Memahami Konsep Tawassul Secara Menyeluruh
Pendahuluan: Urgensi Kedekatan dengan Sang Pencipta
Dalam sanubari setiap manusia, terdapat fitrah untuk mencari, mengenal, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Keinginan luhur ini menjadi poros utama dalam perjalanan spiritual seorang hamba. Islam, sebagai agama yang paripurna, tidak hanya memerintahkan manusia untuk beribadah, tetapi juga memberikan panduan dan cara-cara agar hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala, dapat terjalin dengan erat dan penuh makna. Salah satu konsep penting dalam kerangka mendekatkan diri ini adalah tawassul.
Tawassul adalah sebuah terminologi yang sering kali menjadi topik diskusi hangat di kalangan umat Islam. Sebagian memandangnya sebagai bagian integral dari adab berdoa, sementara yang lain melihatnya dengan penuh kehati-hatian karena khawatir tergelincir pada praktik yang dilarang. Perbedaan pandangan ini sering kali muncul akibat pemahaman yang kurang komprehensif terhadap makna, dalil, dan batasan-batasan tawassul itu sendiri. Oleh karena itu, memahami secara mendalam apa itu tawassul adalah sebuah keniscayaan bagi setiap muslim yang ingin menyempurnakan ibadah dan doanya kepada Allah SWT. Artikel ini akan mengupas tuntas konsep tawassul, mulai dari definisinya secara bahasa dan istilah, dasar-dasar hukumnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, jenis-jenisnya yang disepakati oleh para ulama, hingga membahas area-area yang menjadi titik perbedaan pendapat, dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang jernih dan berimbang.
Definisi Tawassul: Mengurai Makna Bahasa dan Istilah
Untuk memahami sebuah konsep secara utuh, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membedah definisinya dari dua sisi: etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah syar'i). Hal ini akan membantu kita membangun fondasi pemahaman yang kokoh sebelum melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan dalil dan hukumnya.
1. Makna Tawassul Secara Bahasa (Etimologi)
Kata "tawassul" (التوسل) berasal dari akar kata Arab wasala-yasulu-wasilah (وسل – يصل – وسيلة). Kata "al-wasilah" (الوسيلة) secara linguistik memiliki beberapa makna yang saling berkaitan, di antaranya adalah:
- Perantara atau Jalan (الطريق): Sesuatu yang menjadi jembatan atau jalan untuk mencapai tujuan.
- Kedudukan atau Pangkat (المنزلة): Sebuah posisi atau tingkatan yang tinggi di hadapan seseorang, misalnya kedudukan di hadapan seorang raja atau penguasa.
- Kedekatan (القربة): Sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri.
Dengan demikian, dari segi bahasa, tawassul berarti mencari atau menggunakan sebuah wasilah (perantara, jalan, atau sarana) untuk sampai kepada suatu tujuan. Ini adalah makna umum yang netral dan tidak secara inheren memiliki konotasi positif atau negatif. Penggunaannya bisa untuk kebaikan, seperti menggunakan ilmu sebagai wasilah untuk meraih kesuksesan, atau untuk keburukan. Dalam konteks spiritual Islam, tujuan akhir yang dimaksud tentu saja adalah keridhaan dan kedekatan dengan Allah SWT.
2. Makna Tawassul Secara Istilah (Terminologi Syar'i)
Secara istilah, tawassul adalah upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam doanya dengan menyebutkan sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh-Nya, dengan harapan doa tersebut menjadi lebih pantas dan lebih besar kemungkinannya untuk dikabulkan. Sesuatu yang dijadikan perantara (wasilah) ini bisa berupa nama-nama dan sifat-sifat Allah, amal saleh yang pernah dilakukan, atau doa dari orang saleh.
