Ya Rasulullah Ya Nabi: Gema Kerinduan yang Tak Pernah Padam
Sebuah panggilan. Dua gelar agung yang terangkai dalam satu seruan penuh cinta. "Ya Rasulullah, Ya Nabi...". Gema kalimat ini telah bergetar di lisan miliaran manusia selama lebih dari empat belas abad. Ia bukan sekadar sapaan, melainkan sebuah proklamasi kerinduan, pengakuan atas sebuah risalah agung, dan ikrar kesetiaan kepada sosok manusia paling mulia yang pernah menapaki bumi. Kalimat ini adalah jembatan yang menghubungkan hati seorang hamba di masa kini dengan denyut jantung perjuangan Sang Nabi ﷺ di masa lalu. Ia adalah musik jiwa yang menenangkan, penawar bagi hati yang gersang, dan kompas yang mengarahkan hidup menuju cahaya.
Dalam setiap hembusan shalawat, dalam setiap lantunan qasidah, seruan ini membumbung tinggi ke langit, membawa pesan cinta dari umat yang tak pernah berjumpa secara fisik, namun hatinya terpaut erat oleh ikatan iman dan mahabbah. Mengapa panggilan ini memiliki kekuatan yang begitu dahsyat? Apa rahasia di balik rangkaian kata yang mampu menggetarkan jiwa dan meneteskan air mata kerinduan? Untuk memahaminya, kita harus menyelam ke dalam samudra makna yang terkandung di dalamnya, menelusuri jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan oleh para pecinta sejati, dan merefleksikan bagaimana panggilan agung ini seharusnya terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari.
Membedah Makna di Balik Panggilan Mulia
Panggilan "Ya Rasulullah, Ya Nabi" bukanlah sapaan yang redundan. Setiap gelar memiliki bobot dan dimensi makna yang saling melengkapi, membentuk sebuah pengakuan yang utuh atas kedudukan Beliau ﷺ di sisi Allah dan di hati umatnya. Memahami perbedaan dan kesatuan makna ini adalah langkah pertama untuk merasakan kedalaman cinta yang terkandung di dalamnya.
"Ya Rasulullah": Panggilan Tugas dan Risalah Universal
Gelar "Rasulullah" berarti "Utusan Allah". Ini adalah gelar yang menegaskan fungsi utama dan terpenting dari Nabi Muhammad ﷺ. Sebagai seorang Rasul, Beliau bukan hanya menerima wahyu untuk dirinya sendiri, tetapi diutus untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia. Ini adalah tugas berat yang memikul amanah langit, sebuah risalah yang mengubah wajah peradaban dunia. Ketika kita memanggil "Ya Rasulullah," secara implisit kita mengakui beberapa hal fundamental:
Pertama, kita mengakui bahwa Beliau adalah pembawa pesan terakhir dan penyempurna dari ajaran para nabi sebelumnya. Al-Qur'an yang dibawanya adalah firman Allah yang otentik, petunjuk hidup yang paripurna, dan sumber hukum tertinggi bagi umat Islam. Dengan memanggilnya sebagai Rasul, kita mengikrarkan kesiapan untuk tunduk dan patuh pada syariat yang dibawanya. Ini adalah pengakuan atas otoritas spiritual dan legislatif Beliau yang bersumber langsung dari Allah SWT. Panggilan ini adalah sebuah komitmen untuk menjadikan Al-Qur'an dan Sunnahnya sebagai pedoman utama dalam setiap aspek kehidupan.
Kedua, panggilan ini mengingatkan kita akan sifat universal dari misinya. Beliau diutus bukan hanya untuk bangsa Arab, tetapi sebagai Rahmatan lil 'Alamin, rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya melintasi batas-batas geografis, etnis, dan zaman. Seruan "Ya Rasulullah" adalah pengakuan bahwa ajarannya relevan bagi seorang pedagang di pasar Madinah pada masanya, sebagaimana relevannya bagi seorang ilmuwan di era digital saat ini. Ini adalah pengakuan atas keabadian dan universalitas risalah Islam yang Beliau bawa.
