Misteri Tempat Turunnya Surah An-Nas: Mekkah atau Madinah?

الناس Kaligrafi Surah An-Nas dalam bentuk perisai sebagai simbol perlindungan

Surah An-Nas, surah terakhir dalam mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surah yang paling akrab di telinga dan lisan umat Islam. Bersama Surah Al-Falaq, ia dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain, dua surah perlindungan yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ sebagai benteng dari segala jenis kejahatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Namun, di balik keagungan maknanya, terdapat sebuah diskusi menarik di kalangan para ulama mengenai di mana surah ini pertama kali diwahyukan. Pertanyaan sentralnya adalah: apakah Surah An-Nas diturunkan di kota Mekkah (Makkiyah) atau di Madinah (Madaniyah)?

Menyelami perdebatan ini bukan sekadar mencari jawaban geografis, melainkan membuka jendela untuk memahami konteks sejarah, sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul), serta karakteristik wahyu pada periode yang berbeda. Kedua pandangan ini memiliki argumentasi yang kuat, didukung oleh riwayat dan analisis para mufassir terkemuka. Mari kita kupas tuntas perdebatan ilmiah ini untuk memperdalam pemahaman kita tentang surah yang agung ini.

Pandangan Pertama: Surah An-Nas adalah Surah Makkiyah

Sebagian besar ulama, termasuk di antaranya Ibnu Mas'ud, Al-Hasan Al-Bashri, Ikrimah, 'Atha, dan Jabir bin Zaid, berpendapat bahwa Surah An-Nas tergolong sebagai surah Makkiyah. Argumentasi mereka tidak hanya berlandaskan pada riwayat, tetapi juga pada analisis isi dan gaya bahasa surah itu sendiri.

Karakteristik Surah Makkiyah

Surah-surah yang turun di Mekkah, sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ, memiliki ciri khas yang membedakannya dari surah-surah Madaniyah. Ciri-ciri ini sangat relevan ketika menganalisis Surah An-Nas.

1. Fokus pada Fondasi Akidah

Periode Mekkah adalah periode penanaman pondasi iman. Wahyu yang turun pada masa ini banyak berfokus pada pilar-pilar akidah, seperti pengesaan Allah (tauhid), kenabian, dan hari akhir. Surah An-Nas, dengan penekanannya yang luar biasa pada tiga sifat Allah—Rabb (Tuhan Pemelihara), Malik (Raja), dan Ilah (Sesembahan)—secara langsung meneguhkan konsep tauhid yang paling murni. Ia mengajarkan manusia untuk hanya bergantung dan memohon perlindungan kepada satu-satunya entitas yang memiliki ketiga sifat absolut ini. Tema ini sangat selaras dengan dakwah di Mekkah yang bertujuan membersihkan masyarakat dari politeisme dan penyembahan berhala.

2. Gaya Bahasa yang Puitis dan Ringkas

Surah-surah Makkiyah seringkali memiliki ayat-ayat yang pendek, ritmis, dan bahasanya sangat kuat serta puitis. Tujuannya adalah untuk menggugah hati kaum Quraisy yang terkenal dengan kefasihan sastra mereka. Surah An-Nas memiliki semua karakteristik ini. Ayat-ayatnya pendek, berirama dengan rima akhir yang sama (an-nās, al-khannās, an-nās, an-nās), dan sangat mudah dihafal. Strukturnya yang ringkas namun padat makna adalah ciri khas gaya bahasa Al-Qur'an periode Mekkah.

3. Tema Universal Kemanusiaan

Surah ini menggunakan kata "An-Nas" (Manusia) sebanyak lima kali dalam enam ayat. Ini menunjukkan bahwa pesannya bersifat universal, ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang suku, bangsa, atau agama. Pesan untuk berlindung dari bisikan jahat adalah kebutuhan fundamental setiap insan. Pendekatan universal ini juga merupakan ciri dakwah di Mekkah, yang memperkenalkan Islam kepada seluruh dunia.

Berdasarkan analisis ini, para pendukung pandangan Makkiyah meyakini bahwa Surah An-Nas adalah bagian dari wahyu-wahyu awal yang membentuk dasar keimanan seorang Muslim. Ia mengajarkan konsep paling fundamental: bahwa satu-satunya tempat berlindung yang hakiki adalah Allah, Tuhan seluruh manusia.

