Wahdaniyah Artinya: Memahami Konsep Keesaan Mutlak Allah
Ilustrasi kaligrafi modern dan abstrak yang melambangkan konsep Wahdaniyah, Keesaan Allah.
Dalam lautan ilmu aqidah Islam, terdapat pilar-pilar fundamental yang menopang seluruh bangunan keimanan seorang Muslim. Di antara pilar-pilar tersebut, yang paling agung dan menjadi fondasi utama adalah konsep Tauhid, yaitu mengesakan Allah. Salah satu sifat wajib bagi Allah yang secara langsung menegaskan konsep Tauhid ini adalah Wahdaniyah. Pertanyaannya, apa sebenarnya wahdaniyah artinya? Mengapa pemahaman terhadap sifat ini begitu krusial hingga dianggap sebagai inti dari ajaran Islam?
Memahami Wahdaniyah bukan sekadar menghafal sebuah istilah dari daftar Sifat Dua Puluh. Lebih dari itu, ia adalah sebuah perjalanan intelektual dan spiritual untuk menyelami hakikat Keesaan Tuhan yang mutlak, yang tidak dapat diserupai, ditandingi, atau dibagi. Pemahaman ini akan membersihkan jiwa dari segala bentuk kemusyrikan, baik yang tampak jelas maupun yang tersembunyi, serta mengarahkan seluruh orientasi hidup hanya kepada-Nya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna, dalil, dan implikasi dari sifat Wahdaniyah dalam kehidupan seorang hamba.
Definisi dan Makna Mendasar Wahdaniyah
Secara etimologis, kata "Wahdaniyah" (الوحدانية) berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yaitu wahid (واحد) yang berarti satu, tunggal, atau esa. Dari akar kata ini, kita memahami bahwa konsep Wahdaniyah secara harfiah merujuk pada ketunggalan atau keesaan. Namun, dalam terminologi ilmu kalam (teologi Islam), maknanya jauh lebih dalam dan komprehensif.
Wahdaniyah sebagai sifat wajib bagi Allah berarti menafikan (meniadakan) beberapa hal yang mustahil bagi-Nya. Para ulama merincikan penafian ini dalam beberapa aspek penting. Wahdaniyah menafikan kam muttashil (كم متصل) dan kam munfashil (كم منفصل), baik pada Dzat, Sifat, maupun Af'al (perbuatan) Allah. Istilah ini mungkin terdengar teknis, namun esensinya sangat fundamental.
- Menafikan Kam Muttashil pada Dzat: Artinya, Dzat Allah tidak tersusun dari bagian-bagian atau komponen-komponen. Dzat-Nya bukanlah gabungan dari jasad, organ, atau unsur-unsur seperti makhluk. Ia Maha Esa dalam Dzat-Nya, tidak terbagi-bagi.
- Menafikan Kam Munfashil pada Dzat: Artinya, tidak ada dzat lain yang serupa atau setara dengan Dzat Allah. Tidak ada "Tuhan kedua" atau entitas lain yang memiliki esensi ketuhanan yang sama.
- Menafikan Kam Muttashil pada Sifat: Artinya, Allah tidak memiliki dua atau lebih sifat yang sejenis. Misalnya, Allah tidak memiliki dua sifat Qudrah (kuasa) atau dua sifat ‘Ilmu (mengetahui). Setiap sifat-Nya adalah satu dan tunggal dalam jenisnya.
- Menafikan Kam Munfashil pada Sifat: Artinya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang menyamai sifat Allah. Sifat kuasa manusia, misalnya, sangat terbatas dan berbeda hakikatnya dengan sifat Qudrah Allah yang mutlak.
- Menafikan Kam Munfashil pada Af'al (Perbuatan): Artinya, tidak ada perbuatan makhluk manapun yang serupa atau setara dengan perbuatan Allah. Hanya Allah-lah Pencipta hakiki (Al-Khaliq). Perbuatan makhluk pada hakikatnya adalah ciptaan Allah juga.
Dari rincian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Wahdaniyah adalah keyakinan mutlak bahwa Allah Maha Esa dalam Dzat-Nya, Maha Esa dalam Sifat-Sifat-Nya, dan Maha Esa dalam segala Perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam bentuk apapun.
