Simbol visualisasi tradisi dan ilmu pengetahuan
Aksara Jawa, atau yang sering disebut Hanacaraka, merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga dari Indonesia, khususnya dari tanah Jawa. Keindahan dan kerumitan aksara ini bukan sekadar sistem penulisan semata, tetapi juga menyimpan kekayaan filosofi dan sejarah yang mendalam, yang konon berawal dari sosok legendaris bernama Aji Saka. Keberadaan aksara ini menjadi saksi bisu peradaban Jawa yang kaya akan sastra, hukum, dan ajaran moral.
Menurut cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi, aksara Jawa lahir dari gagasan dan kepemimpinan Aji Saka. Konon, Aji Saka adalah seorang raja dari tanah Majapahit yang bijaksana dan berkeinginan untuk menciptakan sistem penulisan yang unik bagi kerajaannya. Beliau ingin agar masyarakat Jawa memiliki cara sendiri untuk mencatat sejarah, menyimpan ilmu pengetahuan, dan menyampaikan pesan-pesan penting.
Kisah yang paling populer menceritakan tentang dua orang suruhan Aji Saka, yaitu Dora dan Sembada, yang diperintahkan untuk membawa keris pusaka. Namun, dalam perjalanan, salah satu suruhan melanggar perintah dan membawa keris tersebut sebelum waktunya. Aji Saka, dengan kebijaksanaannya, tidak menghukum mereka secara membabi buta, melainkan menjadikan peristiwa ini sebagai inspirasi untuk menciptakan aksara yang masing-masing hurufnya memiliki makna dan pelajaran tersendiri. Huruf-huruf aksara Jawa yang berjumlah 20 ini (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga) konon disusun berdasarkan urutan kisah tersebut, menjadi pengingat akan ajaran moral dan sejarah.
Aksara Jawa memiliki struktur yang unik dan berbeda dari aksara Latin yang kita gunakan sehari-hari. Setiap aksara dasar (disebut juga 'carakan') memiliki pasangan yang disebut 'pasangan', yang berfungsi untuk menghilangkan bunyi vokal pada suku kata sebelumnya, sehingga memungkinkan penulisan dua konsonan berturut-turut. Selain itu, terdapat pula 'sandhangan', yaitu tanda diakritik yang berfungsi untuk mengubah bunyi vokal atau menambahkan konsonan tertentu di akhir suku kata.
Keunikan lainnya adalah adanya aksara 'murda' yang digunakan untuk menulis nama orang penting, gelar, atau nama tempat, serta aksara 'swara' yang merupakan aksara vokal mandiri. Kerumitan dan kekayaan fitur inilah yang membuat aksara Jawa sangat ekspresif dan mampu merepresentasikan berbagai nuansa bahasa Jawa.
Sejak dahulu kala, aksara Jawa telah menjadi media utama dalam penyampaian berbagai bentuk sastra Jawa, mulai dari babad (sejarah), serat (ajaran dan nasihat), hingga geguritan (puisi). Naskah-naskah kuno yang ditulis dalam aksara Jawa menjadi sumber informasi berharga tentang kehidupan, pemikiran, dan nilai-nilai masyarakat Jawa di masa lalu. Pelestarian aksara Jawa berarti juga pelestarian kekayaan intelektual dan spiritual nenek moyang kita.
Dalam konteks modern, aksara Jawa tidak hanya menjadi objek kajian sejarah atau sastra, tetapi juga mulai diintegrasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak seniman dan desainer yang menggunakan motif aksara Jawa dalam karya mereka, serta muncul berbagai aplikasi dan kursus pembelajaran aksara Jawa. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa aksara Jawa masih memiliki relevansi dan daya tarik di era digital.
Seperti banyak aksara tradisional lainnya, aksara Jawa juga menghadapi tantangan di era globalisasi dan dominasi aksara Latin. Banyak generasi muda yang merasa asing dengan aksara ini, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kepunahan jika tidak ada upaya pelestarian yang berkelanjutan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas budaya, dan pegiat aksara Jawa untuk menjaga kelestarian warisan ini. Kampanye sadar budaya, pengenalan aksara Jawa di sekolah, penyelenggaraan workshop, serta pengembangan materi pembelajaran digital menjadi beberapa langkah konkret yang diharapkan dapat membangkitkan kembali minat masyarakat terhadap aksara Jawa. Menguasai dan menggunakan kembali aksara Jawa bukan hanya sekadar mempelajari simbol, tetapi juga menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya leluhur dan memperkaya identitas bangsa.
Aksara Jawa, yang konon lahir dari kebijaksanaan Aji Saka, adalah permata budaya yang patut kita jaga. Melalui pemahaman dan pelestariannya, kita tidak hanya mewariskan tradisi, tetapi juga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya untuk generasi mendatang.