Ketiga, gelar ini menyoroti perjuangan, pengorbanan, dan keteguhan Beliau dalam menyampaikan amanah. Dari cemoohan di Mekah hingga pertempuran di Madinah, dari kehilangan orang-orang tercinta hingga ujian kesabaran yang tak terhingga. Setiap langkahnya sebagai Rasul adalah jejak perjuangan. Memanggil "Ya Rasulullah" adalah cara kita menghormati dan mengenang seluruh tetes keringat, darah, dan air mata yang telah Beliau korbankan demi sampainya hidayah kepada kita.
"Ya Nabi": Panggilan Kedekatan dan Kasih Sayang
Sementara "Rasulullah" berbicara tentang tugas dan misi agung, gelar "Nabi" menyentuh sisi yang lebih personal, lebih dekat, dan lebih manusiawi. Seorang Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah. Setiap Rasul adalah seorang Nabi, tetapi tidak setiap Nabi adalah seorang Rasul. Panggilan "Ya Nabi" membawa kita lebih dekat kepada pribadi Muhammad ﷺ sebagai manusia pilihan, teladan sempurna, dan sumber kasih sayang.
Ketika kita menyeru "Ya Nabi," kita seolah-olah sedang berbicara kepada sosok yang menjadi teladan dalam setiap peran. Kita melihatnya sebagai seorang suami yang romantis dan adil, seorang ayah yang penuh kasih dan canda, seorang sahabat yang setia dan dapat dipercaya, seorang pemimpin yang rendah hati dan melayani, serta seorang tetangga yang peduli dan menjaga hak-hak di sekelilingnya. Panggilan ini membuka jendela untuk melihat akhlak mulia Beliau dalam kehidupan sehari-hari. Kita teringat pada senyumnya yang meneduhkan, pada tangannya yang tak pernah menolak permintaan, pada kesabarannya menghadapi orang yang paling kasar sekalipun.
Gelar "Nabi" juga mengingatkan kita pada kedekatan khususnya dengan Allah SWT. Ia adalah Habibullah, kekasih Allah. Panggilan "Ya Nabi" adalah pengakuan atas derajat spiritual tertinggi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Kita memanggilnya sebagai Nabi untuk memohon syafaatnya, untuk berharap agar kita dapat berkumpul bersamanya di surga, karena kedekatannya dengan Sang Pencipta.
Lebih jauh lagi, sapaan ini adalah sapaan penuh kelembutan. Allah SWT sendiri di dalam Al-Qur'an memanggil para nabi lain dengan nama mereka ("Ya Adam," "Ya Musa," "Ya Isa"), namun ketika memanggil Nabi Muhammad ﷺ, Allah menggunakan gelar-gelar mulia seperti "Ya Ayyuhan Nabiy" (Wahai Nabi) atau "Ya Ayyuhar Rasul" (Wahai Rasul). Ini menunjukkan betapa istimewanya kedudukan Beliau. Dengan memanggil "Ya Nabi," kita meneladani cara Allah memuliakan kekasih-Nya.
Gabungan Dua Panggilan: Kesempurnaan Peran dan Cinta
Ketika kedua gelar ini disatukan dalam "Ya Rasulullah, Ya Nabi," terciptalah sebuah ungkapan yang sempurna. Ia mencakup pengakuan atas misi publiknya sebagai Utusan Allah yang harus kita taati (Rasul), sekaligus cinta personal kita kepada pribadinya yang mulia dan agung yang harus kita teladani (Nabi). Ini adalah seruan yang menyeimbangkan antara ketaatan pada syariat dan kecintaan pada sosok pembawanya. Kita tidak bisa hanya mencintai pribadinya tanpa mengikuti ajarannya, dan kita tidak akan bisa mengikuti ajarannya dengan sempurna tanpa didasari rasa cinta yang mendalam. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu iman. Panggilan ini adalah simfoni yang harmonis antara akal yang tunduk pada risalah dan hati yang terpaut pada pesona akhlaknya.
