Memahami Surah Setelah An Nasr: Pelajaran dari Surah Al-Lahab
Dalam mushaf Al-Qur'an, setiap surah memiliki posisi yang penuh hikmah dan makna. Urutan ini bukanlah sesuatu yang acak, melainkan ketetapan ilahi yang mengandung pelajaran mendalam. Salah satu transisi yang paling menarik untuk dikaji adalah perpindahan dari Surah An-Nasr ke surah berikutnya. Ketika kita bertanya, apa surah setelah An Nasr, jawabannya adalah Surah Al-Lahab (atau Al-Masad). Peralihan dari surah yang berbicara tentang kemenangan besar dan pertolongan Allah kepada surah yang berisi kecaman keras dan spesifik terhadap individu tertentu merupakan sebuah kontras yang tajam dan sarat akan pelajaran.
Surah An-Nasr adalah madaniyyah, diturunkan di Madinah setelah perjuangan panjang, menandai puncak kemenangan dakwah Islam dengan peristiwa Fathu Makkah. Isinya penuh dengan optimisme, kabar gembira, dan perintah untuk bersyukur, bertasbih, serta memohon ampunan. Ia melambangkan keberhasilan kolektif sebuah umat yang beriman. Namun, tepat setelahnya, Al-Qur'an membawa kita kembali ke periode awal dakwah di Makkah melalui Surah Al-Lahab, sebuah surah makkiyyah yang menggambarkan permusuhan paling keras dari lingkaran terdekat Rasulullah ﷺ. Memahami surah setelah An Nasr, yaitu Al-Lahab, adalah memahami bahwa di tengah kemenangan besar, hukum dan keadilan Allah tetap berlaku tanpa pandang bulu, bahkan terhadap kerabat nabi sekalipun.
Konteks Awal: Sekilas Tentang Surah An-Nasr
Sebelum menyelami lebih dalam tentang Surah Al-Lahab, penting untuk memahami konteks surah sebelumnya. Surah An-Nasr (Pertolongan) adalah surah ke-110 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari tiga ayat, surah ini dianggap sebagai salah satu surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Tema utamanya adalah:
- Pertolongan Allah dan Kemenangan (An-Nasr wal Fath): Ayat pertama mengumumkan datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang nyata, yang oleh mayoritas ulama tafsir diartikan sebagai penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah).
- Masuknya Manusia ke dalam Islam Berbondong-bondong: Ayat kedua menggambarkan buah dari kemenangan tersebut, di mana manusia dari berbagai kabilah Arab datang untuk memeluk Islam dalam jumlah besar, sebuah bukti nyata keberhasilan dakwah.
- Perintah untuk Bersyukur dan Memohon Ampun: Ayat ketiga menutup surah dengan perintah kepada Nabi ﷺ (dan umatnya) untuk merespons nikmat besar ini dengan bertasbih (menyucikan Allah), memuji-Nya (tahmid), dan memohon ampunan-Nya (istighfar).
Surah An-Nasr adalah penanda fase akhir perjuangan dan awal dari era kejayaan Islam. Ia adalah surah tentang rahmat, pengampunan, dan keberhasilan kolektif. Namun, urutan Al-Qur'an segera mengingatkan kita pada sisi lain dari perjuangan dakwah: adanya penentangan, kebencian, dan konsekuensi bagi mereka yang menolak kebenaran secara membabi buta. Inilah jembatan tematik menuju surah setelah An Nasr.
Memasuki Surah Al-Lahab: Surah Setelah An Nasr
Surah Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surah Al-Masad (Sabut), adalah surah ke-111. Surah ini merupakan surah Makkiyyah, diturunkan pada periode awal Islam di Makkah, saat penentangan terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ sangat gencar dan kejam. Surah ini sangat unik karena menjadi satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama dan mengutuk musuh Islam yang masih hidup pada saat itu, yaitu Abu Lahab, paman Nabi ﷺ sendiri.