Tiga Dimensi Keesaan dalam Sifat Wahdaniyah
Untuk pendalaman lebih lanjut, para ulama aqidah mengurai sifat Wahdaniyah ke dalam tiga dimensi utama yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Memahami ketiga dimensi ini akan memberikan gambaran yang utuh tentang keagungan Keesaan Allah.
1. Wahdaniyah fid-Dzat (Keesaan pada Dzat)
Dimensi pertama adalah Keesaan pada Dzat Allah. Ini mengandung dua pengertian. Pertama, Dzat Allah tidak tersusun dari bagian-bagian. Berbeda dengan manusia yang tersusun dari kepala, badan, tangan, dan kaki, atau benda yang tersusun dari atom-atom, Dzat Allah adalah Esa yang tidak terbagi (ghairu mutajazzi'). Ia bukan jasad (jism) dan tidak menempati ruang (makan). Mengimani ini menjauhkan kita dari pemahaman tajsim (menjasadkan Tuhan) atau tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk).
Kedua, tidak ada dzat lain yang setara atau sejenis dengan Dzat Allah. Tidak ada Tuhan lain di alam semesta ini. Keyakinan ini adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk politeisme, dualisme, atau trinitas. Hanya ada satu Dzat yang berhak menyandang status sebagai Ilah (Tuhan yang disembah), yaitu Allah. Firman-Nya yang agung dalam Surah Asy-Syura ayat 11 menjadi penegas utama:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
2. Wahdaniyah fis-Sifat (Keesaan pada Sifat)
Dimensi kedua adalah Keesaan pada Sifat-Sifat Allah. Sebagaimana Dzat-Nya, Sifat-Sifat Allah juga bersifat esa dan tiada tanding. Ini berarti tidak ada satu makhluk pun yang memiliki sifat yang hakikatnya sama dengan Sifat Allah. Manusia mungkin memiliki sifat "kuasa", "mengetahui", atau "melihat", tetapi semua itu sangat berbeda secara fundamental dengan sifat Qudrah, ‘Ilmu, dan Bashar milik Allah.
Sebagai contoh:
- Ilmu (Pengetahuan) Allah: Pengetahuan Allah bersifat azali (tanpa permulaan), abadi (tanpa akhir), dan meliputi segala sesuatu (yang tampak maupun gaib, yang telah, sedang, dan akan terjadi). Pengetahuan-Nya tidak didahului oleh kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan. Sementara itu, pengetahuan manusia bersifat baru (hadits), didapat melalui proses belajar, terbatas, dan sangat rentan terhadap lupa.
- Qudrah (Kuasa) Allah: Kuasa Allah bersifat mutlak, tidak terbatas, dan tidak bergantung pada alat atau sebab. Jika Ia berkehendak, cukup dengan "Kun Fayakun" (Jadilah, maka terjadilah). Sedangkan kuasa manusia sangat terbatas, bergantung pada sarana, tenaga, dan izin dari Allah.
- Hayat (Hidup) Allah: Kehidupan Allah adalah kehidupan yang hakiki, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak akan diakhiri oleh kematian. Kehidupan-Nya tidak memerlukan makanan, minuman, atau udara. Berbeda total dengan kehidupan makhluk yang memiliki awal, akhir, dan penuh ketergantungan.
Dengan demikian, mengimani Wahdaniyah fis-Sifat berarti meyakini bahwa Sifat-Sifat Allah adalah unik, sempurna, dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk ciptaan-Nya.
3. Wahdaniyah fil-Af'al (Keesaan pada Perbuatan)
Dimensi ketiga, dan seringkali menjadi area perdebatan teologis yang mendalam, adalah Keesaan pada Perbuatan (Af'al) Allah. Ini berarti meyakini bahwa satu-satunya pencipta hakiki di alam semesta ini adalah Allah. Semua perbuatan, gerakan, dan kejadian, baik yang berasal dari manusia, hewan, tumbuhan, maupun benda mati, pada hakikatnya adalah ciptaan Allah.
Manusia memang memiliki kehendak (iradah) dan usaha (ikhtiar atau kasb), namun yang menciptakan perbuatan itu sendiri beserta dampaknya adalah Allah. Api membakar bukan karena kekuatan intrinsik dalam api itu sendiri, melainkan karena Allah menciptakan efek "membakar" pada api tersebut. Pisau memotong bukan karena ketajamannya semata, tetapi karena Allah menciptakan efek "memotong" saat pisau itu digunakan. Begitu pula perbuatan manusia, kita berusaha dan berkehendak, tetapi Allah-lah yang menciptakan tindakan kita.
