Umayyah bin Abi Shalt al-Thaqafi adalah salah satu penyair terkemuka di Jazirah Arab sebelum era Islam. Meskipun ia hidup di masa transisi signifikan antara politeisme paganisme dan munculnya Islam, karyanya memiliki kedalaman filosofis dan sastrawi yang luar biasa. Ia berasal dari suku Tsaqif di Thaif, yang juga merupakan suku dari sahabat terkemuka, Khudayj bin Uwaid. Statusnya sebagai penyair besar tidak hanya diakui oleh bangsanya, tetapi juga oleh para ahli sastra kontemporer.
Puisi Umayyah dikenal karena gaya bahasanya yang indah, ritme yang kuat, dan kedalaman maknanya. Tidak seperti banyak penyair sezamannya yang fokus pada gaza (perang) atau madah (pujian), Umayyah seringkali menyelami tema-tema eksistensial, seperti kefanaan dunia, keadilan ilahi, dan konsep hari kiamat. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa puisi-puisinya mengandung pengaruh monoteistik yang kuat, bahkan sebelum dakwah Islam mencapai puncaknya. Ada spekulasi bahwa ia mungkin telah berinteraksi dengan tradisi Yahudi atau Kristen, yang tercermin dalam penggunaan diksi yang merujuk pada konsep ketuhanan tunggal dan takdir.
Hal yang menarik dari Umayyah adalah hubungannya yang kompleks dengan Islam. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, Umayyah sempat menunjukkan ketertarikan dan dukungan awal terhadap pesan yang dibawa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia bahkan menyambut kedatangan Nabi dengan puisi pujian. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai apakah ia akhirnya memeluk Islam secara penuh atau tidak. Sebagian besar sejarawan klasik cenderung percaya bahwa ia meninggal sebelum ia dapat menyatakan keislamannya secara resmi, meskipun pengaruh monoteistiknya sudah sangat jelas dalam karyanya.
Salah satu tantangan terbesar dalam mempelajari Umayyah bin Abi Shalt adalah otentisitas karyanya. Karena ia hidup pada masa sebelum Islam, banyak puisinya yang dikumpulkan dan diriwayatkan secara lisan, kemudian disaring dan diwariskan melalui tradisi periwayatan Arab. Hal ini memicu perdebatan di kalangan ulama dan filolog mengenai bagian mana dari puisinya yang murni merupakan ciptaan orisinalnya yang bersifat pra-Islam, dan bagian mana yang mungkin telah ditambahkan atau diubah (dinisbahkan padanya) oleh para periwayat yang kemudian masuk Islam, sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa bahkan para penyair besar pra-Islam telah merasakan kebenaran ajaran tauhid.
Meskipun demikian, konsensus umum mengakui Umayyah sebagai seorang pembaharu sastra. Ia mengangkat standar puisi Arab dengan memperkenalkan tema-tema metafisika yang jarang diangkat oleh para penyair Badui pada masa itu. Puisi-puisinya seringkali menggambarkan pemandangan alam yang megah sebagai metafora untuk keagungan Pencipta, sebuah teknik yang sangat dihargai dalam perkembangan retorika Arab selanjutnya.
Umayyah bin Abi Shalt berdiri sebagai sosok jembatan. Ia adalah simbol dari kekayaan intelektual dan kesusastraan Jazirah Arab yang sudah ada sebelum fajar Islam menyingsing. Warisannya tidak hanya terletak pada keindahan kata-katanya, tetapi juga pada jejak pemikiran monoteistik yang samar-samar ia tanamkan dalam puisinya, yang secara tidak langsung mempersiapkan telinga audiens Arab untuk menerima pesan universal yang akan datang. Kehidupannya merefleksikan masa pergolakan ideologi besar, menjadikannya subjek studi yang penting bagi siapa saja yang mempelajari evolusi bahasa dan pemikiran Arab klasik. Karya-karyanya yang masih tersisa tetap menjadi harta karun yang memperkaya kanvas sastra pra-Islam.