Aksiologi, dalam kerangka filsafat, merupakan cabang ilmu yang mengkaji hakikat nilai, kebaikan, keindahan, dan moralitas. Ketika dikaitkan dengan perspektif Islam—menghasilkan istilah **Aksiologi Islam**—kajian ini berfokus pada bagaimana nilai-nilai fundamental yang bersumber dari wahyu (Al-Qur'an dan As-Sunnah) membentuk pandangan hidup, etika, dan perilaku seorang Muslim. Aksiologi Islam bukan sekadar teori tentang baik dan buruk, melainkan sebuah kerangka normatif yang mengarahkan seluruh aktivitas manusia menuju keridhaan Ilahi (ridha Allah).
Berbeda dengan aksiologi Barat yang sering kali bersandar pada rasio murni atau subjektivitas manusia, aksiologi Islam memiliki basis yang teguh, yaitu tauhid (keesaan Allah). Nilai tertinggi dalam Islam adalah Allah itu sendiri, dan segala sesuatu yang baik (mahsanah) adalah yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ini berarti nilai dalam Islam bersifat transenden dan objektif, tidak berubah seiring perubahan selera atau zaman.
Tiga sumber utama penentuan nilai adalah:
Isu sentral dalam aksiologi adalah hubungan antara 'kebaikan' dan 'perintah Tuhan'. Apakah sesuatu itu baik karena Allah memerintahkannya (teori perintah Tuhan), ataukah Allah memerintahkannya karena sesuatu itu memang sudah inheren baik (teori rasionalis)? Islam cenderung mengambil posisi moderat yang menekankan bahwa kebaikan sejati hanya dapat dipahami secara sempurna melalui petunjuk Ilahi. Apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan apa yang dilarang adalah keburukan.
Konsep *al-Maqashid al-Syari'ah* (tujuan utama syariat) menjadi lensa penting dalam memahami hierarki nilai. Nilai-nilai tersebut disusun untuk menjaga lima aspek esensial kehidupan manusia: agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-'aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta benda (hifz al-mal). Prioritas tindakan manusia harus selalu diarahkan untuk memelihara kelima hal ini, yang merupakan manifestasi praktis dari nilai tertinggi Islam.
Penerapan aksiologi Islam sangat terasa dalam ranah etika (akhlak). Etika dalam Islam tidak dipandang sebagai seperangkat aturan yang kaku, melainkan sebagai refleksi dari keimanan. Misalnya, nilai kejujuran tidak hanya dihargai karena membawa keuntungan sosial, tetapi karena itu adalah perintah Ilahi yang mencerminkan ketenangan batin. Sebaliknya, dusta atau korupsi dianggap keburukan fundamental karena bertentangan langsung dengan prinsip tauhid dan merusak tatanan sosial yang didasarkan pada kepercayaan.
Dalam konteks ekonomi (muamalah), aksiologi Islam mendorong praktik perdagangan yang adil, pelarangan riba (bunga), dan kewajiban zakat. Nilai 'keadilan' di sini lebih luas dari sekadar transaksi yang seimbang; ia menuntut adanya redistribusi kekayaan agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang ekstrem. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang *falah* (beruntung) baik di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulannya, aksiologi Islam memberikan landasan filosofis yang kuat bagi kehidupan Muslim, mengubah setiap tindakan menjadi ibadah yang bermakna. Ia menyatukan dimensi spiritual dan etis, memastikan bahwa pencarian manusia akan kebaikan selalu terikat pada standar kebenaran yang absolut dan abadi.