Memahami Makna Surah An-Nasr: Pertolongan dan Kemenangan Hakiki
Surah An-Nasr adalah surah ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, sebuah surah yang meski hanya terdiri dari tiga ayat pendek, namun sarat dengan makna historis, teologis, dan spiritual yang luar biasa dalam. Namanya, "An-Nasr," secara harfiah berarti "Pertolongan." Surah ini tidak hanya berbicara tentang pertolongan biasa, tetapi pertolongan ilahi yang membuahkan kemenangan gemilang bagi Islam dan kaum Muslimin. Ia merupakan penanda sebuah fase krusial dalam sejarah risalah Nabi Muhammad SAW, sekaligus mengandung pesan universal yang relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman. Memahami surah ini berarti menyelami esensi perjuangan, hakikat kemenangan, dan adab yang seharusnya dimiliki seorang hamba ketika berada di puncak kejayaan.
Surah ini tergolong sebagai surah Madaniyyah, yakni surah yang diturunkan setelah periode hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Para ulama tafsir mayoritas berpendapat bahwa Surah An-Nasr merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surah utuh terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW. Konteks pewahyuannya sangat erat kaitannya dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah), sebuah momen klimaks dalam perjuangan dakwah Nabi selama lebih dari dua dekade. Surah ini menjadi semacam proklamasi ilahi atas tuntasnya sebuah misi agung dan pengukuhan atas janji Allah yang telah terbukti kebenarannya.
Teks, Transliterasi, dan Terjemahan Surah An-Nasr
Untuk memahami kedalaman maknanya, mari kita telaah terlebih dahulu teks asli surah ini, beserta cara baca dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh, innahụ kāna tawwābā
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Wahyu
Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat atau surah adalah kunci untuk membuka lapisan-lapisan maknanya. Surah An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang sangat spesifik dan monumental. Mayoritas ulama, termasuk Imam Ahmad dan lainnya, meriwayatkan bahwa surah ini diturunkan di Mina pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) Nabi Muhammad SAW, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Ini adalah momen reflektif, di mana Nabi SAW menyampaikan khutbahnya yang terkenal, merangkum prinsip-prinsip fundamental Islam di hadapan lebih dari seratus ribu jamaah haji.
Meskipun diturunkan setelah peristiwa Fathu Makkah, isi surah ini secara langsung merujuk pada kemenangan besar tersebut. Fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah adalah puncak dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Selama bertahun-tahun, kaum Muslimin mengalami penindasan, boikot, pengusiran, dan peperangan dari kaum kafir Quraisy di Mekkah. Kemenangan ini bukanlah kemenangan biasa; ia adalah pembebasan kota suci Mekkah, pusat spiritual Jazirah Arab, dari cengkeraman paganisme dan penyembahan berhala. Ka'bah, rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah, akhirnya disucikan kembali dari berhala-berhala yang mengotorinya.
Peristiwa ini bermula dari pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah oleh kaum Quraisy. Perjanjian yang disepakati pada tahun ke-6 Hijriah ini seharusnya menciptakan gencatan senjata selama sepuluh tahun antara Muslim Madinah dan Quraisy Mekkah. Namun, sekutu Quraisy, Bani Bakar, menyerang sekutu Muslim, Bani Khuza'ah, dan Quraisy turut membantu penyerangan tersebut. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi bagi Nabi Muhammad SAW untuk memobilisasi pasukan terbesar yang pernah ada saat itu, sekitar 10.000 prajurit, untuk bergerak menuju Mekkah.
Namun, yang membuat Fathu Makkah begitu istimewa adalah sifatnya yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Dengan strategi yang brilian dan pertolongan Allah yang nyata, Nabi Muhammad SAW memasuki kota kelahirannya sebagai seorang pemenang yang penuh welas asih. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Mekkah, termasuk musuh-musuh bebuyutannya yang telah menyiksanya dan para pengikutnya selama bertahun-tahun. Momen inilah yang menjadi magnet luar biasa bagi suku-suku Arab lainnya. Mereka yang tadinya ragu-ragu dan menunggu siapa yang akan memenangkan pertarungan ideologis antara Islam dan paganisme Quraisy, kini melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran dan kekuatan Islam. Setelah Fathu Makkah, delegasi dari berbagai kabilah di seluruh Jazirah Arab berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Inilah realisasi dari frasa "manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
Dalam konteks inilah Surah An-Nasr turun. Ia bukan sekadar laporan kemenangan, melainkan sebuah konfirmasi ilahi atas apa yang telah terjadi dan sebuah petunjuk tentang apa yang harus dilakukan setelah kemenangan itu diraih. Surah ini menjadi semacam epilog dari sebuah drama perjuangan yang panjang, sekaligus prolog untuk fase selanjutnya bagi umat Islam.