Kontrasnya sangat jelas. Jika An-Nasr berbicara tentang pertolongan bagi kaum beriman, Al-Lahab berbicara tentang kebinasaan bagi penentang. Jika An-Nasr menggambarkan orang-orang yang masuk Islam, Al-Lahab menggambarkan figur yang mati dalam kekafiran. Peralihan ini mengajarkan bahwa garis pemisah antara keimanan dan kekufuran tidak ditentukan oleh nasab atau hubungan darah, melainkan oleh pilihan dan perbuatan individu. Mari kita kaji surah ini ayat per ayat untuk memahami kedalaman maknanya.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya) Surah Al-Lahab
Untuk memahami kekuatan pesan dalam Surah Al-Lahab, kita harus mengetahui latar belakang sejarah di balik penurunannya. Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu yang menjadi sebab turunnya surah ini. Kisahnya bermula ketika Allah SWT menurunkan ayat:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. Asy-Syu'ara: 214)
Sebagai respons atas perintah ini, Rasulullah ﷺ naik ke atas Bukit Shafa dan berseru memanggil suku-suku Quraisy. Ketika mereka telah berkumpul, beliau bertanya, "Wahai kaumku, jika aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik lembah ini yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Tentu, kami tidak pernah mendapati engkau berdusta."
Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Rasulullah ﷺ melanjutkan dengan inti pesannya, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih yang ada di hadapan kalian."
Mendengar seruan tauhid ini, paman beliau sendiri, Abu Lahab, yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, bangkit dengan penuh amarah dan berkata, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Kemudian ia mengambil batu untuk melempari keponakannya itu. Sebagai balasan atas ucapan dan tindakan Abu Lahab inilah, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab, yang dimulai dengan kalimat yang serupa dengan kutukan Abu Lahab, namun berasal dari Tuhan semesta alam.
Tafsir Mendalam Surah Al-Lahab Ayat per Ayat
Surah ini, meskipun singkat, mengandung kekuatan sastra, ketegasan hukum ilahi, dan mukjizat kenabian yang luar biasa. Mari kita bedah setiap ayatnya.
Ayat 1: Kepastian Kebinasaan Abu Lahab
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa."
Ayat pertama ini adalah sebuah pernyataan ilahi yang sangat kuat dan tegas. Kata تَبَّتْ (Tabbat) berasal dari kata tabāb yang berarti celaka, binasa, rugi, dan terputus dari segala kebaikan. Ini bukan sekadar doa keburukan, melainkan sebuah proklamasi atau ketetapan dari Allah bahwa kebinasaan adalah takdir yang pasti bagi Abu Lahab.
Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (yadā abī lahabin) secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Dalam bahasa Arab, tangan sering kali menjadi kiasan (metafora) untuk perbuatan, usaha, kekuasaan, dan kekuatan seseorang. Jadi, ayat ini tidak hanya berarti celakalah fisiknya, tetapi juga celakalah segala usaha, rencana, kekuatan, dan pengaruh yang ia kerahkan untuk menentang dakwah Islam. Segala upaya yang ia lakukan untuk memadamkan cahaya Allah dipastikan akan gagal total dan justru berbalik menjadi penyebab kebinasaannya sendiri.
Bagian akhir ayat, وَتَبَّ (wa tabba), berfungsi sebagai penegas yang lebih dahsyat. Jika bagian pertama adalah pernyataan tentang kebinasaan usahanya, bagian kedua ini adalah pernyataan tentang kebinasaan dirinya secara total. Ini adalah bentuk tahqiq (penegasan) bahwa ia, sebagai pribadi, benar-benar telah binasa. Artinya, kerugiannya tidak hanya di dunia (dengan kegagalan usahanya), tetapi juga kerugian abadi di akhirat. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan kata "tabba" menunjukkan kesempurnaan dan kepastian dari kebinasaan tersebut, tanpa ada sedikit pun peluang untuk selamat.
Nama "Abu Lahab" sendiri berarti "Bapak Api yang Berkobar". Ini adalah nama panggilan (kunyah) yang ironis. Nama aslinya adalah Abdul Uzza (hamba Uzza, salah satu berhala Quraisy). Allah menggunakan nama panggilannya yang justru selaras dengan nasibnya kelak sebagai penghuni neraka yang apinya bergejolak. Ini adalah salah satu keindahan balaghah (retorika) Al-Qur'an.
Ayat 2: Kesia-siaan Harta dan Usaha
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
"Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan."
Ayat kedua menjelaskan mengapa kebinasaan itu pasti terjadi dan tidak bisa dihindari. Ayat ini menyoroti dua hal yang menjadi kebanggaan dan sandaran utama Abu Lahab (dan banyak manusia sombong lainnya): harta dan kedudukan (atau anak-anak/usaha). Abu Lahab adalah seorang bangsawan Quraisy yang kaya raya dan memiliki pengaruh besar.
