Pertanyaan mengenai asal-usul manusia adalah salah satu misteri paling mendasar dan abadi dalam peradaban. Jauh sebelum ilmu pengetahuan modern menawarkan teorinya, kitab-kitab suci telah memberikan jawaban yang kaya secara spiritual dan naratif. Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul dari narasi ini adalah, "Tuhan menciptakan manusia pada hari ke berapa?" Jawaban yang paling dikenal, yang berakar pada tradisi Abrahamik, adalah hari keenam. Namun, pernyataan ini bukanlah sekadar titik data dalam sebuah kronologi, melainkan puncak dari sebuah drama kosmik yang agung, sebuah pernyataan teologis yang mendalam tentang tempat dan tujuan manusia di alam semesta.
Memahami penciptaan manusia pada hari keenam mengharuskan kita untuk menyelami narasi penciptaan itu sendiri, menjelajahi setiap tahapnya, dan mengapresiasi bagaimana setiap elemen dibangun di atas elemen sebelumnya, mempersiapkan panggung bagi kedatangan mahakarya Sang Pencipta. Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna dan konteks dari hari keenam, tidak hanya sebagai akhir dari pekan penciptaan, tetapi juga sebagai awal dari kisah kemanusiaan.
Panggung Kosmik: Lima Hari Pertama Penciptaan
Untuk memahami keagungan hari keenam, kita harus terlebih dahulu menyaksikan panggung yang dipersiapkan selama lima hari sebelumnya. Setiap hari dalam narasi Kitab Kejadian bukanlah peristiwa yang terisolasi, melainkan sebuah langkah terencana yang mengubah kekacauan menjadi keteraturan, kehampaan menjadi kelimpahan. Ini adalah proses di mana Tuhan membentuk dan mengisi dunia, menciptakan habitat yang sempurna bagi makhluk yang akan menjadi citra-Nya.
Hari Pertama: Lahirnya Terang
Kisah ini dimulai dalam kegelapan dan kekosongan. "Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya." Dalam kondisi primordial ini, firman pertama yang diucapkan adalah, "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi. Ini adalah tindakan pemisahan fundamental pertama: terang dari gelap. Tuhan tidak menghancurkan kegelapan, melainkan memberinya tempat dan nama, "malam," sementara terang dinamai "siang." Tindakan ini menetapkan ritme dasar waktu, fondasi dari segala keteraturan yang akan mengikuti. Terang di sini bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga simbol pengetahuan, kebaikan, dan kehadiran ilahi yang menembus kekacauan.
Hari Kedua: Pemisahan Air dan Udara
Pada hari kedua, Tuhan melanjutkan pekerjaan pemisahan-Nya. Dia menciptakan "cakrawala" untuk memisahkan air yang ada di bawahnya dari air yang ada di atasnya. Cakrawala ini, yang disebut "langit," menciptakan ruang atmosfer. Ini adalah pembentukan struktur fundamental kedua, yaitu ruang vertikal. Tindakan ini menciptakan kondisi yang memungkinkan adanya cuaca, awan, dan langit biru yang kita kenal. Secara metaforis, ini adalah penciptaan ruang untuk kehidupan bernapas dan berkembang, sebuah kanopi pelindung di atas dunia yang sedang terbentuk.
Hari Ketiga: Munculnya Daratan dan Tumbuh-tumbuhan
Setelah ruang dan waktu ditetapkan, fokus beralih ke pembentukan bumi itu sendiri. Air yang menutupi segalanya diperintahkan untuk berkumpul di satu tempat, sehingga muncullah daratan kering. Pemisahan air dan tanah ini menciptakan geografi dasar planet kita: lautan dan benua. Namun, Tuhan tidak berhenti di situ. Di hari yang sama, Dia mengisi daratan yang baru terbentuk itu dengan kehidupan. "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji." Ini adalah ledakan kehidupan pertama, flora yang menutupi bumi, menyediakan makanan, oksigen, dan keindahan. Kehidupan vegetatif ini adalah fondasi dari rantai makanan yang akan datang.
Hari Keempat: Penempatan Benda-Benda Penerang
Dengan panggung yang telah terbentuk, Tuhan kembali ke langit yang diciptakan pada hari kedua. Dia menempatkan benda-benda penerang di cakrawala: matahari untuk menguasai siang, bulan untuk menguasai malam, dan juga bintang-bintang. Fungsinya sangat spesifik: sebagai penerang, sebagai pemisah antara siang dan malam, dan sebagai penunjuk "masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun." Ini adalah penyempurnaan dari ritme waktu yang dimulai pada hari pertama. Jika hari pertama adalah penciptaan konsep terang, hari keempat adalah institusionalisasi terang itu dalam benda-benda langit yang konkret, memberikan keteraturan, musim, dan navigasi bagi dunia.
