Mengungkap Makna di Balik Lafal Terakhir Surat An-Nasr Ayat 1

Pertanyaan mengenai lafal atau kata yang mengakhiri sebuah ayat dalam Al-Qur'an seringkali muncul, terutama pada ayat-ayat yang populer dan sarat makna. Salah satu pertanyaan yang cukup sering diajukan adalah, "Surat An-Nasr ayat 1 diakhiri dengan lafal apa?" Pertanyaan ini, meskipun tampak sederhana, membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang salah satu surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini, meski singkat, memuat pesan kemenangan, kerendahan hati, dan isyarat akan selesainya sebuah tugas agung.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara langsung dan tuntas, mari kita perhatikan ayat pertama dari Surat An-Nasr secara saksama. Ayat ini menjadi penanda sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, sebuah momen yang telah dinanti-nantikan oleh kaum muslimin selama bertahun-tahun.

Jawaban Langsung: Lafal yang Mengakhiri Ayat Pertama

Surat An-Nasr ayat 1 diakhiri dengan lafal "wal-fatḥ" (وَالْفَتْحُ). Lafal ini memiliki arti "dan kemenangan" atau "dan penaklukan". Untuk melihatnya dalam konteks ayat yang utuh, berikut adalah bunyi lengkap dari ayat pertama Surat An-Nasr:

Kaligrafi Arab Surat An-Nasr Ayat 1 إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Kaligrafi Arab surat An-Nasr ayat 1
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

"Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ"

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Dari kutipan di atas, sangat jelas bahwa kata terakhir dalam ayat tersebut adalah وَالْفَتْحُ (wal-fatḥ). Kata ini menjadi kunci untuk memahami keseluruhan pesan surah ini. Namun, sekadar mengetahui nama lafalnya tentu tidak cukup. Ada lautan makna yang terkandung di dalam setiap kata pada ayat ini, yang akan kita selami lebih dalam.

Tadabbur Kata per Kata: Makna Mendalam Ayat Pertama

Untuk memahami esensi dari sebuah ayat Al-Qur'an, salah satu metode terbaik adalah dengan membedah setiap katanya. Mari kita uraikan makna dari setiap komponen pada ayat "Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ".

1. إِذَا (Iżā) - Apabila

Kata "Iżā" adalah sebuah kata keterangan waktu (zharaf zaman) dalam bahasa Arab yang berarti "apabila" atau "ketika". Berbeda dengan kata "in" (jika) yang mengandung kemungkinan atau ketidakpastian, "iżā" digunakan untuk sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Penggunaan kata ini sejak awal ayat sudah memberikan sinyal kuat bahwa peristiwa yang akan disebutkan—datangnya pertolongan Allah dan kemenangan—adalah sebuah keniscayaan. Ini bukan sekadar harapan, melainkan sebuah janji pasti dari Allah SWT.

2. جَاءَ (Jā'a) - Telah Datang

Kata "Jā'a" adalah bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi) yang berarti "telah datang". Dalam konteks ini, meskipun menggunakan bentuk lampau, ia merujuk pada peristiwa di masa depan yang kepastiannya setara dengan sesuatu yang sudah terjadi. Ini adalah gaya bahasa Al-Qur'an yang sangat kuat, untuk menekankan betapa pasti dan tak terelakkannya janji tersebut. Kedatangan yang dimaksud bukanlah sekadar kedatangan biasa, melainkan sebuah kehadiran yang nyata, besar, dan dapat disaksikan secara langsung.

3. نَصْرُ اللَّهِ (Naṣrullāhi) - Pertolongan Allah

Frasa ini terdiri dari dua kata: "Naṣr" (pertolongan) dan "Allāh". Penyandaran kata "pertolongan" langsung kepada "Allah" (idhafah) memiliki makna yang sangat mendalam. Ini menegaskan bahwa pertolongan yang datang bukanlah hasil dari kekuatan manusia, strategi militer, atau jumlah pasukan semata. Pertolongan ini murni berasal dari Allah. Ia adalah sumber segala kekuatan. Ini adalah pengingat bagi kaum muslimin bahwa kemenangan sejati hanya bisa diraih dengan campur tangan ilahi. "Naṣr" sendiri secara bahasa berarti bantuan yang diberikan untuk mengalahkan musuh atau mengatasi kesulitan.