Pandangan Kedua: Surah An-Nas adalah Surah Madaniyah

Di sisi lain, terdapat pandangan kuat yang menyatakan bahwa Surah An-Nas diturunkan di Madinah. Pandangan ini dipegang oleh sejumlah ulama lain dan didasarkan pada dalil yang sangat spesifik, yaitu riwayat mengenai Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) surah ini. Riwayat ini sangat masyhur dan menjadi pilar utama argumentasi Madaniyah.

Dalil Utama: Kisah Sihir Labid bin Al-A'sam

Argumentasi terkuat bagi pandangan Madaniyah berpusat pada sebuah peristiwa yang menimpa Rasulullah ﷺ di Madinah. Diriwayatkan dalam banyak hadits shahih, di antaranya oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa seorang Yahudi dari kabilah Bani Zuraiq bernama Labid bin Al-A'sam melakukan sihir terhadap Nabi Muhammad ﷺ.

Sihir tersebut dibuat menggunakan beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir, yang kemudian diikat pada sebuah sisir dan beberapa simpul tali, lalu dimasukkan ke dalam mayang kurma jantan dan dibuang ke dalam sumur tua bernama Dzarwan.

Akibat sihir ini, Rasulullah ﷺ merasakan sakit yang cukup parah. Beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal tidak melakukannya, dan terkadang merasa bingung. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga pada suatu malam, saat beliau sedang tidur, dua malaikat (Jibril dan Mikail) datang dalam mimpinya. Salah satunya duduk di dekat kepala beliau dan yang lain di dekat kakinya.

Mereka berdialog, menginformasikan bahwa Nabi sedang terkena sihir, siapa yang melakukannya, dengan media apa, dan di mana sihir itu disembunyikan. Setelah terbangun, Rasulullah ﷺ mengutus beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Mereka menemukan bungkusan sihir persis seperti yang digambarkan dalam mimpi. Setelah bungkusan itu diangkat, Allah menurunkan dua surah sekaligus: Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas. Setiap kali satu ayat dari kedua surah ini dibacakan, satu simpul dari sebelas simpul sihir itu terlepas, hingga akhirnya Rasulullah ﷺ sembuh total dan merasa segar seakan terlepas dari ikatan yang kuat.

Kisah ini menjadi bukti yang sangat kuat bagi para pendukung pandangan Madaniyah. Alasannya jelas:

  1. Lokasi Peristiwa: Peristiwa sihir ini terjadi di Madinah. Labid bin Al-A'sam adalah seorang Yahudi Madinah, dan interaksi dengan komunitas Yahudi merupakan karakteristik periode Madinah.
  2. Konteks Wahyu: Turunnya kedua surah ini secara langsung terkait sebagai solusi dan penyembuh (ruqyah) dari sihir tersebut. Ini menjadikan peristiwa sihir sebagai Asbabun Nuzul yang jelas dan spesifik.

Oleh karena itu, para ulama yang berpegang pada riwayat ini, seperti Ibnu Abbas dalam salah satu riwayatnya, Qatadah, dan mayoritas mufassir kontemporer, menyimpulkan bahwa Al-Mu'awwidzatain, termasuk Surah An-Nas, adalah surah Madaniyah.

Jalan Tengah: Upaya Harmonisasi Dua Pandangan (Al-Jam'u wat Taufiq)

Menghadapi dua pandangan yang sama-sama memiliki dasar yang kuat, sebagian ulama mencoba mencari jalan tengah atau melakukan harmonisasi (al-jam'u). Mereka berpendapat bahwa kedua pandangan tersebut tidak perlu dipertentangkan secara mutlak. Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan hal ini:

1. Wahyu yang Turun Berulang Kali

Salah satu penjelasan yang paling populer adalah bahwa Surah An-Nas (dan Al-Falaq) turun dua kali. Turun pertama kali di Mekkah sebagai peneguhan akidah dan pengajaran umum tentang perlindungan. Kemudian, surah ini diturunkan kembali di Madinah sebagai penegasan dan jawaban langsung atas peristiwa sihir yang menimpa Nabi ﷺ. Konsep wahyu yang turun lebih dari sekali bukanlah hal yang asing dalam studi Ulumul Qur'an. Tujuannya adalah untuk menekankan kembali pentingnya ayat atau surah tersebut dalam konteks yang baru.

