Wa'tasimu Bihablillahi: Seruan Abadi untuk Persatuan Umat
Di tengah lautan perbedaan dan arus perpecahan yang tak henti-hentinya mengancam keutuhan komunitas manusia, terdapat sebuah seruan ilahi yang menggema sepanjang zaman. Seruan ini bukan sekadar perintah, melainkan sebuah formula penyelamatan, sebuah jangkar spiritual yang kokoh. Seruan itu terangkum dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an, yang menjadi inti dari pembahasan kita kali ini.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara..." (QS. Ali 'Imran: 103)
Kalimat "Wa'tasimu Bihablillahi Jami'an" (Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah) adalah sebuah pilar fundamental dalam ajaran Islam. Ia adalah perintah yang tegas, undangan yang penuh kasih, dan resep yang mujarab untuk menyembuhkan luka-luka perpecahan yang sering kali merobek-robek jalinan ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Islam. Untuk memahami kedalaman maknanya, kita perlu menyelami setiap kata, menggali konteks sejarahnya, dan merefleksikan relevansinya dalam kehidupan kita saat ini.
Tafsir Mendalam: Membedah Makna "Hablillah" (Tali Allah)
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Hablillah" atau "Tali Allah". Apa sebenarnya yang dimaksud dengan tali ini? Para ulama tafsir telah memberikan beberapa penafsiran yang saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita. Tali ini bukanlah tali fisik, melainkan sebuah ikatan maknawi yang menghubungkan hamba dengan Penciptanya dan hamba dengan sesama saudaranya seiman.
1. Hablillah sebagai Al-Qur'an
Penafsiran yang paling masyhur dan disepakati oleh mayoritas ulama adalah bahwa "Tali Allah" merujuk kepada Al-Qur'an Al-Karim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam sebuah hadits menyebut Al-Qur'an sebagai tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Mengapa Al-Qur'an diibaratkan sebagai tali?
- Sebagai Petunjuk yang Pasti: Ibarat seseorang yang berada di dasar jurang yang gelap, Al-Qur'an adalah tali yang diturunkan dari atas untuk menariknya menuju cahaya dan keselamatan. Ia berisi petunjuk yang jelas, membedakan antara yang hak dan yang batil, serta menuntun manusia ke jalan yang lurus. Berpegang padanya berarti memegang sumber kebenaran yang tidak akan pernah menyesatkan.
- Sebagai Pemersatu Umat: Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang dipegang oleh seluruh umat Islam di dunia, tanpa ada perbedaan satu huruf pun di dalamnya. Ia menjadi referensi utama dan sumber hukum tertinggi. Ketika terjadi perselisihan, kembalinya umat kepada Al-Qur'an akan menyatukan pandangan dan meluruskan perbedaan. Ia adalah konstitusi ilahi yang mengikat seluruh warga negara "umat Islam" dalam satu kerangka acuan yang sama.
- Sebagai Sumber Kekuatan: Tali yang kokoh memberikan kekuatan dan keamanan. Demikian pula Al-Qur'an. Dengan memahami, menghayati, dan mengamalkan isinya, seorang mukmin akan memiliki pondasi iman yang kuat, tidak mudah goyah oleh badai syubhat (kerancuan) maupun syahwat. Kekuatan ini, ketika dimiliki secara kolektif oleh umat, akan menjelma menjadi kekuatan komunal yang dahsyat.
2. Hablillah sebagai Agama Islam
Penafsiran kedua adalah bahwa "Tali Allah" adalah dinul Islam itu sendiri. Islam secara keseluruhan, dengan akidah, syariah, dan akhlaknya, merupakan sebuah sistem kehidupan yang integral. Ia adalah ikatan perjanjian antara manusia dengan Allah. Dengan memeluk Islam, seseorang telah mengikatkan dirinya pada sebuah komitmen untuk tunduk dan patuh kepada-Nya. Berpegang pada tali ini berarti menjalankan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Agama inilah yang menjadi identitas pemersatu, melampaui batas-batas suku, bangsa, warna kulit, dan status sosial.
