Dalam bentangan sejarah kemanusiaan, ada kisah-kisah yang terukir abadi bukan karena kemenangan gemilang di medan perang atau penemuan yang mengubah dunia, melainkan karena kekuatan jiwa yang tak tergoyahkan di hadapan badai cobaan. Salah satu kisah paling agung dan monumental adalah riwayat kehidupan Nabi Ayyub 'Alaihissalam. Namanya telah menjadi sinonim dengan kata "sabar", sebuah perlambang keteguhan iman yang melampaui batas pemahaman manusia biasa. Kisahnya bukan sekadar catatan penderitaan, melainkan sebuah universitas kehidupan yang mengajarkan makna tawakal, ridha, dan cinta sejati kepada Sang Pencipta.
Untuk memahami kedalaman ujian yang beliau hadapi, kita harus terlebih dahulu mengenal sosok Nabi Ayyub sebelum langit kehidupannya diselimuti awan kelabu. Beliau adalah seorang hamba Allah yang saleh, seorang nabi yang mulia, keturunan dari Nabi Ishaq bin Ibrahim 'Alaihimassalam. Allah menganugerahinya nikmat yang melimpah ruah. Hartanya tak terhitung, terhampar dalam bentuk ladang-ladang subur, perkebunan yang luas, serta ternak yang tak terbilang jumlahnya—unta, sapi, kambing, dan kuda memenuhi lembah-lembah di negerinya. Beliau bukan hanya kaya, tetapi juga dermawan. Pintunya selalu terbuka bagi fakir miskin, anak yatim, dan para musafir. Hartanya menjadi jembatan kebaikan, bukan tembok kesombongan.
Selain kekayaan materi, Allah juga memberinya nikmat keluarga yang menjadi penyejuk mata. Beliau dikaruniai istri yang setia dan salehah bernama Rahmah, serta putra-putri yang banyak, sehat, dan berbakti. Kehidupannya adalah potret kesempurnaan duniawi yang diidamkan banyak orang: harta berlimpah, keluarga harmonis, status sosial terhormat, dan yang terpenting, ketaatan yang tak pernah putus kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap helaan napasnya adalah zikir, setiap detak jantungnya adalah syukur. Beliau adalah manifestasi dari hamba yang bersyukur di kala lapang.
Dialog di Langit: Iblis dan Tantangan Kesetiaan
Kesalehan dan ketaatan Nabi Ayyub yang sempurna ini menjadi buah bibir tidak hanya di bumi, tetapi juga di kalangan para malaikat di langit. Mereka memuji-muji Ayyub sebagai contoh hamba yang ideal. Namun, pujian ini membangkitkan kedengkian di hati Iblis, musuh abadi manusia. Dengan kesombongannya, Iblis menghadap Allah dan melancarkan fitnahnya. Ia berargumen bahwa kesetiaan dan ibadah Ayyub bukanlah murni karena cinta kepada Allah, melainkan karena limpahan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. "Wahai Tuhanku," kata Iblis, "Sesungguhnya Ayyub menyembah-Mu hanya karena Engkau telah memberinya harta yang melimpah dan keluarga yang bahagia. Jika Engkau cabut semua nikmat itu darinya, niscaya ia akan berpaling dari-Mu dan kufur."
Allah, Yang Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya, tahu persis ketulusan iman Ayyub. Namun, untuk menunjukkan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk Iblis, tentang hakikat keimanan sejati dan untuk mengangkat derajat hamba-Nya yang tercinta, Allah mengizinkan Iblis untuk menguji Ayyub. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku memberimu kuasa atas hartanya dan anak-anaknya, tetapi tidak atas tubuhnya, jiwanya, dan hatinya." Ini adalah sebuah panggung ujian agung yang disiapkan oleh Sang Sutradara Kehidupan, di mana Ayyub akan menjadi aktor utamanya, mempertontonkan sebuah drama keimanan yang akan menginspirasi umat manusia hingga akhir zaman.
Babak Pertama Ujian: Kehancuran Harta Benda
Iblis tidak membuang waktu. Dengan izin yang telah didapatkannya, ia memulai fase pertama dari ujian maha berat ini. Ia mengerahkan bala tentaranya dari kalangan setan untuk menghancurkan seluruh sumber kekayaan Nabi Ayyub. Dalam waktu yang sangat singkat, bencana datang silih berganti dengan kecepatan yang tak masuk akal. Sekawanan perampok ganas menyerbu dan merampas seluruh ternak unta dan sapinya, membunuh para penggembala yang menjaganya. Tak lama berselang, api misterius turun dari langit dan membakar habis ladang-ladang gandumnya yang menguning, mengubahnya menjadi abu dalam sekejap mata. Kemudian, badai dahsyat datang menyapu bersih kawanan kambingnya, tak menyisakan satu ekor pun.