Tafsir Mendalam Setiap Ayat Surah An-Nasr
Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi ilahi. Untuk benar-benar mengerti mengapa Surah An-Nasr adalah surah yang begitu penting, kita harus membedah setiap ayatnya secara rinci.
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat pertama ini menetapkan dua syarat utama yang menjadi landasan bagi peristiwa selanjutnya. Mari kita urai satu per satu:
- إِذَا (Iżā - Apabila): Dalam tata bahasa Arab, kata "Iżā" digunakan untuk kondisi di masa depan yang kepastian terjadinya sangat tinggi, bahkan dianggap sudah pasti. Ini berbeda dengan kata "In" (jika) yang mengandung unsur ketidakpastian. Penggunaan "Iżā" di sini memberikan sinyal kuat bahwa janji Allah tentang pertolongan dan kemenangan adalah sesuatu yang absolut dan pasti akan terwujud. Ia bukan sekadar harapan, melainkan sebuah keniscayaan ilahi.
- نَصْرُ اللَّهِ (Naṣrullāh - Pertolongan Allah): Perhatikan bagaimana frasa ini disusun. Kemenangan tidak disebut sebagai hasil dari kekuatan militer, strategi jenius, atau jumlah pasukan yang besar. Ia secara eksplisit disandarkan kepada Allah: "Pertolongan Allah." Ini adalah pelajaran tauhid yang fundamental. Kaum Muslimin diajarkan bahwa segala daya dan upaya manusia hanyalah sarana. Faktor penentu di balik setiap keberhasilan adalah "Nasrullah." Ini menanamkan kerendahan hati dan ketergantungan total kepada Sang Pencipta. Pertolongan ini mencakup segala bentuk bantuan: kekuatan di hati para pejuang, rasa takut yang ditanamkan di hati musuh, kondisi alam yang mendukung, dan berbagai kejadian "kebetulan" yang sejatinya adalah bagian dari skenario ilahi.
- وَالْفَتْحُ (wal-Fatḥ - dan Kemenangan): Kata "al-Fatḥ" menggunakan alif-lam ma'rifah (partikel definit), yang menunjukkan sebuah kemenangan yang spesifik, agung, dan telah dikenal. Para mufasir (ahli tafsir) secara ijma' (konsensus) sepakat bahwa "al-Fatḥ" yang dimaksud di sini adalah Fathu Makkah. Kata "Fath" sendiri tidak hanya berarti 'kemenangan militer', tetapi juga 'pembukaan'. Fathu Makkah adalah 'pembukaan' kota Mekkah bagi cahaya tauhid, 'pembukaan' hati penduduknya untuk menerima Islam, dan 'pembukaan' gerbang bagi tersebarnya dakwah ke seluruh penjuru dunia. Ini adalah kemenangan yang bersifat transformatif, bukan sekadar penaklukan teritorial.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat kedua ini menggambarkan buah atau hasil langsung dari datangnya pertolongan Allah dan kemenangan besar tersebut. Ini adalah bukti empiris yang dapat disaksikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
- وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita - dan engkau melihat): Seruan ini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah penegasan dan penghargaan dari Allah atas kesabaran dan perjuangan beliau. Setelah bertahun-tahun berdakwah di mana hanya segelintir orang yang menerima ajakannya, seringkali secara sembunyi-sembunyi dan penuh risiko, kini beliau diperlihatkan oleh Allah buah dari jerih payahnya dalam skala yang masif. Penglihatan ini adalah sebuah anugerah yang menenangkan hati dan mengkonfirmasi kebenaran risalah yang dibawanya.