Pemahaman ini melahirkan sikap tawakal yang murni. Seorang hamba akan menyandarkan segala hasil usahanya hanya kepada Allah, karena ia sadar bahwa ia hanyalah pelaku (fail) secara majazi (kiasan), sedangkan Pencipta (Khaliq) hakiki dari perbuatannya adalah Allah semata. Ini meniadakan kesombongan saat berhasil dan keputusasaan saat gagal. Semua terjadi atas ciptaan dan kehendak-Nya. Konsep inilah yang ditegaskan dalam Al-Qur'an:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. Ash-Shaffat: 96)
Dalil-dalil yang Mengokohkan Sifat Wahdaniyah
Keyakinan terhadap sifat Wahdaniyah tidaklah dibangun di atas asumsi kosong, melainkan didasarkan pada dalil-dalil yang kuat, baik yang bersumber dari wahyu (Dalil Naqli) maupun yang dapat dijangkau oleh akal sehat (Dalil 'Aqli).
Dalil Naqli (Argumentasi Tekstual)
Al-Qur'an dan As-Sunnah dipenuhi dengan ayat-ayat dan hadis yang menegaskan Keesaan Allah. Surah yang paling terkenal dan menjadi 'piagam tauhid' adalah Surah Al-Ikhlas:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
"Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa (Ahad). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.'" (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Kata "Ahad" dalam surah ini memiliki makna yang lebih mendalam dari "Wahid". "Ahad" menegaskan keesaan yang mutlak dan menafikan segala bentuk bilangan atau keterbagian, baik secara eksternal maupun internal. Selain Surah Al-Ikhlas, banyak ayat lain yang menjadi bukti, di antaranya:
- QS. Al-Anbiya' ayat 22: "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan."
- QS. Al-Mu'minun ayat 91: "Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu."
- QS. Al-Baqarah ayat 163: "Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."
Dalil 'Aqli (Argumentasi Rasional)
Selain dalil tekstual, para ulama juga menyusun argumentasi logis untuk membuktikan kemustahilan adanya Tuhan lebih dari satu. Argumen yang paling terkenal adalah Burhan at-Tamanu' (Dalil Saling Mencegah/Menghalangi), yang merupakan penjabaran logis dari QS. Al-Anbiya' ayat 22.
Logikanya berjalan sebagai berikut:
- Anggaplah ada dua Tuhan yang sama-sama memiliki kehendak dan kuasa mutlak, sebut saja Tuhan A dan Tuhan B.
- Keduanya tentu memiliki kehendak yang independen. Suatu saat, Tuhan A berkehendak untuk menggerakkan suatu benda, sementara pada saat yang sama Tuhan B berkehendak agar benda itu tetap diam.
- Dari konflik kehendak ini, akan muncul salah satu dari tiga kemungkinan logis:
- Kehendak keduanya terwujud: Benda itu bergerak dan diam pada saat yang bersamaan. Ini adalah sebuah kontradiksi dan absurditas yang mustahil secara akal.
- Kehendak keduanya tidak terwujud: Benda itu tidak bergerak dan juga tidak diam. Ini juga mustahil. Jika kehendak keduanya gagal terwujud, itu membuktikan bahwa keduanya lemah dan tidak memiliki kuasa mutlak, sehingga tidak layak disebut Tuhan.
- Hanya kehendak salah satu yang terwujud: Misalnya, kehendak Tuhan A (benda bergerak) yang terwujud, sementara kehendak Tuhan B gagal. Ini membuktikan bahwa Tuhan B adalah lemah, terkalahkan, dan tidak berkuasa. Sesuatu yang lemah dan terkalahkan bukanlah Tuhan. Sementara Tuhan A, yang berhasil mengalahkan kehendak Tuhan B, dialah Tuhan yang sebenarnya.
- Kesimpulannya, secara akal sehat, mustahil ada dua Tuhan dengan kuasa mutlak. Adanya keteraturan dan hukum alam yang konsisten di alam semesta ini justru menjadi bukti nyata bahwa alam semesta diatur oleh satu Kehendak dan satu Kekuatan Yang Maha Esa.
