Kata "absurd" sering kali diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak masuk akal, konyol, atau bertentangan dengan logika. Dalam filsafat, terutama dalam eksistensialisme yang dipelopori oleh pemikir seperti Albert Camus, absurditas bukanlah sekadar kurangnya makna, melainkan benturan mendasar antara kecenderungan manusia untuk mencari makna dan keheningan atau ketidakpedulian alam semesta terhadap pencarian tersebut. Memahami absurditas adalah langkah awal untuk hidup secara otentik di dunia modern.
Secara etimologis, absurd merujuk pada sesuatu yang tidak harmonis atau tidak sesuai. Namun, dalam konteks pemikiran abad ke-20, absurditas mengambil dimensi yang lebih dalam. Ini bukan tentang kesalahan sederhana dalam penalaran, melainkan tentang kesadaran bahwa kita, sebagai makhluk yang haus akan rasionalitas, dilemparkan ke dalam realitas yang pada dasarnya irasional. Di lingkungan kerja, misalnya, kita sering mendapati diri kita melakukan tugas-tugas berulang yang tampaknya tidak memiliki dampak nyata pada eksistensi kita; ini adalah cerminan kecil dari konflik absurd antara usaha dan hasil yang mungkin.
Camus menggunakan mitos Sisyphus—raja yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak gunung hanya untuk menyaksikannya menggelinding kembali—sebagai metafora utama absurditas. Upaya Sisyphus adalah usaha tanpa akhir, yang secara rasional sia-sia. Namun, Camus berpendapat bahwa momen paling penting adalah saat Sisyphus turun gunung, ketika ia menyadari sepenuhnya nasibnya. Dalam kesadaran ini terletak kebebasan dan potensi pemberontakannya.
Kita mungkin tidak sedang mendorong batu di mitos Yunani, tetapi kehidupan sehari-hari penuh dengan momen-momen yang memenuhi syarat sebagai absurd. Pikirkan tentang kemacetan lalu lintas yang menghabiskan waktu berharga kita, ritual birokrasi yang rumit hanya untuk mendapatkan izin sederhana, atau obsesi masyarakat terhadap tren sesaat yang akan segera dilupakan. Semua ini adalah manifestasi dari upaya kita untuk menciptakan keteraturan di tengah kekacauan yang tak terhindarkan.
Media sosial sering menjadi wadah yang subur bagi absurditas modern. Orang-orang membangun persona yang sangat terkurasi, menghabiskan energi untuk validasi digital yang bersifat sementara. Kita tahu bahwa apa yang kita lihat adalah konstruksi, namun kita tetap terlibat dalam siklus konsumsi dan pameran diri yang tiada akhir. Kekonyolan ini muncul ketika upaya untuk menjadi "sempurna" secara online bertabrakan dengan kenyataan bahwa di balik layar, kita semua hanyalah manusia yang mencari koneksi sejati.
Jika kita menerima bahwa alam semesta tidak menjanjikan jawaban, lantas apa yang harus kita lakukan? Camus menawarkan tiga respons terhadap absurditas: bunuh diri (menghindari konflik), lompatan iman (mencari ilusi makna melalui agama atau ideologi), atau pemberontakan (menerima absurditas tanpa menyerah padanya). Pilihan terakhir ini adalah yang paling kuat.
Pemberontakan filosofis berarti menjalani hidup dengan penuh semangat, meskipun kita tahu bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan berakhir tanpa makna kosmik yang ditentukan. Ini adalah tentang menciptakan nilai kita sendiri. Ketika kita menyadari bahwa janji makna besar itu palsu, kita dibebaskan untuk fokus pada pengalaman nyata—seni, cinta, solidaritas, dan kesenangan sesaat. Kehidupan absurd adalah kehidupan yang dijalani dengan kesadaran penuh akan keterbatasan dan kesia-siaan yang mendasarinya, namun tetap memilih untuk bersemangat.
Merangkul absurditas juga berarti mampu tertawa pada diri sendiri dan situasi yang kita hadapi. Ketika kita berhenti menuntut konsistensi dari dunia, kita menjadi lebih tangguh. Ketidaksesuaian logika menjadi sumber kreativitas, karena batas-batas rasionalitas telah dibongkar. Inilah keindahan tersembunyi dalam kekonyolan yang kita temui setiap hari.
Keabsurdan bukanlah penyakit yang harus disembuhkan, melainkan kondisi mendasar dari keberadaan manusia. Ia memaksa kita untuk berhenti mencari izin atau tujuan dari luar diri kita. Dengan mengakui bahwa kita hidup dalam realitas yang kadang tampak seperti lelucon kosmik, kita memperoleh kekuatan untuk menulis naskah kita sendiri, bahkan jika panggungnya terasa sedikit tidak stabil dan propertinya tidak masuk akal.