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ (mā aghnā ‘anhu māluhū) berarti "hartanya tidak akan memberinya manfaat". Kata aghnā berarti mencukupi, melindungi, atau menyelamatkan. Allah menegaskan bahwa semua kekayaan yang ia kumpulkan, yang ia banggakan, dan yang mungkin ia gunakan untuk memusuhi Islam, sama sekali tidak akan bisa menolongnya dari azab Allah. Harta itu tidak bisa membeli keselamatan, menunda kematian, atau menebusnya dari api neraka.
وَمَا كَسَبَ (wa mā kasab) memiliki beberapa penafsiran di kalangan ulama:
- Apa yang ia usahakan: Ini mencakup segala sesuatu yang dihasilkan dari jerih payahnya, seperti bisnis, keuntungan, jabatan, pengaruh, dan reputasi. Semua pencapaian duniawi itu akan lenyap dan tidak bernilai di hadapan Allah.
- Anak-anaknya: Dalam budaya Arab, anak laki-laki dianggap sebagai "kasab" (hasil usaha) terbesar seorang ayah, sumber kekuatan dan kebanggaan. Abu Lahab sering membanggakan anak-anaknya. Ayat ini menegaskan bahwa bahkan anak-anaknya pun tidak akan bisa membelanya di hadapan Allah kelak.
- Perbuatan buruknya: Sebagian ulama menafsirkan "apa yang ia usahakan" sebagai amal perbuatannya yang penuh dosa dan permusuhan. Tentu saja, perbuatan buruk tersebut hanya akan menambah berat siksanya, bukan menolongnya.
Ayat ini menyampaikan pesan universal yang sangat penting: ketergantungan pada materi dan status duniawi adalah ilusi. Ketika ketetapan Allah datang, tidak ada harta, jabatan, atau keturunan yang dapat menjadi perisai. Inilah yang membuat surah setelah An Nasr ini menjadi pengingat yang begitu kuat tentang prioritas hidup yang sebenarnya.
Ayat 3: Penegasan Tempat Kembali di Neraka
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)."
Setelah menyatakan kebinasaan di dunia dan kesia-siaan hartanya, ayat ketiga menjelaskan nasibnya yang mengerikan di akhirat. Ini adalah deskripsi yang lugas dan tanpa basa-basi tentang tujuan akhirnya.
Kata سَيَصْلَىٰ (sayashlā) menunjukkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan (diawali dengan huruf 'sin'). Ini adalah sebuah nubuat atau ramalan ilahi yang pasti akan terwujud. Kata yashlā berarti merasakan panasnya api, terpanggang, atau masuk ke dalamnya untuk dibakar.
Frasa نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (nāran dzāta lahab) berarti "api yang memiliki gejolak". Kata lahab (gejolak api) di sini bermain kata dengan nama panggilan Abu Lahab. Seolah-olah Allah mengatakan bahwa "Si Bapak Gejolak Api" akan benar-benar masuk ke dalam api yang bergejolak. Ini adalah bentuk balasan yang setimpal dan mengandung ejekan ilahi yang sangat kuat. Namanya di dunia menjadi deskripsi siksanya di akhirat. Pilihan kata ini menunjukkan kesempurnaan dan keadilan pembalasan Allah.
Ayat ini adalah inti dari kutukan tersebut. Ia tidak hanya akan binasa, tetapi kebinasaannya adalah sebuah proses penderitaan abadi di dalam neraka Jahannam. Ini adalah konsekuensi final dari penolakannya yang sombong dan permusuhannya yang keji terhadap kebenaran yang dibawa oleh keponakannya sendiri.
Ayat 4: Keterlibatan Sang Istri dalam Permusuhan
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."
Surah ini tidak hanya mengutuk Abu Lahab seorang diri. Ayat keempat memperluas kutukan itu kepada istrinya, menunjukkan bahwa ia adalah mitra aktif dalam kejahatan dan permusuhan terhadap Islam. Istri Abu Lahab bernama Arwa binti Harb, dan ia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Ia juga dikenal dengan panggilan Ummu Jamil.
Frasa حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (hammālatal hathab) secara harfiah berarti "sang pembawa kayu bakar". Para ulama memberikan dua makna utama untuk frasa ini, dan keduanya saling melengkapi:
- Makna Harfiah (Literal): Ummu Jamil adalah seorang wanita yang sangat jahat. Diriwayatkan bahwa pada malam hari, ia benar-benar mengumpulkan duri dan kayu-kayu tajam lalu menebarkannya di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad ﷺ dengan tujuan untuk mencederai beliau. Perbuatannya ini adalah simbol puncak dari kebencian dan usaha menyakiti secara fisik. Ayat ini mengabadikan perbuatan kejinya itu.
