Dalam samudra luas Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan, pesan, dan konteksnya sendiri. Salah satu surat yang paling dikenal, meskipun sangat singkat, adalah Surat An-Nashr. Pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang adalah, Surat An-Nashr surat yang ke berapa? Jawabannya adalah, Surat An-Nashr merupakan surat yang ke-110 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Surat ini terdiri dari tiga ayat yang padat makna dan tergolong sebagai surat Madaniyah, yaitu surat yang diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah.
Nama "An-Nashr" sendiri berarti "Pertolongan". Nama ini diambil dari kata pertama pada ayat pertama surat ini. Selain An-Nashr, surat ini juga dikenal dengan nama "Surat At-Taudi'" yang berarti "perpisahan". Penamaan ini memiliki makna yang sangat mendalam, karena banyak ulama tafsir berpendapat bahwa surat ini merupakan isyarat akan dekatnya akhir tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW dan kepulangannya ke Rahmatullah. Surat ini bukan sekadar proklamasi kemenangan, melainkan sebuah panduan spiritual tentang bagaimana seorang mukmin sejati merespons puncak kesuksesan dan pertolongan ilahi.
Teks Surat An-Nashr dan Terjemahannya
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1)
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2)
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.
Konteks Sejarah Penurunan (Asbabun Nuzul)
Untuk memahami kedalaman makna Surat An-Nashr, kita harus menyelami konteks sejarah penurunannya. Mayoritas ulama sepakat bahwa surat ini diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, setelah peristiwa besar yang mengubah peta Jazirah Arab, yaitu Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah.
Fathu Makkah bukanlah sebuah penaklukan militer yang berdarah-darah. Sebaliknya, ia adalah puncak dari kesabaran, strategi, dan pertolongan ilahi yang luar biasa. Selama lebih dari dua dekade, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya mengalami berbagai macam penindasan, pengusiran, boikot, dan peperangan dari kaum Quraisy di Mekkah. Hijrah ke Madinah adalah titik awal pembangunan kekuatan, namun kerinduan untuk kembali ke kota suci Mekkah dan membersihkannya dari berhala tidak pernah padam.
Kemenangan ini diawali oleh Perjanjian Hudaibiyah, sebuah gencatan senjata yang pada awalnya tampak merugikan kaum muslimin. Namun, Allah menyebutnya sebagai "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina). Perjanjian ini memungkinkan dakwah Islam menyebar lebih luas tanpa adanya peperangan terbuka. Ketika kaum Quraisy melanggar perjanjian tersebut dengan membantu sekutu mereka menyerang suku yang bersekutu dengan kaum muslimin, Nabi Muhammad SAW memiliki alasan yang sah untuk bergerak menuju Mekkah. Dengan pasukan besar yang terdiri dari sekitar 10.000 sahabat, beliau memasuki Mekkah nyaris tanpa perlawanan. Beliau memasuki kota kelahirannya dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati, bukan dengan arogansi seorang penakluk.
Di saat itulah, saat kemenangan terbesar dalam sejarah Islam terwujud, Surat An-Nashr diturunkan. Surat ini turun sebagai konfirmasi atas pertolongan Allah yang telah datang, sekaligus sebagai penanda bahwa misi utama Rasulullah SAW—yaitu menegakkan tauhid di jantung Jazirah Arab—telah hampir paripurna.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)
Ayat pertama ini membuka surat dengan sebuah kalimat bersyarat yang penuh kepastian. Kata "Idza" (إِذَا) dalam bahasa Arab seringkali digunakan untuk sesuatu yang pasti akan terjadi, berbeda dengan kata "in" (إن) yang bisa mengandung keraguan. Penggunaan "Idza" di sini menegaskan bahwa pertolongan Allah dan kemenangan adalah sebuah keniscayaan yang telah dijanjikan dan pasti akan tiba.
"Nashrullah" (نَصْرُ اللَّهِ), atau pertolongan Allah, adalah konsep sentral. Kata "nashr" tidak hanya berarti bantuan biasa, tetapi pertolongan yang membawa kepada kemenangan telak atas musuh. Penyandaran kata "nashr" kepada "Allah" (Nashrullah) mengandung makna bahwa pertolongan ini bukan berasal dari kekuatan manusia, strategi militer, atau jumlah pasukan. Ia murni anugerah dan intervensi dari Allah SWT. Ini adalah pengingat bahwa segala daya dan upaya manusia tidak akan berarti tanpa izin dan pertolongan dari-Nya. Selama bertahun-tahun, kaum muslimin berjuang, bersabar, dan berkorban, dan kini Allah menunjukkan buah dari kesabaran mereka dengan pertolongan-Nya yang langsung.
