Membedah Ujian ANBK: Peta Jalan Baru Pendidikan Indonesia

Ilustrasi Konsep Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) Ujian ANBK Literasi & Numerasi Survei Karakter & Lingkungan

Ilustrasi yang menggambarkan ANBK sebagai asesmen komprehensif yang mengukur literasi, numerasi, serta karakter dan lingkungan belajar melalui platform digital.

Dalam lanskap pendidikan modern, istilah "ujian ANBK" semakin sering terdengar dan menjadi topik perbincangan hangat di kalangan pendidik, orang tua, dan siswa. Kemunculannya menandai sebuah pergeseran fundamental dalam cara pemerintah mengevaluasi sistem pendidikan. Lantas, ujian ANBK adalah sebuah keniscayaan baru yang menggantikan model evaluasi lama? Apa esensi, tujuan, dan dampaknya bagi ekosistem pendidikan secara keseluruhan? Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek dari Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) untuk memberikan pemahaman yang komprehensif.

ANBK adalah singkatan dari Asesmen Nasional Berbasis Komputer. Ini merupakan program evaluasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memotret input, proses, dan output pembelajaran di seluruh satuan pendidikan. Penting untuk menggarisbawahi kata "asesmen" dan "nasional". Ini bukanlah "ujian" dalam pengertian konvensional yang hasilnya menentukan kelulusan individu siswa. Sebaliknya, ini adalah sebuah "asesmen" atau pemetaan yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk evaluasi sistem pendidikan secara nasional, bukan untuk menghakimi performa siswa, guru, atau sekolah secara perorangan.

Latar Belakang dan Filosofi: Mengapa Beralih dari Ujian Nasional (UN)?

Untuk memahami sepenuhnya mengapa ANBK hadir, kita perlu menengok kembali ke era Ujian Nasional (UN). Selama bertahun-tahun, UN menjadi tolok ukur utama kelulusan siswa dari jenjang SMP dan SMA/SMK. Meskipun tujuannya mulia, yakni untuk standardisasi mutu lulusan, UN dalam praktiknya menimbulkan berbagai persoalan yang kompleks.

UN sering kali dianggap sebagai momok yang menakutkan. Statusnya sebagai high-stakes test (ujian berisiko tinggi) menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa bagi siswa, guru, dan bahkan orang tua. Fokus pembelajaran di sekolah menjadi sempit, cenderung berorientasi pada "menaklukkan soal-soal UN". Proses belajar yang seharusnya kaya akan eksplorasi, penemuan, dan pengembangan nalar kritis, tereduksi menjadi latihan soal dan menghafal materi yang kemungkinan besar akan diujikan. Kreativitas dan aspek pendidikan holistik lainnya seperti karakter dan kecakapan sosial sering terpinggirkan.

UN cenderung mengukur aspek kognitif level rendah, yaitu penguasaan konten mata pelajaran, dan kurang menyentuh kompetensi penalaran tingkat tinggi yang esensial untuk menghadapi tantangan masa depan.

Berangkat dari evaluasi mendalam terhadap kelemahan-kelemahan tersebut, Kemendikbudristek merancang sebuah paradigma baru dalam evaluasi pendidikan. Paradigma ini bergeser dari assessment of learning (penilaian atas hasil belajar) yang bersifat sumatif dan menghakimi, menjadi assessment for learning (penilaian untuk perbaikan pembelajaran) dan assessment as learning (penilaian sebagai bagian dari proses belajar). ANBK adalah manifestasi dari pergeseran filosofis ini.

Tujuannya bukan lagi untuk melabeli siswa dengan predikat "lulus" atau "tidak lulus", melainkan untuk menyediakan sebuah "cermin" yang jujur bagi setiap satuan pendidikan. Cermin ini memantulkan potret mutu yang komprehensif, mencakup kualitas hasil belajar kognitif, hasil belajar non-kognitif (karakter), dan kualitas lingkungan belajar. Dari pantulan cermin inilah, sekolah bersama pemerintah daerah dan pusat dapat mengidentifikasi area-area yang perlu diperbaiki dan merancang intervensi yang tepat sasaran.

Tiga Instrumen Utama dalam Ujian ANBK

ANBK tidak terdiri dari satu jenis tes, melainkan tiga instrumen utama yang saling melengkapi untuk memberikan gambaran utuh tentang mutu pendidikan. Ketiganya dirancang untuk mengukur aspek-aspek yang berbeda namun sama pentingnya dalam sebuah ekosistem pendidikan yang sehat.

