Mengupas Tuntas Tulisan Arab Allah Subhanahu wa Ta'ala

Kaligrafi Arab Allah Subhanahu wa Ta'ala اللّٰه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ
Kaligrafi digital lafadz Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam khat Naskh.

Di jantung keimanan setiap Muslim, bersemayam sebuah nama yang paling agung, paling mulia, dan paling sering diucapkan: Allah. Nama ini bukan sekadar sebutan, melainkan esensi dari seluruh ajaran tauhid, pengakuan atas keesaan, kebesaran, dan kesempurnaan Sang Pencipta. Setiap kali nama agung ini disebut atau ditulis, umat Islam dianjurkan untuk menyertainya dengan untaian pujian sebagai bentuk pengagungan dan adab. Salah satu frasa pujian yang paling umum dan sarat makna adalah Subhanahu wa Ta'ala. Frasa ini, yang sering kita dengar dan baca, merupakan sebuah deklarasi fundamental tentang hakikat ketuhanan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang tulisan arab Allah Subhanahu wa Ta'ala, mulai dari anatomi hurufnya, makna filosofis yang terkandung di dalamnya, sejarah penggunaannya yang berakar pada Al-Qur'an, hingga adab yang menyertainya.

Memahami frasa ini lebih dari sekadar mengetahui terjemahannya. Ini adalah perjalanan untuk menyelami samudra tauhid, membersihkan akidah dari segala bentuk penyerupaan Tuhan dengan makhluk, dan mengangkat kesadaran spiritual kita akan posisi Allah yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Setiap komponen kata dalam frasa ini, mulai dari Lafadz Allah yang unik hingga kata "Subhanahu" dan "Ta'ala," memiliki lapisan makna teologis yang mendalam dan saling melengkapi, membentuk sebuah benteng akidah yang kokoh. Dengan membedah setiap detailnya, kita akan menemukan bagaimana frasa singkat ini menjadi ringkasan sempurna dari sifat-sifat keagungan (jalal) dan keindahan (jamal) Allah.

Anatomi dan Penulisan Lafadz: اللّٰه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ

Untuk memahami keindahan dan ketepatan makna, langkah pertama adalah dengan membedah struktur penulisan dari frasa ini. Tulisan Arab memiliki kekhasan di mana setiap huruf, harakat (tanda baca vokal), dan bahkan cara penyambungannya memiliki peran penting dalam pelafalan dan makna.

اللّٰه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ

Mari kita urai setiap komponennya:

1. Lafadz Jalalah: اللّٰه (Allah)

Ini adalah bagian paling sentral, nama diri (ism al-'alam) bagi Tuhan Yang Maha Esa. Penulisannya unik dan tidak ada duanya. Terdiri dari huruf-huruf:

Satu keunikan fonetik dalam penyebutan Lafadz Allah adalah hukum tafkhim (penebalan) dan tarqiq (penipisan) pada huruf Lam. Jika Lafadz Allah didahului oleh harakat fathah (a) atau dhammah (u), maka Lam dibaca tebal (tafkhim), seperti "Wallahi" atau "Rasulullah". Namun, jika didahului oleh harakat kasrah (i), maka dibaca tipis (tarqiq), seperti "Bismillah". Ini adalah kekhususan yang hanya berlaku untuk Lafadz Allah, menunjukkan keistimewaan nama ini dalam tata bahasa Arab sekalipun.

2. Frasa Pujian: سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ (Subhanahu wa Ta'ala)

Frasa ini terdiri dari tiga kata yang terangkai menjadi satu kesatuan makna yang sempurna.

a. سُبْحَانَهُ (Subhanahu) - Maha Suci Dia

b. وَ (wa) - dan

c. تَعَالَىٰ (Ta'ala) - Maha Tinggi Dia

Dengan menggabungkan seluruh analisis ini, tulisan arab Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadi sebuah kalimat yang utuh: "Allah, Yang Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia." Setiap huruf dan harakatnya diatur dengan presisi untuk menyampaikan sebuah konsep akidah yang paling fundamental.

Makna Teologis yang Mendalam: Fondasi Tauhid

Di balik struktur linguistik yang indah, frasa "Allah Subhanahu wa Ta'ala" menyimpan samudra makna teologis yang menjadi pilar akidah Islam. Memahaminya adalah memahami esensi dari pengesaan Allah (Tauhid). Makna ini dapat diurai menjadi dua konsep utama yang terkandung dalam "Subhanahu" dan "Ta'ala": Tanzih dan 'Uluww.