Penting untuk menggarisbawahi sebuah prinsip fundamental dalam tawassul: permintaan dan tujuan utama doa tetaplah hanya kepada Allah SWT. Wasilah yang digunakan bukanlah entitas yang dimintai pertolongan atau yang memiliki kekuatan untuk mengabulkan doa. Ia hanyalah sebuah "sarana" atau "sebab" yang dihadirkan dalam munajat kepada Allah, sebagai bentuk pengakuan atas keagungan-Nya dan sebagai upaya untuk "memantaskan diri" di hadapan-Nya. Analogi sederhananya, seseorang yang ingin meminta sesuatu kepada seorang raja mungkin akan menyebutkan jasa-jasa baiknya di masa lalu atau datang bersama orang yang dihormati oleh raja tersebut, dengan harapan permintaannya lebih didengar. Namun, permintaan itu sendiri tetap ditujukan sepenuhnya kepada sang raja, bukan kepada perantara. Dalam konteks tawassul, Allah adalah Raja segala raja yang Maha Mendengar, dan hamba berupaya datang kepada-Nya dengan membawa "bekal" yang Dia cintai.
Dasar Hukum Tawassul dalam Al-Qur'an dan Sunnah
Legalitas dan praktik tawassul tidaklah muncul dari ruang hampa. Para ulama yang membolehkannya mendasarkan argumen mereka pada dalil-dalil dari sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Memahami dalil-dalil ini sangat penting untuk melihat bagaimana konsep tawassul berakar dalam tradisi Islam.
1. Dalil dari Al-Qur'an
Beberapa ayat Al-Qur'an dijadikan landasan oleh para ulama mengenai anjuran untuk mencari wasilah kepada Allah.
Surah Al-Ma'idah, Ayat 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan orang-orang beriman untuk mencari "al-wasilah" kepada Allah. Para ahli tafsir, seperti Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa "al-wasilah" dalam ayat ini mencakup segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ini adalah makna wasilah yang paling luas dan disepakati. Namun, para ulama juga memahami bahwa cakupan "wasilah" ini termasuk melakukan amal-amal saleh spesifik yang dicintai Allah, yang kemudian menjadi dasar bagi jenis-jenis tawassul yang akan dibahas nanti. Perintah untuk mencari wasilah ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan adanya usaha aktif dari seorang hamba untuk menemukan jalan terbaik dalam mendekati Tuhannya.
Surah Al-A'raf, Ayat 180:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Dan Allah memiliki Asma'ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu."
Ayat ini menjadi dalil yang sangat jelas dan tidak ada perdebatan di dalamnya mengenai salah satu bentuk tawassul, yaitu bertawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Allah sendiri yang memerintahkan hamba-Nya untuk menggunakan nama-nama-Nya yang agung saat berdoa. Ini adalah bentuk tawassul yang paling tinggi dan paling murni.
Surah Yusuf, Ayat 97-98:
قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Mereka berkata, "Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah." Dia (Ya'qub) berkata, "Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Kisah putra-putra Nabi Ya'qub 'alaihissalam ini dijadikan dalil kuat untuk melegitimasi tawassul dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup. Mereka tidak memohon ampunan langsung kepada ayah mereka, melainkan meminta ayah mereka untuk memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka. Nabi Ya'qub pun tidak menegur perbuatan mereka sebagai sesuatu yang salah, justru beliau menyanggupinya. Ini menunjukkan bahwa menjadikan doa orang lain yang diyakini lebih dekat dengan Allah sebagai wasilah adalah praktik yang dibenarkan.
2. Dalil dari As-Sunnah
Praktik tawassul juga ditemukan dalam banyak hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, baik melalui ucapan maupun perbuatan para sahabat yang beliau setujui.
Hadits Orang Buta (Hadits Utsman bin Hunaif):
Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa seorang laki-laki buta datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Berdoalah kepada Allah agar menyembuhkan aku." Nabi menjawab, "Jika engkau mau, aku akan menundanya dan itu lebih baik bagimu, dan jika engkau mau, aku akan berdoa." Orang itu berkata, "Berdoalah." Maka Nabi menyuruhnya untuk berwudhu dengan sempurna, shalat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa ini: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku." Maka orang itu pun melakukannya dan sembuh. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya. Dinyatakan shahih oleh banyak ulama hadits).
Hadits ini adalah dalil utama yang sering digunakan oleh para pendukung tawassul dengan pribadi Nabi. Doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW secara eksplisit mengandung kalimat "dengan Nabi-Mu Muhammad" dan "aku menghadap denganmu kepada Tuhanku". Hal ini dipahami sebagai bentuk tawassul dengan kedudukan dan pribadi Nabi Muhammad SAW yang mulia. Pria buta tersebut memohon kepada Allah, namun ia menjadikan Nabi sebagai wasilah dalam permohonannya, sesuai dengan ajaran langsung dari Nabi sendiri.