Satu per satu, para utusan yang selamat datang menghadap Nabi Ayyub dengan napas terengah-engah dan wajah pucat, membawa kabar-kabar buruk yang meruntuhkan pilar-pilar dunianya. Bayangkan, dalam satu hari, seorang miliarder yang dermawan berubah menjadi seorang yang tidak memiliki apa-apa. Seluruh aset, investasi, dan sumber pendapatannya lenyap tak berbekas. Namun, bagaimana respons Nabi Ayyub? Di saat manusia biasa akan meraung, menyalahkan takdir, atau jatuh dalam depresi, beliau justru bersujud di atas tanah.
Beliau mengangkat kepalanya dan dengan bibir bergetar menahan keagungan Tuhannya, ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali). Milik Allah-lah apa yang Dia ambil, dan milik-Nya pulalah apa yang Dia berikan. Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan." Beliau tidak melihatnya sebagai kehilangan, melainkan sebagai pengembalian titipan kepada Sang Pemilik Sejati. Ujian pertama ini gagal menggoyahkan imannya. Iblis pun geram, karena pilar pertama yang coba ia runtuhkan justru semakin mengokohkan bangunan tauhid di hati Ayyub.
Babak Kedua: Duka yang Merenggut Jantung
Melihat keteguhan Ayyub, Iblis kembali menghadap Allah. Ia berdalih, "Ayyub masih bisa bersabar karena ia masih memiliki anak-anak yang menjadi penyejuk hatinya dan harapan masa depannya. Izinkan aku menguji anak-anaknya, niscaya ia akan berpaling." Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, kembali memberinya izin. Iblis pun melancarkan serangan yang paling menyakitkan, yang menargetkan bagian terdalam dari hati seorang ayah.
Putra-putri Nabi Ayyub sedang berkumpul di rumah salah seorang dari mereka, dalam suasana keakraban dan kebahagiaan. Iblis dan pasukannya mengguncang pilar-pilar bangunan itu dengan dahsyat hingga atapnya runtuh menimpa semua anak-anak beliau yang berada di dalamnya. Tidak ada satupun yang selamat. Seluruh buah hatinya, tunas-tunas harapan yang beliau rawat dengan penuh kasih sayang, wafat dalam satu peristiwa tragis.
Kabar ini sampai kepada Nabi Ayyub. Ini bukanlah sekadar kehilangan harta, ini adalah kehilangan jiwa, bagian dari dirinya sendiri. Setiap orang tua pasti bisa merasakan betapa hancurnya hati ketika kehilangan satu anak, apalagi semua anaknya sekaligus dalam satu waktu. Dunia seakan berhenti berputar. Udara terasa sesak untuk dihirup. Namun, sekali lagi, Nabi Ayyub 'Alaihissalam menunjukkan kualitas kenabiannya. Beliau kembali bersujud kepada Allah. Air matanya mungkin mengalir sebagai fitrah kemanusiaan, tetapi hatinya tetap kokoh dalam ridha. Lisannya basah dengan pujian, "Ya Allah, Engkau telah memberi dan Engkau pula yang mengambil. Aku ridha dengan segala ketetapan-Mu."
Imannya tidak retak. Cintanya pada Allah tidak luntur. Beliau memahami bahwa anak-anaknya adalah amanah, dan kini Sang Pemilik Amanah telah mengambilnya kembali. Iblis kembali menelan kekalahan pahit. Dua benteng pertahanan terkuat Ayyub—harta dan keluarga—telah dihancurkan, namun istana imannya tetap berdiri megah, bahkan semakin menjulang tinggi.
Babak Ketiga: Ujian pada Jasad yang Fana
Iblis yang putus asa tidak mau menyerah. Ia kembali menghadap Allah dengan argumen terakhirnya yang paling licik. "Wahai Tuhanku, Ayyub masih sabar karena tubuhnya masih sehat. Kesehatan adalah nikmat terbesar. Jika Engkau izinkan aku menguji fisiknya, aku jamin ia tidak akan sanggup lagi memuji-Mu. Ia akan mengeluh dan mencela takdir-Mu."
