkatnya menyentuh sebuah berhala, berhala itu pun jatuh tersungkur.

Ini adalah momen simbolis yang luar biasa. Pembersihan fisik Ka'bah dari berhala melambangkan pembersihan spiritual Jazirah Arab dari kemusyrikan. Era jahiliyah telah runtuh, dan era tauhid telah tegak dengan kokoh di pusat spiritualnya. Setelah semua berhala dihancurkan, Bilal bin Rabah naik ke atap Ka'bah dan mengumandangkan azan. Gema suaranya, suara seorang mantan budak yang dulu disiksa karena mengucapkan "Ahad, Ahad", kini memenuhi seluruh lembah Makkah, memproklamasikan kebesaran Allah.

Puncak Kemanusiaan: Pidato Pemaafan

Setelah itu, Rasulullah SAW berdiri di depan pintu Ka'bah. Di hadapannya, berkumpul kaum Quraisy yang tertunduk lesu. Mereka adalah orang-orang yang selama lebih dari dua dekade telah memusuhi beliau, menyiksa para pengikutnya, memboikotnya, mengusirnya dari tanah kelahirannya, dan memeranginya berkali-kali. Mereka kini berada sepenuhnya dalam genggaman kekuasaannya. Nyawa dan harta mereka bergantung pada satu kata darinya.

Dalam salah satu momen paling agung dalam sejarah manusia, Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, "Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?"

Mereka, yang mengenal beliau sebagai pribadi yang mulia sejak kecil, menjawab dengan penuh harap, "Kami mengharapkan kebaikan. Engkau adalah saudara yang mulia, putra dari saudara kami yang mulia."

Maka, Rasulullah SAW memberikan jawaban yang akan selamanya menjadi standar tertinggi bagi pengampunan dan kemurahan hati. Beliau berkata, "Aku akan mengatakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya: 'Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, semoga Allah mengampuni kalian.' Pergilah, sesungguhnya kalian semua bebas."

Amnesti massal diberikan. Tidak ada balas dendam, tidak ada penjarahan, tidak ada penghukuman. Kebijakan ini menghancurkan semua ketakutan dan keraguan di hati penduduk Makkah. Mereka menyaksikan secara langsung esensi ajaran Islam: rahmat, pengampunan, dan kebesaran jiwa.

Gerbang Menuju An-Nasr

Inilah konteks yang melahirkan Surat An-Nasr. Fathu Makkah adalah manifestasi fisik dari "pertolongan Allah dan kemenangan" (nasrullahi wal fath) yang disebutkan dalam ayat pertama. Penaklukan damai ini, yang berakar dari kesabaran di Hudaibiyah, adalah kemenangan strategis dan moral yang tiada tanding.

Dampak dari pengampunan massal dan keagungan akhlak yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sangatlah dahsyat. Pemandangan selanjutnya adalah persis seperti yang digambarkan dalam ayat kedua: "Dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong."

Setelah jatuhnya Makkah, pusat kekuatan dan spiritualitas Arab, suku-suku dari seluruh penjuru Jazirah Arab tidak lagi memiliki keraguan. Mereka menyadari bahwa Muhammad SAW bukanlah sekadar seorang pemimpin politik, tetapi benar-benar seorang utusan Tuhan. Delegasi-delegasi (wufud) dari berbagai suku mulai berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara massal. Periode setelah Fathu Makkah dikenal sebagai "Tahun Delegasi" karena begitu banyaknya suku yang datang untuk memeluk Islam. Pemandangan manusia yang berduyun-duyun memeluk agama Allah adalah realitas yang disaksikan oleh para sahabat setiap hari.

Oleh karena itu, ketika Surat An-Nasr diturunkan, surat ini berfungsi sebagai sebuah komentar ilahi atas semua peristiwa ini. Surat ini adalah penegasan bahwa kemenangan akhir bukanlah hasil dari kekuatan militer semata, tetapi murni pertolongan dari Allah. Ia juga merupakan sinyal bahwa misi kenabian telah mendekati puncaknya. Tugas untuk menyampaikan risalah telah hampir tuntas. Inilah mengapa, setelah melihat buah dari perjuangan panjang—yaitu manusia memeluk Islam secara massal—perintah selanjutnya adalah "bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya." Ini adalah seruan untuk bersyukur, memuji kebesaran Allah atas nikmat kemenangan, dan memohon ampunan sebagai persiapan untuk kembali ke haribaan-Nya.

Memahami rangkaian peristiwa sebelum Surat An-Nasr—dari diplomasi brilian di Hudaibiyah, kesabaran dalam menghadapi provokasi, hingga eksekusi Fathu Makkah yang penuh rahmat—memberikan kita pemahaman yang utuh. Surat ini bukan sekadar pemberitahuan tentang kemenangan, melainkan sebuah penutup agung dari sebuah saga perjuangan, kesabaran, dan pertolongan ilahi yang luar biasa.

🏠 Homepage