Hadits Tawassul Umar bin Khattab dengan Al-'Abbas:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa jika terjadi musim kemarau, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu ber-istisqa' (meminta hujan) dengan perantaraan Al-'Abbas bin Abdul Muththalib, ia berdoa: "Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau beri kami hujan. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Maka mereka pun diberi hujan." (HR. Bukhari).
Kisah ini menjadi dalil dari dua sisi yang berbeda. Bagi sebagian ulama, ini adalah bukti legitimasi tawassul dengan orang saleh yang masih hidup. Umar, sebagai khalifah, memilih Al-'Abbas, paman Nabi yang masih hidup, untuk berdoa kepada Allah. Ini menguatkan praktik meminta doa dari orang yang dianggap memiliki kedekatan dengan Allah. Di sisi lain, sebagian ulama lain menggunakan hadits ini sebagai argumen bahwa tawassul seharusnya dilakukan dengan orang saleh yang masih hidup, bukan yang telah wafat. Mereka berargumen, jika tawassul dengan pribadi Nabi yang telah wafat diperbolehkan, tentulah Umar akan bertawassul langsung dengan Nabi di makamnya, bukan beralih kepada Al-'Abbas. Diskusi mengenai interpretasi ini akan dibahas lebih lanjut.
Hadits Tiga Orang yang Terjebak di dalam Gua:
Sebuah hadits panjang yang sangat terkenal diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, menceritakan tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua oleh batu besar. Mereka tidak bisa keluar, lalu salah seorang dari mereka berkata, "Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan (menyebut) amal saleh kalian." Maka, masing-masing dari mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan satu amal paling ikhlas yang pernah mereka lakukan: yang pertama tentang baktinya kepada orang tua, yang kedua tentang usahanya menjaga diri dari perbuatan zina, dan yang ketiga tentang kejujurannya dalam menunaikan hak seorang pekerja. Setiap kali satu doa selesai dipanjatkan, batu itu bergeser sedikit, hingga akhirnya setelah doa ketiga, batu itu terbuka sepenuhnya dan mereka bisa keluar.
Hadits ini adalah landasan utama dan paling kuat untuk jenis tawassul dengan amal saleh. Perbuatan mereka ini secara implisit disetujui karena Allah mengabulkan doa mereka. Mereka menjadikan amal baik mereka sebagai wasilah, sebagai bukti ketulusan dan ketaatan mereka, agar Allah memandang mereka dengan rahmat-Nya.
Jenis-Jenis Tawassul yang Disepakati Ulama (Muttafaq 'Alaih)
Dari berbagai dalil yang ada, para ulama dari berbagai mazhab sepakat (ijma' atau hampir ijma') mengenai kebolehan tiga jenis tawassul berikut ini. Ketiga jenis ini dianggap memiliki landasan yang sangat kuat, jelas, dan tidak mengandung kerancuan yang dapat menjerumuskan pada kesyirikan.
1. Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah (Asma'ul Husna was Sifatil 'Ulya)
Ini adalah tingkatan tawassul yang paling tinggi dan paling utama. Seorang hamba berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah atau sifat-sifat-Nya yang luhur yang sesuai dengan isi permohonannya. Dasarnya adalah firman Allah dalam Surah Al-A'raf ayat 180 yang telah disebutkan sebelumnya.
Contoh praktiknya adalah:
- Ketika memohon ampunan, seseorang berdoa: "Ya Allah, Ya Ghafur, Ya Rahim (Wahai Yang Maha Pengampun, wahai Yang Maha Penyayang), ampunilah dosa-dosaku."
- Ketika memohon rezeki, ia berdoa: "Ya Allah, Ya Razzaq, Ya Ghaniyy (Wahai Yang Maha Pemberi Rezeki, Wahai Yang Maha Kaya), berikanlah aku rezeki yang halal dan barokah."
- Ketika sedang sakit, ia berdoa: "Ya Allah, Ya Syafi (Wahai Yang Maha Penyembuh), sembuhkanlah penyakitku ini."