1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)

Ini adalah komponen yang paling sering disamakan dengan "ujian" karena mengukur kemampuan kognitif siswa. Namun, AKM memiliki perbedaan fundamental dengan soal-soal UN. AKM tidak menguji penguasaan konten dari semua mata pelajaran, melainkan mengukur dua kompetensi mendasar yang lintas mata pelajaran dan esensial bagi setiap individu untuk berfungsi secara produktif di masyarakat. Dua kompetensi tersebut adalah:

Bentuk soal AKM sangat beragam, tidak lagi didominasi pilihan ganda. Terdapat soal Pilihan Ganda, Pilihan Ganda Kompleks (jawaban benar lebih dari satu), Menjodohkan, Isian Singkat, dan Uraian. Keragaman ini dirancang untuk mengukur kompetensi secara lebih mendalam. Salah satu inovasi penting dalam AKM adalah sifatnya yang adaptif (Multi-Stage Adaptive Testing - MSAT), di mana tingkat kesulitan soal yang diterima siswa akan disesuaikan dengan kemampuannya berdasarkan jawaban pada soal-soal sebelumnya. Ini membuat pengukuran menjadi lebih presisi.

2. Survei Karakter

Pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang luhur. Instrumen Survei Karakter dirancang untuk mengukur hasil belajar non-kognitif siswa yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Survei ini tidak memiliki jawaban "benar" atau "salah". Tujuannya adalah memotret sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan siswa.

Aspek-aspek yang diukur dalam Survei Karakter selaras dengan enam dimensi Profil Pelajar Pancasila, yaitu:

  1. Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia: Mencakup akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara.
  2. Berkebinekaan Global: Kemampuan mengenal dan menghargai budaya, berkomunikasi interkultural, serta berefleksi dan bertanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.
  3. Bergotong Royong: Kemampuan untuk berkolaborasi, memiliki kepedulian, dan mau berbagi dengan sesama.
  4. Mandiri: Memiliki kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta mampu meregulasi diri.
  5. Bernalar Kritis: Kemampuan memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksikan pemikiran, dan mengambil keputusan.
  6. Kreatif: Kemampuan menghasilkan gagasan dan karya yang orisinal serta memiliki keluwesan berpikir dalam mencari solusi.

Hasil dari survei ini memberikan informasi berharga bagi sekolah tentang profil karakter siswa-siswinya, yang dapat menjadi landasan untuk merancang program-program penguatan karakter yang lebih efektif.

3. Survei Lingkungan Belajar

Kualitas proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana proses itu terjadi. Instrumen Survei Lingkungan Belajar bertujuan untuk memotret kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di satuan pendidikan. Uniknya, survei ini tidak hanya diisi oleh siswa, tetapi juga oleh seluruh guru dan kepala sekolah.

Dengan melibatkan semua unsur penting di sekolah, survei ini memberikan gambaran 360 derajat tentang iklim sekolah. Aspek-aspek yang diukur antara lain:

Data dari Survei Lingkungan Belajar ini menjadi sangat krusial karena langsung menunjuk pada area-area spesifik yang bisa diperbaiki oleh manajemen sekolah, guru, dan pemangku kebijakan untuk menciptakan ekosistem belajar yang aman, nyaman, inklusif, dan menantang secara intelektual.

Siapa Peserta Ujian ANBK?

Salah satu perbedaan paling signifikan antara ANBK dan UN adalah pada penentuan peserta. Jika UN diikuti oleh seluruh siswa di tingkat akhir (kelas VI, IX, dan XII), maka ANBK menggunakan metode sampling (pemilihan acak).

Peserta ANBK dipilih secara acak oleh sistem dari data pokok pendidikan (Dapodik) dan tidak semua siswa dalam satu sekolah akan mengikutinya. Tujuannya adalah untuk menghindari konsekuensi berisiko tinggi bagi individu dan agar siswa tidak perlu melakukan persiapan khusus yang berlebihan. Hal ini memperkuat pesan bahwa ANBK adalah evaluasi sistem, bukan individu.

