Menguak Lokasi Penurunan Surat An-Nasr: Sebuah Penjelasan Mendalam
Pertanyaan mengenai di mana sebuah surat dalam Al-Qur'an diturunkan bukanlah sekadar persoalan geografis. Ia membuka pintu untuk memahami konteks sejarah, suasana psikologis umat Islam pada saat itu, serta tahapan dakwah Rasulullah ﷺ. Salah satu surat yang sering menjadi pokok pembahasan adalah Surat An-Nasr. Banyak yang bertanya, surat an nasr diturunkan di kota mana? Jawaban atas pertanyaan ini seringkali mengejutkan bagi sebagian orang, karena ia terkait erat dengan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam, namun lokasinya tidak seperti yang diduga.
Surat An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah salah satu surat terpendek dalam Al-Qur'an, hanya terdiri dari tiga ayat. Meskipun singkat, kandungannya begitu padat dan sarat makna. Ia membawa kabar gembira tentang kemenangan besar dan pertolongan Allah, sekaligus menjadi isyarat akan berakhirnya sebuah tugas agung. Untuk memahami sepenuhnya di mana dan mengapa surat ini turun, kita harus menyelami lautan sejarah, menelusuri jejak-jejak perjuangan, dan memahami klasifikasi wahyu dalam studi Ulumul Qur'an.
Teks dan Terjemahan Surat An-Nasr (Surat ke-110)
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita resapi kembali keindahan dan kedalaman makna dari setiap ayat dalam Surat An-Nasr.
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.
Tiga ayat ini, meskipun ringkas, merangkum sebuah era. Ia adalah klimaks dari perjuangan panjang, penanda keberhasilan sebuah misi, dan sekaligus persiapan untuk sebuah perpisahan. Setiap kata di dalamnya memiliki bobot makna yang luar biasa, yang hanya bisa dipahami dengan menilik konteks penurunannya.
Konteks Penurunan: Perdebatan Antara Makkah dan Madinah
Secara umum, surat-surat dalam Al-Qur'an diklasifikasikan menjadi dua kategori besar: Makkiyyah dan Madaniyyah. Klasifikasi ini bukanlah berdasarkan lokasi geografis semata, melainkan berdasarkan periode waktu. Surat Makkiyyah adalah surat yang turun sebelum peristiwa Hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah, meskipun sebagian kecil mungkin turun di luar kota Makkah (seperti di Thaif). Sementara itu, surat Madaniyyah adalah surat yang turun setelah peristiwa Hijrah, meskipun sebagian mungkin turun di kota Makkah (seperti saat Fathu Makkah atau Haji Wada').
Di sinilah letak kunci jawaban dari pertanyaan kita. Banyak orang mengira karena Surat An-Nasr berbicara tentang "Al-Fath" (kemenangan), yang secara universal dipahami merujuk pada Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), maka surat ini pasti turun di Makkah. Logika ini terdengar masuk akal, namun bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama dan bukti-bukti sejarah yang lebih kuat.
Pendapat yang paling sahih dan dipegang oleh mayoritas ulama tafsir dan hadis menyatakan bahwa Surat An-Nasr adalah surat Madaniyyah. Surat ini diturunkan di Madinah, atau lebih tepatnya, dalam periode Madaniyyah, setelah peristiwa Hijrah.
Lebih spesifik lagi, banyak riwayat menyebutkan bahwa surat ini turun pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Peristiwa Haji Wada' terjadi setelah Fathu Makkah. Rasulullah ﷺ melaksanakan haji ini dari Madinah, dan wahyu ini turun di Mina, sebuah lokasi dekat Makkah yang menjadi bagian dari rangkaian ibadah haji. Karena peristiwa ini terjadi jauh setelah Hijrah, maka surat ini secara definitif masuk ke dalam kategori Madaniyyah.
