Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, tidak diturunkan sekaligus. Ia diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW selama periode kenabiannya. Proses pewahyuan ini memiliki urutan kronologis yang dikenal sebagai tartib nuzuli (urutan turunnya wahyu), yang berbeda dengan urutan dalam mushaf yang kita kenal saat ini (tartib mushafi). Memahami urutan turunnya sebuah surah menjadi kunci penting untuk membuka lapisan-lapisan makna, konteks sejarah, dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satu surah yang memiliki posisi sangat istimewa dalam sejarah Islam adalah Surah An-Nasr.
Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah surah yang sangat singkat, hanya terdiri dari tiga ayat. Namun, di balik keringkasannya, surah ini menyimpan pesan yang luar biasa agung: kabar gembira kemenangan besar, potret perubahan sosial yang masif, dan sebuah isyarat halus tentang tugas besar yang telah mendekati puncaknya. Pertanyaan yang sering muncul di kalangan para penuntut ilmu adalah: Surah An-Nasr diturunkan setelah surah apa? Menjawab pertanyaan ini bukan sekadar memuaskan rasa ingin tahu akademis, melainkan membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang fase akhir perjuangan dakwah Rasulullah SAW dan transisi besar dalam sejarah umat Islam.
Berdasarkan pendapat mayoritas ulama tafsir dan sirah, Surah An-Nasr diturunkan setelah Surah At-Taubah. Penting untuk digarisbawahi bahwa ini merujuk pada urutan turunnya surah secara lengkap, bukan per ayat. Surah At-Taubah, yang merupakan surah ke-9 dalam mushaf, adalah surah yang panjang dan sarat dengan hukum-hukum terkait peperangan, perjanjian dengan kaum musyrikin, dan sikap terhadap kaum munafik. Ia diturunkan pada fase-fase akhir setelah Perang Tabuk, yang menjadi ekspedisi militer pamungkas pada masa Rasulullah SAW.
Setelah Surah At-Taubah turun, yang isinya menegaskan supremasi Islam di Jazirah Arab dan memutuskan hubungan secara final dengan kemusyrikan, kondisi menjadi sangat kondusif bagi Islam. Kekuatan politik kaum musyrikin Quraisy telah hancur total pasca Fathu Makkah, dan kekuatan-kekuatan lain di Semenanjung Arab pun mulai tunduk pada kepemimpinan Madinah. Dalam konteks inilah Surah An-Nasr kemudian diwahyukan. Ia datang sebagai konfirmasi atas hasil dari kebijakan-kebijakan tegas yang digariskan dalam Surah At-Taubah. Jadi, secara kronologis, At-Taubah mempersiapkan panggung, dan An-Nasr mengumumkan kesuksesan besar di atas panggung tersebut.
Surah An-Nasr dikenal sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan, bahkan banyak ulama yang berpendapat bahwa ini adalah surah terakhir yang turun secara lengkap. Meskipun ada ayat lain seperti ayat tentang kesempurnaan agama dalam Surah Al-Maidah (ayat 3) yang turun setelahnya pada saat Haji Wada', An-Nasr memegang predikat sebagai surah pamungkas yang diwahyukan dalam satu kesatuan utuh.
Untuk memahami mengapa surah ini menjadi begitu signifikan, mari kita bedah setiap ayatnya. Keringkasan surah ini justru membuatnya padat makna, di mana setiap kata memiliki bobot yang sangat dalam.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ (١)
Iżā jā'a nasrullāhi wal-fatḥ(u).
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ (٢)
Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا ࣖ (٣)
Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
"Apabila telah datang pertolongan Allah (nasrullah) dan kemenangan (al-fath)."
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua hal yang saling berkaitan: pertolongan Allah dan kemenangan. Kata 'nasr' (pertolongan) didahulukan sebelum 'al-fath' (kemenangan). Ini mengandung pesan teologis yang sangat kuat, yaitu kemenangan sejati tidak akan pernah terwujud tanpa pertolongan dari Allah. Kemenangan bukanlah hasil dari kekuatan militer, strategi jenius, atau jumlah pasukan semata, melainkan murni anugerah dan intervensi ilahi.