- Makna Kiasan (Metaforis): Dalam budaya Arab, "membawa kayu bakar" adalah kiasan untuk menyebarkan fitnah, adu domba, dan mengobarkan api permusuhan (namimah). Ummu Jamil adalah provokator ulung. Ia berkeliling menyebarkan gosip, fitnah, dan kebohongan tentang Nabi Muhammad ﷺ untuk membuat orang-orang membenci beliau dan dakwahnya. Ia "membawa kayu bakar" untuk menyulut api kebencian di tengah masyarakat Makkah.
Kedua makna tersebut sangat mungkin dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Ia tidak hanya melakukan kejahatan fisik, tetapi juga kejahatan lisan yang merusak tatanan sosial. Ayat ini mengajarkan sebuah pelajaran penting tentang kemitraan dalam dosa. Dosa dan permusuhan terhadap kebenaran sering kali bukan tindakan individu, melainkan proyek bersama. Allah menunjukkan bahwa sang istri, karena perannya yang aktif, akan menerima nasib yang sama mengerikannya dengan suaminya.
Ayat 5: Gambaran Siksaan yang Menghinakan
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
"Yang di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal."
Ayat terakhir ini menutup surah dengan gambaran siksaan yang spesifik, detail, dan sangat menghinakan bagi istri Abu Lahab. Ini adalah balasan yang setimpal dengan perbuatannya di dunia.
فِي جِيدِهَا (fī jīdihā) berarti "di lehernya". Kata jīd biasanya digunakan untuk menggambarkan leher yang jenjang dan indah, seringkali dihiasi dengan kalung mahal. Ummu Jamil adalah seorang wanita bangsawan yang konon sering memakai kalung mewah sebagai simbol status sosialnya. Al-Qur'an dengan sengaja menggunakan kata jīd untuk menciptakan ironi yang tajam: leher yang dulu ia banggakan dengan perhiasan dunia, kelak di neraka akan diikat dengan sesuatu yang kasar dan hina.
حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (hablun min masad) berarti "tali dari sabut". Masad adalah tali yang dipintal dengan sangat kasar dari serat pohon kurma atau sabut kelapa. Ini adalah jenis tali yang paling kasar, rendah nilainya, dan sangat menyakitkan jika dililitkan di leher. Gambaran ini bisa diartikan dalam beberapa cara:
- Ini adalah gambaran siksaannya di neraka. Ia akan diseret dan dicekik dengan tali kasar ini, sebuah hukuman yang menghinakan dan menyakitkan.
- Ini adalah gambaran keadaannya saat ia membawa kayu bakar di dunia, di mana ia mengikat kayu-kayu itu dengan tali sabut di lehernya, menunjukkan betapa rendah dan hinanya perbuatannya meskipun ia seorang bangsawan.
- Sebagian ulama menafsirkan bahwa kalung mahal yang ia sumbangkan untuk membiayai permusuhan terhadap Islam akan berubah menjadi tali sabut yang mencekiknya di neraka. Hartanya menjadi sumber azabnya.
Penutup surah ini sempurna. Ia menyajikan sebuah visualisasi yang konkret dan mengerikan tentang balasan atas kesombongan dan kejahatan. Surah Al-Lahab, sebagai surah setelah An Nasr, dengan demikian menjadi penyeimbang yang krusial. Ia mengingatkan bahwa kemenangan Islam tidak menghapuskan prinsip keadilan dan pertanggungjawaban individu di hadapan Allah.
Mukjizat dan Hikmah di Balik Surah Al-Lahab
Surah ini bukan sekadar cacian atau kutukan. Di dalamnya terkandung beberapa hikmah dan bukti kebenaran Al-Qur'an yang sangat kuat.
1. Mukjizat Kenabian (I'jaz Ghaibi)
Surah Al-Lahab adalah salah satu mukjizat terbesar Al-Qur'an. Surah ini diturunkan sekitar 10 tahun sebelum kematian Abu Lahab dan istrinya. Di dalamnya, Allah menetapkan bahwa mereka berdua akan binasa dan masuk neraka, yang berarti mereka akan mati dalam keadaan kafir. Ini adalah sebuah proklamasi yang sangat berisiko dari sudut pandang manusia. Selama 10 tahun berikutnya, Abu Lahab dan istrinya memiliki kesempatan untuk "membuktikan" Al-Qur'an salah. Yang perlu mereka lakukan hanyalah berpura-pura masuk Islam, bahkan secara lisan saja. Cukup dengan mengucapkan syahadat, mereka bisa meruntuhkan klaim kenabian Muhammad ﷺ dan kredibilitas Al-Qur'an.