Jadi, jawaban tegas untuk pertanyaan surat an nasr diturunkan di kota mana berdasarkan klasifikasi Ulumul Qur'an adalah Madinah (dalam artian periode Madaniyyah), bukan Makkah. Surat ini adalah penutup, bukan pembuka. Ia adalah buah dari kesabaran dan perjuangan yang berpusat di Madinah, yang kemudian memanifestasikan kemenangannya di Makkah.
Analisis Mendalam Setiap Ayat dan Kaitannya dengan Sejarah
Untuk lebih menghargai mengapa surat ini dianggap Madaniyyah dan betapa dalamnya maknanya, mari kita bedah setiap ayatnya dan mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya.
Ayat 1: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (الْفَتْحُ)"
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Nasrullah" (pertolongan Allah) dan "Al-Fath" (kemenangan). Pertolongan Allah adalah konsep yang menyertai dakwah Rasulullah ﷺ sejak awal. Namun, "Al-Fath" di sini memiliki makna yang sangat spesifik. Mayoritas mufasir sepakat bahwa yang dimaksud dengan "Al-Fath" adalah Fathu Makkah.
Fathu Makkah bukanlah sekadar penaklukan militer. Peristiwa ini adalah puncak dari sebuah proses panjang yang dimulai dari penindasan di Makkah, hijrah ke Madinah, pembangunan komunitas, serangkaian pertempuran defensif seperti Badar dan Uhud, Perjanjian Hudaibiyah yang strategis, hingga akhirnya kembalinya Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin ke Makkah tanpa pertumpahan darah yang berarti. Kemenangan ini adalah sebuah pembuktian janji Allah. Ia adalah kemenangan ideologi, moral, dan spiritual.
Ketika Rasulullah ﷺ memasuki Makkah, beliau tidak datang sebagai seorang penakluk yang angkuh. Beliau masuk dengan kepala tertunduk, penuh rasa syukur. Beliau memaafkan musuh-musuh yang dulu menganiaya dan mengusirnya. Beliau membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang mencemari kesuciannya. Inilah "Al-Fath" yang sesungguhnya: terbukanya hati manusia dan kembalinya pusat peribadatan kepada tauhid murni. Turunnya ayat ini setelah peristiwa tersebut menjadi sebuah konfirmasi dan penegasan ilahi atas apa yang telah terjadi.
Ayat 2: "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (اَفْوَاجًا)"
Ayat kedua adalah konsekuensi logis dari ayat pertama. Sebelum Fathu Makkah, banyak suku-suku Arab yang bersikap menunggu. Mereka melihat perseteruan antara kaum Quraisy di Makkah dengan kaum muslimin di Madinah. Dalam pandangan mereka, siapa pun yang menguasai Ka'bah, dialah yang berada di atas kebenaran. Makkah adalah pusat spiritual dan politik Jazirah Arab.
Ketika Makkah berhasil ditaklukkan oleh kaum muslimin secara damai, seolah-olah sebuah bendungan besar telah jebol. Keraguan suku-suku Arab sirna. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana kekuatan yang dulunya kecil dan tertindas kini menjadi kekuatan dominan, bukan dengan kezaliman, melainkan dengan rahmat dan pengampunan. Hal ini menyebabkan sebuah fenomena luar biasa yang disebut sebagai 'Am al-Wufud atau Tahun Delegasi.
Setelah Fathu Makkah, delegasi-delegasi dari berbagai kabilah di seluruh penjuru Jazirah Arab datang silih berganti ke Madinah. Mereka datang bukan untuk berperang, melainkan untuk menyatakan keislaman mereka dan berbaiat kepada Rasulullah ﷺ. Mereka masuk Islam secara "afwaajaa", yang berarti dalam rombongan besar, kelompok demi kelompok, atau berbondong-bondong. Ayat ini adalah sebuah potret akurat dari realitas sosiologis dan politis pasca-Fathu Makkah. Fenomena ini terjadi saat pusat pemerintahan Islam berada di Madinah, yang semakin menguatkan status Madaniyyah dari surat ini.
