Dalam hukum Islam, konsep waris atau mirats merupakan bagian krusial yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Penjelasan mendalam mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman bagi umat Muslim di Indonesia dalam urusan hukum keluarga, termasuk waris. KHI merangkum berbagai kaidah fiqh waris yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta ijtihad para ulama. Memahami siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana proporsi pembagiannya adalah hal yang fundamental untuk menghindari perselisihan dan memastikan keadilan.
Siapa yang Disebut Ahli Waris dalam KHI?
Secara umum, ahli waris adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan yang sah dengan pewaris, sehingga berhak menerima bagian dari harta warisan. KHI mengklasifikasikan ahli waris berdasarkan tingkatan dan hubungan mereka dengan pewaris. Klasifikasi ini sangat penting karena menentukan siapa yang lebih berhak dan siapa yang terhalang (mahjub) untuk menerima warisan.
Ahli waris dalam KHI terbagi menjadi beberapa golongan utama:
Keluarga Nasab (Keturunan): Ini adalah kelompok ahli waris yang paling utama. Termasuk di dalamnya adalah anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi, dan seterusnya. Urutan pewarisan di antara kerabat nasab akan mempertimbangkan kedekatan hubungan.
Keluarga Musaharah (Perkawinan): Golongan ini mencakup suami atau istri yang ditinggalkan oleh pewaris. KHI secara tegas mengakui hak suami atau istri untuk mendapatkan bagian warisan dari pasangannya.
Ahli Waris Baitul Mal: Jika tidak ada ahli waris nasab maupun musaharah yang berhak, maka harta warisan akan jatuh kepada Baitul Mal, yang dalam konteks negara berarti kas negara. Namun, ini merupakan kondisi terakhir setelah semua kemungkinan ahli waris lain diperiksa.
Golongan-Golongan Ahli Waris Berdasarkan KHI
KHI, merujuk pada ajaran Islam, membagi ahli waris menjadi beberapa kelompok berdasarkan hak mereka untuk menerima warisan, yang dikenal sebagai ashabul furudh (pemegang bagian yang pasti) dan 'ashabah (penerima sisa harta).
1. Ashabul Furudh (Penerima Bagian Pasti)
Mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bagian-bagian ini biasanya berupa pecahan seperti 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, atau 1/8. Golongan ashabul furudh meliputi:
Suami: Mendapat 1/2 jika pewaris hanya memiliki anak perempuan (atau cucu perempuan dari anak laki-laki), dan 1/4 jika pewaris memiliki anak atau keturunan.
Istri: Mendapat 1/4 jika pewaris tidak memiliki anak, dan 1/8 jika pewaris memiliki anak atau keturunan.
Anak Perempuan: Mendapat 1/2 jika hanya satu, dan 2/3 jika lebih dari satu.
Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki: Mendapat 1/2 atau 2/3 jika tidak ada anak perempuan, namun posisinya di bawah anak perempuan.
Ayah: Mendapat 1/6 jika pewaris memiliki anak atau keturunan.
Ibu: Mendapat 1/6 jika pewaris memiliki anak atau keturunan. Ibu juga bisa mendapat 1/3 atau lebih dari sisa harta dalam kondisi tertentu.
Kakek: Mendapat 1/6 jika pewaris tidak memiliki ayah.
Nenek: Mendapat 1/6 jika tidak ada ibu.
Saudara Laki-laki Kandung dan Seibu: Mendapat 1/6 dalam kondisi tertentu, terutama jika posisi mereka sebagai 'ashabah terhalang oleh ayah atau anak laki-laki.
Saudara Perempuan Kandung dan Seibu: Mendapat 1/2 jika hanya satu dan tidak ada anak laki-laki atau ayah, dan 2/3 jika lebih dari satu.
2. 'Ashabah (Penerima Sisa Harta)
Golongan 'ashabah adalah ahli waris yang berhak menerima sisa harta warisan setelah seluruh bagian ashabul furudh dibagikan. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ada tiga jenis 'ashabah:
'Ashabah Binafsih: Yaitu kerabat laki-laki yang nasabnya langsung ke pewaris tanpa perantaraan perempuan, seperti anak laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki kandung, paman kandung, dan anak laki-laki paman kandung.
'Ashabah Bil Ghair: Yaitu kerabat perempuan yang berhak menjadi 'ashabah karena ada kerabat laki-laki bersamanya, seperti anak perempuan bersama anak laki-laki, atau cucu perempuan bersama cucu laki-laki.
'Ashabah Ma'al Ghair: Yaitu saudara perempuan kandung atau seibu yang menjadi 'ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
Konsep Terhalang (Hijab) dalam Waris
KHI juga mengatur mengenai konsep hijab atau terhalang. Seorang ahli waris bisa saja memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, namun tidak berhak menerima warisan karena ada ahli waris lain yang lebih dekat kedudukannya. Misalnya, anak laki-laki akan menghalangi hak saudara laki-laki pewaris untuk menerima warisan. Demikian pula, ayah akan menghalangi hak kakek. Pemahaman terhadap aturan hijab ini sangat krusial untuk menentukan siapa yang benar-benar berhak atas harta warisan.
Penting untuk dicatat bahwa pembagian waris dalam Islam memiliki aturan yang rinci dan kompleks. Dalam praktiknya, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli waris lain dan jika perlu, meminta bantuan dari pengadilan agama atau lembaga syariah yang berwenang untuk memastikan pembagian yang adil dan sesuai dengan ketentuan KHI.