Kisah Turunnya Surat An-Nas Bersama dengan Surat Al-Falaq: Perisai Perlindungan Ilahi

Dalam samudra luas Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan, kisah, dan cahaya petunjuknya sendiri. Namun, ada dua surat yang memiliki ikatan begitu erat, seolah-olah mereka adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Keduanya diturunkan bersamaan dalam satu peristiwa agung, membawa pesan perlindungan dan ketenangan bagi seluruh umat manusia. Dua surat tersebut adalah Surat An-Nas dan Surat Al-Falaq. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, surat An Nas diturunkan bersama dengan surat apa? Jawabannya adalah Surat Al-Falaq. Keduanya dikenal dengan sebutan Al-Mu'awwidzatain, yang berarti "dua surat perlindungan."

Kisah di balik turunnya dua surat ini bukanlah kisah biasa. Ia adalah sebuah narasi tentang ujian, kesabaran, dan intervensi ilahi yang menunjukkan betapa Allah SWT senantiasa menjaga hamba-Nya yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau, memberikan pelajaran abadi bagi kita semua. Artikel ini akan mengupas tuntas kisah dramatis tersebut, menyelami makna mendalam dari setiap ayat dalam Surat An-Nas dan Al-Falaq, serta menggali hikmah yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman hidup kita dalam menghadapi aneka ragam kejahatan yang tersembunyi maupun yang tampak.

Asbabun Nuzul: Kisah di Balik Turunnya Al-Mu'awwidzatain

Untuk memahami mengapa Surat An-Nas dan Al-Falaq diturunkan bersamaan, kita harus kembali ke sebuah peristiwa yang menguji Rasulullah SAW. Peristiwa ini diriwayatkan dalam berbagai kitab hadis dan tafsir, yang dikenal sebagai kisah sihir Labid bin Al-A'sam. Labid adalah seorang Yahudi dari kabilah Bani Zuraiq yang, karena dengki dan permusuhan, bersekongkol untuk menyihir Nabi Muhammad SAW.

Ia meminta bantuan seorang budak lelaki yang biasa melayani Rasulullah untuk mengambil beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir, beserta beberapa gigi dari sisir beliau. Dengan benda-benda inilah, Labid merangkai sihirnya. Ia membuat sebelas ikatan atau buhul pada seutas tali, meniupkan manteranya pada setiap buhul, dan menusuknya dengan jarum. Kemudian, bungkusan sihir itu ia sembunyikan di dalam mayang kurma jantan yang kering, lalu ditenggelamkan di dasar sumur tua bernama Dzarwan atau Dzu Arwan, sebuah sumur yang airnya keruh dan jarang digunakan.

Akibat sihir ini, Rasulullah SAW mulai merasakan dampak yang aneh pada dirinya. Beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Beliau merasa telah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu, menimbulkan kebingungan dan kegelisahan, namun penting untuk dicatat bahwa sihir ini hanya memengaruhi aspek duniawi beliau dan sama sekali tidak menyentuh wahyu, kenabian, atau tugasnya dalam menyampaikan risalah Allah. Misi sucinya tetap terjaga sempurna.

Dalam keadaan yang berat ini, Rasulullah SAW memperbanyak doa kepada Allah, memohon pertolongan dan kesembuhan. Hingga pada suatu malam, saat beliau tertidur, Allah SWT mengirimkan jawaban atas doa-doanya. Dalam mimpinya, beliau didatangi oleh dua sosok yang diyakini adalah malaikat, Jibril dan Mikail. Salah satunya duduk di dekat kepala beliau, dan yang lain di dekat kaki beliau. Terjadilah dialog di antara keduanya:

"Apa yang diderita orang ini?" tanya salah satu malaikat.
"Ia terkena sihir (matbub)," jawab yang lain.
"Siapa yang menyihirnya?"
"Labid bin Al-A'sam, seorang Yahudi."
"Dengan apa sihir itu dibuat?"
"Dengan sisir, rontokan rambut, dan mayang kurma jantan."
"Di mana benda itu sekarang?"
"Di sumur Dzarwan."