- النَّاسَ (an-Nāsa - manusia): Kata ini merujuk pada umat manusia secara umum, khususnya suku-suku dan kabilah-kabilah di Jazirah Arab. Sebelum Fathu Makkah, banyak dari mereka yang mengambil sikap menunggu. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) menyelesaikan urusan mereka. Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah seorang nabi yang benar." Ketika Mekkah, pusat kekuatan dan keagamaan Arab, takluk di bawah panji Islam, hilanglah keraguan dari benak mereka. Mereka menyadari bahwa kekuatan yang menyertai Muhammad bukanlah kekuatan biasa.
- فِي دِينِ اللَّهِ (fī dīnillāhi - dalam agama Allah): Sekali lagi, Al-Qur'an menggunakan frasa "agama Allah," bukan "agamamu" (wahai Muhammad). Ini menegaskan bahwa Islam bukanlah kultus individu atau milik suatu kelompok, melainkan agama universal milik Allah untuk seluruh umat manusia. Orang-orang tidak masuk ke dalam kelompok pengikut Muhammad, tetapi mereka masuk ke dalam sistem, jalan hidup, dan keridhaan Allah.
- أَفْوَاجًا (Afwājā - berbondong-bondong): Ini adalah kata kunci yang melukiskan pemandangan yang luar biasa. "Afwājā" berarti dalam rombongan besar, kelompok demi kelompok, gelombang demi gelombang. Ini kontras tajam dengan fase awal dakwah di Mekkah, di mana orang masuk Islam satu per satu (fardān fardā). Kata ini menggambarkan sebuah fenomena sosial-religius yang masif. Sejarah mencatat, setelah Fathu Makkah hingga wafatnya Nabi, periode tersebut dikenal sebagai "Tahun Delegasi" ('Aam al-Wufud), di mana utusan dari seluruh penjuru Arab datang ke Madinah untuk memeluk Islam dan menyatakan bai'at (sumpah setia).
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ayat terakhir ini adalah respons yang diperintahkan Allah ketika dua kondisi pada ayat sebelumnya telah terpenuhi. Ini adalah bagian terpenting dari surah ini, yang mengandung pelajaran etika dan spiritualitas tingkat tinggi.
- فَسَبِّحْ (Fasabbiḥ - Maka bertasbihlah): Perintah untuk bertasbih (mengucapkan "Subhanallah") adalah perintah untuk menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, atau sekutu. Mengapa diperintahkan pada puncak kemenangan? Untuk menepis potensi kesombongan dan keangkuhan dari dalam diri. Kemenangan besar seringkali memicu rasa bangga atas kekuatan dan kecerdasan diri sendiri. Tasbih adalah pengingat bahwa kemenangan ini murni karena keagungan dan kekuasaan Allah, bukan karena kehebatan manusia. Ia adalah proklamasi bahwa "Allah Maha Suci dari anggapan bahwa kemenangan ini bisa diraih tanpa pertolongan-Nya."
- بِحَمْدِ رَبِّكَ (biḥamdi Rabbika - dengan memuji Tuhanmu): Perintah ini digandengkan dengan tasbih. Tahmid (mengucapkan "Alhamdulillah") adalah ungkapan syukur dan pujian atas segala nikmat dan karunia-Nya. Kombinasi tasbih dan tahmid (Subhanallahi wa bihamdih) adalah resep spiritual yang sempurna. Kita menyucikan Allah dari segala kekurangan (tasbih) sambil mengakui kesempurnaan dan kemurahan-Nya (tahmid). Ini adalah adab tertinggi seorang hamba dalam menerima anugerah: menisbatkan semua kebaikan kepada Allah dan membersihkan diri dari perasaan berjasa.
- وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastagfirh - dan mohonlah ampunan kepada-Nya): Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa Rasulullah SAW, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa besar), diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar) justru pada momen keberhasilan terbesar dalam misinya? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat indah:
- Bentuk Kerendahan Hati Tertinggi: Istighfar adalah pengakuan bahwa dalam menjalankan tugas dan perjuangan yang panjang, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau hal-hal yang tidak mencapai kesempurnaan mutlak yang layak bagi keagungan Allah. Ini mengajarkan bahwa sehebat apapun pencapaian kita, kita tetaplah hamba yang lemah dan penuh kekurangan di hadapan-Nya.