Kerinduan Umat: Refleksi Sejarah dan Hati
Seruan "Ya Rasulullah Ya Nabi" bukan hanya doktrin teologis, ia adalah ekspresi nyata dari sebuah emosi yang mendalam: kerinduan. Rindu untuk melihat wajahnya, mendengar suaranya, dan merasakan langsung kehangatan kehadirannya. Perasaan ini telah menjadi energi yang menggerakkan umat selama berabad-abad, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Rindu Para Sahabat: Saksi Mata Cahaya Kenabian
Sumber kerinduan terbesar tentu saja berasal dari mereka yang pernah hidup bersamanya, para sahabat radhiyallahu 'anhum. Cinta mereka kepada Rasulullah ﷺ adalah cinta yang total, melebihi cinta kepada diri sendiri, keluarga, dan harta benda. Kisah mereka adalah standar emas bagi cinta sejati.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekatnya, menunjukkan cinta melalui kesetiaan tanpa syarat. Saat peristiwa Isra' Mi'raj, ketika kaum Quraisy mendustakan, Abu Bakar berkata, "Jika dia yang mengatakannya, maka itu benar." Ia membenarkan tanpa perlu bukti lebih lanjut. Saat hijrah, ia menangis bukan karena takut, melainkan karena bahagia bisa menemani sang kekasih dalam perjalanan yang penuh risiko.
Umar bin Khattab, yang awalnya memusuhi, berubah menjadi pelindung yang paling gigih. Cintanya begitu besar hingga saat Rasulullah ﷺ wafat, ia menghunus pedangnya dan tidak percaya bahwa sang Nabi telah tiada, sampai Abu Bakar mengingatkannya dengan ayat Al-Qur'an. Ini adalah manifestasi dari hati yang tidak siap kehilangan sumber cahayanya.
Ada pula Bilal bin Rabah, muazin Rasulullah. Setelah wafatnya Nabi ﷺ, Bilal tak sanggup lagi mengumandangkan azan di Madinah. Setiap kali sampai pada kalimat "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah," suaranya akan tercekat oleh isak tangis, dan seluruh kota Madinah akan kembali larut dalam kesedihan mengenang masa-masa indah bersama Sang Nabi. Kerinduannya begitu dalam hingga ia memilih untuk meninggalkan Madinah.
Kisah-kisah ini bukanlah dongeng, melainkan bukti nyata betapa dalamnya cinta dan kerinduan mereka. Mereka adalah generasi yang paling memahami makna "Ya Rasulullah Ya Nabi," karena mereka mengucapkannya sambil menatap langsung ke wajah mulia yang mereka sapa. Kerinduan mereka menjadi warisan spiritual bagi kita semua.
Gema Shalawat: Jembatan Rindu Lintas Generasi
Bagi kita yang hidup berabad-abad setelahnya, bagaimana cara kita menyalurkan kerinduan ini? Allah SWT telah memberikan sebuah jembatan agung, yaitu shalawat. Perintah untuk bershalawat termaktub dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" (QS. Al-Ahzab: 56).
Shalawat adalah doa, pujian, dan permohonan rahmat untuk Nabi Muhammad ﷺ. Namun, lebih dari itu, shalawat adalah media komunikasi spiritual. Ketika kita mengucapkan "Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad," kita sedang mengirimkan salam cinta kita, dan Rasulullah ﷺ telah bersabda bahwa salam dari umatnya akan sampai kepadanya. Setiap shalawat adalah upaya kita untuk mengetuk pintu hati Sang Nabi, untuk mengatakan, "Ya Rasulullah, kami di sini, kami mencintaimu, kami merindukanmu."
Shalawat menjadi detak jantung kehidupan spiritual seorang Muslim. Ia dibaca dalam shalat, dilantunkan dalam majelis zikir, dan menjadi penenang di kala resah. Berbagai bentuk shalawat, dari Shalawat Ibrahimiyyah yang agung hingga Shalawat Nariyah dan Tibbil Qulub, semuanya adalah ekspresi kerinduan yang sama. Melalui shalawat, jarak 1400 tahun seolah sirna. Kita merasa terhubung, menjadi bagian dari barisan panjang para pecinta Nabi yang tak terputus oleh ruang dan waktu. Shalawat adalah jawaban praktis atas pertanyaan, "Bagaimana cara mencintai seseorang yang belum pernah kutemui?"