4. وَالْفَتْحُ (Wal-Fatḥ) - Dan Kemenangan

Inilah lafal yang menjadi fokus utama kita. Lafal ini diawali dengan huruf "wa" (وَ) yang berarti "dan", berfungsi sebagai penghubung (athaf). Kata intinya adalah "Al-Fatḥ" (الْفَتْحُ). Secara harfiah, "fatḥ" berarti "membuka". Dari makna dasar ini, ia berkembang menjadi "penaklukan" atau "kemenangan", karena sebuah penaklukan pada hakikatnya adalah "membuka" sebuah kota atau wilayah yang sebelumnya tertutup atau dikuasai musuh.

Para ulama tafsir sepakat bahwa "Al-Fatḥ" yang dimaksud dalam ayat ini secara spesifik merujuk pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Ini bukanlah kemenangan militer biasa yang diwarnai pertumpahan darah, melainkan sebuah "pembukaan" besar yang mengubah total lanskap Jazirah Arab dan menjadi puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ selama lebih dari dua dekade.

Konteks Sejarah: Peristiwa Agung Fathu Makkah

Untuk benar-benar menghargai makna "Al-Fatḥ", kita harus menengok kembali kepada peristiwa historis yang melatarbelakanginya. Fathu Makkah adalah klimaks dari serangkaian peristiwa yang dimulai dari Perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini bukan sekadar penaklukan sebuah kota, melainkan kembalinya Islam ke pusat spiritualnya, yaitu Ka'bah.

Latar Belakang: Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah

Beberapa waktu sebelumnya, Nabi Muhammad ﷺ dan kaum muslimin mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy Mekkah. Salah satu poin kesepakatan adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, di mana setiap kabilah Arab bebas untuk bersekutu dengan pihak muslimin atau pihak Quraisy. Kabilah Khuza'ah memilih bersekutu dengan Nabi Muhammad ﷺ, sementara Kabilah Bani Bakr memilih berpihak pada Quraisy.

Namun, kaum Quraisy secara licik melanggar perjanjian ini. Mereka membantu sekutunya, Bani Bakr, untuk menyerang Kabilah Khuza'ah di malam hari. Anggota Kabilah Khuza'ah yang sedang tidak berdaya dibunuh, bahkan sebagian dari mereka yang mencari perlindungan di dekat Tanah Haram pun tidak luput dari serangan. Pelanggaran yang terang-terangan ini membatalkan Perjanjian Hudaibiyah dan memberikan hak kepada kaum muslimin untuk mengambil tindakan balasan.

Persiapan dan Pergerakan Pasukan Muslimin

Menanggapi pengkhianatan ini, Nabi Muhammad ﷺ mempersiapkan pasukan terbesar yang pernah ada dalam sejarah Islam saat itu. Sekitar 10.000 prajurit dimobilisasi dari Madinah dan kabilah-kabilah sekutu. Tujuan utama pergerakan ini dirahasiakan untuk memberikan elemen kejutan dan mencegah pertumpahan darah yang tidak perlu. Rasulullah ﷺ berdoa, "Ya Allah, butakanlah mata-mata dan informan Quraisy sehingga kami bisa mendatangi mereka secara tiba-tiba di negeri mereka."

Pergerakan pasukan yang masif ini akhirnya tiba di Marr Az-Zahran, sebuah lokasi di dekat Mekkah. Di sana, Nabi ﷺ memerintahkan setiap prajurit untuk menyalakan api unggun. Alhasil, ribuan titik api menerangi lembah di malam hari, menciptakan pemandangan yang menggetarkan jiwa siapa pun yang melihatnya. Taktik ini berhasil menimbulkan efek psikologis yang luar biasa pada kaum Quraisy. Mereka menyadari bahwa kekuatan yang datang bukanlah kekuatan yang bisa mereka lawan.

Momen Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah

Pemimpin Quraisy saat itu, Abu Sufyan bin Harb, yang selama bertahun-tahun menjadi musuh bebuyutan Islam, keluar untuk mencari informasi. Ia akhirnya bertemu dengan Al-Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang kemudian membawanya menghadap Rasulullah ﷺ. Di hadapan kebesaran pasukan Islam dan keagungan pribadi Nabi Muhammad ﷺ, Abu Sufyan akhirnya menyatakan keislamannya.