Bentuk tawassul ini adalah manifestasi dari tauhid asma' wa sifat, yaitu mengesakan Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan melakukan ini, seorang hamba menunjukkan pengenalannya (ma'rifah) terhadap Tuhannya dan mengakui bahwa segala sumber kekuatan dan pertolongan berasal dari sifat-sifat-Nya yang sempurna. Tidak ada satupun ulama yang mempermasalahkan keabsahan jenis tawassul ini.
2. Tawassul dengan Amal Saleh yang Dilakukan Sendiri
Bentuk tawassul kedua yang disepakati adalah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Seorang hamba, dalam keadaan terdesak, memohon kepada Allah dengan "menjadikan" amal salehnya sebagai bukti ketulusan dan penghambaannya, berharap agar amal tersebut menjadi sebab turunnya rahmat dan pertolongan Allah.
Dalil utamanya adalah hadits tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka tidak berkata, "Wahai amal salehku, tolonglah kami," melainkan mereka berkata, "Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku melakukan perbuatan itu murni karena mengharap wajah-Mu, maka selamatkanlah kami." Amal saleh itu sendiri tidak memiliki kekuatan, tetapi ia menjadi saksi di hadapan Allah atas keimanan dan ketaatan hamba-Nya.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari: Seseorang yang sedang menghadapi kesulitan besar bisa berdoa, "Ya Allah, demi baktiku yang tulus kepada ibuku yang pernah aku lakukan hanya karena-Mu, mudahkanlah urusanku ini." Atau, "Ya Allah, dengan perantara sedekah yang pernah aku sembunyikan hanya untuk mencari ridha-Mu, angkatlah kesulitanku ini." Kunci dari tawassul jenis ini adalah keikhlasan. Amal yang riya' (pamer) atau tidak dilakukan karena Allah tidak akan memiliki nilai untuk dijadikan wasilah.
3. Tawassul dengan Meminta Doa dari Orang Saleh yang Masih Hidup
Jenis ketiga yang disepakati adalah meminta seorang muslim yang dikenal kesalehannya, ketakwaannya, dan diyakini doanya mustajab, untuk mendoakan kita kepada Allah. Ini bukan berarti meminta kepada orang saleh tersebut, melainkan meminta doanya. Permintaan tetap ditujukan kepada Allah, namun melalui lisan orang lain yang kita harapkan lebih dekat dengan-Nya.
Dalilnya sangat banyak, di antaranya:
- Kisah putra-putra Nabi Ya'qub yang meminta ayah mereka memohonkan ampunan.
- Para sahabat yang sering meminta Nabi Muhammad SAW untuk mendoakan mereka, baik untuk hujan, kesembuhan, maupun keberkahan.
- Tindakan Umar bin Khattab yang meminta Al-'Abbas untuk berdoa memohon hujan setelah wafatnya Nabi SAW.
Praktik ini menunjukkan kerendahan hati, pengakuan atas kelebihan orang lain dalam hal ketakwaan, serta mempererat tali persaudaraan sesama muslim. Namun, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan. Hendaknya orang yang diminta adalah benar-benar dikenal kesalehannya, dan kita tidak boleh memiliki keyakinan bahwa orang tersebut "pasti" bisa mengabulkan doa. Keyakinan tetap harus bersandar penuh kepada Allah, Sang Pengabul Doa.
Tawassul yang Menjadi Ranah Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
Di luar tiga jenis yang disepakati di atas, terdapat bentuk tawassul lain yang menjadi subjek perdebatan panjang di kalangan para ulama. Perbedaan ini bukanlah dalam ranah akidah (pokok-pokok keimanan), melainkan dalam ranah fiqih (pemahaman cabang hukum) yang muncul dari perbedaan interpretasi terhadap dalil-dalil yang ada. Penting untuk membahasnya dengan sikap saling menghormati dan lapang dada.
Tawassul dengan Dzat, Kehormatan, atau Kedudukan (Jah) Nabi dan Orang Saleh
Ini adalah inti dari perdebatan. Tawassul jenis ini adalah ketika seseorang berdoa kepada Allah dengan menyebutkan pribadi, kedudukan, atau kemuliaan seorang nabi atau wali yang telah wafat. Contoh kalimat doanya: "Ya Allah, dengan perantara kemuliaan Nabi-Mu Muhammad, kabulkanlah hajatku." atau "Ya Allah, demi kehormatan Syaikh Abdul Qadir Jailani di sisi-Mu, sembuhkanlah penyakitku."