Hari Kelima: Kehidupan di Air dan Udara
Setelah dunia diisi dengan tumbuhan, giliran dunia hewan dimulai. Tuhan berfirman, "Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala." Lautan yang luas dan langit yang terbentang kini diisi dengan kehidupan yang bergerak dan bersuara. Tuhan menciptakan "binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap." Ini adalah perayaan keragaman hayati yang luar biasa. Penting untuk dicatat bahwa setelah menciptakan mereka, Tuhan memberkati mereka, dengan perintah: "Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak." Berkat dan perintah untuk berkembang biak ini akan digaungkan kembali pada hari keenam.
Klimaks Penciptaan: Hari Keenam yang Agung
Setelah lima hari mempersiapkan dunia—menciptakan cahaya, langit, daratan, tumbuhan, benda penerang, serta makhluk air dan udara—panggung kini telah siap untuk babak final. Hari keenam adalah klimaks dari seluruh narasi penciptaan, hari di mana dua karya besar terakhir diwujudkan: hewan darat dan, yang terpenting, manusia.
Penciptaan Hewan Darat
Bagian pertama dari hari keenam adalah pengisian daratan yang telah ditumbuhi tanaman pada hari ketiga. Tuhan berfirman, "Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar." Daratan yang sebelumnya sunyi kini menjadi hidup dengan berbagai macam hewan. Narasi ini mengkategorikan mereka ke dalam tiga kelompok: ternak (hewan yang dapat dijinakkan), binatang melata (reptil dan serangga), dan binatang liar (hewan buas). Ini melengkapi pengisian biosfer bumi, menciptakan ekosistem darat yang kompleks dan dinamis. Semua makhluk ini diciptakan "menurut jenisnya," sebuah frasa yang menekankan keteraturan dan keragaman dalam rencana ilahi.
Puncak Karya: Penciptaan Manusia dalam Gambar dan Rupa Allah
Setelah daratan dipenuhi dengan hewan, narasi mencapai momen puncaknya. Ada perubahan nada yang signifikan dalam teks. Sebelumnya, Tuhan berfirman, "Hendaklah ada..." atau "Hendaklah bumi mengeluarkan...". Namun, untuk penciptaan manusia, ada nuansa deliberasi ilahi, sebuah musyawarah di dalam ke-Tuhanan itu sendiri: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita."
Frasa "gambar dan rupa Kita" (dalam bahasa Ibrani, *tselem* dan *demuth*) telah menjadi subjek perenungan teologis selama ribuan tahun. Ini bukanlah tentang kemiripan fisik. Sebaliknya, ini menunjuk pada kapasitas unik yang dianugerahkan kepada manusia yang membedakannya dari seluruh ciptaan lainnya. Apa sajakah kapasitas ini?
- Kapasitas Rasional dan Moral: Manusia diciptakan dengan kemampuan untuk berpikir, bernalar, memahami konsep abstrak, dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Kemampuan untuk memiliki kesadaran diri dan kesadaran moral adalah inti dari menjadi "gambar Allah."
- Kapasitas Kreatif: Sebagaimana Tuhan adalah Sang Pencipta, manusia diberi percikan kreativitas. Kita membangun kota, menciptakan seni, menulis musik, dan mengembangkan teknologi. Kemampuan untuk mengubah lingkungan dan menciptakan sesuatu yang baru adalah cerminan dari sifat kreatif Sang Pencipta.
- Kapasitas Relasional: Tuhan dalam banyak tradisi dipahami sebagai makhluk relasional. Manusia juga diciptakan untuk menjalin hubungan—dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan ciptaan lainnya. Kemampuan untuk mencintai, berempati, dan berkomunikasi adalah bagian dari gambar ilahi.
- Kapasitas untuk Berkuasa (Mandat Ilahi): Langsung setelah penciptaan, manusia diberi mandat khusus. "Supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Ini sering disebut sebagai "mandat budaya" atau "mandat dominion."
Penting untuk memahami bahwa "berkuasa" di sini bukanlah lisensi untuk eksploitasi yang merusak. Dalam konteks kuno, seorang raja yang baik memerintah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Demikian pula, manusia ditugaskan sebagai wakil atau pengurus (steward) Tuhan di bumi. Tugasnya adalah merawat, mengelola, dan mengembangkan ciptaan, bukan menghancurkannya. Manusia adalah wakil raja surgawi di dunia.