Setelah terbangun, Rasulullah SAW segera mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Beliau mengutus beberapa sahabatnya yang paling terpercaya, di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin Al-Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Para sahabat menemukan sumur itu persis seperti yang digambarkan dalam mimpi, dengan air yang berwarna kemerahan seperti rendaman daun pacar dan pohon-pohon kurma di sekitarnya tampak mengerikan. Mereka menguras air sumur dan mengangkat sebuah batu besar di dasarnya. Di bawah batu itulah mereka menemukan bungkusan sihir yang tersembunyi di dalam mayang kurma.

Bungkusan itu dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Saat dibuka, di dalamnya terdapat seutas tali dengan sebelas simpul. Pada saat itulah, Malaikat Jibril turun membawa wahyu dari Allah: Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas. Kedua surat ini, jika digabungkan, memiliki total sebelas ayat, persis sama dengan jumlah simpul sihir. Jibril kemudian membimbing Rasulullah SAW untuk membaca kedua surat tersebut. Setiap kali satu ayat dibacakan, satu simpul pada tali itu terlepas dengan sendirinya. Ketika ayat pertama dibacakan, simpul pertama terurai. Ketika ayat kedua dibacakan, simpul kedua lepas. Begitu seterusnya, hingga ayat kesebelas dibacakan dan simpul terakhir pun terlepas. Seketika itu juga, Rasulullah SAW merasa segar kembali seolah-olah baru saja terbebas dari sebuah ikatan yang berat. Beliau sembuh total atas izin Allah SWT.

Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya Surat An-Nas bersama dengan Surat Al-Falaq. Keduanya adalah jawaban langsung dari langit, sebuah formula perlindungan ilahi yang tidak hanya menyembuhkan Nabi pada saat itu, tetapi juga menjadi warisan abadi bagi umatnya sebagai benteng dari segala bentuk kejahatan.

Tafsir Mendalam Surat An-Nas: Perlindungan dari Bisikan Jahat

Surat An-Nas adalah surat ke-114, surat penutup dalam mushaf Al-Qur'an. Meskipun pendek, maknanya sangat dalam dan komprehensif. Surat ini secara spesifik mengajarkan kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari musuh terbesar manusia yang tak terlihat: bisikan jahat yang merusak hati dan iman.

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.")

Perintah "Qul" (Katakanlah) di awal surat ini bersifat langsung, ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umatnya. Ini menegaskan bahwa perlindungan bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan harus diminta secara aktif melalui doa dan ucapan lisan. Kita diperintahkan untuk berlindung kepada "Rabb an-Nas" (Tuhan manusia). Kata "Rabb" memiliki makna yang sangat luas, mencakup Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemelihara, dan Pendidik. Dengan menyebut "Rabb an-Nas", kita mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya yang menciptakan dan mengatur seluruh urusan manusia, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Ini adalah pengakuan totalitas ketuhanan dalam aspek pemeliharaan (Rububiyah).

Ayat 2: مَلِكِ النَّاسِ (Rajanya manusia.)

Setelah mengakui Allah sebagai Rabb, kita diajak untuk mengakui-Nya sebagai "Malik an-Nas" (Raja manusia). Jika "Rabb" berbicara tentang kepemilikan dan pemeliharaan, "Malik" berbicara tentang kedaulatan dan kekuasaan mutlak. Raja manusia yang sejati hanyalah Allah. Raja-raja di dunia memiliki kekuasaan yang terbatas oleh waktu, wilayah, dan kekuatan. Sedangkan kekuasaan Allah bersifat absolut, abadi, dan meliputi segalanya. Dengan berlindung kepada Raja manusia, kita melepaskan diri dari ketakutan terhadap penguasa-penguasa duniawi dan menambatkan hati hanya kepada Penguasa alam semesta.

Ayat 3: إِلَٰهِ النَّاسِ (Sembahan manusia.)

