Kajian: Syiah dan Kedudukan Ali bin Abi Thalib

Dalam spektrum sejarah dan teologi Islam, sosok Ali bin Abi Thalib memegang posisi sentral, terutama dalam pandangan mazhab Syiah. Bagi pengikut Syiah, Ali bukan sekadar sahabat senior atau sepupu Nabi Muhammad SAW, melainkan figur yang ditunjuk secara ilahi sebagai penerus spiritual dan politik (Imam) umat setelah wafatnya Rasulullah. Pemahaman ini menjadi fondasi utama yang membedakan Syiah dari aliran Islam lainnya, seperti Sunni.

ع

Ilustrasi simbolis keagungan kepemimpinan.

Kedudukan Ali dalam Doktrin Syiah

Inti dari teologi Syiah terletak pada konsep Wilayah (otoritas ilahi) yang diyakini Allah anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib setelah kenabian Muhammad SAW. Peristiwa Ghadir Khumm sering dikutip sebagai dalil utama penetapan ini. Bagi Syiah Dua Belas Imam—cabang terbesar Syiah—Ali adalah Imam pertama dari dua belas Imam yang ditunjuk untuk memimpin umat dalam urusan agama dan duniawi.

Dalam pandangan Syiah, otoritas keimamatan bersifat suci, diturunkan secara genetik dan spiritual dari Nabi melalui Ali dan keturunannya. Ali dipandang maksum (terjaga dari dosa dan kesalahan), sebuah atribut yang hanya dimiliki oleh para Nabi dan Imam yang ditunjuk Allah. Konsekuensinya, kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman (yang diakui sebagai Khulafaur Rasyidin oleh Sunni) dipandang sebagai pengambilalihan kekhalifahan yang seharusnya menjadi hak warisan Ali.

Karakter dan Warisan Ali bin Abi Thalib

Terlepas dari perbedaan pandangan teologis mengenai suksesi politik, karakter Ali bin Abi Thalib dihormati oleh hampir seluruh Muslim. Dikenal dengan julukan "Asadullah" (Singa Allah), Ali adalah salah satu pejuang paling gigih di awal Islam dan dikenal karena keberaniannya di medan perang, termasuk Perang Badar, Uhud, dan Khandaq.

Di luar ranah militer, Ali juga dihormati sebagai ulama besar. Beliau dikenal memiliki kedalaman ilmu agama yang luar biasa. Ucapan-ucapannya yang penuh hikmah dan pengetahuan mendalam tentang tauhid dan etika dikompilasi dalam kitab terkenal, Nahj al-Balaghah (Jalan Kebijaksanaan). Kitab ini menjadi sumber rujukan utama bagi Syiah untuk memahami ajaran Islam melalui perspektif Ali.

Perbedaan Paradigma Kepemimpinan

Perbedaan mendasar antara pandangan Syiah dan Sunni tentang Ali berakar pada interpretasi peristiwa politik setelah Wafatnya Nabi. Kaum Sunni meyakini bahwa pemilihan khalifah melalui musyawarah (syura) setelah wafatnya Nabi adalah sah dan Ali kemudian membaiat mereka, sehingga beliau menjadi khalifah keempat setelah melalui proses kekhalifahan sebelumnya.

Sebaliknya, Syiah meyakini bahwa kepemimpinan Ali bersifat definitif dan diamanatkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Bagi Syiah, penundaan kekhalifahan Ali adalah sebuah tragedi sejarah yang berdampak pada penyimpangan arah umat dari ajaran murni yang seharusnya dipimpin oleh Imam yang maksum. Pandangan ini membentuk identitas Syiah secara keseluruhan, menjadikan Ali sebagai poros utama pemahaman mereka tentang keadilan, kepemimpinan, dan spiritualitas Islam.

Kesimpulan

Ali bin Abi Thalib adalah figur yang tak terpisahkan dari sejarah Islam. Bagi komunitas Syiah, ia adalah manifestasi dari otoritas ilahi pasca-kenabian, Imam yang diwajibkan untuk ditaati. Penghormatan terhadap Ali dianut oleh semua sekte Islam, namun Syiah mengangkatnya ke tingkatan suci dan kepemimpinan absolut, yang menjadikannya inti dari keyakinan mereka tentang garis penerus kepemimpinan Islam yang sah. Memahami Syiah berarti memahami peran sentral yang dimainkan oleh Ali bin Abi Thalib dalam narasi teologis mereka.

🏠 Homepage