Membedah Makna dan Golongan Surat An-Nasr
Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, terdiri dari 114 surat yang masing-masing memiliki keunikan, pesan, dan konteks pewahyuan yang berbeda. Memahami konteks ini menjadi salah satu kunci untuk membuka tabir makna yang lebih dalam. Salah satu surat yang singkat namun sarat dengan makna historis dan spiritual adalah Surat An-Nasr. Surat ini, yang berarti "Pertolongan", seringkali menjadi pertanyaan bagi banyak orang, terutama mengenai klasifikasinya. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: surat an nasr golongan surat Makkiyah atau Madaniyah?
Artikel ini akan mengupas tuntas klasifikasi Surat An-Nasr, alasan di baliknya, serta menyelami tafsir mendalam dari setiap ayatnya. Kita akan menjelajahi bagaimana surat pendek ini menjadi penanda sebuah era besar dalam sejarah Islam, membawa kabar gembira sekaligus isyarat perpisahan yang mengharukan.
Memahami Klasifikasi Surat Makkiyah dan Madaniyah
Sebelum kita secara spesifik membahas surat an nasr golongan surat apa, penting untuk memahami dasar-dasar klasifikasi surat dalam Al-Qur'an. Para ulama membagi surat-surat Al-Qur'an menjadi dua kategori utama: Makkiyah dan Madaniyah. Pembagian ini bukan didasarkan pada lokasi geografis semata (apakah turun di kota Makkah atau Madinah), melainkan berdasarkan garis waktu hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Karakteristik Surat Makkiyah
Surat Makkiyah adalah surat-surat yang ayatnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum peristiwa hijrah. Periode Makkah adalah fase awal dakwah Islam, di mana tantangan yang dihadapi sangat besar. Kaum Muslimin adalah minoritas yang tertindas, dan fokus utama dakwah adalah menanamkan fondasi akidah (keyakinan) yang kokoh. Oleh karena itu, surat-surat Makkiyah memiliki ciri-ciri khas:
- Fokus pada Tauhid: Penekanan kuat pada keesaan Allah SWT, menolak segala bentuk kemusyrikan dan penyembahan berhala yang marak di kalangan masyarakat Arab saat itu.
- Pembahasan Hari Kiamat: Banyak membahas tentang kehidupan setelah mati, surga, neraka, hari kebangkitan, dan hisab (perhitungan amal) untuk membangun rasa takut dan harap kepada Allah.
- Kisah Para Nabi dan Umat Terdahulu: Seringkali menceritakan kisah-kisah nabi sebelumnya (seperti Nabi Nuh, Ibrahim, Musa) sebagai pelajaran, peneguh hati bagi Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, serta peringatan bagi kaum kafir Quraisy.
- Gaya Bahasa yang Kuat dan Puitis: Ayat-ayatnya cenderung pendek, ritmis, dan menggunakan bahasa sastra yang tinggi untuk menggugah hati dan logika kaum Quraisy yang terkenal ahli dalam syair.
- Seruan "Yā ayyuhan-nās" (Wahai Manusia): Lebih sering menggunakan panggilan umum kepada seluruh umat manusia karena dakwah pada fase ini bersifat universal dan fundamental.
Karakteristik Surat Madaniyah
Surat Madaniyah adalah surat-surat yang ayatnya diturunkan setelah peristiwa hijrah, meskipun beberapa di antaranya mungkin turun di luar kota Madinah (misalnya saat perang atau dalam perjalanan). Setelah hijrah, komunitas Muslim mulai terbentuk dan menjadi sebuah entitas sosial-politik. Dakwah tidak lagi hanya sebatas akidah, tetapi juga mencakup tatanan kehidupan bermasyarakat. Ciri-ciri surat Madaniyah meliputi:
- Hukum dan Syariat: Mengandung banyak ayat-ayat hukum (fiqih) yang mengatur berbagai aspek kehidupan, seperti hukum waris, pernikahan, pidana (hudud), muamalah (transaksi), dan etika sosial.
- Interaksi dengan Ahli Kitab: Banyak membahas tentang kaum Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab) yang tinggal di sekitar Madinah, mengajak mereka kepada kebenaran Islam dan mengoreksi keyakinan mereka yang dianggap telah menyimpang.
- Pembahasan tentang Orang Munafik: Mengungkap dan memberi peringatan tentang bahaya kaum munafik yang berpura-pura Islam tetapi hatinya memusuhi kaum Muslimin. Ini adalah fenomena baru yang muncul di Madinah.
- Izin untuk Berperang (Jihad): Ayat-ayat tentang jihad dan aturan perang diturunkan pada periode ini sebagai respons terhadap agresi kaum kafir dan untuk melindungi komunitas Muslim yang baru terbentuk.
- Gaya Bahasa yang Lebih Detail dan Panjang: Ayat-ayatnya cenderung lebih panjang dan menjelaskan hukum secara terperinci dan logis.
- Seruan "Yā ayyuhalladzīna āmanū" (Wahai Orang-orang yang Beriman): Lebih sering menggunakan panggilan spesifik kepada komunitas yang sudah beriman.
Penentuan Golongan Surat An-Nasr: Sebuah Kesepakatan Ulama
Dengan memahami perbedaan mendasar antara Makkiyah dan Madaniyah, kini kita dapat menjawab pertanyaan utama: surat an nasr golongan surat mana? Berdasarkan konsensus (ijma') mayoritas ulama tafsir dan sirah, Surat An-Nasr tergolong sebagai Surat Madaniyah.
Meskipun surat ini sangat pendek, mirip dengan gaya banyak surat Makkiyah, penentuannya tidak didasarkan pada panjang atau gaya bahasa, melainkan pada waktu turunnya. Para ulama sepakat bahwa Surat An-Nasr adalah salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya surat ini adalah Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Karena peristiwa ini terjadi jauh setelah hijrah, maka secara definitif surat ini masuk dalam kategori Madaniyah.
Bahkan, sebagian riwayat menyebutkan bahwa surat ini turun di Mina saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriyah, hanya beberapa bulan sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Lokasi turunnya di Mina (dekat Makkah) tidak mengubah statusnya sebagai Madaniyah, karena patokannya adalah waktu (setelah hijrah), bukan lokasi geografis.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya) Surat An-Nasr
Asbabun Nuzul Surat An-Nasr sangat erat kaitannya dengan puncak perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Setelah bertahun-tahun penindasan, boikot, dan peperangan, Allah SWT menjanjikan kemenangan besar yang akan menjadi bukti nyata kebenaran risalah Islam. Surat ini turun sebagai kabar gembira atas kemenangan tersebut dan sebagai penanda bahwa tugas kenabian Rasulullah SAW telah mendekati akhir.
Peristiwa sentralnya adalah Fathu Makkah. Kemenangan ini bukanlah kemenangan militer yang dipenuhi pertumpahan darah. Sebaliknya, ini adalah kemenangan moral dan spiritual yang luar biasa. Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya, yang dulu mengusirnya, dengan penuh ketawadukan. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah yang pernah memusuhinya. Beliau membersihkan Ka'bah dari 360 berhala yang selama ini menjadi pusat kemusyrikan bangsa Arab.
Melihat kemenangan yang gemilang dan akhlak mulia yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, suku-suku Arab dari berbagai penjuru Jazirah Arab mulai menyadari kebenaran Islam. Mereka yang tadinya ragu dan menunggu hasil akhir dari perseteruan antara kaum Muslimin dan Quraisy Makkah, kini berbondong-bondong datang kepada Nabi untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena inilah yang digambarkan dengan sangat indah dalam Surat An-Nasr.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr
Untuk memahami kekayaan makna yang terkandung di dalamnya, mari kita bedah satu per satu ayat dari surat yang mulia ini.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat 1: Janji Pertolongan dan Kemenangan
Ayat pertama ini dibuka dengan kata "إِذَا" (Idza), yang berarti "apabila". Dalam tata bahasa Arab, kata ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Ini bukanlah pengandaian, melainkan sebuah penegasan dari Allah bahwa pertolongan dan kemenangan itu adalah sebuah keniscayaan.