Allah, untuk menyempurnakan ujian ini dan menjadikannya pelajaran abadi, mengizinkan Iblis untuk mengganggu jasad Nabi Ayyub, dengan satu batasan: tidak pada lidahnya (agar ia tetap bisa berzikir) dan tidak pada hatinya (agar imannya tetap terjaga). Iblis pun melancarkan serangan terakhirnya. Ia meniupkan penyakit ke seluruh tubuh Nabi Ayyub. Seketika, tubuh beliau yang gagah dan sehat mulai digerogoti penyakit kulit yang mengerikan. Borok dan bisul bernanah muncul di sekujur tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penyakit itu sangat parah, menyakitkan, dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Hari demi hari, kondisi fisiknya semakin memburuk. Dagingnya mulai rontok, menampakkan tulang-belulangnya. Rasa sakit yang dideritanya tak terperi, terus-menerus menyiksanya siang dan malam. Beliau menjadi sangat lemah, tidak mampu bergerak, dan hanya bisa terbaring tak berdaya. Inilah puncak dari ujian fisik. Nikmat kesehatan yang sering kita lupakan, kini telah dicabut sepenuhnya dari diri beliau.
Kesendirian di Tengah Penderitaan
Penyakit yang diderita Nabi Ayyub bukan hanya menyerang fisiknya, tetapi juga merusak tatanan sosialnya. Orang-orang yang dulu menghormati dan mengaguminya, kini mulai menjauh. Mereka jijik dengan penyakitnya dan takut tertular. Satu per satu, teman, kerabat, dan pengikutnya meninggalkannya. Mereka bahkan mengusirnya dari kota, membuangnya ke tempat pembuangan sampah di luar pemukiman. Nabi Ayyub, yang dulu menjadi pusat perhatian dan kemuliaan, kini terasing dalam kesendirian yang menyakitkan.
Ini adalah ujian sosial dan psikologis yang tak kalah berat. Ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi di saat kita paling membutuhkan mereka adalah sebuah kepedihan yang luar biasa. Namun, di tengah kegelapan dan isolasi ini, ada satu cahaya yang tidak pernah padam: istrinya yang mulia, Rahmah binti Afraim. Ia adalah satu-satunya manusia yang tetap setia mendampingi suaminya. Dialah yang merawat luka-lukanya, memberinya makan, dan menemaninya dalam suka dan duka yang paling ekstrem.
Rahmah: Simbol Kesetiaan yang Abadi
Kisah Nabi Ayyub tidak akan lengkap tanpa menyoroti peran luar biasa istrinya, Rahmah. Kesetiaannya adalah pilar penopang yang membantu Nabi Ayyub melewati tahun-tahun penderitaan yang panjang. Ketika semua orang pergi, ia tetap tinggal. Ketika semua harta habis, ia bekerja keras untuk menafkahi suaminya yang sakit. Ia menjual apa saja yang bisa dijual, hingga akhirnya ia bekerja sebagai buruh kasar, menumbuk gandum untuk orang lain demi mendapatkan sepotong roti untuk mereka berdua.
Namun, ujian juga menimpa dirinya. Melihat suaminya, seorang nabi Allah, menderita begitu lama dan dalam kondisi yang begitu hina, hatinya terkadang goyah. Suatu hari, setelah melalui hari yang sangat berat dan lelah, ditambah bisikan-bisikan jahat dari Iblis yang menyamar sebagai manusia, ia datang kepada Nabi Ayyub dengan hati yang kalut. Ia berkata, "Wahai Ayyub, sampai kapan ujian ini akan menimpa kita? Engkau adalah seorang Nabi, doamu pasti dikabulkan. Mengapa engkau tidak memohon saja kepada Allah untuk mengangkat penderitaan ini?"
Mendengar ucapan yang mengandung sedikit keluh kesah dan ketidaksabaran itu, Nabi Ayyub yang sedang dalam puncak kesabarannya merasa sedih. Beliau menjawab dengan sebuah pertanyaan yang menembus kalbu, "Wahai Rahmah, berapa lama kita menikmati masa sehat dan kaya?" Istrinya menjawab, "Selama 80 tahun." Lalu Ayyub bertanya lagi, "Berapa lama kita menderita seperti ini?" Istrinya menjawab, "Selama 7 tahun (dalam riwayat lain 18 tahun)." Maka, Nabi Ayyub berkata, "Aku malu untuk memohon kepada Allah, karena masa penderitaanku ini belum sebanding dengan masa nikmat yang telah Dia berikan."