Nabi Muhammad ﷺ, dengan kebijaksanaan dan kasih sayangnya, tidak hanya menerima keislaman Abu Sufyan tetapi juga memberinya sebuah kehormatan. Beliau mengumumkan, "Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman. Barangsiapa yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan barangsiapa yang masuk ke Masjidil Haram, maka ia aman."

Pengumuman ini adalah sebuah deklarasi kemenangan yang damai. Nabi ﷺ memasuki kota kelahirannya, Mekkah, bukan sebagai penakluk yang angkuh, melainkan sebagai seorang hamba Allah yang tawadhu (rendah hati). Beliau menundukkan kepalanya di atas untanya hingga hampir menyentuh pelana, sebagai wujud syukur dan kerendahan hati di hadapan Allah yang telah memberikan "Naṣr" dan "Fatḥ" ini.

Pasukan muslimin memasuki Mekkah dari berbagai penjuru, dengan instruksi tegas untuk tidak memulai pertempuran kecuali jika diserang lebih dulu. Hampir seluruh kota menyerah tanpa perlawanan. Peristiwa ini benar-benar sebuah "pembukaan", bukan penghancuran. Pintu-pintu Mekkah dibuka lebar-lebar untuk cahaya Islam.

Peristiwa Fathu Makkah adalah manifestasi nyata dari "pertolongan Allah" (Naṣrullāh) dan "kemenangan yang membuka" (Al-Fatḥ). Ia bukan sekadar kemenangan militer, tetapi kemenangan moral, spiritual, dan kemanusiaan.

Tafsir Lanjutan Surat An-Nasr: Ayat 2 dan 3

Memahami ayat pertama sebagai janji Fathu Makkah akan membantu kita mengerti kelanjutan dari surah ini. Ayat kedua dan ketiga menjelaskan dampak dari kemenangan tersebut dan sikap yang seharusnya diambil oleh seorang mukmin ketika meraihnya.

Ayat 2: Manusia Berbondong-bondong Masuk Agama Allah

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

"Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā"

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat ini adalah konsekuensi logis dari ayat pertama. Setelah Fathu Makkah, citra Islam dan Nabi Muhammad ﷺ berubah total di mata kabilah-kabilah Arab. Sebelumnya, banyak kabilah yang masih ragu-ragu. Mereka menganggap perseteruan antara Nabi Muhammad ﷺ dan kaum Quraisy sebagai urusan internal keluarga. Mereka berkata, "Biarkan saja Muhammad dengan kaumnya. Jika dia menang atas mereka, berarti dia benar-benar seorang nabi."

Ketika Mekkah, sebagai pusat keagamaan dan kekuatan di Jazirah Arab, takluk di bawah panji Islam tanpa perlawanan berarti, kabilah-kabilah lain pun yakin akan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Mereka melihat ini sebagai tanda nyata dukungan ilahi. Akibatnya, mereka datang dari segala penjuru untuk menyatakan keislaman mereka. Kata "afwājā" (أَفْوَاجًا) yang berarti "berkelompok-kelompok" atau "berbondong-bondong" menggambarkan fenomena ini dengan sangat indah. Bukan lagi satu atau dua orang yang masuk Islam, melainkan seluruh suku dan kabilah datang bersama-sama untuk memeluk agama Allah.

Ayat 3: Perintah Bertasbih, Bertahmid, dan Beristighfar

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

"Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh, innahụ kāna tawwābā"

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Inilah puncak dari pesan surah ini. Setelah mendapatkan pertolongan (Naṣr) dan kemenangan (Fatḥ), serta menyaksikan buah dari dakwah (manusia masuk Islam berbondong-bondong), apa respons yang diperintahkan Allah? Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula balas dendam. Respons yang diajarkan Al-Qur'an adalah kembali kepada Allah dengan tiga amalan utama:

  1. Tasbih (فَسَبِّحْ - Fasabbiḥ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatan kita, melainkan karena kesempurnaan dan kekuasaan Allah. Ini adalah bentuk kerendahan hati tertinggi.
  2. Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Biḥamdi rabbika): Memuji Tuhanmu. Setelah mensucikan-Nya, kita memuji-Nya atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan, terutama nikmat kemenangan dan hidayah.
  3. Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Wastagfirh): Memohon ampunan kepada-Nya. Ini mungkin terdengar aneh. Mengapa memohon ampun di saat menang? Ini adalah pelajaran adab yang luar biasa. Istighfar dilakukan untuk menutupi segala kekurangan dan kelalaian yang mungkin terjadi selama perjuangan. Mungkin ada niat yang tidak lurus, atau ada hak yang terabaikan. Istighfar adalah pengakuan bahwa sebagai manusia, kita tidak pernah bisa sempurna dalam menunaikan hak-hak Allah.

Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah: "Innahụ kāna tawwābā" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Ini adalah sebuah jaminan dan kabar gembira. Allah selalu membuka pintu tobat-Nya lebar-lebar bagi hamba-Nya yang mau kembali, tidak peduli dalam keadaan apa pun, baik dalam kesulitan maupun dalam puncak kejayaan.

Asbabun Nuzul dan Isyarat Perpisahan

Surat An-Nasr memiliki kedudukan yang sangat istimewa karena ia termasuk surah terakhir yang diturunkan secara lengkap. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa surah ini diturunkan di Mina pada saat Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi Muhammad ﷺ, hanya beberapa bulan sebelum beliau wafat. Karena itu, para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam, seperti Abdullah bin Abbas dan Umar bin Khattab, memahami surah ini bukan hanya sebagai kabar gembira kemenangan, tetapi juga sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah ﷺ di dunia telah tuntas dan ajalnya sudah dekat.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih, suatu ketika Umar bin Khattab mengundang para sahabat senior dan juga Abdullah bin Abbas yang saat itu masih muda. Sebagian sahabat senior bertanya mengapa Ibnu Abbas yang masih belia diikutsertakan. Umar kemudian bertanya kepada mereka semua tentang makna Surat An-Nasr. Sebagian besar dari mereka menafsirkannya sebagai perintah untuk memuji Allah dan memohon ampun ketika diberi kemenangan.

Kemudian, Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Ini adalah isyarat tentang ajal Rasulullah ﷺ yang telah dekat, yang Allah beritahukan kepada beliau. 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan' itu adalah tanda dekatnya ajalmu. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya', sebagai persiapan untuk bertemu dengan-Nya."

Umar bin Khattab pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surah ini selain dari apa yang engkau katakan."

Pemahaman ini menunjukkan betapa dalamnya makna surah ini. Kemenangan besar dan masuknya manusia ke dalam Islam secara massal adalah tanda bahwa misi kenabian telah sempurna. Risalah telah disampaikan, amanah telah ditunaikan. Maka, tibalah saatnya bagi sang utusan untuk kembali ke haribaan Rabb-nya. Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar di akhir surah menjadi amalan penutup yang sempurna bagi sebuah kehidupan yang penuh dengan perjuangan dan pengabdian.

Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nasr

Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pelajarannya bersifat universal dan abadi bagi setiap muslim di setiap zaman.

Kesimpulan: Sebuah Jawaban yang Membuka Cakrawala

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: "Surat An-Nasr ayat 1 diakhiri dengan lafal apa?" Jawabannya adalah "wal-fatḥ" (وَالْفَتْحُ), yang berarti "dan kemenangan". Namun, kini kita memahami bahwa lafal ini bukan sekadar kata. Ia adalah sebuah simbol dari peristiwa Fathu Makkah, sebuah kemenangan tanpa pertumpahan darah yang menjadi puncak dari dakwah Nabi ﷺ.

Lebih dari itu, lafal "wal-fatḥ" adalah pembuka bagi serangkaian pesan agung tentang hakikat pertolongan Allah, tentang adab seorang hamba ketika meraih kemenangan, tentang tujuan sejati sebuah perjuangan, dan tentang isyarat akan selesainya sebuah tugas mulia. Memahami konteks dan makna mendalam di balik satu kata ini membawa kita pada pemahaman yang lebih utuh terhadap salah satu surah paling berpengaruh dalam Al-Qur'an, Surat An-Nasr.

🏠 Homepage