Kisah Rindu dari Tabi'in dan Ulama Salaf
Kerinduan ini tidak berhenti pada generasi sahabat. Generasi Tabi'in, yaitu mereka yang belajar dari para sahabat, mewarisi api cinta yang sama. Salah satu kisah paling mengharukan adalah tentang Uwais al-Qarni. Ia hidup sezaman dengan Nabi ﷺ di Yaman, namun tidak pernah bertemu karena harus merawat ibunya yang sudah tua dan sakit.
Cintanya kepada Nabi ﷺ begitu luar biasa. Ketika ia mendengar gigi Nabi ﷺ patah dalam Perang Uhud, Uwais pun mematahkan giginya sendiri karena tak tega membayangkan rasa sakit yang diderita oleh kekasihnya. Meskipun tak pernah bertatap muka, Rasulullah ﷺ mengenali kesalehan dan cintanya, hingga Beliau berpesan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib untuk meminta doa dari Uwais jika mereka bertemu dengannya. Kisah Uwais menjadi simbol cinta sejati yang tidak terhalang oleh jarak fisik, sebuah cinta yang murni karena Allah.
Para ulama besar pun menunjukkan kecintaan yang mendalam. Imam Malik, pendiri mazhab Maliki, sangat menghormati kota Madinah. Ia tidak pernah menaiki hewan tunggangan di dalam kota Madinah sebagai bentuk penghormatan, karena di tanah itulah jasad mulia Rasulullah ﷺ dimakamkan. Baginya, setiap jengkal tanah Madinah adalah suci karena pernah dipijak oleh kaki Sang Nabi. Ini adalah adab yang lahir dari kerinduan dan pengagungan yang luar biasa.
Meneladani Sang Kekasih: Wujud Nyata Cinta
Panggilan "Ya Rasulullah Ya Nabi" akan menjadi seruan yang hampa jika tidak diiringi dengan usaha untuk meneladani sosok yang kita panggil. Cinta sejati menuntut pembuktian, dan pembuktian cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah dengan mengikuti jejak langkahnya, menghidupkan sunnahnya, dan meneladani akhlaknya. Inilah esensi dari ittiba' (mengikuti).
Akhlak Rasulullah ﷺ: Cermin Kesempurnaan Insani
Aisyah radhiyallahu 'anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah ﷺ, dan ia menjawab, "Akhlaknya adalah Al-Qur'an." Ini berarti seluruh kepribadian, ucapan, dan perbuatan Beliau adalah cerminan hidup dari nilai-nilai Al-Qur'an. Meneladani akhlaknya adalah inti dari pengamalan ajaran Islam.
Kejujuran dan Amanah: Jauh sebelum diangkat menjadi Rasul, Beliau telah dikenal dengan gelar Al-Amin, yang terpercaya. Bahkan musuh-musuhnya pun mengakui kejujurannya dan menitipkan barang berharga mereka kepadanya. Dalam dunia yang penuh dengan kebohongan dan korupsi, meneladani sifat jujur dan amanah Rasulullah adalah sebuah jihad. Ini berarti jujur dalam perkataan, amanah dalam pekerjaan, dan adil dalam setiap keputusan.
Kesabaran dan Pemaafan: Kisah dakwahnya di Tha'if adalah puncak dari kesabaran. Beliau dilempari batu oleh penduduk hingga kakinya berdarah, namun ketika malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menimpakan gunung kepada mereka, Beliau menolak. Beliau justru mendoakan, "Semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata." Sifat pemaafnya juga terlihat saat Fathu Makkah, di mana Beliau memaafkan seluruh penduduk Mekah yang dahulu telah mengusir dan menyakitinya. Meneladani sifat ini berarti memiliki kelapangan dada, tidak menyimpan dendam, dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Kerendahan Hati (Tawadhu'): Meskipun Beliau adalah seorang pemimpin negara dan utusan Tuhan, kehidupannya sangat sederhana. Beliau menambal bajunya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan membantu pekerjaan rumah tangga. Beliau duduk makan bersama para fakir miskin dan tidak pernah merasa canggung bergaul dengan orang-orang biasa. Sikap tawadhu' ini mengajarkan kita untuk tidak sombong dengan jabatan, ilmu, atau harta yang kita miliki.