Ayat ini adalah puncak dari pengakuan. Setelah Allah sebagai Pemelihara (Rabb) dan Penguasa (Malik), kita mengakui-Nya sebagai "Ilah an-Nas" (Sembahan manusia). "Ilah" adalah Dzat yang berhak untuk disembah, dicintai, dan ditaati secara mutlak. Ini adalah inti dari tauhid Uluhiyah. Rangkaian tiga sifat ini—Rabb, Malik, Ilah—adalah fondasi tauhid yang kokoh. Kita berlindung kepada Allah bukan hanya karena Dia yang memelihara kita atau karena Dia yang berkuasa, tetapi karena Dia adalah satu-satunya yang layak menjadi tujuan ibadah kita. Dengan memohon perlindungan kepada-Nya dalam kapasitas-Nya sebagai Rabb, Malik, dan Ilah, kita telah menyerahkan diri secara total dan memohon perlindungan dengan cara yang paling sempurna.

Ayat 4: مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.)

Di sinilah kita sampai pada inti dari kejahatan yang kita mohonkan perlindungan darinya dalam surat ini. Kejahatan itu adalah "Al-Waswas al-Khannas". "Al-Waswas" adalah bisikan yang berulang-ulang, halus, dan menyusup ke dalam hati. Ini adalah metode utama setan (Iblis dan para pengikutnya) untuk menyesatkan manusia. Bisikan ini bisa berupa keraguan terhadap Allah, ajakan untuk berbuat maksiat, menumbuhkan rasa waswas dalam ibadah, atau memunculkan pikiran-pikiran kotor. Sifat kedua dari pembisik ini adalah "Al-Khannas," yang artinya 'yang bersembunyi' atau 'yang mundur'. Ini adalah taktiknya yang licik. Ketika seorang hamba mengingat Allah (berdzikir), setan akan mundur dan bersembunyi. Namun, ketika hamba itu lalai, setan akan kembali maju untuk membisikkan kejahatan. Ini mengajarkan kita bahwa dzikir adalah senjata paling ampuh untuk melawan bisikan setan.

Ayat 5: الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.)

Ayat ini menjelaskan di mana target dari bisikan itu. Setan tidak membisikkan ke telinga, melainkan langsung ke dalam "sudur an-nas" (dada manusia). "Sudur" adalah jamak dari "sadr" (dada), yang merupakan letak dari hati (qalb). Hati adalah pusat kendali manusia; pusat keimanan, niat, dan keputusan. Dengan menargetkan hati, setan berusaha merusak sumber kebaikan dari akarnya. Jika hati sudah terpengaruh, maka seluruh anggota tubuh akan mengikuti. Ini menunjukkan betapa berbahayanya serangan setan yang bersifat internal dan psikologis ini.

Ayat 6: مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (Dari (golongan) jin dan manusia.)

Ayat penutup ini memberikan klarifikasi yang sangat penting. Pembisik kejahatan (Al-Waswas) itu tidak hanya berasal dari golongan jin (setan), tetapi juga bisa berasal dari golongan manusia. Ada manusia yang perannya seperti setan: mereka membisikkan keraguan, mengajak kepada kemungkaran, menyebarkan fitnah, dan menjauhkan orang lain dari jalan kebenaran. Mereka bisa jadi teman yang buruk, media yang menyesatkan, atau ideologi yang merusak. Oleh karena itu, Surat An-Nas mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari segala bentuk bisikan jahat, baik yang gaib dari jin maupun yang nyata dari sesama manusia.

Tafsir Mendalam Surat Al-Falaq: Perlindungan dari Kejahatan Eksternal

Jika Surat An-Nas fokus pada perlindungan dari kejahatan internal (bisikan), maka Surat Al-Falaq, surat ke-113, fokus pada permohonan perlindungan dari berbagai bentuk kejahatan eksternal yang datang dari luar diri kita. Surat ini juga dimulai dengan perintah "Qul" yang menunjukkan pentingnya permohonan aktif.

Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh.")