Argumen Pihak yang Membolehkan
Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan sebagian Hanbali, serta banyak ulama dari kalangan sufi, memandang tawassul jenis ini sebagai sesuatu yang diperbolehkan (ja'iz). Mereka membangun argumen di atas beberapa landasan:
- Interpretasi Hadits Orang Buta: Mereka berpendapat bahwa lafaz doa "aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad" adalah tawassul dengan dzat atau pribadi Nabi, bukan sekadar dengan doanya. Sebab, saat itu Nabi hanya mengajarkan doanya, dan orang buta itu sendiri yang memanjatkannya di tempat lain. Mereka berargumen, jika yang dimaksud hanya doa Nabi, maka redaksinya seharusnya "dengan doa Nabi-Mu".
- Kemuliaan Nabi yang Kekal: Kehormatan (jah), kedudukan, dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah adalah sesuatu yang abadi dan tidak hilang dengan wafatnya beliau. Bahkan, kedudukannya di akhirat jauh lebih mulia. Oleh karena itu, jika bertawassul dengan kemuliaan beliau saat hidup saja boleh, maka setelah wafatnya tentu lebih boleh lagi, karena kemuliaannya tidak berkurang sedikit pun.
- Hadits Utsman bin Hunaif Pasca Wafatnya Nabi: Terdapat riwayat lanjutan dari hadits orang buta, di mana Utsman bin Hunaif mengajarkan doa yang sama kepada seseorang pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Ini dijadikan bukti bahwa para sahabat memahami doa tersebut bisa digunakan bahkan setelah Nabi wafat. Namun, status riwayat tambahan ini diperdebatkan kekuatan sanadnya.
- Praktik Salaf dan Ulama Klasik: Banyak riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab klasik yang menunjukkan praktik atau pembolehan tawassul jenis ini dari sebagian generasi salaf dan para ulama besar setelahnya, seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan lainnya.
Argumen Pihak yang Melarang atau Sangat Berhati-hati
Sebagian ulama lain, terutama yang dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh banyak ulama di kemudian hari seperti Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama kontemporer dari mazhab Salafi, memandang tawassul jenis ini sebagai perbuatan yang terlarang atau bid'ah. Argumen utama mereka adalah:
- Interpretasi Tandingan Hadits Orang Buta: Mereka menafsirkan hadits tersebut sebagai tawassul dengan doa Nabi, bukan dengan dzatnya. Permintaan orang buta itu jelas: "Berdoalah kepada Allah untukku." Ajaran Nabi untuk berdoa adalah cara untuk menyempurnakan permintaan tersebut. Kalimat "dengan Nabi-Mu" dipahami sebagai "dengan doa dan syafaat Nabi-Mu yang hadir saat ini".
- Dalil dari Tindakan Umar bin Khattab: Argumen terkuat mereka adalah perbuatan Umar yang beralih kepada Al-'Abbas. Mereka bertanya, "Mengapa Umar dan para sahabat besar lainnya tidak pergi ke makam Nabi dan bertawassul dengan beliau yang jelas-jelas lebih mulia dari Al-'Abbas? Mengapa mereka beralih kepada orang yang masih hidup?" Bagi mereka, ini adalah bukti (ijma' sukuti atau persetujuan diam-diam dari para sahabat) bahwa tawassul yang disyariatkan adalah dengan doa orang saleh yang masih hidup, bukan dengan pribadi yang telah wafat.
- Prinsip Sadd adz-Dzari'ah (Menutup Pintu Menuju Keburukan): Mereka sangat khawatir bahwa tawassul dengan pribadi orang yang telah wafat dapat menjadi pintu gerbang menuju kesyirikan (syirk). Orang awam bisa salah paham, dari sekadar menjadikan sebagai perantara, bisa berkembang menjadi keyakinan bahwa nabi atau wali tersebut memiliki kekuatan sendiri untuk memberi manfaat atau menolak mudharat. Ini bisa mengikis kemurnian tauhid.
- Tidak Adanya Contoh Jelas dari Nabi: Mereka berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang secara eksplisit menunjukkan Nabi mengajarkan para sahabatnya untuk bertawassul dengan nabi-nabi terdahulu atau orang-orang saleh yang telah wafat. Ibadah harus didasarkan pada dalil yang jelas (tauqifi), dan menurut mereka, praktik ini tidak memiliki landasan yang sharih (eksplisit).