Para ulama tafsir sepakat bahwa 'al-fath' yang dimaksud dalam ayat ini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW selama lebih dari dua dekade. Mekkah, yang tadinya menjadi pusat penindasan dan permusuhan terhadap kaum muslimin, berhasil dikuasai tanpa pertumpahan darah yang berarti. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan moral dan spiritual. Ia menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka'bah dan mengembalikan fungsi suci rumah Allah tersebut sebagai pusat tauhid.
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (afwajan)."
Ayat ini menggambarkan dampak langsung dari Fathu Makkah. Sebelum penaklukan Mekkah, banyak kabilah Arab yang bersikap menunggu (wait and see). Mereka menganggap pertarungan antara kaum muslimin di Madinah dengan kaum Quraisy di Mekkah sebagai perebutan pengaruh antara dua kekuatan. Mereka berprinsip, "Biarkan Muhammad dan kaumnya. Jika dia menang atas mereka, maka dia adalah nabi yang benar."
Ketika Mekkah, sebagai pusat spiritual dan kekuatan utama di Jazirah Arab, jatuh ke tangan kaum muslimin, kabilah-kabilah lain tidak lagi memiliki keraguan. Mereka melihat ini sebagai bukti nyata kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Akibatnya, terjadilah fenomena yang digambarkan Al-Qur'an sebagai 'afwajan'—berkelompok-kelompok, berombongan, atau berbondong-bondong. Delegasi dari berbagai suku di seluruh penjuru Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini dalam sejarah dikenal sebagai 'Am al-Wufud' (Tahun Delegasi), di mana Islam menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ini adalah bagian terpenting dari surah ini yang mengandung pelajaran universal. Setelah meraih kemenangan puncak dan melihat buah dari perjuangan yang begitu panjang, apa respons yang Allah perintahkan? Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula euforia yang melenakan. Allah justru memerintahkan tiga hal:
Ayat ini ditutup dengan penegasan "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat (kāna tawwābā)". Ini adalah jaminan dan kabar gembira bahwa Allah selalu membuka pintu tobat bagi hamba-Nya yang tulus, tidak peduli dalam kondisi apa pun, baik dalam kesulitan maupun dalam puncak kejayaan.
Di balik makna lahiriahnya tentang kemenangan, Surah An-Nasr menyimpan sebuah isyarat yang sangat mendalam, yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang berilmu. Isyarat tersebut adalah pertanda bahwa tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW telah selesai dan ajalnya sudah dekat. Kemenangan total dan masuknya manusia secara massal ke dalam Islam adalah tanda bahwa misi utama telah paripurna.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa ketika surah ini turun, Umar bin Khattab RA mengumpulkan para sahabat senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Umar bertanya kepada mereka, "Apa pendapat kalian tentang surah ini?" Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan." Sebagian lain diam tidak berkomentar. Umar kemudian berpaling kepada Ibnu Abbas yang saat itu masih muda, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman (yang artinya), 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan', yang merupakan tanda ajalmu (wahai Muhammad), 'maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya'." Mendengar jawaban itu, Umar berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau ketahui." (HR. Bukhari)
Pemahaman Ibnu Abbas ini menunjukkan kedalaman ilmunya. Logikanya sederhana: jika tujuan utama dakwah (yaitu kemenangan Islam dan diterimanya agama ini oleh masyarakat luas) telah tercapai, maka tugas sang pembawa risalah pun telah selesai. Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar adalah persiapan spiritual untuk bertemu dengan Sang Pemberi tugas, Allah SWT. Ini adalah cara Allah mempersiapkan Nabi-Nya dan para sahabat untuk sebuah perpisahan. Diriwayatkan bahwa setelah surah ini turun, Rasulullah SAW semakin memperbanyak bacaan tasbih, tahmid, dan istighfar dalam rukuk dan sujudnya.
Sekarang, mari kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa Surah An-Nasr turun setelah Surah At-Taubah? Apa korelasi antara keduanya? Memahami tema utama Surah At-Taubah akan memberikan pencerahan.
Surah At-Taubah, juga dikenal sebagai Surah Bara'ah (pemutusan hubungan), memiliki karakter yang sangat tegas dan final. Beberapa tema utamanya adalah:
Jika kita lihat, Surah At-Taubah adalah surah "konsolidasi final". Ia membersihkan sisa-sisa kemusyrikan di Jazirah Arab, mempertegas batas antara iman dan kufur, serta menetapkan fondasi negara Islam yang kuat dan berdaulat. Ini adalah langkah-langkah politik dan militer yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas jangka panjang.