Kita diperintahkan berlindung kepada "Rabb al-Falaq". Kata "Al-Falaq" secara harfiah berarti 'terbelah' atau 'terpecah'. Makna yang paling populer adalah subuh atau fajar, yaitu saat malam terbelah oleh cahaya pagi. Ini adalah simbol yang sangat kuat. Berlindung kepada Tuhan yang mampu membelah kegelapan malam dengan cahaya subuh adalah permohonan agar Allah membelah segala kegelapan kejahatan, kesulitan, dan ketakutan dalam hidup kita dengan cahaya pertolongan, kemudahan, dan keamanan-Nya. Sebagian ulama juga menafsirkan "Al-Falaq" secara lebih umum sebagai 'segala sesuatu yang diciptakan' melalui proses pemisahan, seperti biji yang terbelah menumbuhkan tunas, atau rahim yang terbelah melahirkan makhluk baru. Dengan makna ini, kita berlindung kepada Tuhan seluruh ciptaan.

Ayat 2: مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (Dari kejahatan (makhluk) yang Dia ciptakan.)

Ini adalah permohonan perlindungan yang sangat umum dan mencakup segalanya. Kita memohon perlindungan dari kejahatan "ma khalaq" (apa yang Dia ciptakan). Ini mencakup kejahatan dari manusia, jin, binatang buas, serangga berbisa, penyakit, bencana alam, dan segala sesuatu di alam ciptaan yang bisa mendatangkan mudarat. Penting untuk dipahami bahwa ciptaan Allah pada dasarnya baik, tetapi bisa memiliki potensi kejahatan atau menjadi sumber keburukan dalam konteks tertentu. Ular, misalnya, adalah makhluk Allah, tetapi bisanya adalah kejahatan bagi kita. Api adalah ciptaan Allah yang bermanfaat, tetapi bisa menjadi kejahatan jika membakar rumah kita.

Ayat 3: وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.)

Setelah permohonan umum, Allah merinci beberapa kejahatan spesifik yang perlu kita waspadai. Yang pertama adalah "syarri ghasiqin idza waqab" (kejahatan malam apabila telah gelap gulita). Malam seringkali menjadi waktu di mana kejahatan merajalela. Kegelapan memberikan perlindungan bagi para pelaku kriminal, binatang buas keluar mencari mangsa, dan kekuatan-kekuatan jahat dari dunia gaib menjadi lebih aktif. Rasa takut dan cemas juga seringkali meningkat di malam hari. Oleh karena itu, kita diajarkan secara khusus untuk memohon perlindungan dari segala bahaya yang menyertai datangnya kegelapan malam.

Ayat 4: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (Dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya).)

Ayat ini merujuk langsung pada praktik sihir, seperti yang dialami oleh Rasulullah SAW. "An-Naffatsati fil-'uqad" adalah para peniup pada buhul-buhul. Ini adalah deskripsi klasik tentang para penyihir yang membuat simpul-simpul pada tali sambil membacakan mantera dan meniupkannya untuk 'mengunci' sihir mereka. Penyebutan kejahatan sihir secara spesifik dalam Al-Qur'an adalah penegasan bahwa sihir itu nyata dan berbahaya. Namun, ayat ini juga memberikan solusi paling ampuh untuk melawannya: berlindung kepada Allah, Rabb Al-Falaq. Kekuatan sihir, seberapa pun hebatnya, tidak akan pernah mampu mengalahkan kekuasaan Allah SWT.

Ayat 5: وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.)

Kejahatan spesifik terakhir yang disebutkan adalah "syarri hasidin idza hasad" (kejahatan pendengki apabila ia mendengki). Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia adalah perasaan tidak suka terhadap nikmat yang diterima orang lain dan berharap nikmat itu hilang darinya. Dengki adalah dosa pertama yang terjadi di langit (ketika Iblis dengki kepada Adam) dan di bumi (ketika Qabil dengki kepada Habil). Rasa dengki dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan jahat, mulai dari fitnah (ghibah), adu domba, hingga kejahatan fisik seperti mencelakai atau bahkan membunuh. Ayat ini juga melindungi kita dari "ain", yaitu pandangan mata jahat yang lahir dari rasa dengki yang bisa menimbulkan penyakit atau musibah. Dengan berlindung kepada Allah, kita memohon agar dijaga dari dampak buruk kedengkian orang lain.