Kedermawanan: Ibnu Abbas menggambarkan kedermawanan Rasulullah ﷺ laksana "angin yang berhembus," sangat cepat dan tidak pernah berhenti. Beliau tidak pernah menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri. Apa pun yang Beliau miliki hari itu, akan Beliau berikan kepada yang membutuhkan. Sifat ini mengajarkan kita tentang pentingnya berbagi, berempati kepada sesama, dan tidak terikat pada dunia.
Sunnah dalam Kehidupan Sehari-hari: Dari Bangun Tidur hingga Terlelap
Menghidupkan sunnah bukan hanya tentang aspek ibadah ritual, tetapi mencakup seluruh aktivitas kehidupan. Mengikuti sunnah dalam hal-hal kecil sehari-hari adalah cara kita untuk terus-menerus mengingat dan meneladani Beliau.
Mulai dari bangun tidur, kita diajarkan untuk berdoa, membersihkan diri dengan bersiwak. Saat makan dan minum, kita diajarkan untuk menggunakan tangan kanan, duduk, dan membaca basmalah. Dalam interaksi sosial, kita diajarkan untuk selalu tersenyum karena senyum adalah sedekah, mengucapkan salam untuk menyebarkan kedamaian, menjenguk orang sakit, dan menghormati yang lebih tua serta menyayangi yang lebih muda.
Bahkan dalam hal yang paling pribadi seperti tidur, ada sunnahnya: berwudhu terlebih dahulu, berbaring miring ke kanan, dan membaca doa sebelum tidur. Setiap detail kehidupan ini, jika diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, akan bernilai ibadah. Inilah cara mengubah rutinitas menjadi ibadah, dan mengubah kehidupan sehari-hari menjadi sebuah persembahan cinta kepada Sang Nabi. Dengan menghidupkan sunnah, kita seolah-olah membawa kehadiran Rasulullah ﷺ ke dalam rumah dan kehidupan kita.
Cinta yang Mendidik: Rasulullah ﷺ sebagai Pendidik Terhebat
Rasulullah ﷺ adalah seorang murabbi, seorang pendidik jiwa. Metode pendidikan Beliau sangat efektif karena didasarkan pada cinta dan keteladanan. Beliau tidak hanya menyuruh, tetapi memberi contoh. Beliau tidak hanya melarang, tetapi memberikan solusi. Beliau mendidik dengan hikmah, menggunakan perumpamaan yang mudah dipahami, dan bertanya untuk merangsang pemikiran para sahabat.
Beliau sangat sabar dalam mengajar. Ketika seorang Arab Badui kencing di dalam masjid, para sahabat hendak memarahinya, namun Rasulullah ﷺ melarang. Beliau membiarkannya selesai, lalu dengan lembut menasihatinya dan meminta para sahabat untuk menyiram bekasnya dengan seember air. Dari peristiwa ini, para sahabat belajar tentang fikih bersuci sekaligus metode dakwah yang penuh kelembutan. Meneladani Beliau sebagai pendidik berarti kita harus menjadi orang tua, guru, atau pemimpin yang sabar, bijaksana, dan lebih mengedepankan keteladanan daripada sekadar perintah.
"Ya Rasulullah Ya Nabi" dalam Seni dan Budaya Islam
Ungkapan cinta dan rindu kepada Sang Nabi tidak hanya termanifestasi dalam ibadah dan akhlak, tetapi juga melahirkan berbagai bentuk ekspresi seni dan budaya yang indah. Seni menjadi wadah bagi hati para perindu untuk menuangkan gejolak cintanya.
Qasidah dan Syair Kerinduan
Sejak zaman Nabi ﷺ, syair telah menjadi media untuk memuji dan membela Beliau. Penyair seperti Hassan bin Tsabit menggunakan kekuatan sastranya untuk menjawab hinaan kaum kafir dan menyanjung kemuliaan Rasulullah. Tradisi ini terus berlanjut dan berkembang pesat.