Namun, sejarah mencatat bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Kebencian dan kesombongan mereka begitu mengakar sehingga Allah mengunci hati mereka dari hidayah. Mereka berdua mati dalam keadaan tetap memusuhi Islam, beberapa saat setelah berita kekalahan kaum musyrikin dalam Perang Badar sampai ke Makkah. Kematian mereka dalam kekafiran adalah bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah Yang Maha Mengetahui hal gaib, bukan karangan manusia.
2. Pelajaran tentang Keadilan Ilahi
Posisi Surah Al-Lahab sebagai surah setelah An Nasr sangatlah strategis. Ia mengajarkan bahwa dalam Islam, tidak ada nepotisme atau standar ganda. Abu Lahab adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ, darah dagingnya sendiri. Namun, hubungan kekerabatan itu sama sekali tidak memberinya imunitas dari hukum Allah. Di sisi lain, figur seperti Salman Al-Farisi (dari Persia) dan Bilal bin Rabah (seorang budak dari Habasyah) yang tidak memiliki hubungan darah, justru mendapat tempat yang mulia karena keimanan dan ketakwaan mereka.
Pelajaran ini sangat fundamental: kemuliaan di sisi Allah tidak diukur dari nasab, suku, warna kulit, atau status sosial, melainkan semata-mata dari ketakwaan. Keadilan Allah bersifat absolut dan berlaku untuk semua, tanpa terkecuali.
3. Bahaya Penentangan Terhadap Kebenaran
Kisah Abu Lahab adalah prototipe dari setiap individu yang menentang kebenaran karena kesombongan, kepentingan duniawi, dan kedengkian. Ia menolak dakwah bukan karena ia tidak mengerti atau tidak mengenal kejujuran Muhammad ﷺ, tetapi karena dakwah tersebut mengancam status quo, kekuasaan, dan tradisi nenek moyangnya. Surah ini menjadi peringatan abadi bagi siapa saja yang dengan sengaja memusuhi para pembawa kebenaran. Konsekuensinya adalah kebinasaan di dunia (hilangnya keberkahan dan kegagalan total) dan azab yang pedih di akhirat.
4. Peran Pasangan dalam Kebaikan dan Keburukan
Penyebutan istri Abu Lahab secara spesifik menyoroti pentingnya peran pasangan dalam kehidupan seseorang. Ummu Jamil bukanlah penonton pasif; ia adalah pendukung, penyemangat, dan mitra aktif dalam kejahatan suaminya. Mereka saling menguatkan dalam permusuhan terhadap Islam. Ini mengajarkan bahwa pasangan hidup bisa menjadi sumber kekuatan untuk kebaikan, yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, atau sebaliknya, menjadi pendorong menuju kebinasaan. Surah ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam memilih pasangan dan untuk membangun rumah tangga di atas fondasi takwa, bukan di atas permusuhan terhadap jalan Allah.
Kesimpulan: Transisi dari Kemenangan Umat ke Pertanggungjawaban Individu
Memahami surah setelah An Nasr adalah memahami sebuah spektrum lengkap dari ajaran Islam. Dari puncak kemenangan kolektif dalam Surah An-Nasr, kita diajak untuk melihat realitas pertanggungjawaban individu yang tegas dalam Surah Al-Lahab. Urutan ini seolah memberi pesan: "Wahai kaum mukminin, meskipun kemenangan besar telah Allah berikan kepadamu dan manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agamamu, jangan pernah lupakan bahwa setiap individu akan diadili berdasarkan perbuatannya. Jangan terlena, karena bahkan hubungan darah dengan nabi pun tidak akan menyelamatkan seseorang jika ia memilih jalan permusuhan dan kekafiran."
Surah Al-Lahab adalah cermin bagi kita semua. Ia memperingatkan tentang bahaya kesombongan, fanatisme buta, dan dampak destruktif dari fitnah. Lebih dari itu, ia adalah bukti kebenaran Al-Qur'an yang abadi, sebuah nubuat yang tergenapi secara sempurna dalam sejarah. Dengan merenungkan surah singkat ini, kita diajarkan untuk selalu memihak pada kebenaran, menjauhi permusuhan terhadap para pembawanya, dan memahami bahwa pada akhirnya, hanya iman dan amal saleh yang akan bermanfaat di hadapan Allah SWT, bukan harta, nasab, atau kedudukan duniawi.