Setelah semua "pekerjaan berat" yang digariskan dalam Surah At-Taubah ini selesai, hasilnya adalah apa yang digambarkan dalam Surah An-Nasr. Setelah perjanjian dengan kaum musyrikin diputus dan kekuatan mereka dilumpuhkan, maka datanglah nasrullah wal fath. Setelah kaum munafik disingkap kedoknya dan barisan muslimin menjadi solid, maka terlihatlah manusia masuk Islam secara afwajan. Dengan kata lain, Surah At-Taubah adalah surah tentang proses dan perjuangan akhir, sedangkan Surah An-Nasr adalah surah tentang hasil dan buah dari perjuangan tersebut. Keduanya membentuk satu narasi yang utuh tentang fase penutupan dari periode kenabian.
Meskipun Surah An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pelajarannya bersifat universal dan abadi. Setiap muslim, dalam kehidupannya, dapat mengambil hikmah dari surah yang agung ini.
Dalam setiap keberhasilan, baik dalam skala personal (lulus ujian, mendapat pekerjaan, sukses dalam bisnis) maupun komunal, kita harus senantiasa menyandarkan keberhasilan itu kepada Allah. Surah ini mengajarkan untuk menyingkirkan ego dan perasaan "aku yang berhasil". Pengakuan bahwa semua adalah nasrullah akan melahirkan kerendahan hati dan menghindarkan diri dari kesombongan, penyakit yang bisa menghancurkan segala amal.
Cara terbaik merespons nikmat bukanlah dengan euforia sesaat, melainkan dengan meningkatkan ibadah dan kedekatan kepada Sang Pemberi Nikmat. Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar adalah formula syukur yang paling ideal. Ia menjaga seseorang tetap membumi saat berada di puncak, mengingatkannya pada asal-usulnya sebagai hamba dan tujuan akhirnya untuk kembali kepada-Nya.
Isyarat wafatnya Nabi dalam surah ini adalah pengingat bahwa setiap tugas, setiap amanah, dan setiap kehidupan memiliki batas waktu. Ketika sebuah proyek besar dalam hidup kita berhasil, itu bisa jadi pertanda bahwa tugas kita di sana telah selesai dan kita harus bersiap untuk fase berikutnya, atau bahkan untuk perjalanan akhir menuju akhirat. Ini mengajarkan kita untuk tidak terlena dengan pencapaian duniawi dan selalu mempersiapkan diri untuk "melapor" kembali kepada Allah SWT.
Jika Rasulullah SAW, manusia yang maksum (terjaga dari dosa), diperintahkan untuk beristighfar di momen kemenangan terbesarnya, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini menunjukkan bahwa istighfar bukanlah amalan untuk para pendosa saja, melainkan amalan para nabi dan orang-orang saleh. Istighfar adalah pembersih hati, penyempurna amal, dan bentuk pengakuan atas kelemahan diri di hadapan keagungan Allah.
Jadi, untuk menjawab pertanyaan sentral, Surah An-Nasr diturunkan setelah Surah At-Taubah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama. Urutan ini memiliki makna kronologis dan tematik yang sangat kuat. Surah At-Taubah mengakhiri era konflik dan konfrontasi dengan membersihkan elemen-elemen musyrik dan munafik dari Jazirah Arab, sementara Surah An-Nasr datang sebagai proklamasi kemenangan gemilang yang menjadi buah dari proses tersebut.
Lebih dari sekadar informasi sejarah, Surah An-Nasr adalah sebuah manifesto tentang adab kemenangan dalam Islam. Ia mengajarkan bahwa puncak dari segala usaha adalah kembali kepada Allah dalam bentuk tasbih, tahmid, dan istighfar. Ia juga merupakan penanda agung yang mengisyaratkan selesainya sebuah misi ilahi yang diemban oleh manusia termulia, Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia bahwa setiap awal pasti akan menemui akhirnya, dan persiapan terbaik untuk menghadapi akhir adalah dengan senantiasa menyucikan, memuji, dan memohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Penerima Tobat.