- Tanda Selesainya Misi: Inilah penafsiran yang dipegang oleh para sahabat besar seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab. Perintah untuk beristighfar secara intensif adalah isyarat halus bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah paripurna. Misi telah selesai. Kemenangan telah diraih, dan manusia telah masuk Islam secara massal. Seperti seorang pekerja yang telah menyelesaikan proyeknya, kini saatnya ia bersiap untuk kembali dan melapor kepada Sang Pemberi Tugas. Istighfar menjadi bekal spiritual terbaik untuk persiapan menghadap Allah SWT.
- Teladan bagi Umat: Perintah ini menjadi pelajaran abadi bagi seluruh umat Islam. Jika Rasulullah SAW saja, di puncak kejayaannya, diperintahkan untuk beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini mengajarkan bahwa istighfar bukan hanya untuk para pendosa, tetapi juga merupakan wirid kaum shalihin untuk meningkatkan derajat dan sebagai penutup amal-amal besar (seperti selesai shalat, selesai haji, dll).
- إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahụ kāna tawwābā - Sungguh, Dia Maha Penerima tobat): Ayat ini ditutup dengan penegasan yang menenangkan dan penuh harapan. Nama Allah "At-Tawwab" berasal dari akar kata yang berarti 'kembali'. Ia memiliki dua makna: Allah yang memberi inspirasi kepada hamba-Nya untuk bertaubat (kembali kepada-Nya) dan Allah yang senantiasa menerima taubat hamba-Nya yang kembali kepada-Nya. Frasa "kāna tawwābā" (Dia adalah senantiasa Maha Penerima tobat) menunjukkan bahwa ini adalah sifat Allah yang azali dan abadi. Pintu ampunan-Nya selalu terbuka lebar, mendorong setiap orang untuk tidak pernah putus asa dari rahmat-Nya.
Surah An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW
Salah satu aspek paling signifikan dari Surah An-Nasr adalah perannya sebagai pengumuman tidak langsung (na'yu) tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW. Pemahaman ini tidak datang dari penafsiran literal, melainkan dari pemahaman kontekstual yang mendalam, yang dipelopori oleh para sahabat yang memiliki kedalaman ilmu, seperti Abdullah bin Abbas, sang "turjumanul Qur'an" (penerjemah Al-Qur'an).
Sebuah riwayat yang sangat terkenal dalam kitab-kitab hadits dan tafsir menceritakan bagaimana Khalifah Umar bin Khattab RA pernah menguji para sahabat senior dari kalangan veteran Perang Badr mengenai makna surah ini. Mereka memberikan jawaban yang umum, yaitu bahwa surah ini memerintahkan kita untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya ketika kita diberi kemenangan. Jawaban tersebut tidak salah, namun Umar merasa ada makna yang lebih dalam. Beliau kemudian bertanya kepada Ibnu Abbas, yang saat itu masih sangat muda. Tanpa ragu, Ibnu Abbas menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda ajalmu (wahai Muhammad) sudah dekat. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat." Mendengar jawaban cerdas ini, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surah ini selain dari apa yang engkau katakan."
Logikanya sangat jelas. Tujuan utama diutusnya seorang rasul adalah untuk menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah di muka bumi. Ketika tujuan ini telah tercapai secara paripurna—ditandai dengan kemenangan mutlak (Fathu Makkah) dan penerimaan Islam oleh masyarakat luas (manusia masuk Islam berbondong-bondong)—maka tugas sang rasul di dunia telah selesai. Apa lagi yang tersisa bagi seorang utusan setelah misinya tuntas selain kembali kepada Yang Mengutusnya? Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar adalah bentuk persiapan spiritual untuk perjumpaan agung dengan Allah SWT.
Hal ini diperkuat oleh riwayat dari Ummul Mu'minin, Aisyah RA. Beliau menuturkan bahwa setelah turunnya Surah An-Nasr, Rasulullah SAW sangat sering membaca doa dalam ruku' dan sujudnya: "سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي" (Subḥānakallāhumma rabbanā wa biḥamdika, allāhummaghfirlī - Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku). Beliau melakukan hal ini sebagai bentuk pengamalan langsung terhadap perintah dalam surah tersebut. Ini menunjukkan betapa seriusnya Nabi SAW menerima isyarat ini dan segera mempersiapkan diri.
