Hibah rumah, atau proses penyerahan kepemilikan properti secara cuma-cuma dari satu pihak (penghibah) kepada pihak lain (penerima hibah), adalah tindakan yang didasari niat baik. Namun, demi mengikat secara hukum dan menghindari sengketa di masa depan, proses ini wajib didokumentasikan secara tertulis melalui sebuah surat perjanjian hibah rumah. Dokumen ini berfungsi sebagai bukti autentik bahwa transfer aset telah terjadi tanpa adanya kewajiban balasan (gratis).
Di Indonesia, hibah yang melibatkan benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah harus tunduk pada ketentuan formal agar sah menurut hukum perdata. Walaupun akta notaris seringkali menjadi syarat utama untuk pendaftaran balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN), adanya surat perjanjian awal yang detail sangat krusial sebagai landasan kesepakatan para pihak.
Sebuah surat perjanjian hibah yang kuat harus memuat unsur-unsur penting yang jelas dan tidak ambigu. Kelengkapan isi akan meminimalisir potensi tafsir ganda di kemudian hari. Berikut adalah komponen utama yang wajib dicantumkan:
Surat perjanjian hibah yang dibuat di bawah tangan (tanpa notaris) memiliki kekuatan pembuktian antar pihak yang menandatangani. Namun, untuk mengikat pihak ketiga dan menyelesaikan proses administratif kepemilikan, langkah selanjutnya sangat penting.
Langkah krusial adalah menjadikan surat perjanjian tersebut sebagai dasar untuk pembuatan Akta Hibah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Notaris. Proses notarisasi ini memastikan bahwa surat perjanjian memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dan sah untuk diajukan ke Kantor Pertanahan (BPN) guna membalik nama sertifikat dari nama penghibah menjadi penerima hibah. Tanpa proses ini, meskipun perjanjian sudah ada, secara yuridis kepemilikan properti di mata negara belum sepenuhnya berpindah.
Pastikan semua dokumen pendukung, termasuk sertifikat asli properti, telah disiapkan sebelum mendatangi notaris. Kepastian hukum adalah tujuan utama dari pembuatan surat perjanjian hibah rumah ini.
Aspek sukarela (niat bebas) adalah salah satu syarat sahnya perjanjian, termasuk hibah. Jika ditemukan unsur paksaan, penipuan, atau tekanan, perjanjian tersebut dapat dibatalkan di kemudian hari melalui gugatan perdata. Oleh karena itu, saat menandatangani surat perjanjian hibah, kedua belah pihak harus dalam kondisi sadar, sehat jasmani dan rohani, serta benar-benar memahami konsekuensi dari penyerahan hak properti tersebut. Dokumentasi yang transparan sejak awal akan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat.