Mengupas Tuntas Perbedaan UNBK dan AKM

Dunia pendidikan adalah sebuah entitas dinamis yang terus berevolusi. Salah satu aspek yang paling sering menjadi sorotan dan diskusi adalah sistem evaluasi. Di Indonesia, transisi dari Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) ke Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang merupakan bagian dari Asesmen Nasional (AN) menandai sebuah pergeseran paradigma yang fundamental. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama atau format ujian, melainkan sebuah transformasi filosofis mengenai cara kita memandang, mengukur, dan pada akhirnya, memperbaiki kualitas pendidikan. Untuk memahami esensi dari perubahan ini, kita perlu menyelami secara mendalam kedua sistem evaluasi tersebut, membedah setiap komponen, tujuan, serta dampaknya bagi seluruh ekosistem pendidikan.

Ilustrasi perbandingan konsep UNBK yang terstruktur dan AKM yang holistik

Bagian 1: Memahami Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)

Sebelum melangkah lebih jauh ke AKM, penting untuk memahami fondasi, struktur, dan dampak dari pendahulunya, UNBK. UNBK bukanlah sekadar ujian, melainkan sebuah institusi dalam sistem pendidikan nasional yang telah berjalan selama bertahun-tahun, meninggalkan jejak yang mendalam pada praktik pengajaran dan pembelajaran di seluruh negeri.

Sejarah dan Filosofi di Balik UNBK

UNBK adalah evolusi dari Ujian Nasional (UN) yang sebelumnya dilaksanakan menggunakan kertas dan pensil (Paper-Based Test). Transisi ke platform digital ini didorong oleh keinginan untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan objektivitas dalam pelaksanaan ujian skala nasional. Filosofi dasar UNBK berakar pada beberapa tujuan utama:

Fokus utama UNBK adalah pada pencapaian akademik individu di akhir suatu jenjang pendidikan. Ia dirancang untuk mengukur sejauh mana seorang siswa telah menguasai konten kurikulum yang telah diajarkan selama tiga tahun. Dengan kata lain, UNBK adalah sebuah potret snapshot dari penguasaan materi pelajaran seorang siswa pada satu titik waktu tertentu.

Struktur dan Materi Ujian UNBK

Struktur UNBK sangat terdefinisi dan berbasis mata pelajaran. Untuk jenjang SMA, misalnya, siswa diuji pada mata pelajaran inti seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, ditambah satu mata pelajaran pilihan sesuai dengan jurusannya (IPA, IPS, atau Bahasa).

Karakteristik utama dari soal-soal UNBK adalah dominasi format pilihan ganda (multiple choice). Meskipun ada beberapa variasi isian singkat, mayoritas soal menuntut siswa untuk memilih satu jawaban yang paling benar dari beberapa opsi yang tersedia.

Penekanan materi ujian sangat kuat pada penguasaan konten kurikulum. Soal-soal dirancang untuk menguji pemahaman konsep, rumus, dan fakta yang tercantum dalam standar isi kurikulum. Meskipun upaya untuk memasukkan Soal Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) telah dilakukan, kerangka soal yang terbatas seringkali membuat implementasinya kurang maksimal. Siswa yang memiliki daya hafal kuat dan terbiasa dengan pola soal cenderung lebih diuntungkan dalam sistem ini.

Dampak dan Kritik Terhadap UNBK

Sebagai sebuah sistem yang berjalan lama, UNBK membawa dampak positif sekaligus menuai banyak kritik. Di satu sisi, UNBK berhasil mendorong peningkatan infrastruktur digital di sekolah-sekolah dan membiasakan siswa serta guru dengan teknologi. Data yang dihasilkannya pun memberikan gambaran umum tentang peta kekuatan dan kelemahan pendidikan secara nasional.

Namun, kritik yang dilontarkan juga sangat signifikan. Sifatnya yang high-stakes menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa bagi siswa, guru, dan orang tua. Fenomena "teaching to the test" merajalela, di mana proses belajar-mengajar di kelas-kelas akhir cenderung menyempit, hanya fokus pada trik dan strategi untuk menjawab soal UNBK, seringkali mengorbankan pendalaman konsep dan pengembangan kreativitas. Lebih jauh lagi, UNBK dianggap kurang mampu mengukur kompetensi yang lebih esensial seperti kemampuan bernalar kritis, memecahkan masalah kompleks, berkomunikasi, dan berkolaborasi—keterampilan yang justru sangat dibutuhkan di abad ke-21.

Bagian 2: Membedah Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)

Kehadiran Asesmen Nasional, dengan AKM sebagai salah satu pilarnya, menandai perubahan haluan yang drastis. Ini bukan sekadar perbaikan dari sistem lama, melainkan sebuah pendekatan yang sama sekali baru, dengan filosofi, tujuan, dan metodologi yang berbeda secara fundamental.

Latar Belakang dan Tujuan Fundamental AKM

AKM lahir dari kesadaran bahwa evaluasi pendidikan tidak seharusnya hanya berfokus pada hasil akhir individu, melainkan pada kesehatan sistem pendidikan secara keseluruhan. Tujuan AKM bukanlah untuk "menghakimi" kelulusan seorang siswa, melainkan untuk mendiagnosis dan memetakan mutu sistem pendidikan. Hasilnya digunakan sebagai umpan balik bagi sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk merancang intervensi perbaikan yang tepat sasaran.

Filosofi di baliknya adalah pergeseran dari assessment of learning (penilaian hasil belajar) menjadi assessment for learning (penilaian untuk perbaikan pembelajaran) dan assessment as learning (penilaian sebagai bagian dari proses belajar).

Penting untuk dicatat bahwa AKM adalah satu dari tiga komponen Asesmen Nasional (AN). Dua komponen lainnya adalah:

  1. Survei Karakter: Mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter siswa, sejalan dengan Profil Pelajar Pancasila.
  2. Survei Lingkungan Belajar: Mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di sekolah dari perspektif siswa, guru, dan kepala sekolah.

Kombinasi dari ketiga instrumen ini memberikan gambaran yang jauh lebih holistik dan komprehensif tentang kualitas sebuah satuan pendidikan, tidak hanya dari segi kognitif tetapi juga afektif dan lingkungan belajar.

Komponen Utama AKM: Literasi dan Numerasi

Berbeda dengan UNBK yang menguji banyak mata pelajaran, AKM secara spesifik berfokus pada dua kompetensi dasar yang dianggap paling fundamental dan lintas disiplin ilmu: Literasi Membaca dan Numerasi.

Literasi Membaca

Literasi dalam konteks AKM bukanlah sekadar kemampuan membaca secara teknis. Ini adalah kompetensi yang jauh lebih dalam, yaitu kemampuan untuk:

Soal-soal literasi AKM disajikan dalam berbagai konteks (personal, sosial budaya, saintifik) dan menggunakan beragam jenis teks, mulai dari teks informasi (artikel, berita, infografis) hingga teks fiksi (cerpen, puisi). Level kognitif yang diukur pun bertingkat, dari menemukan informasi eksplisit, melakukan interpretasi dan integrasi, hingga evaluasi dan refleksi yang mendalam.

Numerasi

Serupa dengan literasi, numerasi bukanlah sekadar "matematika". Numerasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah dalam berbagai konteks kehidupan nyata. Ini adalah tentang kemampuan bernalar secara matematis dan mengaplikasikan pengetahuan matematika secara fungsional.

Konten numerasi dalam AKM mencakup domain-domain seperti Bilangan, Geometri dan Pengukuran, Aljabar, serta Data dan Ketidakpastian. Namun, yang terpenting bukanlah hafalan rumus, melainkan kemampuan untuk:

Struktur dan Pelaksanaan AKM

Perbedaan AKM dengan UNBK juga sangat kentara dari sisi teknis pelaksanaan.

Bagian 3: Analisis Perbandingan Komprehensif: UNBK vs. AKM

Setelah memahami kedua sistem secara terpisah, kini kita dapat meletakkannya berdampingan untuk melihat perbedaan fundamentalnya secara lebih jelas. Perbandingan ini akan kita lakukan berdasarkan beberapa aspek kunci.

Aspek 1: Tujuan Evaluasi

UNBK: Bertujuan untuk mengukur pencapaian akademik individu sebagai salah satu syarat kelulusan dan seleksi. Fokusnya adalah evaluasi terhadap siswa (assessment of students).

AKM: Bertujuan untuk memetakan dan mengevaluasi mutu sistem pendidikan sebagai dasar perbaikan pembelajaran. Fokusnya adalah evaluasi terhadap sistem (assessment of the system).

Aspek 2: Subjek Peserta

UNBK: Diikuti oleh seluruh siswa di tingkat akhir jenjang pendidikan (misalnya, kelas 9 dan 12). Bersifat sensus.

AKM: Diikuti oleh sampel siswa di kelas tengah (kelas 5, 8, dan 11). Bersifat survei.

Aspek 3: Fokus Materi yang Diukur

UNBK: Berfokus pada penguasaan konten kurikulum pada mata pelajaran spesifik yang diujikan.

AKM: Berfokus pada kompetensi minimum yang esensial dan lintas disiplin, yaitu literasi membaca dan numerasi.

Aspek 4: Bentuk Soal

UNBK: Didominasi oleh soal Pilihan Ganda, dengan sedikit variasi isian singkat.

AKM: Menggunakan beragam bentuk soal (Pilihan Ganda, Pilihan Ganda Kompleks, Menjodohkan, Isian Singkat, Uraian) dan bersifat adaptif (CAT).

Aspek 5: Konsekuensi Hasil

UNBK: Berisiko tinggi (high-stakes). Hasilnya memiliki konsekuensi langsung pada kelulusan dan masa depan akademik individu siswa.

AKM: Berisiko rendah (low-stakes). Hasilnya tidak memiliki konsekuensi apapun bagi individu siswa. Tidak dilaporkan dalam bentuk skor individu dan tidak digunakan untuk kelulusan atau seleksi.

Aspek 6: Laporan Hasil

UNBK: Laporan berupa skor atau nilai individu yang dapat dibandingkan antar siswa.