Al-Mu'awwidzatain: Dua Perisai Pelindung Seorang Muslim

Julukan Al-Mu'awwidzatain yang diberikan kepada Surat An-Nas dan Al-Falaq bukanlah tanpa alasan. Rasulullah SAW sendiri sangat menekankan pentingnya kedua surat ini sebagai bacaan perlindungan (ruqyah) yang paling utama. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Amir, Rasulullah SAW bersabda:

"Tidakkah engkau melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Belum pernah ada yang semisal dengannya, yaitu Qul A'udzu bi Rabbil Falaq dan Qul A'udzu bi Rabbin Nas." (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan keistimewaan dan keunggulan dua surat ini dibandingkan bacaan-bacaan perlindungan lainnya. Rasulullah SAW menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari amalan hariannya. Aisyah RA meriwayatkan bahwa setiap malam menjelang tidur, Rasulullah SAW akan menyatukan kedua telapak tangannya, lalu membaca Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, kemudian meniupkannya ke kedua telapak tangannya. Setelah itu, beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuhnya. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari dan Muslim).

Amalan ini mengajarkan kita sebuah ritual perlindungan yang sederhana namun sangat kuat sebelum memasuki alam istirahat, saat jiwa dan raga berada dalam kondisi yang lebih rentan. Selain itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan untuk membacanya setelah selesai shalat fardhu. Membaca tiga surat ini (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) setiap selesai shalat akan menjadi benteng yang menjaga seorang hamba dari pagi hingga petang, dan dari petang hingga pagi berikutnya. Rutinitas ini menjadikan seorang Muslim senantiasa berada dalam penjagaan Allah, memperbarui permohonan perlindungannya lima kali sehari.

Fungsi Al-Mu'awwidzatain sebagai ruqyah (penyembuhan) juga sangat jelas dari kisah asbabun nuzulnya. Kedua surat ini adalah obat yang Allah turunkan untuk menyembuhkan sihir yang menimpa Rasulullah SAW. Oleh karena itu, keduanya menjadi bacaan utama dalam praktik ruqyah syar'iyyah untuk mengobati berbagai macam penyakit, baik yang bersifat medis maupun non-medis, seperti gangguan jin, sihir, dan 'ain.

Hikmah dan Pelajaran Abadi

Kisah turunnya Surat An-Nas dan Al-Falaq menyimpan banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan seorang Muslim di setiap zaman.

Kesimpulan

Jawaban atas pertanyaan, surat An Nas diturunkan bersama dengan surat apa, adalah Surat Al-Falaq. Keduanya, Al-Mu'awwidzatain, diturunkan dalam satu paket ilahi sebagai respons langsung atas ujian berat yang menimpa Nabi Muhammad SAW. Mereka bukan sekadar dua surat pendek di akhir mushaf Al-Qur'an, melainkan sebuah deklarasi kemahakuasaan Allah sebagai satu-satunya Pelindung sejati. Kisah turunnya mengajarkan kita tentang realitas perjuangan abadi antara kebaikan dan keburukan, serta menyediakan senjata paling ampuh bagi setiap mukmin untuk memenangkan perjuangan tersebut.

Dengan memahami makna dan mengamalkan bacaan Surat An-Nas dan Al-Falaq dalam kehidupan sehari-hari, kita sedang membangun benteng pertahanan yang tak tertembus di sekeliling diri kita. Kita memohon perlindungan kepada Tuhan Pemelihara, Raja, dan Sembahan manusia, dari bisikan jahat yang menyusup ke dalam hati. Kita juga berlindung kepada Tuhan Penguasa Fajar, dari segala kejahatan yang diciptakan-Nya, dari kegelapan malam, dari tipu daya sihir, dan dari bahaya api kedengkian. Keduanya adalah anugerah tak ternilai, sebuah tali penyelamat yang Allah ulurkan dari langit untuk menjaga hamba-hamba-Nya di bumi. Maka, marilah kita senantiasa membasahi lisan kita dengan dua surat perlindungan ini, menjadikannya zikir pagi dan petang, penutup shalat, dan pengantar tidur, agar kita senantiasa berada dalam naungan dan penjagaan-Nya.

🏠 Homepage