"Wal-Fath" (وَالْفَتْحُ), yang berarti "dan kemenangan" atau secara harfiah "pembukaan". Para mufassir secara ijma' (konsensus) menafsirkan "Al-Fath" di sini sebagai Fathu Makkah. Mekkah, yang selama ini menjadi benteng paganisme dan pusat perlawanan terhadap Islam, kini "terbuka" untuk cahaya tauhid. Ka'bah, rumah Allah yang pertama, dibersihkan dari lebih dari 360 berhala yang mengotorinya. Pembukaan Mekkah bukan hanya kemenangan fisik, tetapi juga kemenangan spiritual dan ideologis yang dampaknya terasa ke seluruh penjuru Arab. Dengan jatuhnya Mekkah, runtuhlah simbol perlawanan terbesar terhadap Islam, membuka jalan bagi agama ini untuk diterima secara luas.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)
Ayat kedua ini menggambarkan dampak langsung dari pertolongan dan kemenangan yang disebutkan di ayat pertama. Ini adalah buah yang terlihat nyata dari "Nashrullah" dan "Al-Fath".
"Wa ra'aita an-naas" (وَرَأَيْتَ النَّاسَ), artinya "dan engkau melihat manusia". Kata ganti "engkau" (ra'aita) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah pemandangan yang disaksikan langsung oleh beliau, sebuah peneguhan atas kebenaran risalah yang dibawanya. Setelah bertahun-tahun berdakwah kepada individu, kini beliau menyaksikan transformasi sosial dalam skala masif. "An-Naas" (manusia) di sini merujuk pada kabilah-kabilah dan suku-suku Arab dari berbagai penjuru.
Sebelum Fathu Makkah, banyak kabilah Arab yang mengambil sikap menunggu. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) menyelesaikan urusan mereka. Jika dia menang atas kaumnya, maka dia adalah seorang nabi yang benar." Bagi mereka, Quraisy adalah penjaga Ka'bah dan pemimpin spiritual Arab. Kemenangan Nabi Muhammad SAW atas Quraisy menjadi bukti tak terbantahkan atas kebenarannya.
"Yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa" (يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا), artinya "masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong". Kata "afwaajaa" adalah bentuk jamak dari "fauj", yang berarti rombongan besar, kelompok, atau delegasi. Ini menggambarkan sebuah eksodus massal dari kemusyrikan menuju tauhid. Bukan lagi satu atau dua orang yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, melainkan seluruh suku dan kabilah datang dari Yaman, Oman, Bahrain, dan berbagai wilayah lainnya untuk menyatakan keislaman mereka di hadapan Rasulullah SAW. Periode setelah Fathu Makkah bahkan dikenal sebagai "'Am al-Wufud" atau "Tahun Delegasi", di mana Madinah dibanjiri oleh rombongan-rombongan yang datang untuk belajar Islam dan berbai'at. Ini adalah realisasi dari janji Allah yang telah lama dinantikan.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat)
Ini adalah ayat puncak yang berisi instruksi ilahi sebagai respons atas nikmat kemenangan yang agung. Logika manusia mungkin akan berkata, "Saatnya berpesta, merayakan kemenangan, dan menikmati kekuasaan." Namun, Al-Qur'an memberikan arahan yang jauh lebih luhur dan mendalam.
"Fasabbih bihamdi Rabbika" (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ), artinya "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini terdiri dari dua komponen:
- Tasbih (سَبِّحْ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan, kelemahan, dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dengan bertasbih, seorang hamba mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatan dirinya, tetapi karena kesempurnaan kuasa Allah semata. Ini adalah obat penawar bagi kesombongan dan keangkuhan yang sering menyertai kesuksesan.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Memuji Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Ini adalah wujud syukur. Jika tasbih adalah menafikan kekurangan, maka tahmid adalah menetapkan segala pujian dan kesempurnaan bagi Allah. Gabungan keduanya, "tasbih bihamdi", adalah pengakuan total atas keagungan Allah sebagai sumber segala kebaikan.
"Wastaghfirh" (وَاسْتَغْفِرْهُ), artinya "dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Ini adalah bagian yang paling menyentuh dan penuh pelajaran. Mengapa di puncak kemenangan dan kesempurnaan tugas, Rasulullah SAW justru diperintahkan untuk beristighfar? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang saling melengkapi:
- Sebagai Isyarat Dekatnya Ajal: Ini adalah penafsiran yang paling masyhur, diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Sebuah tugas yang telah sempurna menandakan bahwa sang pelaksana tugas akan segera dipanggil pulang. Istighfar adalah persiapan terbaik untuk bertemu dengan Allah SWT. Kemenangan besar ini adalah tanda bahwa misi dakwah Nabi di dunia telah selesai.