Dalam keadaan sakit dan marah karena kesabaran istrinya sedikit goyah, Nabi Ayyub bersumpah, "Jika aku sembuh nanti, aku akan mencambukmu seratus kali." Sumpah ini terucap bukan karena kebencian, melainkan sebagai bentuk pelajaran dan ketegasan seorang nabi terhadap sedikit saja penyimpangan dari puncak ketawakalan.
Dialog dengan Sahabat dan Puncak Doa Seorang Hamba
Di tengah penderitaannya, Nabi Ayyub dikunjungi oleh tiga orang sahabatnya. Awalnya, mereka datang untuk menghibur. Namun, melihat kondisi Ayyub yang begitu parah dan berlangsung begitu lama, iman mereka pun goyah. Mereka mulai berprasangka buruk. Salah satu dari mereka berkata, "Wahai Ayyub, mungkin engkau telah melakukan suatu dosa besar yang tersembunyi, yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun, sehingga Allah menghukummu seberat ini."
Tuduhan ini lebih menyakitkan daripada penyakit di tubuhnya. Dituduh berbuat dosa oleh sahabat sendiri saat sedang diuji adalah tikaman yang sangat dalam. Nabi Ayyub dengan tegas menolak tuduhan itu. Beliau menjelaskan bahwa penderitaannya bukanlah hukuman atas dosa, melainkan ujian dari Allah untuk mengangkat derajatnya. Beliau berdialog dengan mereka, mempertahankan keyakinannya pada keadilan dan kebijaksanaan Allah, meskipun ia tidak memahami sepenuhnya mengapa semua ini terjadi.
Setelah bertahun-tahun menjalani ujian yang tak terbayangkan, sampai pada satu titik di mana penderitaannya mencapai puncaknya. Bukan karena penyakitnya, tetapi karena ia mendengar orang-orang mulai meragukan Tuhan karena penderitaannya. Mereka berkata, "Jika Tuhannya Ayyub memang Maha Pengasih, mengapa Dia membiarkan hamba-Nya menderita seperti ini?" Fitnah terhadap Allah inilah yang akhirnya membuat Nabi Ayyub tidak tahan lagi. Beliau tidak rela nama baik Tuhannya tercemar karena dirinya.
Pada saat itulah, beliau mengangkat tangannya dan memanjatkan sebuah doa yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Doa ini bukanlah doa keluhan atau protes, melainkan puncak adab dan kerendahan hati seorang hamba kepada Tuhannya.
"(Dan ingatlah kisah Ayyub), ketika ia menyeru Tuhannya: '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang'." (QS. Al-Anbiya: 83)
Perhatikanlah keindahan doa ini. Beliau tidak memerintah Allah untuk menyembuhkannya. Beliau tidak berkata, "Angkatlah penyakitku!" Beliau hanya mengadukan keadaannya ("aku telah ditimpa penyakit") dan memuji Allah dengan sifat-Nya yang paling agung ("Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang"). Beliau menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Allah Yang Maha Penyayang. Inilah esensi dari doa yang tulus: pengakuan atas kelemahan diri dan pengakuan atas keagungan Allah.
Jawaban Ilahi dan Pemulihan yang Agung
Doa yang dipanjatkan dari lubuk hati yang paling dalam, dengan adab yang sempurna, segera menembus langit dan dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman kepadanya:
"Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum." (QS. Sad: 42)
Dengan sisa-sisa tenaganya, Nabi Ayyub menghentakkan kakinya ke tanah yang kering. Atas izin Allah, memancarlah dari bekas hentakan itu dua mata air. Satu mata air yang sejuk ia gunakan untuk mandi, dan seketika itu juga seluruh penyakit di kulitnya lenyap tak berbekas. Kulitnya kembali sehat, bersih, dan bahkan lebih tampan dari sebelumnya. Kemudian, beliau minum dari mata air yang satunya, dan seluruh penyakit dari dalam tubuhnya pun sirna. Kesehatannya pulih seratus persen.
Ketika istrinya, Rahmah, kembali dari bekerja, ia tidak mengenali pria sehat dan tampan yang duduk di tempat suaminya biasa terbaring. Ia bertanya, "Wahai hamba Allah, apakah engkau melihat seorang laki-laki yang sakit yang biasa ada di sini?" Nabi Ayyub tersenyum dan berkata, "Akulah orangnya." Rahmah terkejut dan menangis bahagia, lalu bersujud syukur kepada Allah.