3. Hablillah sebagai Jama'ah (Komunitas Muslim)
Beberapa ulama juga menafsirkan "Tali Allah" sebagai kebersamaan dalam jama'ah atau komunitas kaum muslimin di bawah kepemimpinan yang sah. Perintah "Wa'tasimu" yang menggunakan bentuk jamak (kamu semua) dan diikuti oleh kata "Jami'an" (semuanya) secara eksplisit menekankan aspek kolektif. Ini adalah perintah untuk tidak menyendiri atau memisahkan diri dari barisan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa serigala hanya akan memangsa domba yang terpisah dari kawanannya. Oleh karena itu, berpegang pada tali Allah juga berarti menjaga kesatuan barisan, taat kepada pemimpin dalam hal yang ma'ruf, dan menghindari segala bentuk pemberontakan atau pemisahan diri yang dapat melemahkan umat.
4. Hablillah sebagai Perjanjian dengan Allah
Tali juga dapat dimaknai sebagai 'ahd (perjanjian). Setiap manusia pada dasarnya telah mengikat janji dengan Allah sejak di alam ruh untuk mengakui-Nya sebagai satu-satunya Tuhan. "Hablillah" adalah pengingat akan perjanjian primordial ini. Dengan berpegang teguh padanya, manusia menjaga fitrahnya yang lurus dan memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata. Perjanjian ini menjadi dasar bagi seluruh ikatan lainnya, karena persatuan yang tidak didasarkan pada tauhid kepada Allah adalah persatuan yang rapuh dan semu.
Keempat penafsiran ini tidak bertentangan, melainkan saling menguatkan. Berpegang teguh pada Al-Qur'an akan membawa seseorang untuk menjalankan ajaran Islam secara utuh, yang pada gilirannya akan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam jama'ah kaum muslimin, sebagai wujud pemenuhan janjinya kepada Allah. Inilah makna komprehensif dari "berpegang teguh pada tali Allah".
Konteks Sejarah: Pelajaran Abadi dari Suku Aus dan Khazraj
Untuk memahami betapa dahsyatnya kekuatan "Tali Allah" dalam menyatukan, kita harus melihat asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Sebelum kedatangan Islam, kota Yatsrib (yang kemudian menjadi Madinah) didiami oleh dua suku Arab dominan, yaitu Aus dan Khazraj. Selama lebih dari satu abad, keduanya terlibat dalam permusuhan sengit dan peperangan yang tak berkesudahan. Dendam kesumat diwariskan dari generasi ke generasi. Pertumpahan darah, kebencian, dan perpecahan adalah pemandangan sehari-hari.
Hari Bu'ats adalah salah satu perang terdahsyat di antara mereka yang menelan banyak korban jiwa dan meninggalkan luka yang sangat dalam. Mereka adalah masyarakat yang terbelah, saling curiga, dan hidup dalam ketakutan. Kondisi mereka adalah cerminan sempurna dari frasa "idz kuntum a'daa-an" (ketika kamu dahulu bermusuhan).
Lalu, datanglah cahaya Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memperkenalkan mereka pada "Hablillah"—Al-Qur'an dan ajaran tauhid. Perlahan tapi pasti, cahaya iman mulai meresap ke dalam hati mereka yang keras. Allah kemudian melakukan keajaiban-Nya, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat: "fa allafa baina qulubikum" (lalu Allah mempersatukan hatimu). Allah-lah yang melembutkan dan menyatukan hati-hati yang sebelumnya dipenuhi kebencian. Ikatan akidah yang baru ini terbukti jauh lebih kuat daripada ikatan kesukuan yang telah mendarah daging selama ratusan tahun.
Hasilnya sungguh luar biasa. Mereka yang tadinya saling membunuh, kini menjadi bersaudara dalam naungan nikmat Allah: "fa ashbahtum bi ni'matihi ikhwanan" (sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara). Suku Aus dan Khazraj kemudian lebur menjadi satu kekuatan baru yang solid bernama Kaum Anshar (Para Penolong). Mereka bahu-membahu menolong Kaum Muhajirin dari Mekkah, membangun peradaban Islam yang gemilang di Madinah, dan menjadi pilar utama kekuatan umat Islam. Kisah ini adalah bukti nyata dan tak terbantahkan bahwa berpegang pada tali Allah adalah satu-satunya jalan untuk mengubah permusuhan menjadi persaudaraan sejati.