Kata selanjutnya adalah "نَصْرُ اللَّهِ" (Nashrullah), yang berarti "pertolongan Allah". Penyandaran kata "pertolongan" langsung kepada "Allah" memiliki makna yang sangat dalam. Ini menegaskan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata hasil kekuatan militer, strategi perang, atau kehebatan manusia. Kemenangan itu murni datang dari Allah. Ini adalah pelajaran fundamental tentang tauhid, bahwa segala daya dan kekuatan berasal dari-Nya. Kaum Muslimin pada saat itu, meskipun jumlah dan persenjataannya terus bertambah, diingatkan untuk tidak menjadi sombong dan selalu menyandarkan segala urusan kepada Allah.
Kemudian, kata "وَالْفَتْحُ" (Wal-fath) yang berarti "dan kemenangan". Sebagian besar mufassir sepakat bahwa "Al-Fath" di sini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah. Fathu Makkah bukan sekadar penaklukan sebuah kota. Ia adalah pembebasan pusat spiritual bangsa Arab dari cengkeraman kemusyrikan. Dengan kembalinya Makkah ke pangkuan tauhid, runtuhlah benteng utama perlawanan terhadap Islam di Jazirah Arab. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah peta politik dan keagamaan di seluruh wilayah tersebut.
Gabungan antara "Nashrullah" dan "Al-Fath" menunjukkan sebuah proses. Pertolongan Allah datang terlebih dahulu, membuka jalan dan memberikan kekuatan, yang kemudian berbuah pada kemenangan yang nyata dan terlihat. Ini adalah pola ilahi yang terus berulang dalam sejarah.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat 2: Buah dari Kemenangan
Ayat kedua merupakan konsekuensi logis dari ayat pertama. Setelah kemenangan besar itu terjadi, dampaknya langsung terlihat pada masyarakat luas. Kata "وَرَأَيْتَ" (Wa ra'aita), "dan engkau melihat", ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Penglihatan ini bukan hanya penglihatan mata biasa, tetapi juga kesaksian atas terbuktinya janji Allah.
Siapakah "النَّاسَ" (An-Naas) atau "manusia" yang dimaksud? Mereka adalah suku-suku dan kabilah-kabilah Arab dari seluruh penjuru negeri. Sebelum Fathu Makkah, banyak dari mereka yang mengambil sikap menunggu. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) berseteru. Jika dia menang atas kaumnya, maka dia benar-benar seorang nabi." Ketika Fathu Makkah terjadi tanpa perlawanan berarti, itu menjadi bukti yang tak terbantahkan bagi mereka. Mereka melihat bahwa kekuatan yang menyertai Muhammad SAW bukanlah kekuatan biasa.
Frasa "يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ" (yadkhulūna fī dīnillāh), "mereka masuk ke dalam agama Allah", menggambarkan proses konversi yang masif. Pilihan kata "agama Allah" dan bukan "agamamu" (wahai Muhammad) adalah untuk menegaskan bahwa mereka masuk ke dalam sistem universal milik Tuhan, bukan menjadi pengikut pribadi seseorang.
Puncak dari deskripsi ini ada pada kata "أَفْوَاجًا" (afwājā), yang berarti "berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Ini adalah gambaran yang sangat hidup. Orang-orang tidak lagi masuk Islam secara sembunyi-sembunyi atau satu per satu seperti di periode Makkah. Kini, seluruh delegasi suku, dipimpin oleh kepala suku mereka, datang ke Madinah untuk menyatakan baiat dan keislaman mereka. Tahun ke-9 Hijriyah, setelah Fathu Makkah, bahkan dikenal sebagai "Amul Wufud" atau "Tahun Para Delegasi" karena saking banyaknya rombongan yang datang.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ayat 3: Respons yang Tepat Atas Nikmat
Ayat ketiga adalah respons yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya (dan juga kepada kita) ketika menerima nikmat besar berupa pertolongan dan kemenangan. Logika manusia biasa mungkin akan mengatakan bahwa respons yang tepat adalah perayaan, pesta, atau menunjukkan kebanggaan. Namun, Al-Qur'an mengajarkan hal yang sebaliknya: kembali kepada Allah dalam kerendahan hati.
