Ilustrasi Simbolis
Kisah hidup Hasan bin Ali, cucu kesayangan Rasulullah ﷺ dari putrinya Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib, dipenuhi dengan kemuliaan dan pengorbanan. Namun, akhir hayatnya ditandai oleh sebuah tragedi yang menyayat hati umat Islam, yaitu peristiwa terbunuhnya Hasan bin Ali. Hasan adalah sosok yang dikenal karena kesalehannya, kesabarannya, dan kepemimpinannya yang seharusnya membawa kedamaian pasca-kesyahidan ayahnya.
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali sempat memegang tampuk kekhalifahan. Namun, demi mencegah pertumpahan darah yang lebih besar di kalangan umat Islam yang terpecah belah, Hasan menunjukkan kearifan luar biasa. Beliau membuat keputusan monumental dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, sebuah tindakan yang dikenal sebagai 'Sulh al-Hasan' (Perjanjian Damai Hasan). Keputusan ini bertujuan untuk menyatukan kembali barisan Muslimin, meskipun hal itu berarti ia harus melepaskan hak kepemimpinannya.
Meskipun telah mundur dari arena politik formal, Hasan tetap menjadi tokoh sentral dan panutan spiritual. Ia terus tinggal di Madinah, menjalankan kehidupan yang sederhana dan penuh ibadah. Namun, sejarah mencatat bahwa ketenangan yang ia cari tidak bertahan lama. Peran dan kedudukannya sebagai Ahlul Bait, garis keturunan langsung Nabi, menjadikannya target bagi pihak-pihak yang tidak menginginkan stabilitas atau yang memiliki ambisi kekuasaan pribadi.
Berbagai riwayat, meskipun berbeda dalam detail kecil, sepakat bahwa penyebab utama wafatnya Hasan bin Ali bukanlah karena sakit tua atau penyebab alami, melainkan akibat racun. Fitnah dan intrik politik menjadi bayangan gelap yang mengikuti beliau hingga akhir hayat. Konspirasi ini diduga melibatkan orang-orang terdekat yang dimanipulasi atau disuap oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memastikan bahwa garis kepemimpinan tidak akan pernah kembali kepada keturunan Ali.
Menurut narasi yang paling populer, Hasan bin Ali diracuni secara bertahap atau dalam satu peristiwa yang direncanakan dengan sangat licik. Racun tersebut diberikan melalui makanan atau minuman yang disajikan kepadanya. Rasa sakit yang diderita Hasan sangat luar biasa, menandakan bahwa racun yang digunakan sangatlah keras. Dalam kondisi lemahnya, Hasan dilaporkan tetap menunjukkan ketenangan dan keikhlasan, ciri khas seorang yang benar-benar menyerahkan diri kepada kehendak Ilahi.
Saat berada di ambang kematian, Hasan bin Ali konon sempat berwasiat kepada keluarganya. Wasiat tersebut menekankan pentingnya menjaga persatuan, menghindari permusuhan, dan meneladani ajaran kakek mereka, Rasulullah ﷺ. Ia juga memberikan instruksi terkait pemakamannya, yang mana hal ini sering kali menjadi subjek perselisihan di kemudian hari, mencerminkan ketegangan politik yang masih membayangi bahkan setelah kepergiannya.
Terbunuhnya Hasan bin Ali menambahkan lapisan kesedihan pada sejarah awal Islam. Wafatnya beliau, bersama dengan wafatnya saudaranya Husain bin Ali di Karbala beberapa tahun kemudian, menjadi luka mendalam bagi banyak umat Muslim yang sangat menghormati keluarga Nabi. Peristiwa ini menegaskan betapa sulitnya menjaga kemurnian spiritual dan kepemimpinan di tengah pusaran kekuasaan duniawi.
Meskipun jalan hidup Hasan berakhir secara tragis karena pengkhianatan, warisannya tetap hidup. Ia dikenang bukan hanya sebagai cucu Nabi, tetapi juga sebagai seorang yang memilih perdamaian di atas kekuasaan (melalui perjanjian damai), dan yang menghadapi penderitaan terakhirnya dengan penuh kesabaran dan keimanan. Kisahnya adalah pengingat abadi tentang harga yang harus dibayar oleh mereka yang berusaha menjaga integritas moral di tengah intrik politik yang kejam. Pemakamannya pun, meskipun sempat menimbulkan ketegangan sesuai wasiatnya, mengukuhkan statusnya sebagai tokoh agung dalam sejarah Islam.
Kisah ini merupakan bagian penting dari sejarah peradaban Islam yang sarat akan pelajaran tentang kepemimpinan, pengorbanan, dan fitnah.