Urgensi Persatuan dalam Konteks Kekinian
Jika ayat ini begitu relevan untuk masyarakat 14 abad yang lalu, maka ia jauh lebih relevan dan mendesak untuk kita renungkan hari ini. Umat Islam di seluruh dunia menghadapi tantangan perpecahan yang tidak kalah pelik, bahkan mungkin lebih kompleks. Perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat seringkali berubah menjadi sumber konflik.
Tantangan Perpecahan Modern:
- Fanatisme Madzhab dan Kelompok: Menganggap madzhab atau kelompoknya sebagai satu-satunya yang benar dan yang lain salah, hingga taraf saling menyesatkan bahkan mengkafirkan. Padahal, para imam madzhab sendiri saling menghormati dan tidak pernah mengklaim kebenaran mutlak.
- Sentimen Nasionalisme Sempit: Mendahulukan kepentingan negara-bangsa di atas kepentingan persaudaraan Islam universal. Ikatan ukhuwah Islamiyyah yang melintasi batas geografis seolah terkikis oleh sekat-sekat nasionalisme.
- Perbedaan Politik: Dukungan terhadap partai politik atau tokoh politik yang berbeda seringkali dibawa ke ranah personal dan keagamaan, menciptakan kubu-kubu yang saling serang dan menjatuhkan, melupakan bahwa tujuan politik dalam Islam adalah untuk kemaslahatan umat.
- Polarisasi Media Sosial: Era digital membawa tantangan baru. Algoritma media sosial cenderung menciptakan "gelembung filter" yang membuat setiap kelompok hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Hoax, fitnah, dan ujaran kebencian menyebar dengan cepat, memperuncing perbedaan dan menyulut permusuhan.
- Masalah Furu'iyah (Cabang): Terlalu sibuk memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat dalam hal cabang agama) seperti jumlah rakaat tarawih, qunut, atau tahlilan, sambil melupakan isu-isu ushul (pokok) yang jauh lebih fundamental seperti memerangi kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Dalam menghadapi badai perpecahan ini, seruan "Wa'tasimu Bihablillahi" adalah kompas yang harus kita pegang. Kita harus kembali menjadikan Al-Qur'an sebagai hakim tertinggi, bukan hawa nafsu atau ego kelompok. Kita harus ingat bahwa nikmat terbesar yang Allah berikan setelah iman adalah nikmat persaudaraan (ukhuwah). Menjaga nikmat ini adalah bentuk kesyukuran, sedangkan merusaknya adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah.
Bagaimana Cara Praktis Berpegang Teguh pada Tali Allah?
Perintah untuk berpegang teguh bukanlah sekadar slogan yang diucapkan, melainkan sebuah program aksi yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kolektif. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita tempuh:
1. Menjadikan Al-Qur'an sebagai Pusat Kehidupan
Ini adalah langkah pertama dan paling fundamental. Bukan hanya membaca teksnya, tetapi juga mempelajari tafsirnya dari sumber yang terpercaya, melakukan tadabbur (merenungkan makna-maknanya), dan yang terpenting, berjuang untuk mengamalkan ajarannya dalam setiap aspek kehidupan. Ketika Al-Qur'an menjadi standar moral dan etika kita, maka perbedaan pandangan akan lebih mudah disikapi dengan bijaksana.
2. Memahami dan Mempraktikkan Adab Al-Ikhtilaf (Etika Berbeda Pendapat)
Perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang tidak mungkin dihindari. Islam tidak menuntut kita untuk seragam dalam segala hal, tetapi menuntut kita untuk beradab ketika berbeda. Ini mencakup:
- Husnuzhan (Berbaik Sangka): Jangan terburu-buru menuduh niat buruk pada saudara yang berbeda pendapat.
- Fokus pada Argumen, Bukan Personal: Debatlah gagasannya, bukan mencaci maki orangnya.
- Mencari Titik Temu: Selalu utamakan mencari persamaan dan kesepakatan sebelum menonjolkan perbedaan.
- Toleransi pada Masalah Furu': Lapang dada terhadap perbedaan dalam masalah ijtihadiyah (yang memungkinkan adanya lebih dari satu penafsiran) dan bersatu padu dalam masalah ushul (pokok-pokok akidah).