Pelaksanaan Teknis: Berbasis Komputer

Sesuai namanya, ANBK dilaksanakan berbasis komputer, yang memastikan standardisasi, efisiensi, dan objektivitas dalam pelaksanaan dan penilaian. Terdapat dua moda pelaksanaan yang bisa dipilih sekolah sesuai dengan kesiapan infrastrukturnya:

  1. Moda Daring (Online): Sekolah harus memiliki akses internet yang stabil dan memadai karena semua data soal dikirim langsung dari server pusat dan jawaban siswa juga langsung terkirim ke server pusat secara real-time. Moda ini membutuhkan komputer klien (untuk siswa) dan bandwidth internet yang kuat.
  2. Moda Semi-Daring (Semi-Online): Moda ini menjadi solusi bagi sekolah dengan koneksi internet yang kurang stabil. Sekolah perlu menyiapkan sebuah komputer proktor yang berfungsi sebagai server lokal. Proktor akan melakukan sinkronisasi data (mengunduh soal) dari server pusat beberapa hari sebelum pelaksanaan. Selama asesmen berlangsung, komputer klien terhubung ke server lokal ini tanpa memerlukan koneksi internet aktif. Setelah selesai, proktor akan mengunggah kembali hasil jawaban siswa ke server pusat.

Pelaksanaan ini melibatkan beberapa peran penting di sekolah, seperti Proktor (yang bertanggung jawab atas aspek teknis di ruang asesmen), Teknisi (yang memastikan infrastruktur TIK berjalan lancar), dan Pengawas (yang menjaga ketertiban dan integritas pelaksanaan).

Hasil ANBK: Rapor Pendidikan untuk Perbaikan Berkelanjutan

Lalu, apa yang terjadi setelah semua data dari AKM, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar terkumpul? Hasilnya tidak akan keluar dalam bentuk nilai individu atau sertifikat untuk siswa. Sebaliknya, seluruh data tersebut diolah dan disajikan dalam sebuah platform tunggal yang disebut Rapor Pendidikan.

Rapor Pendidikan adalah dasbor komprehensif yang menampilkan profil dan potret mutu setiap satuan pendidikan dan pemerintah daerah. Isinya bukan sekadar angka mentah, melainkan hasil analisis data yang sudah diberi makna, perbandingan dengan rata-rata nasional atau daerah, serta rekomendasi perbaikan. Rapor ini menjadi alat utama untuk melakukan Perencanaan Berbasis Data (PBD).

Rapor Pendidikan tidak bertujuan untuk merangking atau menghakimi sekolah. Tujuannya adalah untuk membantu sekolah mengidentifikasi akar masalah, merefleksikan kondisi nyata, dan menyusun program perbaikan yang benar-benar didasarkan pada bukti, bukan asumsi.

Sebagai contoh, jika Rapor Pendidikan sebuah sekolah menunjukkan skor literasi yang rendah dan di saat yang sama data Survei Lingkungan Belajar mengindikasikan bahwa praktik pembelajaran guru kurang mendorong aktivasi kognitif, maka sekolah dapat merancang program peningkatan kapasitas guru yang fokus pada metode pengajaran literasi lintas mata pelajaran. Inilah inti dari siklus perbaikan berkelanjutan yang ingin dicapai melalui ANBK.

Penutup: ANBK sebagai Kompas Arah Pendidikan

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa ujian ANBK adalah sebuah transformasi fundamental dalam paradigma evaluasi pendidikan di Indonesia. Ia beralih dari kultur "menghakimi" hasil akhir menjadi kultur "memperbaiki" proses secara berkelanjutan. ANBK bukan sekadar pengganti UN dengan nama dan format yang berbeda; ia adalah sebuah instrumen diagnostik yang dirancang untuk memberikan umpan balik yang kaya dan bermanfaat bagi seluruh pemangku kepentingan.

Bagi siswa, ANBK mendorong pembelajaran yang lebih berorientasi pada kompetensi dan penalaran, bukan hafalan. Bagi guru dan kepala sekolah, ANBK melalui Rapor Pendidikan menyediakan data yang valid untuk refleksi dan inovasi. Dan bagi sistem pendidikan secara nasional, ANBK berfungsi sebagai kompas yang menunjukkan arah perbaikan yang harus ditempuh untuk mewujudkan pendidikan yang lebih berkualitas, merata, dan relevan dengan tuntutan zaman.

Memahami ANBK secara utuh berarti memahami bahwa fokusnya adalah pada perbaikan sistemik. Ini adalah upaya kolektif untuk memastikan bahwa setiap anak di Indonesia mendapatkan pengalaman belajar yang tidak hanya membekali mereka dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kompetensi, karakter, dan kecintaan untuk terus belajar sepanjang hayat.

🏠 Homepage