Ayat 3: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."
Ini adalah ayat yang paling dalam dan mengharukan. Logika manusia biasa mungkin akan berkata, setelah meraih kemenangan puncak, inilah saatnya untuk merayakan, berpesta, dan menikmati hasil jerih payah. Namun, perintah yang turun dari Allah justru sebaliknya: perbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar.
Fasabbih bihamdi Rabbika (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu): Perintah ini mengajarkan sebuah pelajaran fundamental tentang kerendahan hati. Kemenangan dan pertolongan bukanlah hasil kekuatan manusia, melainkan murni anugerah dari Allah. Maka, cara meresponsnya adalah dengan menyucikan Allah dari segala kekurangan (tasbih) dan memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan karunia-Nya (tahmid). Ini adalah pengakuan total bahwa segala daya dan upaya berasal dan kembali kepada-Nya.
Wastaghfirhu (dan mohonlah ampunan kepada-Nya): Perintah untuk beristighfar di puncak kejayaan inilah yang dipahami oleh para sahabat cerdas, seperti Ibnu Abbas, sebagai isyarat bahwa tugas Rasulullah ﷺ di dunia telah selesai. Sebuah misi yang paripurna ditutup dengan permohonan ampun, sebagai bentuk pengakuan bahwa dalam menjalankan tugas tersebut, mungkin masih ada kekurangan atau kelalaian sebagai seorang manusia. Ini adalah adab tertinggi seorang hamba kepada Tuhannya. Jika Rasulullah ﷺ yang maksum (terjaga dari dosa) saja diperintahkan untuk beristighfar di akhir misinya, apalagi kita manusia biasa.
Innahu kaana tawwaabaa (Sungguh, Dia Maha Penerima taubat): Kalimat penutup ini adalah penegas dan sumber pengharapan. Allah menegaskan sifat-Nya sebagai At-Tawwab, Yang senantiasa menerima kembali hamba-Nya yang bertaubat. Ini adalah pintu yang selalu terbuka, sebuah pesan rahmat yang tak terbatas, bahkan di saat-saat paling krusial dalam sejarah.
Surat An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah ﷺ
Kandungan ayat ketiga inilah yang menjadi bukti terkuat lainnya bahwa surat ini turun di akhir periode kenabian, yang berpusat di Madinah. Terdapat sebuah riwayat yang sangat masyhur mengenai hal ini.
Dikisahkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah mengundang para sahabat senior dari kalangan veteran Perang Badar untuk bermusyawarah, dan beliau juga mengikutsertakan Abdullah bin Abbas yang saat itu masih sangat muda. Sebagian sahabat senior bertanya mengapa seorang pemuda seperti Ibnu Abbas diikutsertakan bersama mereka.
Umar kemudian bertanya kepada mereka semua, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah (Surat An-Nasr)?"
Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika kita diberi pertolongan dan kemenangan." Sebagian yang lain diam tidak berkomentar.
Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah demikian juga pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"
Ibnu Abbas menjawab, "Bukan. Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang telah Allah beritahukan kepada beliau. 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' itulah tanda penaklukan Makkah, yang menjadi isyarat dekatnya ajalmu. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya,' (sebagai persiapan bertemu dengan-Nya)."
Umar bin Khattab pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui tafsir surat ini kecuali seperti apa yang engkau katakan."
Pemahaman mendalam dari Ibnu Abbas ini menunjukkan bahwa Surat An-Nasr bukan sekadar selebrasi kemenangan. Ia adalah sebuah na'yu, pemberitahuan halus dari langit bahwa sang utusan tercinta akan segera kembali ke haribaan-Nya. Misi telah tuntas, agama telah sempurna, dan kemenangan telah diraih. Tidak lama setelah surat ini turun, Rasulullah ﷺ memang jatuh sakit dan kemudian wafat di Madinah, meninggalkan warisan abadi bagi seluruh umat manusia. Peristiwa ini terjadi di Madinah, mengukuhkan kembali bahwa seluruh konteks akhir dari surat ini berpusat pada periode Madaniyyah.