3. Memperkuat Institusi Ukhuwah
Persaudaraan harus dipupuk secara aktif. Mulailah dari hal-hal sederhana seperti menyebarkan salam, saling mengunjungi, menjenguk yang sakit, membantu yang kesusahan, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Kegiatan-kegiatan sosial bersama, seperti bakti sosial, kerja bakti membersihkan masjid, atau pengajian gabungan antar kelompok, dapat menjadi jembatan efektif untuk meruntuhkan sekat-sekat kecurigaan.
4. Mengedepankan Kepentingan Umat di Atas Kepentingan Pribadi/Golongan
Diperlukan kedewasaan dan kebesaran jiwa untuk bisa mengesampingkan ego pribadi atau kebanggaan kelompok demi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu keutuhan umat. Ketika ada sebuah proyek kebaikan untuk umat, semua pihak seharusnya mendukungnya tanpa melihat siapa atau dari kelompok mana yang memprakarsainya. Prinsip "ta'awanu 'alal birri wat taqwa" (tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa) harus menjadi landasan gerak bersama.
5. Kembali kepada Rujukan Ulama yang Mumpuni dan Moderat
Di saat kebingungan dan perselisihan merajalela, umat perlu merujuk kepada para ulama pewaris nabi yang memiliki kedalaman ilmu, kearifan, dan semangat untuk mempersatukan umat, bukan justru memecah belah. Menjauhi para provokator berkedok agama yang gemar menebar kebencian adalah sebuah keharusan untuk menjaga kesehatan spiritual umat.
Buah Manis dari Persatuan
Ketika umat Islam berhasil mengamalkan perintah "Wa'tasimu Bihablillahi", maka buah-buah manisnya akan dapat dipetik bersama. Persatuan bukanlah tujuan akhir itu sendiri, melainkan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar.
- Kekuatan dan Kehormatan (Izzah): Umat yang bersatu akan disegani dan dihormati. Suara mereka akan lebih didengar di panggung dunia. Sebaliknya, umat yang bercerai-berai akan menjadi lemah dan mudah diinjak-injak oleh musuh-musuhnya. Sejarah telah membuktikan hal ini berulang kali.
- Turunnya Rahmat dan Pertolongan Allah: Kebersamaan dalam ketaatan akan mengundang rahmat Allah. Tangan Allah bersama jama'ah. Ketika umat bersatu di atas kebenaran, pertolongan Allah akan datang untuk memenangkan urusan mereka.
- Terciptanya Lingkungan yang Aman dan Damai: Persaudaraan yang tulus akan menciptakan masyarakat yang harmonis, saling percaya, dan saling menjaga. Angka kriminalitas akan menurun, dan rasa aman akan menyelimuti seluruh komunitas.
- Kemajuan Ekonomi dan Peradaban: Dengan bersatu, potensi umat yang luar biasa (sumber daya alam, sumber daya manusia, modal) dapat disinergikan untuk membangun kekuatan ekonomi, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta melahirkan kembali peradaban Islam yang adil dan makmur.
- Terjaganya Akidah dan Syariah: Umat yang bersatu akan lebih mampu membentengi diri dari serangan pemikiran-pemikiran sesat dan upaya-upaya pendangkalan akidah yang datang dari luar. Mereka akan menjadi benteng yang kokoh dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan Jiwa
Pada akhirnya, ayat "Wa'tasimu Bihablillahi Jami'an wa la Tafarroqu" adalah sebuah diagnosis sekaligus resep. Ia mendiagnosis penyakit paling kronis yang menyerang tubuh umat ini, yaitu perpecahan. Sekaligus, ia memberikan resep yang paling manjur, yaitu kembali berpegang teguh pada tali Allah—Al-Qur'an, Islam, dan jama'ah—secara bersama-sama.
Ini bukanlah tugas yang ringan. Ia menuntut kita untuk menekan ego, melapangkan dada, menjernihkan pikiran, dan yang terpenting, meluruskan niat semata-mata karena Allah. Perjuangan untuk mewujudkan persatuan adalah bagian dari jihad di jalan Allah yang pahalanya sangat besar.
Mari kita mulai dari diri sendiri, dari keluarga, dan dari komunitas terkecil kita. Mari kita jadikan ayat ini sebagai pengingat harian, bahwa kekuatan kita tidak terletak pada jumlah, kekayaan, atau persenjataan, melainkan pada seberapa erat kita berpegangan pada tali yang sama, tali yang tak akan pernah putus: Hablullah.