Setelah deklarasi ini, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." Ayat ini menegaskan kesetaraan fundamental antara laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan dalam gambar Allah. Kemudian, sama seperti makhluk di hari kelima, Tuhan memberkati mereka dan memberikan perintah: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu." Ini adalah penegasan kembali mandat untuk mengisi bumi dan mengelolanya dengan bijaksana.
Perspektif Islam: Penciptaan Adam dari Tanah
Kisah penciptaan dalam Al-Qur'an memberikan perspektif yang kaya dan komplementer. Meskipun tidak merinci penciptaan dalam format "hari" yang ketat seperti Kitab Kejadian, Al-Qur'an menyatakan bahwa langit dan bumi diciptakan dalam "enam masa" (*sittati ayyam*). Istilah "yawm" (hari/masa) di sini sering diartikan oleh para cendekiawan Muslim sebagai periode waktu yang panjang, bukan 24 jam literal, yang memungkinkan dialog harmonis dengan pemahaman ilmiah tentang usia alam semesta.
Fokus dalam narasi Al-Qur'an adalah pada proses penciptaan manusia pertama, Adam, dan signifikansi spiritualnya.
Proses Bertahap dari Saripati Tanah
Al-Qur'an menggambarkan penciptaan Adam sebagai proses bertahap dari berbagai jenis tanah atau lempung, yang melambangkan asal-usul fisik manusia dari bumi dan keragamannya.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah." (QS. Al-Mu'minun: 12)
Berbagai ayat lain merinci tahapan ini, menggunakan istilah yang berbeda untuk menggambarkan evolusi materi ini:
- ***Turab*** (debu/tanah): Menunjukkan elemen paling dasar dari mana manusia berasal.
- ***Tin*** (lempung): Tanah yang dicampur dengan air, menjadi dapat dibentuk.
- ***Tin Lazib*** (lempung liat): Lempung yang lengket dan pekat.
- ***Hama'in Masnun*** (lumpur hitam yang diberi bentuk): Menunjukkan proses fermentasi atau perubahan seiring waktu.
- ***Shalshalin kal Fakhkhar*** (tanah kering seperti tembikar): Tahap akhir pembentukan fisik, kering dan dapat berbunyi jika diketuk, sebelum dihidupkan.
Simbolisme ini sangat mendalam. Ini menunjukkan bahwa manusia secara fisik terikat pada bumi, rendah hati dalam asal-usulnya, namun memiliki potensi yang luar biasa. Keragaman jenis tanah juga sering ditafsirkan sebagai simbol dari keragaman ras dan watak manusia di seluruh dunia.
Peniupan Ruh dan Status sebagai Khalifah
Momen transformatif dalam penciptaan Adam adalah ketika Allah "meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya."
"Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." (QS. As-Sajdah: 9)
Peniupan ruh inilah yang mengangkat Adam dari sekadar bentuk tanah liat menjadi makhluk hidup yang memiliki kesadaran, kecerdasan, dan jiwa. Ini adalah percikan ilahi yang memberikan manusia status istimewanya. Setelah penciptaan ini, Allah mengumumkan kepada para malaikat bahwa Dia akan menjadikan seorang "khalifah" (pemimpin atau pengurus) di muka bumi. Ini sejajar dengan konsep "mandat dominion" dalam Kitab Kejadian.
Ujian Kepatuhan: Perintah Sujud
Salah satu episode sentral dalam narasi Islam adalah perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Sujud di sini bukanlah penyembahan, melainkan tanda penghormatan terhadap makhluk yang telah diberi ilmu dan diangkat derajatnya oleh Allah. Semua malaikat patuh, kecuali Iblis. Iblis, yang diciptakan dari api, menolak karena kesombongan, dengan alasan, "Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah."
Penolakan ini menjadi drama kosmik pertama tentang kesombongan versus kepatuhan, dan menjadi akar dari permusuhan abadi antara Iblis dan umat manusia. Kisah ini menekankan bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada asal-usul fisiknya (tanah), tetapi pada pengetahuan yang dianugerahkan Allah dan kemampuannya untuk taat.
Analisis Teologis dan Filosofis: Mengapa Hari Keenam?
Penempatan penciptaan manusia pada hari keenam, sebagai tindakan terakhir sebelum Tuhan "beristirahat" pada hari ketujuh, bukanlah suatu kebetulan. Ini mengandung makna teologis yang mendalam.