Namun, kemurahan Allah tidak berhenti sampai di situ. Allah tidak hanya memulihkan kesehatannya, tetapi juga mengembalikan semua yang telah hilang darinya, bahkan berlipat ganda. Allah mengembalikan keluarganya, memberinya keturunan dua kali lipat dari yang sebelumnya. Harta bendanya pun dikembalikan melimpah ruah, lebih banyak dari sebelumnya. Hujan emas pernah diturunkan kepadanya sebagai bagian dari karunia Allah.
Adapun mengenai sumpahnya untuk mencambuk istrinya seratus kali, Allah memberikan jalan keluar yang penuh kasih sayang. Allah memerintahkan Ayyub untuk mengambil seikat rumput yang berjumlah seratus helai, lalu memukulkannya sekali saja kepada istrinya. Dengan begitu, sumpahnya telah tertunaikan tanpa harus menyakiti istri yang telah menunjukkan kesetiaan luar biasa.
Hikmah dan Pelajaran dari Samudra Kesabaran
Kisah Nabi Ayyub 'Alaihissalam bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sebuah kurikulum lengkap tentang iman, kehidupan, dan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Di dalamnya terkandung pelajaran-pelajaran agung yang relevan sepanjang masa:
- Hakikat Kesabaran (Sabr): Sabar bukan berarti pasif dan tidak merasakan sakit. Sabar adalah kemampuan untuk menahan diri dari keluh kesah, menjaga lisan dari ucapan yang tidak diridhai Allah, dan menjaga hati untuk tetap berbaik sangka kepada-Nya, bahkan di tengah badai terberat sekalipun.
- Ujian adalah Tanda Cinta Allah: Seringkali kita menganggap ujian sebagai hukuman. Kisah ini mengajarkan bahwa ujian terberat justru ditimpakan kepada orang-orang yang paling dicintai Allah, yaitu para nabi, kemudian orang-orang saleh setelahnya. Ujian berfungsi untuk membersihkan dosa, mengangkat derajat, dan menampakkan kualitas iman sejati.
- Kepemilikan Hakiki: Semua yang kita miliki di dunia—harta, keluarga, kesehatan—hanyalah titipan dari Allah. Kapan pun Dia mau, Dia bisa mengambilnya kembali. Kisah Ayyub mengajarkan kita untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada titipan, melainkan pada Sang Pemilik Titipan.
- Kekuatan Doa yang Beradab: Doa Nabi Ayyub adalah masterclass dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Ia tidak menuntut, tidak memaksa, dan tidak mengeluh. Ia hanya mengadu dengan kerendahan hati dan memuji dengan keagungan, lalu menyerahkan hasilnya kepada kebijaksanaan Allah.
- Pentingnya Pasangan yang Setia: Peran Rahmah menunjukkan betapa pentingnya memiliki pendamping hidup yang saleh dan setia, yang mau bersama-sama dalam suka dan duka, yang menjadi penopang di saat kita hampir rubuh.
- Dunia adalah Tempat Ujian, Bukan Tempat Balasan: Kehidupan Nabi Ayyub sebelum, selama, dan sesudah ujian menunjukkan siklus kehidupan dunia. Ada masa lapang, ada masa sempit. Kebahagiaan dan kesedihan silih berganti. Balasan yang sesungguhnya dan abadi hanyalah di akhirat kelak.
- Husnuzan (Berbaik Sangka) kepada Allah: Inilah inti dari iman Nabi Ayyub. Meskipun secara akal sehat penderitaannya tampak tak adil, hatinya tidak pernah sedetik pun meragukan keadilan, kebijaksanaan, dan kasih sayang Allah. Ia yakin bahwa di balik setiap musibah, ada hikmah agung yang tersembunyi.
Kisah Nabi Ayyub 'Alaihissalam akan selamanya menjadi mercusuar bagi jiwa-jiwa yang sedang dihempas gelombang cobaan. Ia mengajarkan kita bahwa setelah malam yang paling kelam sekalipun, fajar pasti akan menyingsing. Ia membuktikan bahwa tidak ada penderitaan yang abadi bagi orang yang beriman. Dan yang terpenting, ia menunjukkan bahwa keteguhan memegang tali Allah adalah satu-satunya jangkar yang akan menyelamatkan kapal kehidupan kita dari badai ujian sekuat apa pun, hingga kita berlabuh dengan selamat di pantai keridhaan-Nya.