Salah satu karya paling monumental adalah Qasidah Burdah karya Imam al-Busiri. Qasidah ini lahir dari cinta dan penderitaan. Imam al-Busiri, yang menderita kelumpuhan, menulis syair pujian ini dengan tulus. Dalam mimpinya, ia bertemu Rasulullah ﷺ yang kemudian menyelimutinya dengan jubah (burdah) Beliau. Ketika bangun, Imam al-Busiri sembuh total. Sejak saat itu, Qasidah Burdah menjadi salah satu qasidah yang paling banyak dibaca di seluruh dunia Islam, menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak, dan lantunan zikir dalam majelis-majelis. Setiap baitnya adalah lukisan kerinduan yang mendalam.
Tradisi Maulid Nabi, perayaan hari kelahiran Rasulullah ﷺ, juga menjadi panggung bagi pembacaan syair-syair pujian seperti Barzanji, Simtud Durar, dan Diba'. Dalam acara-acara ini, umat berkumpul untuk bersama-sama melantunkan shalawat dan mendengarkan kisah hidup Sang Nabi. Gema "Ya Rasulullah Ya Nabi" terdengar begitu syahdu, menyatukan hati dalam gelombang cinta yang sama.
Kaligrafi: Mengukir Nama yang Mulia
Dalam seni rupa Islam, kaligrafi menempati posisi yang sangat terhormat. Nama "Muhammad" dan "Ahmad," serta gelar "Rasulullah," menjadi objek yang paling sering ditulis oleh para kaligrafer. Menulis nama Beliau dengan indah dianggap sebagai sebuah bentuk ibadah dan penghormatan.
Dari dinding masjid yang megah hingga hiasan di rumah-rumah, kaligrafi nama Nabi Muhammad ﷺ selalu hadir. Bentuknya beragam, dari gaya Kufi yang kaku dan geometris hingga gaya Tsuluts yang lentur dan anggun. Setiap goresan pena adalah wujud pengagungan. Para seniman kaligrafi seolah-olah sedang berzikir dengan tangan mereka, mengukirkan kecintaan pada kanvas atau kertas. Seni kaligrafi memastikan bahwa nama dan gelar mulia Sang Nabi senantiasa terlihat, dibaca, dan diingat, menjaga api cinta itu tetap menyala dalam kesadaran visual umat.
Menjawab Panggilan Rindu dengan Amal Nyata
Pada akhirnya, seruan "Ya Rasulullah, Ya Nabi" adalah sebuah panggilan yang menuntut jawaban. Ini bukan sekadar nostalgia atau ungkapan emosional sesaat. Jawaban terbaik atas panggilan kerinduan ini adalah dengan amal nyata. Jawaban kita adalah dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi cerminan kecil dari akhlak agung yang Beliau ajarkan.
Jawaban kita adalah ketika kita jujur dalam berdagang, karena Beliau adalah Al-Amin. Jawaban kita adalah ketika kita menyayangi anak yatim, karena Beliau adalah pelindung mereka. Jawaban kita adalah ketika kita memaafkan orang yang menyakiti kita, karena Beliau adalah pribadi yang pemaaf. Jawaban kita adalah ketika lisan kita basah dengan shalawat dan zikir, bukan dengan caci maki. Jawaban kita adalah ketika shalat kita khusyuk, keluarga kita harmonis, dan hubungan kita dengan tetangga rukun dan damai.
Setiap sunnah yang kita hidupkan, setiap akhlak mulia yang kita praktikkan, adalah jawaban kita atas panggilan cinta tersebut. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi pemanggil, tetapi juga penerus risalahnya dalam skala kita masing-masing. Kita menjadi duta-duta kecil dari ajaran Rahmatan lil 'Alamin di lingkungan kita. Semoga dengan usaha kita meneladani Beliau, kita pantas untuk mendapatkan syafaatnya dan berharap dapat memandang wajahnya kelak di surga. Semoga setiap kali kita menggemakan panggilan suci ini, hati kita semakin terikat, semangat kita semakin menyala, dan hidup kita semakin terarah pada jalan yang Beliau ridhai.
Ya Rasulullah, Ya Nabi... Semoga salam dan shalawat senantiasa tercurah kepadamu, wahai kekasih hati kami.