Perintah pertama adalah "فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ" (Fasabbiḥ biḥamdi rabbika), "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini mengandung dua konsep:
- Tasbih (سَبِّحْ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan, dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks kemenangan, tasbih berarti menyadari bahwa kemenangan ini bersih dari campur tangan kekuatan selain Allah dan bersih dari tujuan duniawi semata.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Memuji Allah atas segala kesempurnaan dan nikmat-Nya. Ini adalah bentuk syukur yang mengakui bahwa semua kebaikan, termasuk kemenangan, berasal dari-Nya.
Perintah kedua adalah "وَاسْتَغْفِرْهُ" (Wastagfirh), "dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Perintah ini seringkali menimbulkan pertanyaan. Mengapa setelah sebuah kemenangan besar dan puncak kesuksesan dakwah, Nabi Muhammad SAW, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa), justru diperintahkan untuk beristighfar? Para ulama memberikan beberapa penjelasan indah:
- Tanda Selesainya Tugas: Istighfar di akhir sebuah amal besar adalah sebuah sunnah. Sebagaimana kita beristighfar setelah shalat untuk menutupi kekurangan yang mungkin ada, istighfar di sini adalah penutup dari tugas besar risalah kenabian. Ini adalah isyarat bahwa misi telah paripurna dan waktu untuk kembali kepada Allah telah dekat.
- Bentuk Ketawadukan Tertinggi: Memohon ampun di puncak kejayaan adalah level tertinggi dari kerendahan hati. Ini adalah pengakuan bahwa dalam menjalankan tugas besar tersebut, mungkin masih ada kekurangan dalam menunaikan hak-hak Allah secara sempurna.
- Pelajaran bagi Umat: Jika Nabi Muhammad SAW saja, di momen kemenangannya, diperintahkan untuk beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Ini adalah pelajaran abadi bagi umatnya untuk tidak pernah lalai dan sombong saat meraih kesuksesan.
Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas "إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا" (Innahū kāna tawwābā), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Kata "Tawwab" berasal dari akar kata yang sama dengan "tobat" dan memiliki makna yang sangat aktif. Artinya, Allah bukan hanya menerima tobat, tetapi Dia senantiasa dan berulang kali kembali kepada hamba-Nya dengan rahmat dan ampunan, setiap kali hamba itu kembali kepada-Nya. Ini adalah penutup yang penuh dengan harapan, meyakinkan bahwa setiap kekurangan akan ditutupi oleh luasnya ampunan Allah.
Surat An-Nasr sebagai Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW
Makna yang paling menyentuh dari Surat An-Nasr, yang dipahami oleh para sahabat senior, adalah bahwa surat ini merupakan pemberitahuan tersirat (na'yu) tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW. Logikanya sederhana: jika kemenangan total telah diraih, manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, maka tugas utama seorang nabi telah selesai. Selesainya tugas berarti tiba waktunya untuk kembali kepada Sang Pemberi Tugas.
Sebuah riwayat yang sangat terkenal dari Ibnu Abbas menceritakan hal ini. Suatu ketika, Umar bin Khattab memasukkan Ibnu Abbas yang masih sangat muda ke dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa keberatan. Untuk menunjukkan kedalaman ilmu Ibnu Abbas, Umar bertanya kepada mereka, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah 'Idza jaa-a nashrullahi wal fath'?"