2. Perbedaan Antara "Turun Pertama Kali" dan "Turun Sebagai Penekanan"

Penjelasan lain adalah membedakan antara waktu turunnya sebagai bagian dari Al-Qur'an dan waktu turunnya sebagai pengingat atau jawaban atas suatu peristiwa. Menurut skenario ini, surah ini memang turun di Mekkah (sebagai surah Makkiyah). Namun, ketika peristiwa sihir terjadi di Madinah, Malaikat Jibril datang kembali dan mengingatkan Nabi ﷺ untuk membaca surah ini sebagai obat. Sehingga, riwayat yang mengaitkannya dengan peristiwa sihir di Madinah tidak menceritakan wahyu yang pertama kali, melainkan penegasan akan fungsinya pada saat yang genting tersebut.

Pendekatan harmonisasi ini dianggap sebagai solusi yang elegan karena menghargai kedua jenis dalil: dalil yang berdasarkan analisis karakteristik surah (yang mengarah ke Makkiyah) dan dalil yang berdasarkan riwayat Asbabun Nuzul yang spesifik (yang mengarah ke Madaniyah).

Tadabbur Mendalam Surah An-Nas: Ayat demi Ayat

Terlepas dari perdebatan tempat turunnya, keagungan Surah An-Nas terletak pada kedalaman maknanya. Mari kita selami pesan perlindungan total yang terkandung di dalamnya, ayat demi ayat.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ (١)

Ayat 1: "Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.'"

Perintah "Qul" (Katakanlah) di awal surah ini bersifat langsung dan tegas. Ini bukan sekadar permohonan dalam hati, tetapi sebuah deklarasi lisan yang diucapkan dengan penuh keyakinan. Kita diperintahkan untuk mendeklarasikan pencarian perlindungan kita.

Kepada siapa kita berlindung? Kepada "Rabbin-nās" (Tuhannya manusia). Sifat Rububiyyah (ketuhanan dalam pemeliharaan) disebut pertama kali. Rabb bukanlah sekadar "Tuhan" dalam arti pencipta, tetapi juga Pemelihara, Pengatur, Pendidik, Pemberi rezeki, dan yang menumbuhkan segala sesuatu. Dengan menyebut "Rabb," kita mengakui bahwa Allah adalah sumber segala penjagaan dan pemeliharaan dalam hidup kita. Dialah yang mengurus kita sejak dalam kandungan hingga kita kembali kepada-Nya. Meminta perlindungan kepada-Nya berarti kembali kepada sumber pemeliharaan yang sejati.

مَلِكِ النَّاسِۙ (٢)

Ayat 2: "Rajanya manusia."

Setelah mengakui Allah sebagai Pemelihara, kita diajak untuk mengakui-Nya sebagai "Malikin-nās" (Rajanya manusia). Sifat Mulk (kerajaan atau kedaulatan) menunjukkan kekuasaan absolut. Jika Rabb berbicara tentang pemeliharaan dan kasih sayang, Malik berbicara tentang kekuatan, otoritas, dan kendali mutlak. Tidak ada penguasa di dunia ini yang kekuasaannya sejati. Mereka semua berada di bawah kekuasaan Sang Raja sejati. Dengan berlindung kepada-Nya sebagai Raja, kita mengakui bahwa tidak ada kekuatan lain yang dapat membahayakan kita tanpa izin-Nya. Kita sedang meminta proteksi dari Penguasa Tertinggi alam semesta.

اِلٰهِ النَّاسِۙ (٣)

Ayat 3: "Sesembahannya manusia."

Puncaknya adalah pengakuan terhadap Allah sebagai "Ilāhin-nās" (Sesembahannya manusia). Sifat Uluhiyyah adalah hak mutlak Allah untuk disembah. Setelah mengakui-Nya sebagai Pemelihara (Rabb) dan Raja (Malik), konsekuensi logisnya adalah hanya Dia yang berhak menjadi tujuan dari segala ibadah (Ilah). Inilah inti dari tauhid. Ketika kita berlindung kepada "Sesembahan manusia," kita sedang menyatakan bahwa hanya kepada-Nya kita menundukkan diri, hanya kepada-Nya kita beribadah, dan hanya dari-Nya kita memohon. Ini adalah pemurnian total dari segala bentuk syirik dan ketergantungan kepada selain Allah.