Benar saja, tidak lama setelah Haji Wada' di mana surah ini turun, Rasulullah SAW jatuh sakit dan kemudian wafat pada bulan Rabiul Awal tahun ke-11 Hijriah. Surah An-Nasr menjadi penanda penutup yang indah bagi kehidupan dan perjuangan manusia paling agung dalam sejarah.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr
Meskipun Surah An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Ia menawarkan panduan berharga bagi setiap individu dan komunitas Muslim dalam menghadapi berbagai fase kehidupan, terutama fase kesuksesan dan pencapaian.
- Kemenangan Hakiki Bersumber dari Allah: Pelajaran paling fundamental adalah penegasan kembali prinsip tauhid. Keberhasilan dalam bentuk apapun—baik itu dalam karier, studi, bisnis, dakwah, atau kehidupan pribadi—tidak boleh membuat kita lupa diri. Sumber sejati dari semua itu adalah "Nasrullah," pertolongan Allah. Kesadaran ini akan melahirkan sifat tawakal (bersandar pada Allah) sebelum berusaha, dan sifat syukur serta rendah hati setelah meraih hasil.
- Adab dan Etika di Puncak Kejayaan: Surah ini memberikan formula yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap saat berada di puncak kesuksesan. Respons yang benar bukanlah pesta pora yang melalaikan, arak-arakan yang penuh kebanggaan, atau kesombongan terhadap pihak yang dikalahkan. Sebaliknya, respons yang diajarkan Al-Qur'an adalah respons spiritual:
- Tasbih: Mensucikan Allah, mengakui bahwa ini terjadi karena keagungan-Nya semata.
- Tahmid: Memuji Allah, sebagai bentuk rasa syukur yang tulus atas nikmat yang diberikan.
- Istighfar: Memohon ampun, sebagai wujud introspeksi diri dan pengakuan atas segala kekurangan selama proses perjuangan.
- Setiap Perjuangan Ada Akhirnya: Surah ini memberikan optimisme dan harapan. Bagi mereka yang sedang berjuang di jalan kebenaran, menghadapi kesulitan dan tantangan, surah ini adalah janji bahwa pertolongan Allah pasti akan datang dan kemenangan akan diraih pada waktu yang tepat. Ia mengajarkan kesabaran dan ketekunan dalam berjuang, dengan keyakinan penuh pada janji Allah.
- Pentingnya Introspeksi Diri (Istighfar): Perintah istighfar kepada Nabi SAW mengajarkan kita bahwa memohon ampunan adalah ibadah yang konstan, bukan hanya saat berbuat dosa. Ia adalah pembersih hati, penutup amal, dan cara untuk selalu merasa butuh kepada Allah. Semakin tinggi kedudukan atau pencapaian seseorang, semakin besar kebutuhannya untuk beristighfar agar terhindar dari penyakit hati seperti 'ujub (bangga diri) dan takabur (sombong).
- Mengingat Akhirat di Tengah Kenikmatan Dunia: Isyarat tentang wafatnya Nabi SAW adalah pengingat keras bagi kita semua bahwa setiap episode dalam kehidupan ini akan berakhir. Kesenangan, kesuksesan, dan pencapaian duniawi hanyalah sementara. Tujuan akhir dari kehidupan seorang mukmin adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk bertemu dengan Allah SWT. Oleh karena itu, setiap nikmat dunia seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan ibadah dan persiapan menuju akhirat, bukan malah melalaikan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, Surah An-Nasr adalah sebuah lautan makna dalam tiga ayat singkat. Ia adalah surah tentang kemenangan yang disandarkan pada pertolongan ilahi. Ia adalah panduan tentang etika kesuksesan yang berlandaskan pada kerendahan hati. Ia adalah kabar gembira atas tuntasnya sebuah misi risalah yang agung. Dan, ia adalah sebuah pengingat lembut tentang kefanaan hidup dan keniscayaan untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Bagi setiap Muslim, Surah An-Nasr adalah cermin. Saat kita meraih keberhasilan, sekecil apapun itu, surah ini mengajak kita untuk segera mengembalikan pujian kepada Allah, menyucikan-Nya dari segala anggapan bahwa kita hebat, dan memohon ampunan atas segala kekurangan kita. Dengan mengamalkan pesan dari surah penutup perjuangan ini, semoga kita dapat menutup lembaran-lembaran kehidupan kita dengan akhir yang diridhai-Nya. Amin.