Konsep Tanzih (Penyucian) dalam "Subhanahu"

Kata "Subhanahu" adalah deklarasi Tanzih, yaitu menyucikan Allah secara mutlak dari segala hal yang tidak layak bagi kebesaran-Nya. Ini adalah pilar negasi dalam tauhid, di mana seorang Muslim menafikan segala bentuk kekurangan dari Dzat, sifat, dan perbuatan Allah. Apa saja yang dinafikan oleh kata "Subhanahu"?

Dengan mengucapkan "Subhanahu", seorang hamba sedang membersihkan hatinya dari segala gambaran yang salah tentang Tuhannya, memurnikan keyakinannya sesuai dengan apa yang Allah firmankan tentang diri-Nya. Ini adalah langkah pertama menuju pengenalan (ma'rifah) yang benar kepada Sang Pencipta.

Konsep 'Uluww (Ketinggian) dalam "Ta'ala"

Setelah melakukan negasi (Tanzih), frasa ini dilanjutkan dengan afirmasi (Itsbat) melalui kata "Ta'ala". Ini adalah deklarasi 'Uluww, yaitu menetapkan sifat ketinggian yang absolut bagi Allah. Ketinggian Allah ini mencakup dua aspek utama:

  1. 'Uluww Adz-Dzat (Ketinggian Dzat): Ini adalah keyakinan bahwa Dzat Allah secara hakiki berada di tempat yang paling tinggi, di atas seluruh makhluk-Nya, bersemayam di atas 'Arsy sesuai dengan keagungan-Nya. Ini adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang didasarkan pada ratusan dalil dari Al-Qur'an, Hadits, dan ijma' (konsensus) para sahabat.

    الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

    "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)

    Keyakinan ini tidak berarti bahwa Allah membutuhkan tempat atau dibatasi oleh 'Arsy. 'Arsy adalah makhluk-Nya yang paling besar, dan Allah bersemayam di atasnya dengan cara yang tidak dapat dibayangkan (bila kaif) oleh akal manusia. Ketinggian Dzat ini menanamkan rasa hormat dan pengagungan, di mana seorang hamba selalu menengadahkan tangan ke atas saat berdoa, secara fitrah mengakui bahwa Tuhannya berada di tempat yang Maha Tinggi. Ini juga membantah paham pantheisme (Tuhan menyatu dengan alam) atau hulul (Tuhan menempati makhluk-Nya).

  2. 'Uluww Al-Qadr wa As-Sifat (Ketinggian Derajat dan Sifat): Ini adalah keyakinan bahwa Allah Maha Tinggi dari segi kedudukan, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya. Seluruh sifat-Nya adalah sifat kesempurnaan yang absolut. Dia Maha Mengetahui, tanpa didahului kebodohan. Dia Maha Kuasa, tanpa ada kelemahan. Dia Maha Mulia, tanpa ada kehinaan. Tidak ada satu pun sifat makhluk yang dapat menandingi atau bahkan mendekati kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Ketinggian ini mencakup:
    • Ketinggian Kekuasaan ('Uluww Al-Qahr): Allah Maha Perkasa (Al-Qahhar), yang menundukkan segala sesuatu di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya atau menghalangi kehendak-Nya.
    • Ketinggian Status ('Uluww Asy-Sya'n): Allah memiliki Asmaul Husna (Nama-nama Terbaik) dan Sifat-sifat yang Maha Tinggi. Dia adalah Raja di atas segala raja, Penguasa di atas segala penguasa.

Kombinasi "Subhanahu" dan "Ta'ala" adalah formula tauhid yang sempurna. "Subhanahu" membersihkan akidah dari syirik dan penyerupaan (tasybih), sementara "Ta'ala" menetapkan keagungan, kebesaran, dan ketinggian mutlak bagi Allah. Keduanya berjalan beriringan, tidak bisa dipisahkan, membentuk pemahaman yang seimbang dan benar tentang siapa Tuhan semesta alam.

Sejarah dan Anjuran Penggunaan dalam Islam

Frasa "Subhanahu wa Ta'ala" bukanlah ciptaan para ulama di kemudian hari. Frasa ini memiliki akar yang sangat kuat dan otentik langsung dari sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an Al-Karim. Penggunaannya merupakan bentuk ittiba' (mengikuti) cara Al-Qur'an memuji dan mengagungkan Allah.