Manusia sebagai Puncak dan Tujuan Ciptaan
Dengan menempatkan manusia di akhir pekan penciptaan, narasi ini secara kuat menyatakan bahwa manusia adalah puncak, mahkota, dan dalam arti tertentu, tujuan dari seluruh proses penciptaan. Seluruh alam semesta—cahaya, langit, lautan, daratan, tumbuhan, dan hewan—diciptakan terlebih dahulu untuk menyediakan rumah yang sempurna bagi manusia. Dunia ini adalah panggung yang disiapkan dengan cermat untuk kedatangan aktor utamanya. Manusia memasuki dunia yang sudah jadi, siap untuk dihuni, dikelola, dan dinikmati. Ini menanamkan rasa syukur dan tanggung jawab yang mendalam.
Hubungan Ketergantungan dan Tanggung Jawab
Meskipun menjadi puncak, manusia juga adalah ciptaan yang paling bergantung. Kita membutuhkan terang dari hari pertama, udara dari hari kedua, tanah dan tumbuhan dari hari ketiga, matahari dan musim dari hari keempat, serta hewan dari hari kelima dan keenam untuk bertahan hidup. Keterlambatan penciptaan manusia menekankan ketergantungan total kita pada seluruh ekosistem yang telah ada sebelumnya. Ini adalah pelajaran kerendahan hati yang menyeimbangkan status kita yang ditinggikan. Status sebagai "penguasa" tidak bisa dipisahkan dari peran sebagai "penjaga" yang bergantung pada kelestarian ciptaan lainnya.
Makna "Hari" dalam Konteks Penciptaan
Perdebatan tentang apakah "hari" penciptaan adalah periode 24 jam literal atau eon (masa) yang panjang terus berlanjut. Banyak teolog, baik dari tradisi Yahudi, Kristen, maupun Islam, berpandangan bahwa narasi ini tidak dimaksudkan sebagai laporan ilmiah yang kaku, melainkan sebagai prosa teologis yang agung. Kata Ibrani "yom" dan Arab "yawm" dapat berarti hari literal, tetapi juga dapat merujuk pada periode waktu yang tidak ditentukan. Pandangan ini memungkinkan narasi iman untuk tidak bertentangan dengan penemuan ilmiah tentang usia bumi dan alam semesta. Inti dari narasi bukanlah pada durasi waktu, melainkan pada urutan, tujuan, dan proklamasi bahwa semua ini adalah karya sadar dari Sang Pencipta yang berdaulat.
Refleksi tentang Identitas dan Tujuan Manusia
Kisah penciptaan manusia pada hari keenam telah membentuk cara pandang peradaban terhadap diri mereka sendiri selama ribuan tahun. Kisah ini memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang paling dalam: Siapakah kita? Dari mana kita berasal? Untuk apa kita di sini?
Jawaban yang ditawarkan sangat kuat. Kita adalah makhluk yang memiliki dualitas. Di satu sisi, kita berasal dari "debu tanah," sebuah pengingat akan kefanaan, kerapuhan, dan kerendahan hati kita. Kita terikat pada siklus alam, sama seperti ciptaan lainnya. Namun di sisi lain, kita membawa "gambar dan rupa Allah," kita adalah wadah bagi "ruh ilahi." Ini memberi kita martabat, nilai, dan potensi yang tak terbatas. Setiap individu, tanpa memandang ras, status, atau kemampuan, membawa percikan ilahi ini, sebuah konsep yang menjadi dasar bagi hak asasi manusia modern.
Tujuan kita, sebagaimana digariskan dalam mandat ilahi, adalah menjadi mitra Tuhan dalam merawat dunia. Kita dipanggil untuk menjadi agen kreativitas, keteraturan, dan pemeliharaan di bumi. Kita diundang untuk membangun, menumbuhkan, belajar, dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, sambil menjaga keharmonisan dengan alam yang telah dipercayakan kepada kita. Pada akhirnya, kisah hari keenam bukan hanya tentang apa yang terjadi di masa lalu. Ini adalah narasi yang terus hidup, yang memanggil setiap generasi untuk merenungkan identitas unik mereka sebagai jembatan antara yang duniawi dan yang ilahi, dan untuk memenuhi tujuan mulia mereka sebagai pengurus ciptaan Tuhan yang agung.
Kesimpulannya, Tuhan menciptakan manusia pada hari keenam. Jawaban ini, meskipun sederhana, membuka sebuah pemahaman yang luar biasa tentang nilai, martabat, dan tanggung jawab kemanusiaan. Manusia bukanlah produk kebetulan dalam kosmos yang acak, melainkan hasil dari niat ilahi, diciptakan dengan cinta, dan ditempatkan sebagai puncak karya agung untuk tujuan yang mulia. Hari keenam bukanlah akhir dari penciptaan, melainkan awal dari perjalanan umat manusia—sebuah perjalanan untuk mencerminkan gambar Sang Pencipta di setiap sudut bumi yang telah dipercayakan kepada kita.