- Sebagai Bentuk Kerendahan Hati: Istighfar di saat sukses adalah puncak ketawadhuan. Ia adalah pengakuan bahwa dalam menjalankan tugas besar ini, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau hal-hal yang tidak sempurna yang mungkin dilakukan oleh seorang manusia, bahkan sekelas nabi sekalipun. Ini mengajarkan umatnya bahwa tidak ada ruang untuk merasa telah sempurna dalam beribadah dan berjuang.
- Sebagai Penebus Kesalahan Umat: Sebagian ulama berpendapat bahwa istighfar ini juga untuk memohonkan ampun bagi kekurangan-kekurangan yang ada pada umatnya selama proses perjuangan yang panjang.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surat ini. Mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan." Namun, ketika Umar bertanya kepada Ibnu Abbas (yang saat itu masih muda), ia menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda ajalmu. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya'." Umar pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui tafsirnya selain dari apa yang engkau katakan."
"Innahu kaana tawwaabaa" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا), artinya "Sungguh, Dia Maha Penerima taubat". Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah yang Maha Penerima Taubat (At-Tawwab). Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar. Setelah perintah untuk beristighfar, Allah langsung meyakinkan bahwa Dia selalu menerima kembali hamba-Nya yang bertaubat. Kata "tawwaabaa" menggunakan bentuk yang menunjukkan intensitas dan keberulangan, artinya Allah berkali-kali dan senantiasa menerima taubat, tidak peduli seberapa besar atau seberapa sering kesalahan yang dilakukan, selama taubat itu tulus. Ini adalah pesan rahmat yang mengiringi selesainya sebuah misi agung.
Pelajaran dan Hikmah yang Terkandung
Surat An-Nashr, meskipun pendek, sarat dengan pelajaran abadi bagi setiap muslim di setiap zaman. Beberapa hikmah utama yang dapat kita petik antara lain:
- Kemenangan Hakiki Berasal dari Allah: Surat ini mengajarkan bahwa kesuksesan, kemenangan, dan pertolongan bukanlah hasil dari kecerdasan atau kekuatan manusia semata. Ia adalah anugerah murni dari Allah. Ini menanamkan sifat tawakal dan ketergantungan total hanya kepada-Nya.
- Sikap Seorang Pemenang Sejati: Islam mengajarkan etika kemenangan yang unik. Puncak kesuksesan tidak dirayakan dengan euforia yang melalaikan, kesombongan, atau balas dendam. Sebaliknya, ia disambut dengan tasbih (mensucikan Allah), tahmid (memuji-Nya), dan istighfar (memohon ampunan). Ini adalah formula untuk menjaga hati agar tetap rendah di hadapan Allah.
- Setiap Amanah Ada Batas Waktunya: Kemenangan besar dalam surat ini juga menjadi penanda berakhirnya sebuah tugas. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan, jabatan, kekuasaan, dan setiap amanah yang kita emban di dunia ini memiliki batas akhir. Oleh karena itu, persiapan untuk kembali kepada Allah (dengan istighfar dan amal saleh) harus senantiasa dilakukan.
- Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan: Perintah untuk beristighfar di saat kemenangan menunjukkan bahwa manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Istighfar bukan hanya untuk para pendosa, tetapi juga untuk orang-orang saleh sebagai bentuk penyempurnaan amal dan pengakuan atas kelemahan diri di hadapan keagungan Allah.
- Optimisme dan Janji Allah: Surat ini membawa kabar gembira dan menanamkan optimisme bahwa setelah kesulitan dan perjuangan panjang, pertolongan Allah pasti akan datang. Ini menjadi sumber kekuatan bagi kaum muslimin yang sedang menghadapi ujian dan tantangan.
- Rahmat Allah yang Tak Terbatas: Penutup surat dengan sifat Allah "At-Tawwab" adalah pesan universal tentang luasnya ampunan dan rahmat-Nya. Tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada-Nya, karena pintu taubat-Nya selalu terbuka bagi siapa saja yang tulus.
Sebagai kesimpulan, Surat An-Nashr bukan hanya catatan sejarah tentang kemenangan Fathu Makkah. Ia adalah sebuah manifesto tentang teologi kesuksesan dalam Islam. Ia menjawab pertanyaan fundamental: "Apa yang harus kita lakukan ketika Allah memberikan kita kemenangan dan keberhasilan?" Jawabannya bukanlah pesta, melainkan sujud syukur yang diwujudkan dalam zikir, pujian, dan permohonan ampun, sebagai persiapan untuk fase kehidupan selanjutnya, yaitu pertemuan dengan Sang Pemberi Kemenangan itu sendiri.