Ilmu pengetahuan seringkali dibahas dari dua cabang utamanya: epistemologi (ilmu tentang bagaimana kita tahu) dan ontologi (ilmu tentang hakikat realitas). Namun, ada dimensi ketiga yang krusial namun seringkali terabaikan dalam diskusi teknis, yaitu aksiologi ilmu pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas nilai-nilai, etika, dan tujuan dari keberadaan ilmu itu sendiri.
Secara sederhana, jika ontologi bertanya "Apa itu yang ada?" dan epistemologi bertanya "Bagaimana kita bisa mengetahui?", maka aksiologi bertanya, "Untuk apa ilmu itu ada?" dan "Nilai apa yang melekat pada penemuan ilmiah?". Ini adalah studi tentang nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang melingkupi proses penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan.
Jika Anda mencari referensi lebih mendalam, pencarian dengan kata kunci "aksiologi ilmu pengetahuan pdf" seringkali mengarahkan pada jurnal-jurnal filsafat atau buku teks yang mengupas tuntas kerangka etika dan moralitas dalam sains.
Aksiologi dalam konteks ilmiah umumnya terbagi menjadi dua kategori utama:
Ini adalah nilai yang melekat pada ilmu itu sendiri, terlepas dari kegunaan praktisnya bagi masyarakat. Nilai intrinsik utama adalah pencarian kebenaran demi kebenaran. Ilmuwan yang berpegang pada nilai ini merasa bahwa proses menemukan, memahami, dan menjelaskan fenomena alam semesta sudah merupakan tujuan akhir yang berharga. Pengetahuan yang dihasilkan dianggap bernilai karena ia memperkaya khazanah pemahaman manusia.
Ini merujuk pada manfaat atau kegunaan praktis yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Nilai ekstrinsik sangat relevan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Contohnya, penemuan teknologi baru, pengembangan obat-obatan, atau peningkatan efisiensi industri. Nilai ekstrinsik inilah yang sering menjadi justifikasi utama bagi pendanaan riset oleh pemerintah maupun sektor swasta.
Fokus pada aksiologi ilmu pengetahuan menjadi semakin mendesak di era modern. Ketika ilmu pengetahuan mampu menghasilkan inovasi dengan dampak ganda—potensi manfaat besar sekaligus risiko bencana—perdebatan mengenai nilai menjadi sentral. Ilmuwan tidak lagi bisa bersikap netral (bebas nilai) sepenuhnya, karena pilihan metode, objek penelitian, dan bahkan cara publikasi keputusan ilmiah membawa implikasi moral.
Contoh paling nyata adalah pengembangan kecerdasan buatan (AI) atau rekayasa genetika. Secara teknis, kedua bidang ini menawarkan potensi kemajuan yang luar biasa. Namun, aksiologi menuntut kita untuk bertanya: Apakah teknologi ini akan memperburuk kesenjangan sosial? Bagaimana kita memastikan keadilan dalam distribusinya? Apakah batasan etis yang boleh dilanggar demi kemajuan?
Oleh karena itu, pemahaman yang kuat mengenai aksiologi memastikan bahwa kegiatan ilmiah diarahkan pada tujuan yang memanusiakan, bukan hanya memajukan kemampuan teknis semata. Keseimbangan antara pencarian kebenaran (nilai intrinsik) dan pelayanan terhadap kemanusiaan (nilai ekstrinsik) adalah inti dari filsafat ilmu yang matang.
Di tengah arus informasi dan misinformasi yang masif, aksiologi juga berperan dalam menumbuhkan skeptisisme yang sehat terhadap klaim ilmiah. Ketika masyarakat dihadapkan pada produk atau teori yang mengklaim berbasis sains, pemahaman aksiologi membantu membedakan mana klaim yang didasarkan pada integritas metodologis sejati dan mana yang didorong oleh kepentingan komersial sempit. Mempelajari aksiologi ilmu pengetahuan adalah investasi dalam masa depan sains yang bertanggung jawab dan etis.