Tiga ayat pertama ini membangun benteng pertahanan yang paling kokoh. Kita berlindung dengan menyebut tiga sifat Allah yang paling fundamental: Rububiyyah, Mulk, dan Uluhiyyah. Ini adalah pengakuan total akan keesaan dan keagungan Allah sebelum kita menyebutkan dari kejahatan apa kita berlindung.

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ (٤)

Ayat 4: "Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi."

Di sinilah kita mulai menyebutkan sumber kejahatan utama yang kita hadapi. Kejahatan itu adalah "Syarril-waswāsil-khannās". Mari kita pecah frasa ini:

Jadi, kita meminta perlindungan dari musuh yang tak terlihat, yang serangannya bersifat psikologis dan internal, dan taktiknya adalah "serang dan lari". Ini adalah musuh yang jauh lebih berbahaya daripada musuh fisik yang terlihat.

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ (٥)

Ayat 5: "Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia."

Ayat ini menjelaskan di mana target serangan al-waswas. Ia membisikkan kejahatannya "fī ṣudūrin-nās" (ke dalam dada manusia). Kata "sudur" (bentuk jamak dari "shadr" yang berarti dada) secara metaforis merujuk pada pusat emosi, niat, dan keyakinan seseorang, yaitu hati (qalb). Serangan ini langsung menuju ke pusat kendali kita. Setan tidak memaksa secara fisik, tetapi ia mempengaruhi pusat pengambilan keputusan kita. Ia menanamkan keraguan, keinginan buruk, dan ketakutan di dalam hati, berharap kita akan mengikutinya dengan perbuatan.

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (٦)

Ayat 6: "Dari (golongan) jin dan manusia."

Inilah penutup yang luar biasa dan seringkali kurang direnungkan. Ayat ini menjelaskan bahwa sumber bisikan jahat (waswas) itu bukan hanya satu, melainkan ada dua: "minal jinnati wan-nās" (dari jin dan manusia).

Dengan demikian, Surah An-Nas memberikan sebuah formula perlindungan yang komprehensif. Kita diajarkan untuk berlindung kepada Tuhan, Raja, dan Sesembahan seluruh manusia, dari kejahatan bisikan yang tersembunyi, yang menargetkan hati kita, yang sumbernya bisa berasal dari dunia gaib (jin) maupun dunia nyata (manusia).

Kesimpulan: Pesan Universal di Balik Perdebatan

Kembali ke pertanyaan awal: apakah Surah An-Nas diturunkan di Mekkah atau Madinah? Jawaban yang paling bijaksana mungkin adalah dengan menghargai kedua pandangan tersebut. Analisis karakteristik surah menunjukkan kemiripan kuat dengan surah-surah Makkiyah yang fokus pada akidah. Di sisi lain, riwayat Asbabun Nuzul yang shahih memberikan konteks Madaniyah yang sangat spesifik dan kuat.

Mungkin saja ia turun di Mekkah sebagai fondasi, dan diturunkan kembali di Madinah sebagai aplikasi praktis dalam menghadapi ancaman nyata. Atau mungkin, hikmah dari adanya dua pandangan ini adalah untuk mengajarkan kita bahwa pesan Surah An-Nas bersifat transenden—ia relevan baik dalam fase pembangunan iman di Mekkah maupun dalam fase pembangunan masyarakat dan menghadapi musuh eksternal di Madinah.

Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah di mana ia turun, melainkan bagaimana ia "turun" ke dalam hati kita. Apakah kita sudah menjadikannya sebagai benteng harian? Apakah kita sudah merenungkan tiga sifat agung Allah sebagai sumber perlindungan? Dan apakah kita sudah waspada terhadap bisikan-bisikan jahat, baik yang datang dari jin maupun dari manusia?

Surah An-Nas adalah penutup Al-Qur'an, namun ia adalah pembuka bagi kehidupan seorang mukmin yang selalu mencari perlindungan kepada Rabb, Malik, dan Ilah-nya. Ia adalah doa, dzikir, dan deklarasi iman yang abadi.

🏠 Homepage