AKM: Laporan berupa profil atau level kompetensi agregat di tingkat sekolah dan daerah. Laporan ini juga dilengkapi dengan hasil Survei Karakter dan Lingkungan Belajar.

Aspek 7: Instrumen Tambahan

UNBK: Merupakan instrumen tunggal yang hanya mengukur aspek kognitif berbasis mata pelajaran.

AKM: Merupakan bagian dari Asesmen Nasional yang holistik, dilengkapi dengan Survei Karakter (mengukur aspek afektif/non-kognitif) dan Survei Lingkungan Belajar (mengukur kualitas ekosistem belajar).

Bagian 4: Implikasi Perubahan dari UNBK ke AKM

Pergeseran dari UNBK ke AKM membawa gelombang implikasi yang luas bagi seluruh pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Implikasi ini terasa dari ruang kelas hingga level kebijakan nasional.

Implikasi bagi Siswa

Bagi siswa, implikasi paling langsung adalah berkurangnya tekanan dan kecemasan psikologis. Karena hasil AKM tidak berdampak pada nasib individu mereka, siswa dapat mengerjakan asesmen dengan lebih tenang dan jujur, merefleksikan kemampuan mereka yang sesungguhnya. Lebih penting lagi, pergeseran ini secara tidak langsung mendorong ekosistem belajar yang lebih sehat. Siswa didorong untuk tidak sekadar menghafal fakta, tetapi untuk membangun kemampuan bernalar, menganalisis, dan memecahkan masalah. Pembelajaran menjadi lebih relevan karena fokus pada literasi dan numerasi adalah tentang aplikasi pengetahuan dalam konteks dunia nyata.

Implikasi bagi Guru dan Sekolah

Perubahan ini menuntut transformasi mendalam dalam paradigma mengajar. Guru tidak lagi bisa hanya berfokus pada "teaching to the test". Mereka didorong untuk merancang proses pembelajaran yang secara otentik mengembangkan kompetensi literasi dan numerasi siswa di semua mata pelajaran.

Hasil AKM, yang disajikan dalam bentuk Rapor Pendidikan, berfungsi sebagai cermin. Ia bukan tongkat penghakiman, melainkan alat diagnostik yang kaya data. Sekolah dan guru dapat menggunakan laporan ini untuk melakukan refleksi: Di area mana kekuatan kami? Di mana letak kelemahan yang perlu diperbaiki? Apakah lingkungan belajar di sekolah kami sudah kondusif? Apakah karakter siswa sudah berkembang sesuai harapan? Ini memicu siklus perbaikan berkelanjutan yang berbasis data, bukan lagi sekadar asumsi. Tantangannya tentu saja adalah kebutuhan akan pengembangan kapasitas guru secara masif agar mampu beradaptasi dengan paradigma pembelajaran baru ini.

Implikasi bagi Sistem Pendidikan Nasional

Di tingkat makro, Asesmen Nasional memberikan pemerintah data yang jauh lebih kaya, valid, dan dapat diandalkan untuk membuat kebijakan. Pemerintah dapat mengidentifikasi sekolah atau daerah mana yang membutuhkan intervensi paling mendesak. Kebijakan yang dibuat dapat lebih tepat sasaran, misalnya dengan fokus pada peningkatan kemampuan literasi di suatu provinsi atau perbaikan iklim keamanan di jenjang sekolah tertentu. Pergeseran ini juga merupakan sinyal kuat tentang arah pendidikan nasional di masa depan: sebuah sistem yang tidak hanya mengejar angka dan peringkat, tetapi yang benar-benar bertujuan untuk membangun manusia Indonesia yang kompeten, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan global.

Kesimpulan: Sebuah Era Baru Evaluasi Pendidikan

Pada akhirnya, perbedaan antara UNBK dan AKM bukanlah sekadar perbedaan teknis, melainkan representasi dari dua filosofi yang berbeda. UNBK adalah potret akhir yang mengukur hasil, seringkali dengan tekanan yang tinggi. Ia adalah produk dari era pendidikan yang berorientasi pada standarisasi output.

Sementara itu, AKM dalam bingkai Asesmen Nasional adalah sebuah alat diagnosis yang berfokus pada proses dan sistem. Tujuannya bukan untuk memberi label, melainkan untuk memberi umpan balik. Ia adalah cerminan dari era pendidikan yang berorientasi pada perbaikan berkelanjutan, pembelajaran yang mendalam (deep learning), dan pengembangan kompetensi holistik.

Transisi ini adalah sebuah perjalanan panjang yang menantang, namun menjanjikan. Dengan meninggalkan pendekatan evaluasi yang sempit dan berisiko tinggi, Indonesia membuka jalan menuju sebuah ekosistem pendidikan yang lebih sehat, reflektif, dan pada akhirnya, lebih efektif dalam mempersiapkan generasi penerus yang mampu bernalar, beradaptasi, dan berkontribusi secara positif bagi masyarakat. Ini adalah langkah fundamental menuju pendidikan yang memerdekakan.

šŸ  Homepage