Implikasi Iman kepada Sifat Wahdaniyah dalam Kehidupan
Keyakinan terhadap Wahdaniyah bukanlah sekadar konsep teologis yang dingin dan kaku. Ia adalah ruh yang menghidupkan seluruh aspek kehidupan seorang Muslim. Mengimani Keesaan Allah secara benar akan melahirkan buah-buah manis dalam sikap, mentalitas, dan perilaku sehari-hari.
1. Pemurnian Ibadah dan Tujuan Hidup
Konsekuensi paling utama dari iman kepada Wahdaniyah adalah memurnikan seluruh ibadah hanya untuk Allah (Ikhlas). Doa, shalat, puasa, zakat, haji, bahkan setiap tarikan napas dan aktivitas duniawi diniatkan hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Tidak ada lagi tempat bagi sesembahan lain, baik itu berupa berhala, jimat, manusia yang dianggap suci, hawa nafsu, maupun jabatan dan harta. Tujuan hidup menjadi jelas dan terpusat: mengabdi hanya kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa.
2. Kemerdekaan Jiwa dari Belenggu Makhluk
Ketika seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang Esa dalam perbuatan-Nya—yang memberi manfaat dan menimpakan mudarat—maka jiwanya akan merdeka. Ia tidak akan lagi merasa takut secara berlebihan kepada atasan, penguasa, atau orang-orang yang memiliki kekuatan duniawi. Ia tidak akan menggantungkan harapannya kepada makhluk. Rasa takut dan harapnya hanya tertuju kepada Allah. Inilah kemerdekaan sejati, yaitu terbebasnya hati dari penghambaan kepada selain Allah.
3. Ketenangan dan Kedamaian Batin
Memahami bahwa alam semesta ini berada di bawah kendali satu Kekuatan Tunggal akan mendatangkan ketenangan yang luar biasa. Tidak ada lagi kebingungan atau kekhawatiran akan adanya kekuatan-kekuatan jahat yang saling bertentangan dan dapat mencelakainya di luar kehendak Allah. Seorang mukmin tahu bahwa apapun yang menimpanya, baik atau buruk, semuanya berasal dari satu sumber dan pasti mengandung hikmah. Ini melahirkan sikap ridha, sabar, dan tawakal yang mendalam.
4. Menjauhkan Diri dari Syirik
Pemahaman Wahdaniyah adalah benteng utama yang melindungi seorang Muslim dari perbuatan syirik, dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika dibawa mati. Syirik bukan hanya menyembah patung. Termasuk syirik kecil (syirik khafi) adalah riya' (beramal karena ingin dilihat manusia), meyakini ada kekuatan lain yang bisa memberi berkah selain Allah, atau merasa bahwa kesuksesan yang diraih murni karena kehebatan diri sendiri tanpa campur tangan Allah. Semakin dalam pemahaman Wahdaniyah, semakin peka seseorang terhadap bahaya syirik dalam segala bentuknya.
5. Membangun Persaudaraan Universal
Keyakinan pada Tuhan Yang Satu akan membawa pada kesadaran bahwa seluruh umat manusia adalah ciptaan dari Pencipta Yang Satu. Ini menumbuhkan semangat persaudaraan (ukhuwwah) yang melintasi batas-batas suku, ras, bangsa, dan warna kulit. Di hadapan Allah Yang Maha Esa, semua manusia setara. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan. Prinsip ini menjadi dasar untuk membangun masyarakat yang adil, toleran, dan penuh kasih sayang.
Kesimpulan: Wahdaniyah sebagai Jantung Keimanan
Wahdaniyah artinya bukan sekadar "Allah itu satu". Ia adalah sebuah deklarasi agung tentang Keesaan Allah yang absolut dan tanpa kompromi dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan-Nya. Ia adalah penegasan bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mengatur alam semesta. Pemahaman yang benar terhadap Wahdaniyah akan membebaskan akal dari khurafat, membersihkan hati dari kemusyrikan, dan meluruskan seluruh arah kehidupan agar hanya tertuju kepada-Nya.
Sifat Wahdaniyah adalah inti dari kalimat Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Kalimat inilah yang menjadi kunci surga, pembeda antara iman dan kufur, dan menjadi poros dari seluruh ajaran Islam. Oleh karena itu, merenungkan, mempelajari, dan menginternalisasi makna Wahdaniyah adalah tugas seumur hidup bagi setiap Muslim yang mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat, serta rindu untuk bertemu dengan Rabb-nya Yang Maha Esa.