Batasan Penting dan Kesalahpahaman Umum
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, seluruh ulama sepakat pada beberapa batasan fundamental yang memisahkan antara tawassul yang diperdebatkan dengan kesyirikan yang diharamkan. Memahami batasan ini sangat krusial.
Tawassul vs. Istighathah vs. Syirik
- Tawassul yang Benar: Adalah berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara yang disyariatkan. Fokus, tujuan, dan subjek yang diminta adalah 100% Allah SWT. Wasilah hanyalah sebab.
- Istighathah (Meminta Pertolongan): Jika istighathah ditujukan kepada selain Allah dalam urusan yang hanya mampu dilakukan oleh Allah (seperti meminta anak, ampunan dosa, atau keselamatan dari azab), maka ini adalah syirik akbar (syirik besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Contohnya adalah berdoa, "Wahai Rasulullah, selamatkanlah aku!" atau "Wahai wali fulan, berilah aku keturunan!". Ini adalah doa kepada selain Allah.
- Keyakinan yang Salah: Inti dari syirik adalah keyakinan. Jika seseorang yang bertawassul memiliki keyakinan bahwa wasilah (nabi atau wali) tersebut bisa mendengar dari jauh, mengetahui isi hati, atau memiliki andil dalam mengabulkan doa bersama Allah, maka ia telah jatuh ke dalam kesyirikan. Ulama yang membolehkan tawassul dengan pribadi Nabi pun mensyaratkan keyakinan bahwa semua itu terjadi semata-mata dengan izin dan kekuasaan Allah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah menyamaratakan semua bentuk tawassul. Sebagian orang menolak semua jenis tawassul karena menganggapnya sama dengan syirik. Sebaliknya, sebagian lain karena mempraktikkan tawassul, menjadi longgar batasannya sehingga terjerumus pada istighathah kepada selain Allah. Keduanya adalah ekstrem yang keliru.
Prinsipnya sederhana: "Siapa yang engkau mintai?" Jika jawabannya adalah selain Allah, maka itu terlarang. Jika jawabannya adalah Allah, maka selanjutnya adalah membahas "bagaimana cara memintanya". Tawassul adalah pembahasan tentang "bagaimana cara meminta", bukan "siapa yang diminta".
Kesimpulan: Menempatkan Tawassul pada Proporsi yang Tepat
Dari pemaparan yang panjang ini, kita dapat menarik beberapa kesimpulan penting. Tawassul adalah sebuah konsep luas dalam Islam yang berarti mencari sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam berdoa. Terdapat jenis-jenis tawassul yang disepakati oleh seluruh ulama karena memiliki landasan dalil yang sangat kuat dan jelas, yaitu:
- Bertawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah (Asma'ul Husna).
- Bertawassul dengan amal saleh yang pernah dilakukan dengan ikhlas.
- Bertawassul dengan meminta doa dari orang saleh yang masih hidup dan berada di hadapan kita.
Ketiga jalan ini adalah jalan yang paling aman, paling utama, dan paling jauh dari keraguan. Mengamalkannya adalah bagian dari upaya menyempurnakan adab dalam berdoa.
Adapun tawassul dengan pribadi, kehormatan, atau kedudukan nabi dan orang saleh yang telah wafat, ini adalah wilayah ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama yang didasarkan pada perbedaan metodologi dalam memahami dalil. Ini adalah perdebatan fiqih, bukan akidah. Menyikapi perbedaan ini hendaknya dengan kearifan, lapang dada, dan saling menghormati, tanpa mudah menuduh pihak lain sebagai ahli bid'ah atau bahkan musyrik, selama batasan-batasan tauhid yang fundamental tetap terjaga.
Pada akhirnya, esensi dari setiap doa adalah ketulusan hati (ikhlas), keyakinan penuh (yakin) kepada Allah, dan kepasrahan total (tawakkal). Apapun jalan tawassul yang dipilih, jangan sampai ia menggeser fokus utama kita dari Allah, Sang Pemberi segala nikmat, Sang Pengabul segala doa. Sebab Dialah yang berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)