Hikmah dan Pelajaran Universal dari Surat An-Nasr
Meskipun turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan dalam Surat An-Nasr bersifat abadi dan relevan bagi setiap muslim di setiap zaman. Memahaminya bukan hanya menjawab pertanyaan di kota mana ia diturunkan, tetapi juga mengambil ibrah untuk kehidupan kita.
- Kemenangan Hakiki Milik Allah: Surat ini mengajarkan bahwa segala bentuk kesuksesan, baik dalam skala besar maupun kecil, datangnya dari Allah. Manusia hanya berusaha, namun pertolongan dan hasil akhir adalah ketetapan-Nya. Ini menanamkan sifat tawakal dan menjauhkan dari kesombongan.
- Syukur di Puncak Kejayaan: Respons terbaik saat meraih keberhasilan bukanlah euforia yang melalaikan, melainkan peningkatan ibadah. Bertasbih, bertahmid, dan beristighfar adalah cara kita mengembalikan segala pujian kepada Pemiliknya yang sejati dan mengakui kelemahan diri.
- Setiap Misi Ada Akhirnya: Kehidupan adalah sebuah tugas. Surat ini mengingatkan bahwa setiap tugas akan sampai pada akhirnya. Oleh karena itu, persiapan terbaik untuk "mengakhiri tugas" adalah dengan membersihkan diri melalui istighfar dan senantiasa memuji Allah.
- Pentingnya Visi Jangka Panjang: Rasulullah ﷺ dan para sahabat berjuang selama lebih dari dua dekade. Mereka mengalami penindasan, boikot, hijrah, dan peperangan. Surat An-Nasr adalah buah dari kesabaran dan strategi jangka panjang. Ia mengajarkan pentingnya keteguhan dalam berprinsip.
- Pintu Taubat Selalu Terbuka: Penutup surat dengan sifat Allah "At-Tawwab" adalah pesan pengharapan yang luar biasa. Tidak peduli seberapa besar pencapaian seseorang atau seberapa banyak kesalahannya, pintu ampunan Allah selalu terbuka bagi mereka yang mau kembali.
Kesimpulan: Penegasan Kembali Lokasi Penurunan
Setelah melalui penelusuran tafsir, sejarah, dan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), kita dapat menyimpulkan dengan keyakinan yang kuat. Jawaban atas pertanyaan utama, surat an nasr diturunkan di kota mana, adalah bahwa ia tergolong sebagai surat Madaniyyah. Wahyu ini turun kepada Rasulullah ﷺ pada masa-masa akhir kehidupan beliau, tepatnya saat pelaksanaan Haji Wada' di Mina, setelah peristiwa besar Fathu Makkah dan fenomena berbondong-bondongnya manusia masuk Islam.
Meskipun secara fisik lokasinya dekat Makkah, periodesasinya masuk dalam era Madinah, yaitu era setelah hijrah, di mana Islam telah menjadi sebuah kekuatan komunitas dan negara yang mapan. Kandungannya yang berbicara tentang buah dari perjuangan, penyempurnaan misi, dan isyarat perpisahan, sangat selaras dengan karakteristik surat-surat yang turun pada periode akhir kenabian di Madinah.
Dengan demikian, memahami lokasi penurunan Surat An-Nasr tidak hanya memberi kita sebuah informasi geografis, tetapi juga sebuah pemahaman yang utuh tentang kronologi dakwah Islam. Ia adalah surat kemenangan, surat kerendahan hati, sekaligus surat perpisahan yang indah, yang menandai tuntasnya sebuah risalah agung yang cahayanya terus menerangi alam semesta hingga kini.