Beberapa dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya ketika Dia menolong kita dan memberi kita kemenangan." Yang lain diam. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah begitu juga pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"
Ibnu Abbas menjawab, "Tidak." Ia kemudian menjelaskan, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda ajalmu (wahai Muhammad), 'maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.'"
Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surat ini kecuali apa yang engkau ketahui."
Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika surat ini turun, Rasulullah SAW membacakannya kepada putrinya, Fatimah Az-Zahra. Setelah mendengarnya, Fatimah menangis. Rasulullah bertanya mengapa ia menangis, dan Fatimah menjawab bahwa ia merasakan isyarat kepergian ayahnya. Rasulullah SAW pun membenarkannya.
Hikmah dan Pelajaran dari Surat An-Nasr
Meskipun singkat, Surat An-Nasr menyimpan pelajaran yang tak lekang oleh waktu bagi setiap Muslim di setiap generasi. Beberapa hikmah yang dapat kita petik antara lain:
- Hakikat Pertolongan: Kemenangan dan kesuksesan dalam urusan apa pun, baik dunia maupun akhirat, hakikatnya datang dari Allah SWT. Manusia hanya bisa berusaha, tetapi hasil akhir ada di tangan-Nya. Ini mengajarkan kita untuk selalu bergantung kepada Allah dan tidak sombong atas pencapaian kita.
- Siklus Perjuangan dan Kemenangan: Surat ini memberikan optimisme bahwa setelah masa-masa sulit, kesabaran, dan perjuangan, akan datang pertolongan dan kemenangan dari Allah. Ini menjadi motivasi untuk tidak pernah putus asa dalam menegakkan kebenaran.
- Adab Merayakan Kesuksesan: Islam mengajarkan cara yang unik dalam merayakan kemenangan. Bukan dengan euforia yang melalaikan, melainkan dengan sujud syukur, zikir (tasbih dan tahmid), dan istighfar. Kesuksesan seharusnya membuat kita semakin dekat dan tunduk kepada Allah, bukan semakin jauh dan angkuh.
- Pentingnya Istighfar: Perintah istighfar di akhir sebuah pencapaian besar mengajarkan kita untuk selalu merasa kurang dalam beribadah dan beramal. Ini adalah cara untuk menjaga hati dari penyakit ujub (bangga diri) dan riya (pamer).
- Setiap Awal Memiliki Akhir: Surat ini adalah pengingat bahwa setiap tugas dan setiap kehidupan memiliki batas waktu. Sebagaimana tugas kenabian Rasulullah SAW yang agung pun ada akhirnya, begitu pula dengan kehidupan kita. Hal ini mendorong kita untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mempersiapkan kepulangan kita kepada Allah.
- Kemenangan Hakiki: Kemenangan yang digambarkan dalam surat ini bukanlah sekadar dominasi politik atau militer, melainkan terbukanya hati manusia untuk menerima hidayah. Kemenangan terbesar adalah ketika kebenaran diterima secara luas dan manusia kembali kepada fitrahnya untuk menyembah Tuhan Yang Esa.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang mendalam, dapat kita simpulkan dengan tegas bahwa jawaban atas pertanyaan surat an nasr golongan surat apa adalah Madaniyah. Klasifikasi ini didasarkan pada waktu turunnya yang terjadi setelah peristiwa hijrah, secara spesifik berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah dan periode akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Lebih dari sekadar label klasifikasi, Surat An-Nasr adalah sebuah monumen abadi dalam Al-Qur'an. Ia merangkum perjalanan dakwah selama 23 tahun dalam tiga ayat singkat. Ia adalah surat kabar gembira, surat pengingat, sekaligus surat perpisahan. Ia mengajarkan kita tentang hakikat kemenangan, adab dalam kesuksesan, dan keniscayaan akhir dari setiap perjuangan. Membaca dan merenungi Surat An-Nasr adalah seperti melihat kilas balik sejarah kejayaan Islam sekaligus menatap cermin untuk merefleksikan bagaimana seharusnya kita bersikap saat menerima nikmat dari Allah SWT.