Akar Penggunaan dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an berulang kali menggunakan kombinasi kata "Subhanahu wa Ta'ala" atau variasinya, terutama dalam konteks membantah keyakinan-keyakinan batil yang dinisbatkan kepada Allah. Ini menunjukkan fungsi utamanya sebagai tameng akidah. Beberapa contohnya:

Dari ayat-ayat ini, jelas terlihat bahwa penggunaan "Subhanahu wa Ta'ala" adalah metode Qur'ani dalam mengagungkan Allah. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim menggunakannya setelah menyebut nama Allah, ia sejatinya sedang meneladani firman Tuhannya sendiri. Ini adalah bentuk ibadah lisan yang agung.

Adab Penulisan dan Pengucapan: Hindari Singkatan

Sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan, para ulama menetapkan adab dalam menyebut atau menulis nama Allah. Dianjurkan dengan sangat kuat untuk selalu menyertakan frasa pujian seperti "Subhanahu wa Ta'ala," "'Azza wa Jalla," atau "Jalla Jalaluhu." Adab ini mencakup baik dalam lisan maupun tulisan.

Sebuah isu kontemporer yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi dan kecepatan komunikasi adalah penggunaan singkatan seperti "SWT" atau "swt". Meskipun niatnya mungkin baik untuk efisiensi, mayoritas ulama besar sangat tidak menganjurkan bahkan melarang praktik ini. Mengapa demikian?

  1. Mengurangi Keagungan dan Pahala: Menulis frasa pujian secara lengkap adalah sebuah ibadah tersendiri. Setiap huruf yang ditulis dengan niat mengagungkan Allah akan mendatangkan pahala. Singkatan menghilangkan kesempatan untuk meraih pahala ini dan dapat terkesan meremehkan atau malas dalam memuji Allah. Imam As-Suyuthi dalam kitabnya "Tadribur Rawi" menekankan pentingnya menulis shalawat untuk Nabi secara lengkap dan mencela orang yang menyingkatnya, dan qiyas (analogi) yang sama berlaku lebih utama lagi untuk pujian kepada Allah.
  2. Menghilangkan Makna: Singkatan "SWT" hanyalah rangkaian huruf mati yang tidak memiliki makna pujian. Ia tidak melafalkan kesucian ("Subhanahu") maupun ketinggian ("Ta'ala"). Tujuan dari penyertaan frasa ini adalah untuk mengingatkan pembaca dan penulis akan keagungan Allah, sebuah tujuan yang tidak tercapai dengan singkatan.
  3. Bukan Tradisi Salafus Shalih (Generasi Terdahulu): Para ulama terdahulu, meskipun menulis kitab-kitab tebal dengan tangan, tidak pernah menyingkat pujian kepada Allah atau shalawat kepada Nabi. Mereka justru menuliskannya dengan lengkap dan indah, menunjukkan betapa besar penghormatan mereka. Kita seharusnya meneladani kesabaran dan adab mereka.
  4. Potensi Kesalahpahaman: Bagi orang yang tidak familiar, singkatan "SWT" bisa jadi tidak berarti apa-apa. Menulis lengkap "Subhanahu wa Ta'ala" memastikan bahwa pesan pengagungan tersampaikan dengan jelas kepada setiap pembaca.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang mencintai dan mengagungkan Tuhannya, hendaknya kita membiasakan diri untuk selalu menulis tulisan arab Allah Subhanahu wa Ta'ala atau setidaknya transliterasinya secara lengkap. Di era digital di mana kita bisa dengan mudah membuat shortcut atau fitur auto-correct di perangkat kita, tidak ada lagi alasan untuk malas menuliskannya secara penuh. Ini adalah investasi kecil waktu dan usaha untuk sebuah pengagungan yang besar di hadapan Allah.

Kesimpulan: Sebuah Deklarasi Iman yang Utuh

Frasa "Allah Subhanahu wa Ta'ala" lebih dari sekadar gelar kehormatan. Ia adalah rangkuman dari akidah tauhid yang paling murni. Melalui tulisan arabnya yang presisi, kita belajar tentang keunikan nama "Allah". Melalui maknanya yang mendalam, kita memahami konsep Tanzih (menyucikan Allah dari segala kekurangan) dan 'Uluww (menetapkan segala ketinggian dan kesempurnaan bagi-Nya).

Setiap kali kita mengucapkan atau menuliskan اللّٰه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ, kita sedang melakukan beberapa hal sekaligus:

Maka, marilah kita menghayati setiap huruf dan makna dari frasa agung ini. Jangan biarkan ia menjadi ucapan rutin tanpa makna. Jadikanlah ia sebagai detak jantung keimanan kita, sebuah deklarasi yang senantiasa bergema di lisan, tulisan, dan hati kita, menegaskan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi dari segala sesuatu.

🏠 Homepage